Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH MANAJEMEN INTERNASIONAL

“MOTIVASI LINTAS BUDAYA”

Dosen Pengampu:

DWI HARI LAKSANA, S.E M.M

Disusun oleh:

Ummu Habibah Nasution 141210051

Oktavia Nur Afifah 141210060

Laksono Edi 141210085

Jasmine Puspita Kelaswara 141210122

M Hasan Abdurrahim 141210140

M Dzaky Royhan Haswar 141210161

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
makalah yang berjudul “Motivasi Lintas Budaya” dapat selesai tepat waktu.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas Bapak Dwi Hari Laksana selaku
dosen mata kuliah Manajemen Internasional. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan
menambah wawasan kepada pembaca tentang Motivasi Lintas Budaya.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dwi Hari Laksana selaku
dosen mata kuliah Manajemen Internasional. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat
menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, penulis mohon maaf atas kesalahan dan ketidak
sempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya
kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Yogyakarta, 23 November 2022

Kelompok Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …………………………………………………………………... 1


B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………….. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Dunia Manajemen Internasional ……………………………………………….... 2


B. Teori Hirarki Kebutuhan ………………………………………………………… 9
C. Teori Motivasi Dua Faktor Hezberg …………………………………….............. 14
D. Teori Motivasi Berprestasi ………………………………………………………. 17
E. Memilih Teori Proses ……………………………………………………………. 22
F. Motivasi Terapan: Desain Pekerjaan, Sentralitas Kerja, dan Hadiah ……………. 25
G. Insentif dan Budaya ……………………………………………………………… 31
H. Supporting Article dan Critical Review …………………………………………. 33

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ……………………………………………………………………… 35
B. Saran …………………………………………………………………………….. 35

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… 36

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Motivasi berhubungan dekat dengan kinerja sumber daya manusia di


organisasi modern. Meskipun proses motivasi serupa di seluruh budaya, namun
terdapat perbedaan yang jelas pada motivasi berdasarkan budaya. Apa yang
memotivasi karyawan di Amerika Serikat mungkin hanya akan efektif dalam
tingkatan moderat Jepang, Prancis, atau Nigeria. Dengan demikian, meskipun
motivasi di tempat kerja berhubungan dengan pemberian stimulasi dan penggiatan
kinerja karyawan di banyak situasi dan lingkungan, konteks internasional memerlukan
pengujian perbedaan motivasi dan sumbernya di setiap negara, atau paling tidak
regional.

Bab ini menguji motivasi sebagai proses psikologis dan mengeksplorasi


bagaimana motivasi dapat digunakan untuk memahami dan meningkatkan kinerja
karyawan. Bab ini juga mengidentifikasi dan menggambarkan penelitian internasional
mengenai teori motivasi dan mendiskusikan relevansinya bagai manajemen sumber
daya manusia internasional.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi motivasi dan bagaimana motivasi sebagai proses psikologis?
2. Apa itu teori hierarki kebutuhan, dua faktor, dan motivasi berprestasi serta apa
nilainya bagi sumber daya manusia internasional?
3. Bagaimana pemahaman mengenai kepuasan karyawan dapat berguna bagi
manajemen sumber daya manusia di seluruh dunia?
4. Bagaimana nilai teori proses dalam memotivasi karyawan di seluruh dunia?
5. Apa pentingnya rancangan kerja, sentralitas pekerjaan, dan penghargaan dalam
memotivasi karyawan pada konteks internasional?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dunia Manajemen Internasional


1. Memotivasi Karyawan Pada Konteks Multibudaya : Wawasan Dari Pasar Negara
Industri Baru

Menurut patricia odell dari majalah PROMO, “ Ketika perusahaan Amerika


Serikat berekspansi secara global, saat ini memperkerjakan lebih dari 60 juta
pekerja asing, sehingga memotivasi dan memberikan penghargaan bagi tenaga
kerja yang berbeda merupakan tantangan besar bagi organisasi”.

Menurut business week, banyak perusahaan terkemuka yang meminta bantuan


Globoforce, sebuah perusahaan irlandia, untuk merancang program pemberian
penghargaan perusahaan. Program Globoforce memungkinkan karyawan memilih
penghargaan yang mereka inginkan, misalnya tiket konser atau kartu hadiah
senilai $50 ditoko favorit mereka. Dengan cara ini, Globoforce menyesuaikan
penghargaan dengan preferensi spesifik karyawan.

Preferensi karyawan ini sering kali berhubungan dengan budaya. Untuk


mengilustrasikan ini, BOB NELSON memberikan contoh sebuah perusahaan
Indonesia. Apabila perusahaan ini mengalami tahun yang baik, maka karyawan
mendapatkan pembayaran tambahan di akhir tahun. Jumlah pembayaran yang
diterima karyawan bukan merupakan fugsi dari kinerja individual, namun
merupakan loyalitas seseorang terhadap organisasi yang diukur dari berapa tahun
seseorang bekerja pada perusahaan, ditambah dengan berapa banyak anggota
keluarganya.

Manajer harus menyadari bahwa penghargaan disuatu budaya dapat dipandang


berbeda di budaya lain. BOB NOLSEN berbagi cerita mengenai bagaimana
sebuah perusahaan farmasi memutuska untuk memberikan jam tangan khusus
dengan logo perusahaan kepada 44.000 karyawan diseluruh dunia, Ketika
NELSON menceritakan ini kepada karyawan Taiwan di perusahaan yang berbeda,
mereka menyatakan bahwa hadiah seperti itu tidak akan berhasil dalam budayanya
karena penunjuk waktu dihubungkan dengan kematian di Taiwan dan cina.

2
a. Memotivasi Karyawan : Prinsip-Prinsip Umum

The wall street journal menguraikan beberapa hal mengenai prinsip-


prinsip umum memotivasi karyawan :

1) Tujuan Manajemen, adalah tidak sekedar mengarahkan dan


mengendalikan karyawan yang berusaha menghindari pekerjaan, namun
menciptakan kondisi yang membuat orang yang ingin menawarkan usaha
maksimumnya.

2) Memiliki Karyawan Yang Mandiri Dan Memiliki Pengendalian Diri


Dalam Mencapai Tujuan Bersama, adalah jauh lebih baik dari pada
menerapkan sistem pengendalian yang dirancang untuk memaksa orang
memenuhi tujuan yang mereka tidak pahami atau orang yang memiliki
tujuan yang berbeda.

3) Menghargai Orang Atas Prestasi Mereka, merupakan cara yang jauh


lebih efektif untuk memperkuan komitmen Bersama dibandingkan dengan
menghukum atas kegagalan mereka.

4) Memberikan Tanggung Jawab pada orang akan membuat mereka


bangkit menghadapi tantangan.

5) Membebaskan imajinasi, kecerdasan, dan kreatifitas akan membuat


kontribusi mereka terhadap perusahaan berlipat-lipat ganda.

Selain itu, BOB NELSON mencatat bahwa karyawan saat ini mengharapkan
pekerjaan merupakan bagian yang terintegrasi dengan kehidupan mereka bukan
keseleruhan kehidupan mereka. Dengan demikian, manajer dapat meningkatkan
kinerja karyawan dengan menawarkan jam kerja yang fleksibel. Dengan teknologi
akan memudahkan karyawan untuk bekerja dari rumah. NELSON juga
menekankan bahwa mendiskusikan pilihan karier dalam organisasi dan
menyediakan peluang untuk belajar dan mengembangkan diri sering kali dapat
memotivasi karyawan.

Dalam budaya kolektivis, seperti cina penghargaan intrinsic dapat berupa


kepuasan dalam membantu kelompoknya menyelesaikan sebua proyek.

3
b. Memotivasi Karyawan di CINA

WATSON WYATT melakukan sebuah survei pendapat karyawan,


workchina terhadap 10.000 karyawan dari 67 perusahaan di cina menemukan,
bahwa peran kompensasi bersifat terbatas dalam memotivasi karyawan cina,
JIM LEININGER dan WATSON WYATT menulis : “ meningkatkan
kepuasan konsumen dengan meningkatkan gaji mungkin akan menghasilkan
retensi jangka pendek, namun karyawan yang tinggal dalam organisasi anda,
karena gaji yang tinggi akan membuat karyawan untuk tinggal dalam
organisasi sehingga kompensasi terkadang adalah sesuatu yang tidak
diperhatikan.

System Kompensasi nonkompetitif apat dengan mudah dilihat oleh


karyawan dan dapat mengarah pada perputaran. Namun, memberikan gaji
yang tinggi tidak selalu mengarah pada karyawan dengan komitmen tinggi
atau perputaran yang rendah. Hal hal lain akan menjadi factor pembeda Ketika
tingkat kompensasi rata-rata telah dianggap memuaskan.

Factor-faktor berikut ditemukan sebagai penggerak yang kuat bahi


komitmen karyawan :

1) Efektivitas manajemen. Karyawan akan termotivasi Ketika manajer


memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang baik, berhasil
melibatkan karyawan, dan menghargai karyawan mereka.

2) Lingkungan kerja yang positif. Untuk menjadi produktif, karyawan


memerlukan tempat kerja yang sehat dan aman dengan akses informasi
yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan mereka.

3) System manajemen kinerja yang objektif. Survey kompensasi 2003


oleh Watson wyatt menunjukkan bahwa, untuk karyawan tertentu, gaji
minimal sebulan akan dikaitkan dengan pengukuran kinerja, baik
untuk karyawan secara pribadi ataupun untuk perusahaan sendiri.
Manajer harus memastikan bahwa system manajemen kinerjanya
objektif, adil dan dikimunikasikan dengan jelas kepada karyawan.

4
4) Komunikasi yang jelas. Manajer dapat meningkatkan komitmen
dengan memastikan bahwa karyawan memahami tujuan perusahaan
mereka, pekerjaan mereka sendiri, dan hubungan antara pekerjaan
mereka dengan konsumen.

Sebaliknya, studi kasus oleh fisher dan yuan terhadap karyawan cina dari
sebuah hotel besar di shanghal menemukan bahwa upah besar dan kondisi
kerja yang baik merupakan factor pemberi motivasi terpenting. Mereka
menemukan bahwa kebutuhan intrinsic karyawan akan pekerjaan yang
menarik, pertumbuhan pribadi, dan keterlibatan cenderung lebih rendah,
terutama pada karyawan yang berusia lebih tua dibandingkan dengan
karyawan pada budaya barat. Menurut fisher dan yuan, manajer MNC di cina
seharusnya memperhatikan bahwa karyawan cina menghargai kenaikan upah,
peningkatan subsidi perumahan, dan saham kepemilikan karyawan.

c. Memotivasi Karyawan di Tempat Kerja Global

Thiederman menawarkan tips untuk menyesuaikan gaya manajemen


seseorang agar sesuai dengan konteks multibudaya :

1) Pertama, ia menemukan pentingnya interpretasi situasi secara akurat


sebagai contoh, banyak manajer salah menginterpretasikan pembicaraan
dalam Bahasa asing di tempat kerja sebagai tanda kemalasan, kekerasan,
dan ketidak hormatan. Kenyataannya, menggunakan Bahasa asing
merupakan usaha untuk mengomunikasikan pesan yang berhubungan
dengan pekerjaan secara akurat, tanda stress atau kelebihan ekstrem atau
sebuah usaha untuk mempercepat proses komunikasi.

2) Kedua, theiderman mencatat bahwa manajer perlu menjelaskan harapan


mereka kepada karyawan dengan cara-cara yang biasa dipahami oleh
mereka yang tidak dibesarkan dalam budaya Amerika. Sebagai contoh,
banyak budaya yang memandang bahwa mengajukan keluhan terhadap
atasan merupakan tanda ketidak setiaan. Namun bagi manajer Amerika,
keluhan memberikan peluang untuk mengidentifikasi masalah. Manajer
perlu menjelaskan kepada tenaga kerja mereka bahwa karyawan yang baik
dapat membawa masalahnya kepada manajer.

5
3) Ketiga, manajer dapat memotivasi karyawan dengan menawarkan
penguatan positif. Kata-kata yang baik selalu dapat menegaskan nilai
masyarakat dalam budaya manapun.

Peran penghargaan intrinsic, penghargaan psikologis yang diperoleh karyawan


karena melakukan pekerjaan yang dianggap penting oleh mereka, sangat penting
di seluruh dunia, namun yang dianggap bermakna dan bermanfaat berbeda di
setiap budaya. Ketika MNC beralih dari sekedar menemukan basis karyawan
murah ke menemukan cara baru untuk meningkatkan kepuasan konsumen, Sifat
Motivasi

Motivasi adalah proses psikologis melalui mana keinginan atau kebutuhan


yang tidak terpuaskan mengarah pada dorongan yang diarahkan pada tujuan atau
insentif.

Gambar 12-1 menunjukkan proses motivasi. Tiga elemen dasar dalam proses
ini adalah kebutuhan, dorongan, dan pencapaian tujuan. Penentu motivasi bisa
bersifat intrinsik, di mana individu mengalami pemenuhan melalui melakukan
aktivitas itu sendiri dan membantu orang lain, atau ekstrinsik, dalam arti bahwa
lingkungan eksternal dan hasil aktivitas dalam bentuk persaingan dan kompensasi.
atau rencana insentif lebih penting.

Motivasi adalah topik penting dalam manajemen sumber daya manusia


internasional, terutama karena banyak manajer MNC cenderung berasumsi bahwa
mereka dapat memotivasi personel luar negeri mereka dengan pendekatan yang
sama yang digunakan di negara asal.

6
2. Asumsi Universal

Asumsi pertama adalah bahwa proses motivasi bersifat universal,yaitu semua


orang termotivasi untuk mengejar tujuan yang mereka hargai,oleh ahli teori
motivasi kerja disebut dengan tujuan "valensi tinggi" atau "preferensi". Prosesnya
bersifat universal; namun, budaya memengaruhi konten dan tujuan spesifik yang
dikejar. Misalnya, satu analisis menyatakan bahwa insentif utama bagi banyak
pekerja AS adalah uang; bagi karyawan Jepang, adalah rasa hormat dan
kekuasaan; dan untuk pekerja Amerika Latin, adalah serangkaian faktor termasuk
pertimbangan keluarga, rasa hormat, status pekerjaan, dan kehidupan pribadi yang
baik. Demikian pula, kepentingan utama pekerja AS adalah dirinya sendiri; bagi
orang Jepang, itu adalah kepentingan kelompok; dan untuk karyawan Amerika
Latin, itu adalah kepentingan pemberi kerja.

Sederhananya, motivasi bersifat universal, tetapi sifat spesifiknya berbeda


lintas budaya, jadi tidak ada satu teori motivasi yang dapat diterapkan secara
universal lintas budaya.

Di Amerika Serikat, kesuksesan pribadi dan pencapaian profesional adalah


motivator penting, dan promosi serta peningkatan penghasilan adalah tujuan
penting. Di Cina, afiliasi kelompok merupakan kebutuhan penting, dan
keharmonisan sosial merupakan tujuan penting. Jelas, orang Amerika juga
menghargai kerja tim, dan pekerja China ingin dibayar dengan baik. Namun, jelas,
beberapa cara untuk memotivasi karyawan AS dan pekerja China akan berbeda.
Proses motivasinya mungkin sama, tetapi kebutuhan dan tujuan spesifiknya bisa
berbeda antara kedua budaya tersebut. Kesimpulan ini didukung dalam studi oleh
Welsh, Luthans, dan Sommer yang meneliti nilai penghargaan ekstrinsik,
manajemen perilaku, dan teknik partisipatif di kalangan pekerja pabrik Rusia. Dua
yang pertama dari pendekatan motivasi bekerja dengan baik untuk meningkatkan
kinerja pekerja, tetapi yang ketiga tidak. Para peneliti mencatat bahwa penelitian
ini memberikan setidaknya bukti awal bahwa teori dan teknik perilaku yang
berbasis di AS dapat membantu dalam memenuhi tantangan kinerja yang dihadapi
manajemen sumber daya manusia dalam lingkungan budaya yang berubah dengan
cepat dan berbeda. Mereka menemukan bahwa dua teknik perilaku memberikan
penghargaan ekstrinsik yang diinginkan kepada karyawan yang bergantung pada

7
peningkatan kinerja dan memberikan penguatan sosial dan umpan balik untuk
perilaku fungsional dan umpan balik korektif untuk perilaku disfungsional secara
signifikan meningkatkan kinerja pekerja pabrik Rusia. Dengan cara yang sama,
penelitian ini juga menunjukkan bahaya membuat asumsi universalis tentang teori
dan teknik yang berbasis di AS. Secara khusus, kegagalan intervensi partisipatif
tidak menunjukkan begitu banyak bahwa pendekatan ini tidak akan berhasil lintas
budaya karena nilai dan norma sejarah dan budaya perlu diakui dan diatasi agar
teori dan teknik yang relatif canggih tersebut dapat bekerja. secara efektif.

Merancang paket hadiah untuk karyawan China sulit dilakukan karena


jangkauan dan kompleksitas tunjangan non-upah yang diharapkan oleh pekerja
sebagai warisan dari tradisi “mangkuk nasi besi”. Namun, asuransi kesehatan dan
kecelakaan, pensiun, pengangguran dan tunjangan lainnya semakin banyak
diambil alih oleh negara. Ada dua kendala budaya untuk memperkenalkan
perbedaan upah yang lebih besar di antara pekerja dengan status yang sama:
kepentingan yang diberikan pada keharmonisan antarpribadi yang akan terganggu
oleh variasi pendapatan; dan ketidakpercayaan terhadap penilaian kinerja karena
dalam evaluasi perusahaan negara didasarkan pada prinsip-prinsip ideologis dan
guanxi [koneksi].

3. Asumsi Konten dan Proses.

Asumsi awal kedua adalah bahwa teori motivasi kerja dapat dipecah menjadi
dua kategori umum: isi dan proses. Teori konten menjelaskan motivasi kerja
dalam hal apa yang membangkitkan, memberi energi, atau memulai perilaku
karyawan. Teori proses motivasi kerja menjelaskan bagaimana perilaku karyawan
dimulai, diarahkan, dan dihentikan. Sebagian besar penelitian dalam manajemen
sumber daya manusia internasional telah berorientasi pada konten karena teori-
teori ini menguji motivasi dalam pengertian yang lebih umum dan lebih
bermanfaat dalam menciptakan gambaran komposit motivasi karyawan di negara
atau wilayah tertentu. Teori proses lebih canggih dan cenderung berfokus pada
perilaku individu dalam pengaturan tertentu. Dengan demikian, mereka kurang
memiliki nilai untuk mempelajari motivasi karyawan dalam pengaturan
internasional, meskipun telah ada beberapa penelitian di bidang ini juga. Sejauh
ini sebagian besar studi penelitian di arena internasional telah digerakkan oleh

8
konten, tetapi bab ini mengkaji temuan penelitian yang mengeksplorasi teori
konten dan proses.

B. Teori Hirarki Kebutuhan

Teori hierarki kebutuhan didasarkan terutama pada karya Abraham Maslow,


seorang psikolog humanistik terkenal. Hirarki kebutuhan Maslow telah menerima
banyak perhatian di bidang manajemen dan perilaku organisasi AS dan dari peneliti
manajemen internasional, yang telah berusaha menunjukkan nilainya dalam
memahami motivasi karyawan di seluruh dunia.
1) Teori Maslow
Maslow mendalilkan bahwa setiap orang memiliki lima kebutuhan
dasar yang membentuk hierarki kebutuhan. Dalam urutan menaik, dimulai dari
kebutuhan yang paling dasar dan naik ke yang tertinggi, yaitu kebutuhan
fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.

a. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan fisik dasar akan air, makanan,


pakaian, dan tempat tinggal. Maslow berpendapat bahwa dorongan
individu untuk memenuhi kebutuhan fisiologis ini lebih besar daripada
dorongan untuk memuaskan jenis kebutuhan lainnya. Dalam konteks
motivasi kerja, kebutuhan fisiologis ini seringkali dipenuhi melalui upah
dan gaji yang dibayarkan oleh organisasi.

b. Kebutuhan rasa aman adalah keinginan akan keamanan, stabilitas, dan


tidak adanya rasa sakit. Organisasi biasanya membantu personel untuk
memenuhi kebutuhan ini melalui program dan peralatan keselamatan, dan
dengan menyediakan keamanan melalui asuransi kesehatan, rencana
pengangguran dan pensiun, dan tunjangan serupa.

9
c. Kebutuhan sosial adalah keinginan untuk berinteraksi dan berafiliasi
dengan orang lain dan kebutuhan untuk merasa diinginkan oleh orang lain.
Keinginan untuk "memiliki" ini sering kali terpuaskan dalam pekerjaan
melalui interaksi sosial dalam kelompok kerja di mana orang-orang
memberi dan menerima persahabatan. Kebutuhan sosial dapat dipenuhi
tidak hanya dalam kelompok kerja yang ditugaskan secara formal tetapi
juga dalam kelompok informal.

d. Kebutuhan akan penghargaan adalah kebutuhan akan kekuasaan dan


status. Individu perlu merasa penting dan menerima pengakuan dari orang
lain. Promosi, penghargaan, dan umpan balik dari bos mengarah pada
perasaan percaya diri, prestise, dan kepentingan diri sendiri.

e. Kebutuhan aktualisasi diri mencerminkan keinginan untuk mencapai


potensi penuh seseorang, untuk menjadi segala sesuatu yang seseorang
mampu menjadi sebagai manusia. Dalam sebuah organisasi, seorang
individu dapat mencapai aktualisasi diri tidak begitu banyak melalui
promosi melainkan dengan menguasai lingkungannya dan menetapkan dan
mencapai tujuan pribadi.

Teori Maslow bertumpu pada sejumlah asumsi dasar. Pertama adalah


bahwa kebutuhan tingkat yang lebih rendah harus dipenuhi sebelum
kebutuhan tingkat yang lebih tinggi dapat dicapai. Kedua adalah bahwa
kebutuhan yang dipuaskan tidak lagi berfungsi sebagai motivator. Ketiga,
ada lebih banyak cara untuk memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih tinggi
daripada cara untuk memenuhi kebutuhan tingkat yang lebih rendah.
Beberapa asumsi tersebut berasal dari karya asli Maslow, beberapa berasal
dari karya orang lain, dan beberapa kemudian dimodifikasi oleh Maslow
sendiri. Asumsi ini telah mendorong banyak penelitian internasional tentang
teori tersebut.

1
2) Temuan Internasional tentang Teori Maslow

Apakah orang-orang di seluruh dunia memiliki kebutuhan yang serupa


dengan yang dijelaskan dalam hierarki kebutuhan Maslow? Penelitian
umumnya menunjukkan bahwa mereka melakukannya. Misalnya, dalam studi
klasik yang dilakukan oleh Haire, Ghiselli, dan Porter. Meskipun penelitian ini
cukup kuno, itu tetap yang paling komprehensif dan relevan untuk
menunjukkan dampak budaya yang berbeda pada motivasi karyawan. Negara-
negara di survei ini mencakup Amerika Serikat, Argentina, Belgia, Chili,
Denmark, Inggris, Prancis, Jerman, India, Italia, Jepang, Norwegia, Spanyol,
dan Swedia. Dengan sedikit modifikasi, para peneliti memeriksa kebutuhan
kepuasan dan kebutuhan kepentingan dari empat kebutuhan tingkat tertinggi
dalam hierarki Maslow. Kebutuhan akan penghargaan dibagi menjadi dua
kelompok: penghargaan dan otonomi. Yang pertama mencakup kebutuhan
akan harga diri dan prestise; yang terakhir, keinginan untuk otoritas dan
kesempatan untuk pemikiran dan tindakan independen.

Hasil studi kelompok Haire menunjukkan bahwa semua kebutuhan ini


penting bagi responden lintas budaya. Akan tetapi, harus diingat bahwa subjek
dalam studi internasional yang besar ini adalah para manajer, bukan karyawan
biasa. Tingkat atas kebutuhan sangat penting bagi para manajer. Temuan
untuk kelompok negara tertentu (Eropa Latin, Amerika Serikat/Inggris, dan
Eropa Nordik) menunjukkan bahwa otonomi dan aktualisasi diri merupakan
kebutuhan terpenting bagi responden. Menariknya, para manajer yang sama
ini melaporkan bahwa itu adalah kebutuhan yang paling tidak mereka
puaskan, yang membuat Haire dan rekan-rekannya menyimpulkan:

Tampak jelas, dari sudut pandang organisasi, bahwa perusahaan bisnis,


tidak peduli negara mana, harus memperhatikan kepuasan kebutuhan ini bagi
manajer dan eksekutif mereka. Kedua jenis kebutuhan tersebut dianggap
relatif cukup penting oleh para manajer, tetapi, setidaknya pada saat ini,
tingkat pemenuhannya tidak sesuai dengan harapan mereka.

1
Setiap negara atau wilayah geografis tampaknya memiliki pro file
kepuasan kebutuhannya sendiri. Saat menggunakan informasi ini untuk
memotivasi manajer, MNC sebaiknya mempertimbangkan profil masing-
masing negara atau wilayah dan menyesuaikan pendekatan mereka.

Beberapa peneliti telah menyarankan bahwa hierarki Maslow terlalu


Barat, dan perspektif Timur yang lebih kolektivis diperlukan. Nevis percaya
bahwa hierarki Maslow mencerminkan budaya yang berorientasi Barat dan
berfokus pada kebutuhan batin individu. Jelas, tidak semua budaya berfungsi
dengan cara ini: budaya Asia menekankan kebutuhan masyarakat. Nevis
menyarankan bahwa hierarki kebutuhan Cina akan memiliki empat tingkat,
yang dari terendah ke tertinggi adalah (1) kepemilikan (sosial), (2) fisiologis,
(3) keamanan, dan (4) aktualisasi diri dalam pelayanan masyarakat, seperti
yang terlihat pada Gambar 12–3.

Jika ini benar, MNC yang mencoba melakukan bisnis di Cina harus
mempertimbangkan hierarki yang direvisi ini dan menentukan bagaimana
mereka dapat memodifikasi program kompensasi dan desain pekerjaan mereka
untuk mengakomodasi kebutuhan motivasi yang diperlukan. Bagaimanapun,
ide Nevis layak dipertimbangkan karena memaksa perusahaan multinasional
untuk mengatasi motivasi kerja berdasarkan faktor-faktor budaya yang unik
untuk lingkungannya yang bertentangan dengan pendekatan universal.

Diskusi sejauh ini menunjukkan bahwa meskipun konsep hierarki


kebutuhan spesifik secara budaya, ia menawarkan cara yang berguna untuk
mempelajari dan menerapkan motivasi kerja sekutu internasional. Namun,
peneliti Belanda terkenal Geert Hofstede dan yang lainnya telah menyarankan
bahwa profil kepuasan kebutuhan bukanlah cara yang sangat berguna untuk
mengatasi motivasi karena seringkali ada begitu banyak subkultur yang

1
berbeda di negara mana pun yang mungkin sulit atau tidak mungkin untuk
menentukan variabel budaya mana yang bekerja dalam pengaturan kerja
tertentu. The Haire dan studi tindak lanjut hanya berurusan dengan manajer.
Hofstede menemukan bahwa kategori pekerjaan adalah cara yang lebih efektif
untuk memeriksa motivasi. Dia melaporkan hubungan antara jenis pekerjaan
dan tingkat dan hierarki kebutuhan. Berdasarkan hasil survei dari lebih dari
60.000 orang di lebih dari 50 negara yang diminta untuk membuat peringkat
serangkaian 19 tujuan kerja (lihat Tabel 12-1 dan 12-2), ia menemukan bahwa
1. Empat gol teratas yang diperingkat oleh para profesional sesuai dengan
kebutuhan Maslow yang "tinggi".
2. Empat gol teratas yang diberi peringkat oleh panitera sesuai dengan
kebutuhan Maslow "menengah".
3. Empat tujuan teratas yang diperingkat oleh pekerja tidak terampil
berhubungan dengan kebutuhan Maslow yang “rendah”.
4. Manajer dan teknisi menunjukkan gambaran yang beragam—memiliki
setidaknya satu tujuan dalam kategori Maslow “tinggi”.

Tabel dari penelitian Hofstede menunjukkan bahwa kebutuhan


aktualisasi diri dan harga diri menempati peringkat tertinggi bagi para
profesional dan manajer, dan bahwa keamanan, pendapatan, tunjangan, dan
kondisi kerja fisik paling penting bagi pekerja tingkat rendah dan tidak
terampil. Temuan ini menggambarkan bahwa kategori dan tingkat pekerjaan
mungkin memiliki efek dramatis pada motivasi dan mungkin juga
mengimbangi pertimbangan budaya. Seperti yang dicatat oleh Hofstede, “Ada

1
perbedaan yang lebih besar antara kategori pekerjaan daripada antar negara
dalam hal motivasi karyawan.

Dalam memutuskan bagaimana memotivasi sumber daya manusia di


berbagai negara atau membantu mereka untuk mencapai kepuasan kebutuhan,
peneliti seperti Hofstede merekomendasikan agar perusahaan multinasional
fokus paling berat pada pemberian penghargaan fisik kepada personel tingkat
bawah dan pada penciptaan untuk personel tingkat menengah dan atas iklim di
mana ada tantangan, otonomi, kemampuan untuk menggunakan keterampilan
seseorang, dan kerja sama. Beberapa perusahaan menemukan cara inovatif
untuk menciptakan motivasi di seluruh organisasi, dari karyawan tingkat
bawah hingga manajemen menengah, dengan mengubah strategi SDM.

Secara keseluruhan, tampaknya ada sedikit keraguan bahwa teori


hierarki kebutuhan berguna dalam membantu mengidentifikasi faktor-faktor
motivasional untuk manajemen sumber daya manusia internasional. Namun,
teori ini saja tidak cukup. Teori konten lainnya, seperti teori dua faktor,
menambah pemahaman lebih lanjut dan aplikasi praktis yang efektif untuk
memotivasi personel.

C. Teori Motivasi Dua Faktor Hezberg

Teori dua faktor merupakan teori yang mengidentifikasi dua set faktor yang
memengaruhi kepuasan kerja: fakor higenis dan motivator. Data penyusun teori ini
diperoleh melalui metodologi insiden kritis yang meminta responden untuk menjawad
dua pertanyaan dasar: (1) Kapan anda merasa sangat baik ptentang pekerjaan anda?
(2) Kapan anda merasa sangat buruk dengan pekerjaan anda? Respons terhadap
pertanyaan pertama biasanya berhubungan dengan konten pekerjaan dan meliputi
faktor-faktor seperti prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan dan
pekerjaan itu sendiri. Hezberg menyebut faktor koneten pekerjaan ini sebagai
motivator. Respons terhadap pertanyaan kedua berhubungan dengan konteks
pekerjaan dan meliputi faktor-faktor seperti gaji, hubungan antarpribadi, pengawasan
teknis, kondisi pekerjaan, serta kebijakan dan administrasi perusahaan. Hezberg
menyebut variabel konteks pekerjaan ini sebagai faktor higenis.

1
Teori dua faktor menyatakan bahawa motivator dan faktor higenis
berhubungan dengan kepuasan karyawan. Hubungan ini lebih kompleks dibandingkan
pandangan tradisional bahwa karyawan itu dapat merasa puas dan tidak puas.
Berdasarkan teori dua faktor, jika faktor higenis tidak ditangani atau tidak mencukupi,
akan timbul ketidakpuasan. Namun yang pernting adalah bila faktor higenis dicukupi,
tidak akan timbul ketidakpuasan tetapi juga tidak timbul kepuasan. Kepuasan akan
timbul jika terdapat motivator. Singkatnya, faktor higenis mencegah ketidakpuasan
(sehingga memunculkan istilah higenis, seperti yang digunakan dalam bidang
kesehatan), namun hanya motivator yang menimbulkan kepuasan. Dengan demikian,
berdasarkan teori ini, usaha untuk memotivasi sumber daya manusia harus melibatkan
pengakuan, kesempatan untuk berprestasi dan bertumbuh, kemajuan, serta pekerjaan
yang menarik.
• Temuan Internasional Mengenai Teori Hezberg
Temuan internasional yang berhubungan dengan teori dua faktor dapat
dikelompokkan kedalam dua kategori. Pertama terdiri atas replica riset
Hezberg di negara tertentu. Penelitian ini mempertanyakan apakah manajer di
negara X akan memberikan jawaban yang sama dengan yang diberikan pada
studi asli Hezberg. Kategori kedua merupakan studi lintas budaya yang
berfokus pada kepuasan kerja. Riset ini mempertanyakan faktor-faktor apakah
yang memengaruhi kepuasan kerja dan apakah responsnya berbeda di setiap
negara. Riset dari kategori kedua bukanlah merupakan kelanjutan langsung
dari teori dua faktor, tetapi memberikan wawasan sehubungan dengan
kepuasan kerja dalam manajemen sumber daya manusia internasional.

• Replika Dua Faktor


Beberapa kegiatan penelitian telah dilakukan dalam mereplika teori dua
faktor, dan pada intinya, penelitian-penelitian tersebut mendukung temuan
Hezberg. George Hines, contohnya, mensurvei 218 manajer menengah dan 196
karyawan bergaji di Selandia Baru dengan menggunakan pemeringkatan 12
faktor pekerja dan kepuasan kerja secara keseluruhan. Berdasarkan temuan ini,
ia menyimpulkan bahwa “model Hezberg tampaknya memiliki validitas di
seluruh tingkatan pekerjaan”.

1
Penelitian lain juga dilakukan di negara berkembang. Sebagai contoh,
sebuah studi menguji motivasi kerja di Zambia, dengan menggunakan berbagai
variabel motivasional dan menemukan bahwa motivasi kerja dihasilkan dari
enam faktor: sifat pekerjaan, pertumbuhan dan kemajuan, kelengkapan materi
dan fisik, hubungan dengan karyawan lain, keadilan/ketidakadilan dalam
praktik organisasi, dan masalah pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa teori dua
faktor terbukti kebenarannya di negara ini.
Lebih jauh, sebuah studi yang dilakukan di Rumania mengindikasikan
bahwa faktor higenis (gaji, kondisi pekerjaan, dan pengawasan), meskipun
penting bukan merupakan pendorong yang menentukan untuk menerima posisi
manajer senior. Aspek terpenting pekerjaan bagi orang Rumania adalah
seberapa besar pengakuan dan penghargaan yang akan mereka terima. Hal
berikutnya adalah keinginan untuk mendapatkan insentif atau gaji, meskipun
kebutuhan peningkatan pengetahuan dan keterampilan bersama-sama dengan
keterlibatan dalam tim serta peningkatan kompetensi dan pengembangan diri
juga merupakan hal yang signifikan.

• Studi Kepuasan Kerja Lintas Budaya


Beberapa studi lintas budaya yang berhubungan dengan kepuasan kerja
juga dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Perbandingan ini menunjukkan
bahwa tipe motivator Herzberg cenderung lebih penting untuk kepuasan kerja
dibandingkan faktor higenis. Perbandingan dari beberapa studi Hezberg
ditunjukkan pada gambar dibawah, dimana gambar tersebut menunjukkan
bahwa higenis berhubungan sangat kuat dengan faktor-faktor yang berkaitan
dengan ketidakpuasan kerja (atau penghindaran terhadapnya), dan motivasi
berhubungan dengan faktor-faktor yang mendorong .

Sebuah studi lain meneliti tipe keluaran pekerjaan yang diinginkan oleh
manajer di budaya yang berbeda. Data diperoleh dari personel manajemen
bawah dan menengah yang sedang menghadiri kursus pengembangan
manajemen di Kanada, Inggris, Perancis dan Jepang. Peneliti berusaha untuk
mengidentifikasi tingkat kepentingan 15 keluaran yang berhubungan dengan
pekerjaan dan seberapa puas responden terhadap setiap keluaran tersebut.
Hasilnya mengindikasikan bahwa konten pekerjaan (faktor yang dimediasi

1
secara internal seperti tanggung jawab, prestasi, dan pekerjaan itu sendiri)
lebih penting daripada konteks pekerjaan (faktor yang dikontrol secara
organisasional seperti kondisi pekerjaan, jam kerja, pendapatan, keamanan,
manfaat, dan promosi).

Data juga menunjukkan bahwa manajer dari keempat negara, berbeda


secara signifikan dalam mempersepsikan pentingnya keluaran pekerjaan dan
tingkat kepuasan yang dirasakan dalam kaitannya dengan keluaran tersebut.
Perbedaan ini berguna untuk menunjukkan apa yang memotivasi manajer di
negara-negara tersebut dan dalam kasus MNC, pendekatan manajemen SDM
spesifik di negara berkembang.

D. Teori Motivasi Berprestasi

Selain teori motivasi kerja hierarki kebutuhan dan teori dua faktor, teori
motivasi berprestasi telah mendapatkan perhatian relative besar di area internasional.
Teori motivasi berprestasi telah lebih banyak diterapkan dalam praktik aktual
dibandingkan yang lainnya, dan juga telah menjadi fokus dari beberapa riset
internasional yang menarik.
• Latar Belakang Teori Motivasi Berprestasi
Teori motivasi berprestasi (achievement motivation theory)
menyatakan bahwa seseorang memiliki kebutuhan untuk maju, mendapatkan
kesuksesan, dan mencapai tujuan. Teori ini mempelajari kebutuhan akan

1
berprestasi. Oleh karena itu, di Amerika Serikat, di mana aktivitas
kewirausahaan didukung dan kesuksesan individu dipromosikan, terdapat
kemungkinan yang lebih tinggi adanya orang dengan kebutuhan akan prestasi
dalam presentase yang lebih besar dibandingkan dengan, misalnya, China,
Rusia, atau negara-negara Eropa Timur.

Peneliti seperti psikologis Harvard, David McClelland telah


mengidentifikasi profil karakteristik orang-orang yang berprestasi tinggi.
Pertama, orang-orang ini menyukai situasi dimana mereka bertanggungjawab
secara pribadi dalam menemukan solusi masalah. Mereka ingin menang
dengan usahanya sendiri, bukan karena nasib baik atau kebetulan. Kedua,
mereka cenderung merupakan pengambil risiko yang moderat, bukan
pengambil risiko atau penghindar risiko. Jika sebuah situasi pengambilan
keputusan dinilai terlalu berrisiko, mereka akan mempelajari lingkungannya
sebaik mungkin dan berusaha mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan.
Dengan demikian, mereka mengubah situasi berrisiko tinggi menjadi situasi
berrisiko moderat. Namun, jika risiko sebuah situasi terlalu rendah, biasanya
hanya akan memberikan hasil yang sedikit, sehingga mereka cenderung akan
menghindari situasi dengan insentif yang kecil.

Ketiga, orang-orang yang berprestasi tinggi menginginkan umpan balik


yang konkret atas kinerja mereka. Mereka ingin mengetahui seberapa baik
mereka dalam melakukan pekerjaan, dan akan menggunakan informasi
tersebut untuk memodifikasi cara kerjanya. Orang-orang berprestasi tinggi
cenderung untuk tertarik pada pekerjaan seperti tenaga penjual yang dapat
memberikan umpan balik kepada mereka secara cepat dan objektif mengenai
pekerjaan mereka. Terakhir, dan ini memiliki implikasi yang penting bagi
manajemen sumber daya manusia, orang-orang berprestasi tinggi cenderung
penyendiri, bukan pemain tim. Mereka tidak berusaha membentuk hubungan
yang dekat dan hangat, dan mereka hanya memiliki sedikit empati terhadap
masalah orang lain. Karakteristik terakhir ini dapat mengganggu efektivitas
mereka sebagai manajer yang berhubungan dengan orang banyak.

1
Peneliti telah menemukan beberapa cara untuk membangun kebutuhan
akan prestasi yang tinggi. Cara-cara ini termasuk mengajarkan kepada orang
tersebut untuk melakukan hal berikut: (1) mendapatkan umpan balik atas
kinerjanya dan menggunakan informasi tersebut untuk menyalurkan usahanya
ke area-area di mana kesuksesan lebih mudah dicapai; (2) meniru orang-orang
yang telah memiliki prestasi tinggi; (3) membangun keinginan akan
kesuksesan dan tantangan dalam dirinya; dan (4) berkhayal dalam arti yang
positif dengan menggambarkan dirinya meraih kesuksesan dalam mengejar
tujuan penting. Secara sederhana, keinginan berprestasi dapat diajarkan dan
dipelajari.

Sebelum membahas penelitian internasional mengenai teori motivasi


berprestasi, penting untuk menyadari bahwa teori tersebut memiliki beberapa
kelemahan. Pertama, bahwa teori tersebut hanya didasarkan pada kepribadian
proyektif dalam Thematic Apperception Test (TAT) yang digunakan untuk
mengukur prestasi individual, dan sejumlah penelitian akhir-akhir ini
mempertanyakan validitas dan reliabilitas pendekatan ini. Keprihatinan lain
adalah bahwa teori berprestasi ini didasarkan pada usaha individual, namun di
beberapa negara, harmoni kelompok dan kerjasama merupakan hal penting
dalam kesuksesan. Secara sederhana, teori asli tidak menjelaskan secara
memuaskan mengenai kebutuhan berprestasi pada budaya di mana pencapaian
individu tidak dinilai atau dihargai.

• Temuan Internasional Mengenai Teori Motivasi Berprestasi


Sejumlah peneliti internasional telah meneliti peran dan arti penting
kebutuhan berprestasi tinggi dalam manajemen sumber daya manusia.
Penelitian awal di industrialis Polandia menemukan bahwa beberapa
dari mereka merupakan orang-orang berprestasi tinggi. Rata-rata skor prestasi
tinggi adalah 6,58, cukup dekat dengan rata-rata skor manajer Amerika Serikat
sebesar 6.74. Hal ini membawa pada kesimpulan adanya bukti bahwa manajer
di negara-negara yang sangat berbeda seperti Amerika Serikat dn blok bekas
Soviet di Eropa Tengah memiliki kebutuhan akan berprestasi. Namun pada
studi terakhir, beberapa peneliti tidak menemukan kebutuhan akan berprestasi
tinggi di negara Eropa Tengah. Sebuah studi, contohnya, menyurvei manajer

1
industrial Czech dan menemukan bahwa rata-rata skor prestasi tingginya
sebesar 3.32 jauh lebih rendah dibandingkan manajer Amerika Serikat. Oleh
karena kebutuhan akan berprestasi dapat dipelajari, perbedaan pada sampel ini
diakibatkan oleh perbedaan budaya. Begitu pula dengan adanya perubahan
dramatis dan revolusioner yang terjadi di Eropa Tengah dan Timur dengan
berakhirnya komunisme dan perekonomian yang terencana secara terpusat,
dapat dikatakan bahwa kebutuhan berprestasi orang-orang Eropa pasca
komunisme yang saat ini dapat diekspresikan secara bebas, sekarang ini tinggi.
Poin pentingnya adalah bahwa karena berprestasi merupakan kebutuhan yang
dapat dipelajari dan banyak dipengaruhi oleh budaya yang berlaku, maka
sifatnya tidak universal dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Secara khusus, dua dimensi budaya yang diidentifikasi Hofstede yaitu


penghindaran ketidakpastian dan maskulinitas paling tepat dalam
menggambarkan masyarakat berprestasi tinggi. Masyarakat ini cenderung
memiliki penghindaran ketidakpastian yang rendah. Orang-orang dalam
masyarakat berprestasi tinggi tidak takut untuk mengambil paling tidak risiko
yang moderat atau hidup dalam ambiguitas. Masyarakat ini juga cenderung
memiliki tingkat maskulinitas moderat hingga tinggi. Sebagaimana hasil
pengukuran yang menyatakan tingginya arti penting perolehan uang dan asset
fisik lainnya bagi mereka serta rendahnya nilai yang mereka berikan pada
kepedulian terhadap orang lain dan kualitas kehidupan kerja.

Kombinasi ini (lihat kuadran kanan atas pada gambar) secara eksklusif
ditemukan di negara-negara Anglo atau bangsa-bangsa yang berhubungan
secara dekat dengan mereka melalui kolonialisasi atau pakta, seperti India,
Singapura, dan Hong Kong (negara yang diasosiasikan dengan Britania Raya)
dan Filipina (dihubungkan dengan Amerika Serikat).

2
Negara-negara yang berada pada tiga kuadran lainnya pada gambar
tidak terlalu mendukung kebutuhan berprestasi yang tinggi. Maka bagi MNC
di geografis regional ini akan lebih bijaksana bila strategi manajemen sumber
daya manusianya diformulasikan untuk mengubah situasi tersebut, mereka
harus merancang program pelatihan motivasi berprestasi pada mereka untuk
menciptakan manajer dan wirausahawan yang berprestasi tinggi.

Beberapa tahun yang lalu, McClelland mampu menunjukkan


keberhasilan program pelatihan motivasi berprestasi di negara berkembang.
Sebagai contoh, di India, ia sangat berhasil melaksanakan program tersebut.
Dalam tindak lanjut terhadap peserta pelatihan di India ini selama 6 hingga 10
bulan berturut-turut, ia menemukan bahwa dua pertiga dari mereka lebih aktif
dalam aktivitas berorientasi prestasi. Mereka memulai bisnis baru, meneliti
lini produk baru, meningkatkan laba, atau memperluas organisasi mereka saat
ini.

Jika manajer sumber daya internasional tidak dapat mengubah situasi


atau memberikan pelatihan kepada partisipan, maka mereka harus
menyesuaikan dengan kondisi spesifik negara tersebut dan memformulasikan
strategi motivasi yang didasarkan pada motivasi tersebut. Dalam banyak
kasus, hal ini memerlukan pertimbangan dalam pendekatan hierarki kebutuhan
yang dikombinasikan dengan pendekatan prestasi. Hofstede menawarkan
nasihat dalam berhubungan dengan negara yang berada pada kuadran yang
berbeda pada gambar:

Negara-negara pada sisi feminisme… berbeda karena lebih berfokus


pada kualitas kehidupan dibandingkan dengan kinerja dan juga pada hubungan
antar manusia dibandingkan dengan uang serta barang-barang. Ini berarti
motivasi sosial, kualitas kehidupan ditambah keamanan dan kualitas
kehidupan ditambah risiko.

2
Pada kasus negara yang berusaha memperkenalkan perubahan dengan
menggabungkan nilai dari salah satu kuadran lainnya pada gambar,
tantangannya menjadi lebih besar.

Kesimpulannya, teori motivasi berprestasi memberikan tambahan


wawasan pada motivas personel di seluruh dunia. Teori motivasi berprestasi
harus dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan spesifik pada budaya lokal.
Budaya di beberapa negara tidak mendukung pencapaian prestasi tinggi.
Namun, budaya di negara-negara Anglo dan yang menghargai usaha
kewirausahaan mendukung motivasi berprestasi dan pengelolaan sumber daya
manusia mereka harus disesuaikan.

E. Memilih Teori Proses

Teori ini berguna dalam menjelaskan motivasi untuk mengelola personel


internasional. Teori proses juga dapat mengarah pada pemahaman yang lebih baik.
Seperti disebutkan sebelumnya, teori proses menjelaskan bagaimana perilaku
karyawan dimulai, diarahkan, dan dihentikan; dan beberapa teori ini telah digunakan
untuk menguji motivasi dalam lingkup internasional. Di antara yang paling banyak
dikenal adalah teori ekuitas, teori penetapan tujuan, dan teori harapan. Berikut ini
secara singkat memeriksa masing-masing dari ketiganya dan relevansinya dengan
manajemen sumber daya manusia internasional.
• Teori Keadilan
Teori keadilan berfokus pada bagaimana motivasi dipengaruhi oleh
persepsi orang tentang seberapa adil mereka diperlakukan. Teori ini
menyatakan bahwa jika seseorang merasa bahwa mereka diperlakukan secara
adil, persepsi ini akan berdampak positif pada kinerja dan kepuasan kerja
mereka, Sebaliknya, jika mereka percaya bahwa mereka tidak diperlakukan
dengan adil, terutama dalam kaitannya dengan perlakuan terhadap orang lain
yang relevan, mereka akan merasa tidak puas, dan keyakinan ini akan
berdampak negatif pada kinerja pekerjaan mereka.

2
Ada banyak penelitian yang mendukung prinsip keadilan fundamental
di kelompok kerja Barat. Namun, ketika teori ini diperiksa secara
internasional,

2
hasilnya bermacam-macam. Yuchtman, misalnya, mempelajari persepsi di
antara para manajer dan non-manajer di unit produksi di negara Israel. Dalam
pengaturan ini, setiap orang diperlakukan sama, tetapi manajer melaporkan
tingkat kepuasan yang lebih rendah daripada pekerja. Para manajer
menganggap bahwa kontribusi mereka lebih besar daripada kelompok lain,
yaitu para pekerja/karyawan. Sebagai hasil dari persepsi ini, mereka merasa
bahwa mereka diremehkan untuk nilai dan usaha yang telah mereka berikan.

Sebuah studi yang berasumsi bahwa pemikiran Barat sinonim dengan


individualisme dan pemikiran Timur dengan kolektivisme, menunjukkan
adanya persamaan dan kesamaan pada perbedaan antara bagaimana budaya
melihat model dalam teori keadilan. Model terdiri dari input yang diberikan
karyawan, hasil yang didapatkan, area yang dipilih karyawan untuk
dibandingkan dengan diri sendiri, dan motivasi untuk mengubah
ketidaksetaraan yang dirasakan yang mungkin ada antara pekerja (seperti rekan
kerja atau karyawan di industri pada posisi serupa). Ringkasan perbandingan
disajikan pada Tabel 12–6.

Di sisi lain, sejumlah studi meragukan relevansi teori keadilan dalam


menjelaskan motivasi pada area internasional. Mungkin kekurangan terbesar
adalah bahwa teori ini tampaknya terikat dengan budaya. Misalnya, teori
keadilan mendalilkan itu ketika orang tidak diperlakukan dengan adil, mereka
akan mengambil langkah-langkah untuk mengurangi ketidaksetaraan dengan
misalnya, melakukan lebih sedikit pekerjaan, mengajukan keluhan, atau pindah

2
ke departemen lain. Akan tetapi, di Asia dan Timur Tengah, karyawan sering
dengan mudah menerima perlakuan yang tidak adil untuk menjaga
keharmonisan kelompok. Selain itu, di negara-negara seperti Jepang dan
Korea, pria dan wanita biasanya menerima gaji yang berbeda untuk melakukan
pekerjaan yang sama karena pengkondisian budaya selama bertahun-tahun,
dan wanita jepang dan korea mungkin tidak merasa telah diperlakukan tidak
adil. Beberapa peneliti telah menjelaskan temuan ini dengan menyarankan
bahwa perempuan membandingkan dirinya hanya dengan perempuan lain
dalam perbandingan merasa diperlakukan secara adil. Meskipun ini mungkin
benar, hasilnya tetap menunjukkan fakta bahwa Teori ini tidak dapat
diterapkan secara universal dalam menjelaskan motivasi dan kepuasan kerja.
Pendeknya, meskipun teori tersebut dapat membantu menjelaskan mengapa
"upah yang sama untuk pekerjaan yang sama" adalah prinsip motivasi
penuntun di negara- negara seperti Amerika Serikat dan Kanada, teori tersebut
mungkin terbatas. nilai di wilayah lain di dunia, termasuk Asia dan Amerika
Latin, di mana kompensasi perbedaan berdasarkan gender, setidaknya secara
tradisional, telah diterima secara budaya.

• Teori Penetapan Tujuan


Teori penetapan tujuan berfokus pada bagaimana individu mengatur
tujuan dan merespons terhadap dampak keseluruhan dari proses ini pada
motivasi. Area spesifik yang diberikan perhatian dalam teori penetapan tujuan
meliputi tingkat partisipasi dalam penetapan tujuan, kesulitan tujuan,
kekhususan tujuan, dan pentingnya umpan balik pada proses menuju tujuan.
Tidak seperti banyak teori motivasi, teori penetapan tujuan terus
disempurnakan dan dikembangkan. Ada banyak bukti penelitian yang
menunjukkan hal itu, misalnya seorang karyawan berkinerja sangat baik ketika
mereka diberi tujuan spesifik dan menantang yang telah ditetapkan.

Hasil penelitian di Norwegia telah dilaporkan oleh Earley, yang


menemukan bahwa pekerja di Inggris menanggapi program penetapan tujuan
yang disponsori dengan lebih baik oleh pengurus serikat daripada yang
disponsori oleh manajemen. Ini membuat Earley menyimpulkan bahwa
transferabilitas lintas pengaturan budaya dari konsep manajemen seperti

2
partisipasi dalam penetapan tujuan mungkin juga dipengaruhi oleh norma kerja
yang berlaku. Untuk menguji lebih lanjut proposisi ini, Erez dan Earley
mempelajari mata pelajaran Amerika dan Israel dan menemukan bahwa
strategi partisipatif menyebabkan tingkat penerimaan dan kinerja tujuan yang
lebih tinggi di kedua budaya daripada strategi di mana tujuan ditetapkan oleh
tingkat yang lebih tinggi manajemen. Dengan kata lain, nilai teori penetapan
tujuan dapat ditentukan dengan baik oleh budaya. Dalam kasus, misalnya,
kelompok kerja Asia dan Latin, di mana kolektivisme sangat tinggi, teori
mungkin memiliki nilai terbatas untuk manajer MNC di negara-negara
tertentu.

• Teori Harapan
Teori harapan mendalilkan bahwa motivasi sebagian besar dipengaruhi
oleh perkalian kombinasi dari keyakinan seseorang bahwa (a) usaha akan
menghasilkan kinerja, (b) kinerja akan mengarah pada hasil tertentu, dan (c)
hasil akan bernilai bagi individu. Selain itu, teori ini memprediksi bahwa
kinerja yang tinggi diikuti dengan penghargaan yang tinggi akan menghasilkan
kepuasan yang tinggi. Sebaliknya, penting untuk diingat bahwa teori harapan
didasarkan pada karyawan yang memiliki kontrol yang cukup besar atas
lingkungan mereka. Secara khusus, dalam masyarakat di mana orang percaya
bahwa banyak dari apa yang terjadi adalah di luar kendali mereka, teori ini
mungkin memiliki nilai yang kurang. Teori harapan paling mampu
menjelaskan motivasi pekerja dalam budaya dimana terdapat lokus kendali
internal yang kuat. Singkatnya, teori ini tampaknya terikat budaya, dan
manajer internasional harus menyadari keterbatasan ini dalam upaya mereka
untuk menerapkannya teori untuk memotivasi sumber daya manusia.

F. Motivasi Terapan: Desain Pekerjaan, Sentralitas Kerja, dan Hadiah

Teori konten dan proses memberikan wawasan penting dan pemahaman


tentang cara untuk memotivasi sumber daya manusia
dalam manajemen internasional. Demikian juga konsep-konsep terapan seperti
desain pekerjaan, sentralitas kerja, dan penghargaan.

2
• Desain Pekerjaan
Desain pekerjaan terdiri dari konten pekerjaan, metode yang digunakan
pada pekerjaan, dan cara pekerjaan berhubungan dengan pekerjaan lain dalam
organisasi.

• Kualitas Kehidupan Kerja: Dampak Budaya


Kualitas kehidupan kerja (QWL) bukanlah sama di seluruh dunia.
Misalnya, karyawan
perakitan di Jepang bekerja dengan kecepatan tinggi selama berjam-jam
dan hanya memiliki sedikit kendali atas aktivitas kerja mereka. Di Swedia,
karyawan lini perakitan bekerja dengan kecepatan yang lebih santai dan
memiliki banyak kendali atas aktivitas kerja mereka. Karyawan lini perakitan
AS berada di antara keduanya; mereka biasanya bekerja dengan kecepatan
yang tidak terlalu menuntut dibandingkan di Jepang tetapi lebih terstruktur
daripada di Swedia.

Di Jepang, ada penghindaran ketidakpastian yang kuat. Orang Jepang


suka menyusun tugas sehingga tidak ada keraguan tentang apa yang harus
dilakukan dan bagaimana melakukannya. Individualisme rendah, jadi ada
penekanan kuat pada keamanan, dan pengambilan risiko individu tidak
dianjurkan. Indeks jarak kekuasaan tinggi, sehingga pekerja Jepang terbiasa
menerima perintah dari mereka yang berada di atas mereka. Indeks
maskulinitas untuk orang Jepang tinggi, yang menunjukkan bahwa mereka
sangat mementingkan uang dan simbol kesuksesan materi lainnya.

2
Di Swedia, penghindaran ketidakpastian rendah, sehingga deskripsi pekerjaan,
manual kebijakan, dan materi terkait pekerjaan serupa lebih terbuka atau
umum dibandingkan dengan materi prosedural terperinci yang dikembangkan
oleh Jepang. Selain itu, pekerja Swedia
didorong untuk membuat keputusan dan mengambil
risiko. Orang Swedia menunjukkan tingkat individualisme sedang hingga
tinggi, yang tercermin dalam penekanan mereka pada pengambilan keputusan
individu (berbeda dengan pengambilan keputusan kolektif atau kelompok di
Jepang). Mereka memiliki indeks jarak kekuasaan yang lemah, yang berarti
bahwa manajer Swedia menggunakan pendekatan partisipatif dalam
memimpin orang-orang mereka. Orang Swedia mendapat skor rendah pada
maskulinitas, yang berarti bahwa hubungan interpersonal dan kemampuan
untuk berinteraksi dengan pekerja lain dan mendiskusikan hal- hal yang
berhubungan dengan pekerjaan adalah penting.

Dimensi budaya di Amerika Serikat lebih dekat dengan Swedia


daripada Jepang. Selain itu, kecuali individualisme, profil AS berada di antara
Swedia dan Jepang (sekali lagi lihat Tabel 12-7). Ini berarti bahwa desain
pekerjaan di pabrik perakitan AS cenderung lebih fleksibel atau tidak
terstruktur daripada di Jepang tetapi lebih kaku daripada di Swedia.

• Desain Pekerjaan Sosiotek


Desain sosioteknik adalah desain pekerjaan yang memadukan personel
dan teknologi. Tujuan dari desain ini adalah untuk mengintegrasikan teknologi
baru ke tempat kerja sehingga pekerjaan menerima dan menggunakannya
untuk meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Contohnya yang
mungkin paling terkenal adalah Volvo, pembuat mobil Swedia.

Perubahan sosioteknik yang mencerminkan nilai budaya pekerja


diperkenalkan di pabrik Kalmar Volvo. Kelompok kerja otonom dibentuk dan
diberi wewenang untuk memilih supervisor mereka sendiri serta untuk
menjadwalkan, menugaskan, dan memeriksa pekerjaan mereka sendiri. Setiap
kelompok diizinkan untuk bekerja dengan kecepatannya sendiri, meskipun ada
tujuan keluaran keseluruhan untuk minggu itu, dan setiap kelompok

2
diharapkan untuk mencapai tujuan ini. Hasilnya sangat positif dan
mengakibatkan Volvo membangun pabrik lain yang menggunakan konsep
desain pekerjaan sosioteknik yang lebih canggih. Tata letak pabrik Volvo,
bagaimanapun, tidak mencegah perusahaan dari beberapa masalah. Baik
pembuat mobil Jepang dan Amerika Utara mampu memproduksi mobil dalam
waktu yang jauh lebih singkat, menempatkan Volvo pada kerugian biaya.
Akibatnya, ekonomi yang stagnan di Asia, ditambah dengan melemahnya
permintaan untuk lini produk Volvo di Eropa dan Amerika Serikat,
mengakibatkan perusahaan memberhentikan pekerja dan mengambil langkah-
langkah untuk meningkatkan efisiensinya.

• Sentralitas Kerja
Sentralitas kerja, yang dapat didefinisikan sebagai pentingnya
pekerjaan dalam kehidupan individu relatif terhadap bidang minatnya yang
lain (keluarga, gereja, waktu luang), memberikan wawasan penting tentang
bagaimana memotivasi sumber daya manusia dalam budaya yang berbeda.
Setelah melakukan tinjauan literatur, Bhagat dan rekan menemukan bahwa
Jepang memiliki tingkat sentralitas kerja tertinggi, diikuti oleh tingkat yang
cukup tinggi untuk Israel, tingkat rata-rata untuk Amerika Serikat dan Belgia,
tingkat sedang untuk Belanda dan Jerman, dan tingkat rendah untuk Belanda
dan Jerman. tingkat untuk Inggris.

• Nilai Kerja
Meskipun pekerjaan merupakan bagian penting dari gaya hidup
kebanyakan orang, penekanan ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi.
Misalnya, salah satu alasan mengapa orang Amerika dan Jepang bekerja
berjam-jam adalah karena biaya hidup yang tinggi, dan karyawan per jam
tidak dapat melewatkan kesempatan untuk mendapatkan uang tambahan. Di
antara karyawan bergaji yang tidak dibayar ekstra, sebagian besar manajer
Jepang mengharapkan bawahan mereka untuk lembur di tempat kerja, dan
lembur telah menjadi persyaratan pekerjaan. Selain itu, ada bukti baru-baru ini
bahwa pekerja Jepang mungkin melakukan jauh lebih sedikit pekerjaan di hari
kerja daripada yang diduga orang luar.

2
Misalnya, Tabel 12–8 membandingkan gaji AS dan Jerman
berdasarkan “Langkah 1” atau skala gaji tingkat pemula. Secara khusus,
banyak pekerja AS percaya bahwa jika mereka bekerja lebih keras, peluang
mereka untuk mendapatkan kenaikan gaji dan promosi akan meningkat, dan
ada data historis yang mendukung keyakinan ini. Analisis sejarah pekerja di
Amerika Serikat dan Jerman mengarahkan peneliti NBER untuk
memperkirakan bahwa pekerja Amerika yang meningkatkan waktu kerja
mereka sebesar 10 persen, misalnya, dari 2.000 menjadi 2.200 jam per tahun,
akan meningkatkan pendapatan masa depan mereka sekitar 1 persen untuk
setiap tahun. di mana mereka dimasukkan ke dalam jam ekstra. dan ada data
historis yang mendukung keyakinan ini.

• Kepuasan Kerja
Selain implikasi nilai pekerjaan untuk memotivasi sumber daya
manusia lintas budaya, kontras lain yang menarik adalah kepuasan kerja.
Misalnya, satu penelitian menemukan bahwa pekerja kantoran Jepang
mungkin jauh lebih tidak puas dengan pekerjaan mereka dibandingkan rekan-
rekan mereka di AS, Kanada, dan UE. Orang Amerika, yang melaporkan
tingkat kepuasan tertinggi dalam penelitian ini, senang dengan tantangan
pekerjaan, peluang untuk kerja tim, dan kemampuan untuk memberikan
kontribusi yang signifikan di tempat kerja. Pekerja Jepang paling tidak senang
dengan ketiga faktor ini.

2
Di sisi lain, penelitian juga mengungkapkan bahwa beberapa kondisi
yang membantu menciptakan komitmen organisasi di antara pekerja AS juga
memiliki nilai dalam budaya lain. Juga terkait dengan motivasi adalah sikap

3
kerja terhadap kualitas kehidupan kerja. Penelitian terbaru melaporkan bahwa
pekerja Uni Eropa melihat hubungan yang kuat antara seberapa baik mereka
melakukan pekerjaan mereka dan kemampuan untuk mendapatkan apa yang
mereka inginkan dari kehidupan. Tornvall, setelah melakukan pemeriksaan
terperinci terhadap praktik kerja lima perusahaan—Fuji-Kiku, sebuah
perusahaan suku cadang di Jepang; Toyota Motor Ltd. dari Jepang; Volvo
Automobile AB dari Swedia; SAAB Mobil AB, Swedia; dan pabrik General
Motors di Saginaw, Michigan—menyimpulkan bahwa ada manfaat dari
pendekatan yang digunakan oleh masing-masing. Hal ini mendorongnya untuk
merekomendasikan apa yang disebutnya “keseimbangan dalam sinergi” antara
para mitra. Beberapa sarannya antara lain sebagai berikut:

• Sistem Penghargaan
Selain teori isi dan proses, area motivasi penting lainnya adalah
penghargaan. Manajer di mana pun menggunakan penghargaan untuk
memotivasi personel mereka. Terkadang ini bersifat finansial seperti kenaikan
gaji, bonus, dan opsi saham. Di lain waktu mereka nonfinansial seperti umpan
balik dan pengakuan.Tantangan utama bagi manajer internasional adalah
bahwa seringkali terdapat perbedaan yang signifikan antara sistem
penghargaan yang bekerja paling baik di satu negara dan yang paling efektif di
negara lain. Beberapa perbedaan ini adalah hasil dari lingkungan yang
kompetitif atau undang-undang pemerintah yang mengatur hal-hal seperti upah
minimum, pensiun, dan tunjangan. Dalam kasus lain, perbedaan sangat
diperhitungkan oleh budaya. Misalnya, sementara banyak perusahaan Amerika
suka menggunakan sistem penghargaan berdasarkan prestasi, perusahaan di
Jepang, Korea, dan Taiwan, di mana individualisme tidak terlalu tinggi, sering
merasa

3
bahwa bentuk sistem penghargaan ini terlalu mengganggu budaya perusahaan
dan nilai-nilai tradisional.

G. Insentif dan Budaya

Penggunaan insentif finansial untuk memotivasi karyawan sangat umum,


terutama di negara- negara dengan individualisme yang tinggi. Sistem ini cukup
umum ketika perusahaan berusaha untuk menghubungkan kompensasi dengan kinerja.
Secara khusus, sistem ini berkisar dari sistem pembayaran berbasis insentif individu
dimana pekerja dibayar langsung untuk output mereka, hingga sistem dimana
karyawan mendapatkan bonus individu berdasarkan seberapa baik
organisasi pada umumnya mencapai tujuan tertentu seperti pertumbuhan penjualan,
pendapatan total, atau total keuntungan. Sistem insentif ini dirancang untuk
menekankan kesetaraan, tetapi sistem tersebut belum dapat diterima secara universal.

Pada beberapa budaya, kompensasi didasarkan pada keanggotaan atau usaha


kelompok. Sistem dirancang untuk menekankan kesetaraan dan karyawan akan
menentang penggunaan rencana insentif individu. Salah satu contohnya adalah
perusahaan multinasional Amerika yang memutuskan untuk melembagakan sistem
bonus berbasis individu untuk perwakilan penjualan di anak perusahaannya di
Denmark. Tenaga penjualan menolak proposal tersebut karena lebih menguntungkan
satu kelompok dan karyawan merasa bahwa setiap orang harus menerima besaran
bonus yang sama.

Meskipun imbalan finansial seperti gaji, bonus, dan opsi saham merupakan
motivator penting pekerja di beberapa negara juga sangat termotivasi oleh hal-hal lain.
Misalnya, Sirota dan Greenwood mempelajari karyawan dari pabrik peralatan listrik
multinasional besar yang beroperasi di 40 negara. Mereka menemukan bahwa di
semua tempat ini penghargaan yang paling penting melibatkan pengakuan dan
pencapaian. Hal penting lainnya adalah perbaikan dalam lingkungan kerja dan kondisi
kerja termasuk gaji dan jam kerja. Di samping itu, terdapat beberapa perbedaan yang
muncul dalam jenis penghargaan yang disukai. Misalnya, karyawan di Prancis dan
Italia sangat menghargai keamanan kerja, sedangkan bagi pekerja Amerika dan
Inggris hal itu tidak terlalu penting.

3
Pada intinya, jenis insentif yang dianggap penting dipengaruhi oleh budaya.
Selain itu, budaya juga dapat mempengaruhi keseluruhan biaya sistem insentif. Di
Jepang, upaya untuk memperkenalkan sistem pembayaran jasa gaya Barat
menyebabkan peningkatan biaya tenaga kerja secara keseluruhan karena perusahaan
menemukan bahwa mereka tidak dapat mengurangi gaji pekerja yang kurang
produktif karena takut menyebabkan mereka malu dan mengganggu
keharmonisan kelompok. Akibatnya, gaji semua orang akhirnya meningkat.
Budaya juga berdampak pada keuntungan karena orang cenderung berkinerja lebih
baik dibawah sistem manajemen yang mendukung nilai-nilai mereka. Misalnya, Nam
yang mempelajari dua bank Korea yang beroperasi di bawah sistem manajemen yang
berbeda. Satu dimiliki dan dioperasikan sebagai usaha patungan dengan bank
Amerika, dan yang lainnya dimiliki dan dioperasikan sebagai usaha patungan dengan
bank Jepang. Bank Amerika menerapkan praktik manajemen dan kebijakan personalia
yang umum di organisasinya sendiri. Bank Jepang menerapkan campuran kebijakan
manajemen sumber daya manusia Jepang dan Korea. Nam menemukan bahwa
karyawan dalam usaha patungan dengan bank Jepang secara
signifikan lebih berkomitmen terhadap organisasi daripada rekan-rekan mereka di
usaha patungan Amerika dan bank yang berafiliasi dengan Jepang memiliki kinerja
keuangan yang jauh lebih tinggi.

Sistem penghargaan terkadang dapat ditransfer dan digunakan dengan sukses.


Misalnya, Welsh, Luthans, dan Sommer meneliti efektivitas sistem insentif Barat yang
umum di pabrik tekstil Rusia. Mereka menemukan bahwa penghargaan ekstrinsik
yang diberikan secara kontingen serta pengakuan dan perhatian positif dari penyelia
menyebabkan peningkatan kinerja secara signifikan, sementara teknik partisipatif
berdampak kecil pada perilaku dan kinerja. Demikian pula, paket keuangan tahunan
yang besar dan parasut emas yang menguntungkan hanya digunakan di perusahaan-
perusahaan Amerika, tetapi hal tersebut tidak benar. Manajer senior di perusahaan
multinasional sekarang mendapatkan gaji besar, dan paket keuangan besar untuk
eksekutif yang diberhentikan atau yang perusahaannya diakuisisi oleh perusahaan lain.
Praktik tersebut cukup populer di Eropa. Dengan kata lain, jenis penghargaan yang
digunakan bergantung pada budayanya.

3
Secara keseluruhan, budaya sangat mempengaruhi efektivitas berbagai
penghargaan. Penghargaan yang berhasil di satu negara mungkin tidak berhasil di
negara lain. Misalnya, pekerja Swedia dengan kinerja yang unggul sering kali lebih
menyukai hadiah berupa cuti daripada uang tambahan, sementara pekerja Jepang yang
berkinerja tinggi cenderung memilih insentif keuangan, selama mereka berbasis
kelompok dan tidak diberikan pada individual. Perlu diperhatikan pula alasan
mengapa pekerja memilih satu bentuk motivasi daripada yang lain. Misalnya, lebih
memilih hari libur daripada uang, mungkin tidak langsung terlihat atau dapat dilihat
secara intuitif. Sebagai contoh, pekerja Jepang cenderung mengambil setengah jatah
libur tahunan mereka, sementara pekerja Prancis dan Jerman mengambil semua jatah
libur yang menjadi hak mereka. Banyak orang percaya bahwa orang Jepang ingin
mendapatkan lebih banyak uang, tetapi alasan utama mengapa mereka tidak
mengambil semua hak liburan mereka adalah karena mereka percaya bahwa
mengambil semua hari itu menunjukkan kurangnya komitmen terhadap kelompok
kerja mereka. Hal yang sama berlaku untuk lembur: Individu yang menolak bekerja
lembur dianggap egois.

H. Supporting Article dan Critical Review


Supporting Article
“73% Karyawan Tidak Puas dengan Pekerjaan Mereka”

JobStreet.com melakukan survei kepada 17,623 koresponden pada awal bulan Oktober
tentang kepuasan karyawan terhadap pekerjaan mereka. Dari hasil survei tersebut
menunjukan bahwa 73% karyawan merasa tidak puas dengan pekerjaannya
dikarenakan beberapa faktor.

Hingga Mei 2014 Badan Pusat Statistik Nasional menunjukan tingginya angka
pengangguran di Indonesia yaitu sebesar 7,2 juta. Ketidaksesuaian pekerjaan yang ada
dengan latar belakang yang dimiliki pada akhirnya membuat 54% karyawan terpaksa
bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Tanpa disadari, hal ini
berdampak serius pada penurunan produktivitas kerja hingga kecilnya jenjang karier.
Faktanya 60% koresponden mangaku tidak memiliki jenjang karier dikantor mereka
sekarang.

3
Selain dari ketidaksesuaian latar belakang pendidikan, sebesar 85% koresponden juga
mengaku bahwa mereka tidak memiliki work-life balance (keseimbangan antara
pekerjaan dan kehidupan pribadi). Survei JobStreet.com pada bulan September lalu
bahkan menyebutkan bahwa 62% karyawan mengaku sulit tidur karena masih
memikirkan pekerjaannya. Padahal hasil penelitian yang dilakukan Morgan Redwood
di Inggris menyebutkan bahwa perusahaan yang mendorong karyawan untuk memiliki
kesimbangan baik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi akan memperoleh
pendapatan/tahun 20% lebih besar daripada perusahaan yang tidak mendorong work-
life balance.

Ditambah lagi dengan 53% karyawan yang mengaku memiliki atasan dengan gaya
kepemimpinan militer (bangga pada pangkat dan jabatan untuk menggerakan
bawahan), paternalis (tidak pernah memberikan kesempatan pada bawahan untuk
mengembangkan daya kreatifitasnya) dan laisez faire (membiarkan bawahannya
bekerja semaunya, jabatan hanya sebagai simbol dan tidak pernah mau tahu).
Buruknya karakter atasan juga dapat mempengaruhi tingginya turn over karyawan
disebuah perusahaan. Lebih jauh lagi hal itu juga akan berdampak pada citra
perusahaan.
Riset yang dilakukan oleh American Psychological Association menunjukan bahwa
karyawan yang puas dengan pekerjaan mereka akan bekerja lebih produktif. Hal
tersebut juga mempengaruhi kesehatan pikiran dan tubuh mereka. Masih mau bekerja
ditempat yang salah?

Critical Review
Artikel tersebut menjelaskan mengenai sebuah survei yang dilakukan oleh
Jobstreet.com pada 17,623 koresponden tentang kepuasan karyawan terhadap
pekerjaan mereka. Hasil menunjukkan bahwa 73% karyawan merasa tidak puas
dengan pekerjannya dikarenakan beberapa faktor, 54% karyawan merasa terpaksa
bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka, 60% koresponden
mengaku tidak memiliki jenjang karier dikantor mereka sekarang, 85% koresponden
mengaku bahwa mereka tidak memiliki work life balance, dan 53% karyawan
mengaku memiliki atasan dengan gaya kepemimpinan militer, paternalis, dan laisez
faire.

3
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulannya adalah perbedaan kebudayaan akan menghasilkan motivasi


yang berbeda, dan peran manajer internasional sebagai pengembang sumber daya
manusia adalah dengan meningkatkan motivasi para karyawan itu sendiri. Motivasi
lintas budaya adalah cara yang dilakukan untuk menggerakan hati seseorang untuk
dapat menyelesaikan suatu tujuan yang hendak di capai menggunakan cara -cara yang
berbeda dengan menyesuaikan pada budaya masing-masing.

Budaya sangat mempengaruhi efektivitas berbagai penghargaan. Penghargaan


yang berhasil di satu negara mungkin tidak berhasil di negara lain. Misalnya, pekerja
Swedia dengan kinerja yang unggul sering kali lebih menyukai hadiah berupa cuti
daripada uang tambahan, sementara pekerja Jepang yang berkinerja tinggi cenderung
memilih insentif keuangan, dari kasus ini menunjukkan sekali lagi bahwa perusahaan
multinasional perlu merancang paket motivasi yang memenuhi kebutuhan spesifik
dari budaya yang berbeda.

B. Saran

Demikian makalah yang telah kami buat dengan sedemikian rupa, semoga
makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi para pembaca. Kami
berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran untuk mengembangkan
makalah ini menjadi lebih baik lagi. Kami menyadari bahwasanya makalah ini masih
memiliki banyak kekurangan, baik dalam segi penulisan maupun pemilihan bahasa,
apabila makalah ini memiliki beberapa kesalahan, kami mohon untuk dimaafkan.

3
DAFTAR PUSTAKA

Fred Luthans dan Jonathan P. Doh (2018). International Management Culture, Strategy, and
Behavior. Tenth Edition. England. McGraw Hill Education.

https://www.jobstreet.co.id/career-resources/plan-your-career/73-karyawan-tidak-puas-
dengan-pekerjaan-mereka/

Anda mungkin juga menyukai