Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
makalah yang berjudul “Motivasi Lintas Budaya” dapat selesai tepat waktu.
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas Bapak Dwi Hari Laksana selaku
dosen mata kuliah Manajemen Internasional. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan
menambah wawasan kepada pembaca tentang Motivasi Lintas Budaya.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dwi Hari Laksana selaku
dosen mata kuliah Manajemen Internasional. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat
menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, penulis mohon maaf atas kesalahan dan ketidak
sempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya
kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.
Kelompok Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ……………………………………………………………………… 35
B. Saran …………………………………………………………………………….. 35
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi motivasi dan bagaimana motivasi sebagai proses psikologis?
2. Apa itu teori hierarki kebutuhan, dua faktor, dan motivasi berprestasi serta apa
nilainya bagi sumber daya manusia internasional?
3. Bagaimana pemahaman mengenai kepuasan karyawan dapat berguna bagi
manajemen sumber daya manusia di seluruh dunia?
4. Bagaimana nilai teori proses dalam memotivasi karyawan di seluruh dunia?
5. Apa pentingnya rancangan kerja, sentralitas pekerjaan, dan penghargaan dalam
memotivasi karyawan pada konteks internasional?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
a. Memotivasi Karyawan : Prinsip-Prinsip Umum
Selain itu, BOB NELSON mencatat bahwa karyawan saat ini mengharapkan
pekerjaan merupakan bagian yang terintegrasi dengan kehidupan mereka bukan
keseleruhan kehidupan mereka. Dengan demikian, manajer dapat meningkatkan
kinerja karyawan dengan menawarkan jam kerja yang fleksibel. Dengan teknologi
akan memudahkan karyawan untuk bekerja dari rumah. NELSON juga
menekankan bahwa mendiskusikan pilihan karier dalam organisasi dan
menyediakan peluang untuk belajar dan mengembangkan diri sering kali dapat
memotivasi karyawan.
3
b. Memotivasi Karyawan di CINA
4
4) Komunikasi yang jelas. Manajer dapat meningkatkan komitmen
dengan memastikan bahwa karyawan memahami tujuan perusahaan
mereka, pekerjaan mereka sendiri, dan hubungan antara pekerjaan
mereka dengan konsumen.
Sebaliknya, studi kasus oleh fisher dan yuan terhadap karyawan cina dari
sebuah hotel besar di shanghal menemukan bahwa upah besar dan kondisi
kerja yang baik merupakan factor pemberi motivasi terpenting. Mereka
menemukan bahwa kebutuhan intrinsic karyawan akan pekerjaan yang
menarik, pertumbuhan pribadi, dan keterlibatan cenderung lebih rendah,
terutama pada karyawan yang berusia lebih tua dibandingkan dengan
karyawan pada budaya barat. Menurut fisher dan yuan, manajer MNC di cina
seharusnya memperhatikan bahwa karyawan cina menghargai kenaikan upah,
peningkatan subsidi perumahan, dan saham kepemilikan karyawan.
5
3) Ketiga, manajer dapat memotivasi karyawan dengan menawarkan
penguatan positif. Kata-kata yang baik selalu dapat menegaskan nilai
masyarakat dalam budaya manapun.
Gambar 12-1 menunjukkan proses motivasi. Tiga elemen dasar dalam proses
ini adalah kebutuhan, dorongan, dan pencapaian tujuan. Penentu motivasi bisa
bersifat intrinsik, di mana individu mengalami pemenuhan melalui melakukan
aktivitas itu sendiri dan membantu orang lain, atau ekstrinsik, dalam arti bahwa
lingkungan eksternal dan hasil aktivitas dalam bentuk persaingan dan kompensasi.
atau rencana insentif lebih penting.
6
2. Asumsi Universal
7
peningkatan kinerja dan memberikan penguatan sosial dan umpan balik untuk
perilaku fungsional dan umpan balik korektif untuk perilaku disfungsional secara
signifikan meningkatkan kinerja pekerja pabrik Rusia. Dengan cara yang sama,
penelitian ini juga menunjukkan bahaya membuat asumsi universalis tentang teori
dan teknik yang berbasis di AS. Secara khusus, kegagalan intervensi partisipatif
tidak menunjukkan begitu banyak bahwa pendekatan ini tidak akan berhasil lintas
budaya karena nilai dan norma sejarah dan budaya perlu diakui dan diatasi agar
teori dan teknik yang relatif canggih tersebut dapat bekerja. secara efektif.
Asumsi awal kedua adalah bahwa teori motivasi kerja dapat dipecah menjadi
dua kategori umum: isi dan proses. Teori konten menjelaskan motivasi kerja
dalam hal apa yang membangkitkan, memberi energi, atau memulai perilaku
karyawan. Teori proses motivasi kerja menjelaskan bagaimana perilaku karyawan
dimulai, diarahkan, dan dihentikan. Sebagian besar penelitian dalam manajemen
sumber daya manusia internasional telah berorientasi pada konten karena teori-
teori ini menguji motivasi dalam pengertian yang lebih umum dan lebih
bermanfaat dalam menciptakan gambaran komposit motivasi karyawan di negara
atau wilayah tertentu. Teori proses lebih canggih dan cenderung berfokus pada
perilaku individu dalam pengaturan tertentu. Dengan demikian, mereka kurang
memiliki nilai untuk mempelajari motivasi karyawan dalam pengaturan
internasional, meskipun telah ada beberapa penelitian di bidang ini juga. Sejauh
ini sebagian besar studi penelitian di arena internasional telah digerakkan oleh
8
konten, tetapi bab ini mengkaji temuan penelitian yang mengeksplorasi teori
konten dan proses.
9
c. Kebutuhan sosial adalah keinginan untuk berinteraksi dan berafiliasi
dengan orang lain dan kebutuhan untuk merasa diinginkan oleh orang lain.
Keinginan untuk "memiliki" ini sering kali terpuaskan dalam pekerjaan
melalui interaksi sosial dalam kelompok kerja di mana orang-orang
memberi dan menerima persahabatan. Kebutuhan sosial dapat dipenuhi
tidak hanya dalam kelompok kerja yang ditugaskan secara formal tetapi
juga dalam kelompok informal.
1
2) Temuan Internasional tentang Teori Maslow
1
Setiap negara atau wilayah geografis tampaknya memiliki pro file
kepuasan kebutuhannya sendiri. Saat menggunakan informasi ini untuk
memotivasi manajer, MNC sebaiknya mempertimbangkan profil masing-
masing negara atau wilayah dan menyesuaikan pendekatan mereka.
Jika ini benar, MNC yang mencoba melakukan bisnis di Cina harus
mempertimbangkan hierarki yang direvisi ini dan menentukan bagaimana
mereka dapat memodifikasi program kompensasi dan desain pekerjaan mereka
untuk mengakomodasi kebutuhan motivasi yang diperlukan. Bagaimanapun,
ide Nevis layak dipertimbangkan karena memaksa perusahaan multinasional
untuk mengatasi motivasi kerja berdasarkan faktor-faktor budaya yang unik
untuk lingkungannya yang bertentangan dengan pendekatan universal.
1
berbeda di negara mana pun yang mungkin sulit atau tidak mungkin untuk
menentukan variabel budaya mana yang bekerja dalam pengaturan kerja
tertentu. The Haire dan studi tindak lanjut hanya berurusan dengan manajer.
Hofstede menemukan bahwa kategori pekerjaan adalah cara yang lebih efektif
untuk memeriksa motivasi. Dia melaporkan hubungan antara jenis pekerjaan
dan tingkat dan hierarki kebutuhan. Berdasarkan hasil survei dari lebih dari
60.000 orang di lebih dari 50 negara yang diminta untuk membuat peringkat
serangkaian 19 tujuan kerja (lihat Tabel 12-1 dan 12-2), ia menemukan bahwa
1. Empat gol teratas yang diperingkat oleh para profesional sesuai dengan
kebutuhan Maslow yang "tinggi".
2. Empat gol teratas yang diberi peringkat oleh panitera sesuai dengan
kebutuhan Maslow "menengah".
3. Empat tujuan teratas yang diperingkat oleh pekerja tidak terampil
berhubungan dengan kebutuhan Maslow yang “rendah”.
4. Manajer dan teknisi menunjukkan gambaran yang beragam—memiliki
setidaknya satu tujuan dalam kategori Maslow “tinggi”.
1
perbedaan yang lebih besar antara kategori pekerjaan daripada antar negara
dalam hal motivasi karyawan.
Teori dua faktor merupakan teori yang mengidentifikasi dua set faktor yang
memengaruhi kepuasan kerja: fakor higenis dan motivator. Data penyusun teori ini
diperoleh melalui metodologi insiden kritis yang meminta responden untuk menjawad
dua pertanyaan dasar: (1) Kapan anda merasa sangat baik ptentang pekerjaan anda?
(2) Kapan anda merasa sangat buruk dengan pekerjaan anda? Respons terhadap
pertanyaan pertama biasanya berhubungan dengan konten pekerjaan dan meliputi
faktor-faktor seperti prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan dan
pekerjaan itu sendiri. Hezberg menyebut faktor koneten pekerjaan ini sebagai
motivator. Respons terhadap pertanyaan kedua berhubungan dengan konteks
pekerjaan dan meliputi faktor-faktor seperti gaji, hubungan antarpribadi, pengawasan
teknis, kondisi pekerjaan, serta kebijakan dan administrasi perusahaan. Hezberg
menyebut variabel konteks pekerjaan ini sebagai faktor higenis.
1
Teori dua faktor menyatakan bahawa motivator dan faktor higenis
berhubungan dengan kepuasan karyawan. Hubungan ini lebih kompleks dibandingkan
pandangan tradisional bahwa karyawan itu dapat merasa puas dan tidak puas.
Berdasarkan teori dua faktor, jika faktor higenis tidak ditangani atau tidak mencukupi,
akan timbul ketidakpuasan. Namun yang pernting adalah bila faktor higenis dicukupi,
tidak akan timbul ketidakpuasan tetapi juga tidak timbul kepuasan. Kepuasan akan
timbul jika terdapat motivator. Singkatnya, faktor higenis mencegah ketidakpuasan
(sehingga memunculkan istilah higenis, seperti yang digunakan dalam bidang
kesehatan), namun hanya motivator yang menimbulkan kepuasan. Dengan demikian,
berdasarkan teori ini, usaha untuk memotivasi sumber daya manusia harus melibatkan
pengakuan, kesempatan untuk berprestasi dan bertumbuh, kemajuan, serta pekerjaan
yang menarik.
• Temuan Internasional Mengenai Teori Hezberg
Temuan internasional yang berhubungan dengan teori dua faktor dapat
dikelompokkan kedalam dua kategori. Pertama terdiri atas replica riset
Hezberg di negara tertentu. Penelitian ini mempertanyakan apakah manajer di
negara X akan memberikan jawaban yang sama dengan yang diberikan pada
studi asli Hezberg. Kategori kedua merupakan studi lintas budaya yang
berfokus pada kepuasan kerja. Riset ini mempertanyakan faktor-faktor apakah
yang memengaruhi kepuasan kerja dan apakah responsnya berbeda di setiap
negara. Riset dari kategori kedua bukanlah merupakan kelanjutan langsung
dari teori dua faktor, tetapi memberikan wawasan sehubungan dengan
kepuasan kerja dalam manajemen sumber daya manusia internasional.
1
Penelitian lain juga dilakukan di negara berkembang. Sebagai contoh,
sebuah studi menguji motivasi kerja di Zambia, dengan menggunakan berbagai
variabel motivasional dan menemukan bahwa motivasi kerja dihasilkan dari
enam faktor: sifat pekerjaan, pertumbuhan dan kemajuan, kelengkapan materi
dan fisik, hubungan dengan karyawan lain, keadilan/ketidakadilan dalam
praktik organisasi, dan masalah pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa teori dua
faktor terbukti kebenarannya di negara ini.
Lebih jauh, sebuah studi yang dilakukan di Rumania mengindikasikan
bahwa faktor higenis (gaji, kondisi pekerjaan, dan pengawasan), meskipun
penting bukan merupakan pendorong yang menentukan untuk menerima posisi
manajer senior. Aspek terpenting pekerjaan bagi orang Rumania adalah
seberapa besar pengakuan dan penghargaan yang akan mereka terima. Hal
berikutnya adalah keinginan untuk mendapatkan insentif atau gaji, meskipun
kebutuhan peningkatan pengetahuan dan keterampilan bersama-sama dengan
keterlibatan dalam tim serta peningkatan kompetensi dan pengembangan diri
juga merupakan hal yang signifikan.
Sebuah studi lain meneliti tipe keluaran pekerjaan yang diinginkan oleh
manajer di budaya yang berbeda. Data diperoleh dari personel manajemen
bawah dan menengah yang sedang menghadiri kursus pengembangan
manajemen di Kanada, Inggris, Perancis dan Jepang. Peneliti berusaha untuk
mengidentifikasi tingkat kepentingan 15 keluaran yang berhubungan dengan
pekerjaan dan seberapa puas responden terhadap setiap keluaran tersebut.
Hasilnya mengindikasikan bahwa konten pekerjaan (faktor yang dimediasi
1
secara internal seperti tanggung jawab, prestasi, dan pekerjaan itu sendiri)
lebih penting daripada konteks pekerjaan (faktor yang dikontrol secara
organisasional seperti kondisi pekerjaan, jam kerja, pendapatan, keamanan,
manfaat, dan promosi).
Selain teori motivasi kerja hierarki kebutuhan dan teori dua faktor, teori
motivasi berprestasi telah mendapatkan perhatian relative besar di area internasional.
Teori motivasi berprestasi telah lebih banyak diterapkan dalam praktik aktual
dibandingkan yang lainnya, dan juga telah menjadi fokus dari beberapa riset
internasional yang menarik.
• Latar Belakang Teori Motivasi Berprestasi
Teori motivasi berprestasi (achievement motivation theory)
menyatakan bahwa seseorang memiliki kebutuhan untuk maju, mendapatkan
kesuksesan, dan mencapai tujuan. Teori ini mempelajari kebutuhan akan
1
berprestasi. Oleh karena itu, di Amerika Serikat, di mana aktivitas
kewirausahaan didukung dan kesuksesan individu dipromosikan, terdapat
kemungkinan yang lebih tinggi adanya orang dengan kebutuhan akan prestasi
dalam presentase yang lebih besar dibandingkan dengan, misalnya, China,
Rusia, atau negara-negara Eropa Timur.
1
Peneliti telah menemukan beberapa cara untuk membangun kebutuhan
akan prestasi yang tinggi. Cara-cara ini termasuk mengajarkan kepada orang
tersebut untuk melakukan hal berikut: (1) mendapatkan umpan balik atas
kinerjanya dan menggunakan informasi tersebut untuk menyalurkan usahanya
ke area-area di mana kesuksesan lebih mudah dicapai; (2) meniru orang-orang
yang telah memiliki prestasi tinggi; (3) membangun keinginan akan
kesuksesan dan tantangan dalam dirinya; dan (4) berkhayal dalam arti yang
positif dengan menggambarkan dirinya meraih kesuksesan dalam mengejar
tujuan penting. Secara sederhana, keinginan berprestasi dapat diajarkan dan
dipelajari.
1
industrial Czech dan menemukan bahwa rata-rata skor prestasi tingginya
sebesar 3.32 jauh lebih rendah dibandingkan manajer Amerika Serikat. Oleh
karena kebutuhan akan berprestasi dapat dipelajari, perbedaan pada sampel ini
diakibatkan oleh perbedaan budaya. Begitu pula dengan adanya perubahan
dramatis dan revolusioner yang terjadi di Eropa Tengah dan Timur dengan
berakhirnya komunisme dan perekonomian yang terencana secara terpusat,
dapat dikatakan bahwa kebutuhan berprestasi orang-orang Eropa pasca
komunisme yang saat ini dapat diekspresikan secara bebas, sekarang ini tinggi.
Poin pentingnya adalah bahwa karena berprestasi merupakan kebutuhan yang
dapat dipelajari dan banyak dipengaruhi oleh budaya yang berlaku, maka
sifatnya tidak universal dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Kombinasi ini (lihat kuadran kanan atas pada gambar) secara eksklusif
ditemukan di negara-negara Anglo atau bangsa-bangsa yang berhubungan
secara dekat dengan mereka melalui kolonialisasi atau pakta, seperti India,
Singapura, dan Hong Kong (negara yang diasosiasikan dengan Britania Raya)
dan Filipina (dihubungkan dengan Amerika Serikat).
2
Negara-negara yang berada pada tiga kuadran lainnya pada gambar
tidak terlalu mendukung kebutuhan berprestasi yang tinggi. Maka bagi MNC
di geografis regional ini akan lebih bijaksana bila strategi manajemen sumber
daya manusianya diformulasikan untuk mengubah situasi tersebut, mereka
harus merancang program pelatihan motivasi berprestasi pada mereka untuk
menciptakan manajer dan wirausahawan yang berprestasi tinggi.
2
Pada kasus negara yang berusaha memperkenalkan perubahan dengan
menggabungkan nilai dari salah satu kuadran lainnya pada gambar,
tantangannya menjadi lebih besar.
2
Ada banyak penelitian yang mendukung prinsip keadilan fundamental
di kelompok kerja Barat. Namun, ketika teori ini diperiksa secara
internasional,
2
hasilnya bermacam-macam. Yuchtman, misalnya, mempelajari persepsi di
antara para manajer dan non-manajer di unit produksi di negara Israel. Dalam
pengaturan ini, setiap orang diperlakukan sama, tetapi manajer melaporkan
tingkat kepuasan yang lebih rendah daripada pekerja. Para manajer
menganggap bahwa kontribusi mereka lebih besar daripada kelompok lain,
yaitu para pekerja/karyawan. Sebagai hasil dari persepsi ini, mereka merasa
bahwa mereka diremehkan untuk nilai dan usaha yang telah mereka berikan.
2
ke departemen lain. Akan tetapi, di Asia dan Timur Tengah, karyawan sering
dengan mudah menerima perlakuan yang tidak adil untuk menjaga
keharmonisan kelompok. Selain itu, di negara-negara seperti Jepang dan
Korea, pria dan wanita biasanya menerima gaji yang berbeda untuk melakukan
pekerjaan yang sama karena pengkondisian budaya selama bertahun-tahun,
dan wanita jepang dan korea mungkin tidak merasa telah diperlakukan tidak
adil. Beberapa peneliti telah menjelaskan temuan ini dengan menyarankan
bahwa perempuan membandingkan dirinya hanya dengan perempuan lain
dalam perbandingan merasa diperlakukan secara adil. Meskipun ini mungkin
benar, hasilnya tetap menunjukkan fakta bahwa Teori ini tidak dapat
diterapkan secara universal dalam menjelaskan motivasi dan kepuasan kerja.
Pendeknya, meskipun teori tersebut dapat membantu menjelaskan mengapa
"upah yang sama untuk pekerjaan yang sama" adalah prinsip motivasi
penuntun di negara- negara seperti Amerika Serikat dan Kanada, teori tersebut
mungkin terbatas. nilai di wilayah lain di dunia, termasuk Asia dan Amerika
Latin, di mana kompensasi perbedaan berdasarkan gender, setidaknya secara
tradisional, telah diterima secara budaya.
2
partisipasi dalam penetapan tujuan mungkin juga dipengaruhi oleh norma kerja
yang berlaku. Untuk menguji lebih lanjut proposisi ini, Erez dan Earley
mempelajari mata pelajaran Amerika dan Israel dan menemukan bahwa
strategi partisipatif menyebabkan tingkat penerimaan dan kinerja tujuan yang
lebih tinggi di kedua budaya daripada strategi di mana tujuan ditetapkan oleh
tingkat yang lebih tinggi manajemen. Dengan kata lain, nilai teori penetapan
tujuan dapat ditentukan dengan baik oleh budaya. Dalam kasus, misalnya,
kelompok kerja Asia dan Latin, di mana kolektivisme sangat tinggi, teori
mungkin memiliki nilai terbatas untuk manajer MNC di negara-negara
tertentu.
• Teori Harapan
Teori harapan mendalilkan bahwa motivasi sebagian besar dipengaruhi
oleh perkalian kombinasi dari keyakinan seseorang bahwa (a) usaha akan
menghasilkan kinerja, (b) kinerja akan mengarah pada hasil tertentu, dan (c)
hasil akan bernilai bagi individu. Selain itu, teori ini memprediksi bahwa
kinerja yang tinggi diikuti dengan penghargaan yang tinggi akan menghasilkan
kepuasan yang tinggi. Sebaliknya, penting untuk diingat bahwa teori harapan
didasarkan pada karyawan yang memiliki kontrol yang cukup besar atas
lingkungan mereka. Secara khusus, dalam masyarakat di mana orang percaya
bahwa banyak dari apa yang terjadi adalah di luar kendali mereka, teori ini
mungkin memiliki nilai yang kurang. Teori harapan paling mampu
menjelaskan motivasi pekerja dalam budaya dimana terdapat lokus kendali
internal yang kuat. Singkatnya, teori ini tampaknya terikat budaya, dan
manajer internasional harus menyadari keterbatasan ini dalam upaya mereka
untuk menerapkannya teori untuk memotivasi sumber daya manusia.
2
• Desain Pekerjaan
Desain pekerjaan terdiri dari konten pekerjaan, metode yang digunakan
pada pekerjaan, dan cara pekerjaan berhubungan dengan pekerjaan lain dalam
organisasi.
2
Di Swedia, penghindaran ketidakpastian rendah, sehingga deskripsi pekerjaan,
manual kebijakan, dan materi terkait pekerjaan serupa lebih terbuka atau
umum dibandingkan dengan materi prosedural terperinci yang dikembangkan
oleh Jepang. Selain itu, pekerja Swedia
didorong untuk membuat keputusan dan mengambil
risiko. Orang Swedia menunjukkan tingkat individualisme sedang hingga
tinggi, yang tercermin dalam penekanan mereka pada pengambilan keputusan
individu (berbeda dengan pengambilan keputusan kolektif atau kelompok di
Jepang). Mereka memiliki indeks jarak kekuasaan yang lemah, yang berarti
bahwa manajer Swedia menggunakan pendekatan partisipatif dalam
memimpin orang-orang mereka. Orang Swedia mendapat skor rendah pada
maskulinitas, yang berarti bahwa hubungan interpersonal dan kemampuan
untuk berinteraksi dengan pekerja lain dan mendiskusikan hal- hal yang
berhubungan dengan pekerjaan adalah penting.
2
diharapkan untuk mencapai tujuan ini. Hasilnya sangat positif dan
mengakibatkan Volvo membangun pabrik lain yang menggunakan konsep
desain pekerjaan sosioteknik yang lebih canggih. Tata letak pabrik Volvo,
bagaimanapun, tidak mencegah perusahaan dari beberapa masalah. Baik
pembuat mobil Jepang dan Amerika Utara mampu memproduksi mobil dalam
waktu yang jauh lebih singkat, menempatkan Volvo pada kerugian biaya.
Akibatnya, ekonomi yang stagnan di Asia, ditambah dengan melemahnya
permintaan untuk lini produk Volvo di Eropa dan Amerika Serikat,
mengakibatkan perusahaan memberhentikan pekerja dan mengambil langkah-
langkah untuk meningkatkan efisiensinya.
• Sentralitas Kerja
Sentralitas kerja, yang dapat didefinisikan sebagai pentingnya
pekerjaan dalam kehidupan individu relatif terhadap bidang minatnya yang
lain (keluarga, gereja, waktu luang), memberikan wawasan penting tentang
bagaimana memotivasi sumber daya manusia dalam budaya yang berbeda.
Setelah melakukan tinjauan literatur, Bhagat dan rekan menemukan bahwa
Jepang memiliki tingkat sentralitas kerja tertinggi, diikuti oleh tingkat yang
cukup tinggi untuk Israel, tingkat rata-rata untuk Amerika Serikat dan Belgia,
tingkat sedang untuk Belanda dan Jerman, dan tingkat rendah untuk Belanda
dan Jerman. tingkat untuk Inggris.
• Nilai Kerja
Meskipun pekerjaan merupakan bagian penting dari gaya hidup
kebanyakan orang, penekanan ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi.
Misalnya, salah satu alasan mengapa orang Amerika dan Jepang bekerja
berjam-jam adalah karena biaya hidup yang tinggi, dan karyawan per jam
tidak dapat melewatkan kesempatan untuk mendapatkan uang tambahan. Di
antara karyawan bergaji yang tidak dibayar ekstra, sebagian besar manajer
Jepang mengharapkan bawahan mereka untuk lembur di tempat kerja, dan
lembur telah menjadi persyaratan pekerjaan. Selain itu, ada bukti baru-baru ini
bahwa pekerja Jepang mungkin melakukan jauh lebih sedikit pekerjaan di hari
kerja daripada yang diduga orang luar.
2
Misalnya, Tabel 12–8 membandingkan gaji AS dan Jerman
berdasarkan “Langkah 1” atau skala gaji tingkat pemula. Secara khusus,
banyak pekerja AS percaya bahwa jika mereka bekerja lebih keras, peluang
mereka untuk mendapatkan kenaikan gaji dan promosi akan meningkat, dan
ada data historis yang mendukung keyakinan ini. Analisis sejarah pekerja di
Amerika Serikat dan Jerman mengarahkan peneliti NBER untuk
memperkirakan bahwa pekerja Amerika yang meningkatkan waktu kerja
mereka sebesar 10 persen, misalnya, dari 2.000 menjadi 2.200 jam per tahun,
akan meningkatkan pendapatan masa depan mereka sekitar 1 persen untuk
setiap tahun. di mana mereka dimasukkan ke dalam jam ekstra. dan ada data
historis yang mendukung keyakinan ini.
• Kepuasan Kerja
Selain implikasi nilai pekerjaan untuk memotivasi sumber daya
manusia lintas budaya, kontras lain yang menarik adalah kepuasan kerja.
Misalnya, satu penelitian menemukan bahwa pekerja kantoran Jepang
mungkin jauh lebih tidak puas dengan pekerjaan mereka dibandingkan rekan-
rekan mereka di AS, Kanada, dan UE. Orang Amerika, yang melaporkan
tingkat kepuasan tertinggi dalam penelitian ini, senang dengan tantangan
pekerjaan, peluang untuk kerja tim, dan kemampuan untuk memberikan
kontribusi yang signifikan di tempat kerja. Pekerja Jepang paling tidak senang
dengan ketiga faktor ini.
2
Di sisi lain, penelitian juga mengungkapkan bahwa beberapa kondisi
yang membantu menciptakan komitmen organisasi di antara pekerja AS juga
memiliki nilai dalam budaya lain. Juga terkait dengan motivasi adalah sikap
3
kerja terhadap kualitas kehidupan kerja. Penelitian terbaru melaporkan bahwa
pekerja Uni Eropa melihat hubungan yang kuat antara seberapa baik mereka
melakukan pekerjaan mereka dan kemampuan untuk mendapatkan apa yang
mereka inginkan dari kehidupan. Tornvall, setelah melakukan pemeriksaan
terperinci terhadap praktik kerja lima perusahaan—Fuji-Kiku, sebuah
perusahaan suku cadang di Jepang; Toyota Motor Ltd. dari Jepang; Volvo
Automobile AB dari Swedia; SAAB Mobil AB, Swedia; dan pabrik General
Motors di Saginaw, Michigan—menyimpulkan bahwa ada manfaat dari
pendekatan yang digunakan oleh masing-masing. Hal ini mendorongnya untuk
merekomendasikan apa yang disebutnya “keseimbangan dalam sinergi” antara
para mitra. Beberapa sarannya antara lain sebagai berikut:
• Sistem Penghargaan
Selain teori isi dan proses, area motivasi penting lainnya adalah
penghargaan. Manajer di mana pun menggunakan penghargaan untuk
memotivasi personel mereka. Terkadang ini bersifat finansial seperti kenaikan
gaji, bonus, dan opsi saham. Di lain waktu mereka nonfinansial seperti umpan
balik dan pengakuan.Tantangan utama bagi manajer internasional adalah
bahwa seringkali terdapat perbedaan yang signifikan antara sistem
penghargaan yang bekerja paling baik di satu negara dan yang paling efektif di
negara lain. Beberapa perbedaan ini adalah hasil dari lingkungan yang
kompetitif atau undang-undang pemerintah yang mengatur hal-hal seperti upah
minimum, pensiun, dan tunjangan. Dalam kasus lain, perbedaan sangat
diperhitungkan oleh budaya. Misalnya, sementara banyak perusahaan Amerika
suka menggunakan sistem penghargaan berdasarkan prestasi, perusahaan di
Jepang, Korea, dan Taiwan, di mana individualisme tidak terlalu tinggi, sering
merasa
3
bahwa bentuk sistem penghargaan ini terlalu mengganggu budaya perusahaan
dan nilai-nilai tradisional.
Meskipun imbalan finansial seperti gaji, bonus, dan opsi saham merupakan
motivator penting pekerja di beberapa negara juga sangat termotivasi oleh hal-hal lain.
Misalnya, Sirota dan Greenwood mempelajari karyawan dari pabrik peralatan listrik
multinasional besar yang beroperasi di 40 negara. Mereka menemukan bahwa di
semua tempat ini penghargaan yang paling penting melibatkan pengakuan dan
pencapaian. Hal penting lainnya adalah perbaikan dalam lingkungan kerja dan kondisi
kerja termasuk gaji dan jam kerja. Di samping itu, terdapat beberapa perbedaan yang
muncul dalam jenis penghargaan yang disukai. Misalnya, karyawan di Prancis dan
Italia sangat menghargai keamanan kerja, sedangkan bagi pekerja Amerika dan
Inggris hal itu tidak terlalu penting.
3
Pada intinya, jenis insentif yang dianggap penting dipengaruhi oleh budaya.
Selain itu, budaya juga dapat mempengaruhi keseluruhan biaya sistem insentif. Di
Jepang, upaya untuk memperkenalkan sistem pembayaran jasa gaya Barat
menyebabkan peningkatan biaya tenaga kerja secara keseluruhan karena perusahaan
menemukan bahwa mereka tidak dapat mengurangi gaji pekerja yang kurang
produktif karena takut menyebabkan mereka malu dan mengganggu
keharmonisan kelompok. Akibatnya, gaji semua orang akhirnya meningkat.
Budaya juga berdampak pada keuntungan karena orang cenderung berkinerja lebih
baik dibawah sistem manajemen yang mendukung nilai-nilai mereka. Misalnya, Nam
yang mempelajari dua bank Korea yang beroperasi di bawah sistem manajemen yang
berbeda. Satu dimiliki dan dioperasikan sebagai usaha patungan dengan bank
Amerika, dan yang lainnya dimiliki dan dioperasikan sebagai usaha patungan dengan
bank Jepang. Bank Amerika menerapkan praktik manajemen dan kebijakan personalia
yang umum di organisasinya sendiri. Bank Jepang menerapkan campuran kebijakan
manajemen sumber daya manusia Jepang dan Korea. Nam menemukan bahwa
karyawan dalam usaha patungan dengan bank Jepang secara
signifikan lebih berkomitmen terhadap organisasi daripada rekan-rekan mereka di
usaha patungan Amerika dan bank yang berafiliasi dengan Jepang memiliki kinerja
keuangan yang jauh lebih tinggi.
3
Secara keseluruhan, budaya sangat mempengaruhi efektivitas berbagai
penghargaan. Penghargaan yang berhasil di satu negara mungkin tidak berhasil di
negara lain. Misalnya, pekerja Swedia dengan kinerja yang unggul sering kali lebih
menyukai hadiah berupa cuti daripada uang tambahan, sementara pekerja Jepang yang
berkinerja tinggi cenderung memilih insentif keuangan, selama mereka berbasis
kelompok dan tidak diberikan pada individual. Perlu diperhatikan pula alasan
mengapa pekerja memilih satu bentuk motivasi daripada yang lain. Misalnya, lebih
memilih hari libur daripada uang, mungkin tidak langsung terlihat atau dapat dilihat
secara intuitif. Sebagai contoh, pekerja Jepang cenderung mengambil setengah jatah
libur tahunan mereka, sementara pekerja Prancis dan Jerman mengambil semua jatah
libur yang menjadi hak mereka. Banyak orang percaya bahwa orang Jepang ingin
mendapatkan lebih banyak uang, tetapi alasan utama mengapa mereka tidak
mengambil semua hak liburan mereka adalah karena mereka percaya bahwa
mengambil semua hari itu menunjukkan kurangnya komitmen terhadap kelompok
kerja mereka. Hal yang sama berlaku untuk lembur: Individu yang menolak bekerja
lembur dianggap egois.
JobStreet.com melakukan survei kepada 17,623 koresponden pada awal bulan Oktober
tentang kepuasan karyawan terhadap pekerjaan mereka. Dari hasil survei tersebut
menunjukan bahwa 73% karyawan merasa tidak puas dengan pekerjaannya
dikarenakan beberapa faktor.
Hingga Mei 2014 Badan Pusat Statistik Nasional menunjukan tingginya angka
pengangguran di Indonesia yaitu sebesar 7,2 juta. Ketidaksesuaian pekerjaan yang ada
dengan latar belakang yang dimiliki pada akhirnya membuat 54% karyawan terpaksa
bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Tanpa disadari, hal ini
berdampak serius pada penurunan produktivitas kerja hingga kecilnya jenjang karier.
Faktanya 60% koresponden mangaku tidak memiliki jenjang karier dikantor mereka
sekarang.
3
Selain dari ketidaksesuaian latar belakang pendidikan, sebesar 85% koresponden juga
mengaku bahwa mereka tidak memiliki work-life balance (keseimbangan antara
pekerjaan dan kehidupan pribadi). Survei JobStreet.com pada bulan September lalu
bahkan menyebutkan bahwa 62% karyawan mengaku sulit tidur karena masih
memikirkan pekerjaannya. Padahal hasil penelitian yang dilakukan Morgan Redwood
di Inggris menyebutkan bahwa perusahaan yang mendorong karyawan untuk memiliki
kesimbangan baik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi akan memperoleh
pendapatan/tahun 20% lebih besar daripada perusahaan yang tidak mendorong work-
life balance.
Ditambah lagi dengan 53% karyawan yang mengaku memiliki atasan dengan gaya
kepemimpinan militer (bangga pada pangkat dan jabatan untuk menggerakan
bawahan), paternalis (tidak pernah memberikan kesempatan pada bawahan untuk
mengembangkan daya kreatifitasnya) dan laisez faire (membiarkan bawahannya
bekerja semaunya, jabatan hanya sebagai simbol dan tidak pernah mau tahu).
Buruknya karakter atasan juga dapat mempengaruhi tingginya turn over karyawan
disebuah perusahaan. Lebih jauh lagi hal itu juga akan berdampak pada citra
perusahaan.
Riset yang dilakukan oleh American Psychological Association menunjukan bahwa
karyawan yang puas dengan pekerjaan mereka akan bekerja lebih produktif. Hal
tersebut juga mempengaruhi kesehatan pikiran dan tubuh mereka. Masih mau bekerja
ditempat yang salah?
Critical Review
Artikel tersebut menjelaskan mengenai sebuah survei yang dilakukan oleh
Jobstreet.com pada 17,623 koresponden tentang kepuasan karyawan terhadap
pekerjaan mereka. Hasil menunjukkan bahwa 73% karyawan merasa tidak puas
dengan pekerjannya dikarenakan beberapa faktor, 54% karyawan merasa terpaksa
bekerja tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka, 60% koresponden
mengaku tidak memiliki jenjang karier dikantor mereka sekarang, 85% koresponden
mengaku bahwa mereka tidak memiliki work life balance, dan 53% karyawan
mengaku memiliki atasan dengan gaya kepemimpinan militer, paternalis, dan laisez
faire.
3
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Demikian makalah yang telah kami buat dengan sedemikian rupa, semoga
makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi para pembaca. Kami
berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran untuk mengembangkan
makalah ini menjadi lebih baik lagi. Kami menyadari bahwasanya makalah ini masih
memiliki banyak kekurangan, baik dalam segi penulisan maupun pemilihan bahasa,
apabila makalah ini memiliki beberapa kesalahan, kami mohon untuk dimaafkan.
3
DAFTAR PUSTAKA
Fred Luthans dan Jonathan P. Doh (2018). International Management Culture, Strategy, and
Behavior. Tenth Edition. England. McGraw Hill Education.
https://www.jobstreet.co.id/career-resources/plan-your-career/73-karyawan-tidak-puas-
dengan-pekerjaan-mereka/