Anda di halaman 1dari 4

MANTAN PENGEMIS SUARA YANG LUPA DIRI

“NILAI KEDAULATAN RAKYAT KINI TINGGAL MENJADI MITOS KARENA NILAINYA TELAH TERGADAI
OLEH PARA PEMERINTAHAN”

Pesta Demokrasi ditandai sebagai sebuah ritualisasi yang memperingatkan pada para pejabat
pemerintahan bahwa kekuasaan tertinggi bukan berada pada tangan-tangan pemerintahan tapi
berada pada legitimasi tangan rakyat itu sendiri. Sebagaimana yang dapat kita lihat pada mekanisme
konstitusional UUD-45 pasal 1 ayat 2 kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Tidak heran jika
para pejabat-pejabat pemerintahan atau para politisi yang ingin menduduki kursi kepejabatan
negara harus meminta restu dan ijin dulu pada rakyatnya. Sayangnya pesta demokrasi justru
diharfiahkan Sebagai ajang perebutan kekuasaan untuk memburu kenikmatan individalisme atau
pun untuk mempertahankan kenikmatan para kelompok kelompok tertentu. Sebuah pesta
demokrasi yang sering terjadi dalam rentang waktu satu kali dalam enam tahun yang sungguh sangat
menggelikan dan paling lucu. Para calon-calon pejabat negara ini pergi mengemis suara pada rakyat
sambil berjanji bahwa kelak kalau dia menjadi anggota pemerintahan akan siap menjadi pelayan
rakyat yang selalu memberikan pengabdian total pada kepentingan rakyat dan akan berusaha
semaksimal mungkin untuk menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Lalu ketika mereka telah
mendapat ijin dan di restui oleh rakyat melalui proses pemilu janji-janji manis yang pernah di
muntahkan dihadapan rakyatnya disimpan didalam laci rumahnya sendiri dan tidak membiarkan
janjinya pada rakyat tersebut untuk diikut sertakan dan diterlibatkan pada urusan
kepemerintahan.Para pejabat pemerintahan yang kita lihat sekarang ini pun adalah mantan-mantan
dari para pengemis suara yang pernah terlibat langsung dalam pesta demokrasi yang berlangsung
sekali dalam enam tahun tersebut. Sebelum menjabat jadi pemerintahan pada momen pesta
demokrasi mereka adalah pengemis suara rakyat dan ketika menduduki tahta kekuasaan dengan
arogansinya menyatakan diri sebagai Tuan yang memiliki kedaulatan. Kalau benar para
pemerintahan tersebut memiliki kedaulatan tersendiri tanpa harus mendapatkan perestuan dari
rakyat lantas untuk apa pergi mengemis suara rakyat, suatu kegiatan yang mengemis suara pada
rakyat memberikan bukti sederhana kalau para pemerintahan ini tidak memiliki kedaulatan sama
sekali sebab kedaulatan sejati itu berada di tangan rakyat. Mungkin mereka tidak membaca dan
memahami dengan baik ungkapan dari konstitusi Tertinggi pada pasal 1 ayat 2 yang menyatakan
kekuasaan tertinggi berada pada tangan rakyat bukan di tangan pemerintahan. Agenda dan kegiatan
kepejabatan publik ini adalah sebagai manifestasi dari pelaksanaan kedaulatan rakyat, Rakyat hanya
meminjamkan sebagian kedaulatannya pada pemerintahan dalam mengatur permasalahan yang
berkaitan dengan urusan administrasi publik dan bukan memberikan kedaulatannya tersebut pada
pemerintahan. Kedaulatan yang dipinjamkan oleh rakyat kepada para pemerintahan tersebut adalah
untuk melaksanakan perintah rakyat dan melayani apa yang menjadi kepentingan rakyat itu sendiri,
maka logislah setiap 6 tahun sekali rakyat mempergunakan kembali kedaulatannya untuk melakukan
seleksi siapa yang pantas dan cocok menjadi pelayan yang akan mewakilkan kepentingan mereka.
Sungguh ironis dan sangat tidak terhormatnya pada konstitusi maupun pada rakyat bila para
pemerintahan menyatakan dirinya memiliki kedaulatan sendiri sambil mengingkari amanat yang di
sampaikan oleh rakyat. Pemilihan kata “PESTA DEMOKRASI“ bukanlah kalimat yang diseleksi secara
kebetulan tapi tatanan kalimat tersebut dipergunakan untuk menegaskan bahwa pesta demokrasi
adalah pesta kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.Pesta demokrasi ini mengungkapkan kalau
demokrasi tidak lain dan tidak bukan sebagai ungkapan pengakuan dan penghormatan pada rakyat
sebagai pemilik kedaulatan dalam negara sebagaimana makna yang tertuang dalam nilai demokrasi.
Bahwa tindakan pemerintahan yang demokratis berasaskan pada Governance of the people,
Governance by the people and Governance for the people (pemerintahan yang dari rakyat
pemerintahan yang oleh rakyat dan pemerintahan yang untuk rakyat) sederhananya pemerintahan
itu dari oleh dan untuk rakyat begitulah kata mantan presiden Amerika serikat Abraham Lincoln yang
memberikan pemaknaan secara praktisi atas tatanan nilai demokrasi itu sendiri.Namun sungguh
ironis jika kita menyaksikan realitas yang terjadi pada hari ini, rakyat sebagai penguasa tertinggi
dalam demokrasi justru diperkosa secara brutal oleh para pemerintahan ini. Para mantan pengemis
suara rakyat yang kemudian secara resmi menjadi pelayan rakyat ini menjadi anjing yang justru
menggonggong Tuannya (rakyat) sendiri, Sungguh lucunya dunia kepejabatan publik tersebut.
Mereka mengambil rel kebijkan yang justru berseberangan dengan apa yang menjadi tuntutan dan
amanat dari rakyat itu sendiri. Para pejabat pemerintahan ini mulai memutus hubungan
historisitasnya dengan rakyat lalu kemudian menjadi pengemis baru, kali ini mereka tidak mengemis
suara pada rakyat seperti sebelumnya tapi kepengemisan yang dilakukannya adalah mengemis pada
kelompok oligarki dan kapitalisme. Sehingga tidak heran jika kita melihat kebijakan ataupun
keputusan kepemerintahan ini mencerminkan kepentingan-kepentingan kelompok oligarki dan
kapitalisme ini. Fenomena kekuasaan ini dapat kita baca dan pahami sebagai sebuah fenomena
pengabdian dan pelayanan pada oligarki dan kapitalisme sambil menggonggongi rakyat sebagai tuan
aslinya sendiri. Tukar tambah kepentingan yang ditransaksikan dalam kamar-kamar gelap yang di
lakukan oleh para pejabat pemerintahan ini dengan para kelompok oligarki kapitalisme sampai pada
titik dan komanya suatu kebijakan yang akan di terapkan pada rakyat.Jika kita melakukan
pemeriksaan secara lebih kritis lagi kita akan menjumpai bahwa transaksi kepentingan politik yang di
operasikan dalam kamar-kamar gelap kekuasaan yang di lakukan oleh kubu pemerintahan dengan
kelompok oligarki kapitalisme ini tidak ada kaitannya dengan soal-soal ideologis politik kepentingan
rakyat. Ideologi politik kepentingan rakyat ini tertinggal jauh karna nilainya justru bertentangan
dengan semangat oligarki dan kapitalisme, karna itu kita perlu membaca ulang konsep dan makna
dari keputusan yang baik dan benar yang sering di keluarkan oleh pemerintahan tersebut dengan
penafsiran bahwa kebijakan yang baik dan benar adalah kebijakan yang sesuai dengan selera
kepentingan oligarki dan kapitalisme bukan pada kepentingan rakyat. Perjumpaan Romantis
kepentingan politik oligarki dan kapitalisme di satu sisi dengan para pemerintahan pada sisi yang lain
yang melakukan transaksi kepentingan tersebut seolah seperti subkultur dalam budaya nasional kita
sendiri yang di jaga dan rawat secara rapi oleh para penguasa, kepentingan berjumpa dengan
kepentingan kemauan bersua dengan kebutuhan sungguh transaksi kepentingan yang begitu
sempurna bukan, kepentingan oligarki dan kapitalisme di rangkul kepentingan rakyat di buang
sejauh mata memandang. Cukup hebat bukan? Padahal jika kita periksa kembali dengan mata
pikiran yang sehat dan terbuka kita akan memahami bahwa perjanjian konstitusional dengan warga
negara perihal keadilan, kesejahteraan, keamanan dan pengutamaan kepentingan rakyat adalah
perjanjian primordial yang di lakukan secara jujur dan terbuka oleh konstitusional dengan warga
negara, namun naasnya perjanjian primordial antara konstitusional dengan warga negara justru di
nodai serta di cederai oleh pertemuan kepentingan dan transaksi kebutuhan yang di aktori oleh para
pejabat negara dengan kelompok oligarki dan kapitalisme.Pemerintahan digaji dengan
menggunakan uang rakyat bukan digaji oleh para oligarki dan kapitalisme, mereka digaji untuk
melaksanakan tugas melayani dan melindungi kepentingan rakyat bukan untuk melayani dan
melindungi kepentingan oligarki dan kapitalisme. Karena itu sangatlah menyeramkan dan tidaklah
terhormat sikap dan perbuatan pemerintahan yang bersetubuh dengan kepentingan oligarki dan
kapitalisme. Situasi ini menerangkan urusan politik ideologi kepentingsn rakyat yang berhadapan
secara langsung dengan kelompok penguasa yang berselingkuh dengan para kelompok oligarki dan
kapitalisme ini, para perusak dan perusuh kedaulatan rakyat yang terdiri dari barisan kepejabatan
negara yang bersekongkol dengan kaum oligarki dan kapitalisme tersebut berhasil memonopoli
sumber daya politik dan ekonomi yang semula dipergunakan untuk kepentingan rakyat tapi malah di
Raup secara brutal oleh barisan kelompok ini.Sogok menyogok kepentingan dalam persekutuan
pasar gelap kekuasaan menjadikan kemasalahatan politik kepentingan rakyat sebagai urusan
personal dan kelompok kepentingan tertentu dapat terjaga dan dirawat dengan baik dalam kelambu
gelap kekuasaan. Ketergantungan pada politik kepentingan personal atau kelompok tertentu inilah
yang menerangkan peristiwa cantiknya aturan main dari persetubuhan kekuasaan dengan para
kaum oligarki dan kelompok kapitalisme, tentunya transaksi pertukaran kepentingan ini di
operasikan melalui dua kekuatan, yaitu kekuatan uang dan kekuatan jabatan. Para barisan
pemerintahan memiliki kekuatan jabatan, melalui kekuatan tahta yang di milikinya dia punya
kewenangan untuk mengendalikan urusan publik atau untuk mengatur masalah admistrasi
kerakyatan dan kelompok oligarki bersama kaum kapitalisme ini memiliki kekuatan modal dan atau
uang untuk menyogok para pejabat negara agar membuat suatu kebijakan yang sesuai dengan
hasrat dan keinginan dari kaum oligarki dan kapitalisme ini, maka kebijakan para pemerintahan yang
dia produksi berdasarkan pada legitimasi konstitusional yang dimilikinya dia pergunakan untuk
mengendarai kepentingan kaum oligarki dan kapitalisme pada taraf kehidupan rakyat, sehingga
kebijakan yang inkonstitusional dengan kepentingan rakyat adalah anak dari hasil perselingkuhan
pejabat negara dengan kaum oligarki dan kapitalisme ini, karena itu masuk akal kalau wajah
kebijakan kepemerintahan yang mereduksi nilai kepentingan rakyat ini memiliki watak yang sama
seperti orang tuanya yaitu haus akan uang dan lapar akan pemonopolianpolitik dan sumber daya
ekonomi kerakyatan.

Anda mungkin juga menyukai