Anda di halaman 1dari 20

IKTERUS PADA BAYI BARU LAHIR

DOSEN PENGAMPU

Dwi Srirahandayani, SST.,M.Keb

DISUSUN OLEH :

1. Bryaliyant Satu S /
201503007
2. Diyanatun Nuroniyah
/201503008
3. Fitri Ayu Fatdilla / 201503009
4. Alisya Rahmawati / 201503010
5. Nurma Ayu / 201503011
6. Shevia Nitalana / 201503012

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PEMKAB JOMBANG

PRODI DIII KEBIDANAN

TAHUN AKADEMIK

2021/2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Ikterus Pada Bayi Baru
Lahir” ini tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada bidang Kegawatdaruratan Maternal. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang apa saja batasan pelayanan kesehatan dan kebidananbagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Dwi Srirahandayani.,SST.,M.kebselaku
dosen mata kuliah kegawatdaruratan maternal yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Jombang,09 April 2022

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
1.3. Tujuan Pembahasan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
2.1. Definisi............................................................................................................................3
2.2. Epidemiologi..................................................................................................................3

ii
2.3. Etiologi............................................................................................................................4
2.4. Faktor Risiko..................................................................................................................5
2.5. Deteksi Dini Faktor Resiko...........................................................................................6
2.6. Patofisiologi....................................................................................................................6
2.7. Klasifikasi.......................................................................................................................7
2.8. Penegakan Diagnosis.....................................................................................................8
2.9. Penilaian Awasl Ikterus
Bilirubin............................................................................................9
2.10. Penilaian Klinik
Lengkap.......................................................................................................9
2.11. Penanganan Awal, Stabilisasi Umum dan
Rujukan..................................................10
2.12. Penatalaksanaan........................................................................................................10
2.13. Pencegahan.................................................................................................................12
BAB III PENUTUP................................................................................................................13
3.1. Kesimpulan..................................................................................................................14
3.2. Saran.............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya
produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus, yang
menimbulkan perwarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit yang disebabkan
oleh penumpukan bilirubin. Ikterus umumnya mulai tampak pada sklera (bagian putih
mata) dan wajah, selanjutnya meluas secara sefalokaudal (dari atas kebawah) ke arah
dada, perut dan ekstremitas. Pada bayi baru lahir ikterus seringkali tidak dapat dilihat
pada sklera karena bayi baru lahir umunya sulit membuka mata. Ikterus neonatorum
dapat menimbulkan ensefalopati bilirubin (kern ikterus) yang merupakan komplikasi
ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga
dapat menyebabkan gejala berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, retardasi mental dan
gangguan proses pertumbuhan. Peningkatan kadar bilirubin dapat diakibatkan oleh
pembentukan yang berlebihan atau ada gangguan dalam pengeluaran bilirubin, ikterus
pada bayi dapat bersifat fisiologis dan sebagian dapat bersifat patologis yang dikenal
dengan istilah hiperbilirubinemia yang dapat mengakibatkan gangguan saraf pusat (kern
ikterus) atau kematian.
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat
kesehatan bayi dan menurut data World Health Organizatian (WHO) tahun 2012 Angka
Kematian Bayi (AKB) di Dunia tahun 2012 sebesar 49 per 1.000 kelahiran hidup, High
Risk Infant atau faktor bayi yang mempertinggi resiko kematian perinatal atau neonatal
salah satunya adalah ikterus neonatorum yang merupakan penyebab kematian neonatal
sekitar 20-40% dari seluruh persalinan (Susi Widiawati, 2017).
Pada setiap bayi yang mengalami ikterus harus dibedakan apakah ikterus yang
terjadi merupakan keadaan yang fisiologik atau non-fisiologik. Selain itu perlu dimonitor
apakah keadaan tersebut mempunyai kecendrungan berkembang menjadi
hiperbilirubinemia berat yang memerlukan penanganan optimal mengingat bahaya yang
ditimbulkan oleh kejadian ikterus neonatorum pada bayi baru lahir maka perlu
penanganan secara kolaborasi dari petugas kesehatan dalam pencegahan komplikasi
untuk menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia

1
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Mahasiswa memahami apa itu ikterus pada neonatarum
1.2.2 Mengetahui perbedaan ikterus fisiologis dan patologis
1.2.3 Mengerti tindakan apa yang harus dilakukan jika menjumpai kasus ikterus
1.3. Tujuan Pembahasan
1.3.1 Tujuan Umum
Menurunkan angka kematian bayi dengan mendeteksi secara dini dan melakukan
tindakan dengan sigap dan tepat.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami setiap gejala dan alur
penatalaksanaan pada kasus ikterus.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa
karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem, yaitu bilirubin. Secara klinis,
ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah lebih besar dari 13
mg/dL. Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis,
kecuali:
a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan lebih besar dari 13 mg/dL
atau bayi kurang bulan lebih besar dari 10 mg/dL.
c. Peningkatan bilirubin lebih besar dari 5 mg/dL/24 jam.
d. Kadar bilirubin direk lebih besar dari 2 mg/dL.
e. Ikterus menetap pada usia lebih besar dari 2 minggu.
f. Terdapat faktor risiko.

Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin
dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda
klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk
akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap. Tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap
lemah, hipotonia, kejang. Tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking,
hipertonia, epistotonus. Tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni.
Kelainan dalam bentuk kronik berupa pada tahun pertama muncul hipotoni dan
motorik terlambat. Setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan dan kehilangan
pendengaran sensorial.

2.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari empat juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65%
mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998
menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit
pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat
Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi

3
ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan
29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS dr.
Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di
atas 5 mg/dl. dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan
dilakukan pada hari 0, 3, dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari,
didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan.
Pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95%
dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1.509
neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS dr. Kariadi Semarang, di mana insidens
ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7% dan 78% di antaranya merupakan ikterus
fisiologis, sementara sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait
hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup
bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.
Insidens ikterus neonatorum di RS dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun
2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin
disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS dr. Cipto Mangunkusumo ikterus
dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total lebih dari 5 mg/dL. RS dr. Sardjito
menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3, dan 5 dan RS dr. Kariadi
menilai ikterus berdasarkan metode visual.

2.3. Etiologi
Etiologi Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir karena:
2.3.1 Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan umur
lebih pendek
2.3.2 Fungsi hepar yang belu isempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil
transferase, UDPG/T, dan ligand dalam protein belum adekuat) sehingga terjadi
penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
2.3.3 Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim
glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
2.3.4 Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat
disebabkan oleh faktor/keadaan:

4
a) Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi rhesus,
defisiensi G6PD, sferositosis herediter, dan pengaruh obat.
b) Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi
intra uterin.
c) Polisitemia.
d) Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, dan trauma lahir.
e) Ibu diabetes.
f) Asidosis.
g) Hipoksia/asfiksia.
h) Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik.

2.4. Faktor Risiko


Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
2.4.1 Faktor maternal
a) Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani).
b) Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh).
c) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
d) ASI.
2.4.2 Faktor perinatal
a) Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis).
b) Infeksi (bakteri, virus, protozoa).
2.4.3 Faktor neonatus
a) Prematuritas.
b) Faktor genetic.
c) Polisitemia.
d) Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol).
e) Rendahnya asupan ASI
f) Hipoglikemia.
g) Hipoalbuminemia.

2.5 Deteksi Dini Faktor Resiko Ikterus Neonatorum


Deteksi dini untuk Komplikasi pada Neonatus dengan melihat tanda-tanda atau gejala-
gejala sebagai berikut :

5
a) Letargi (lemas).
b) Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang disebabkan oleh
rendahnya intake kalori.
c) Feses berwarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis dapat
ditemukan adanya kejang.
d) Tidak mau menghisap.
e) Pembesaran pada hati.
f) Tampak ikterus : sklera, kuku, kulit, dan membran mukosa
g) Muntah, anoreksia, warna urine gelap, warna tinja gelap.
h) Tidak mau minum.
i) Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung).
2.6. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin
mulai meningkat secara normal setelah 24 jam dan puncaknya pada hari ke-3-5. Setelah
itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

2.7. Klasifikasi
2.7.1 Ikterus Fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin
serum, tetapi bila jumlahnya kurang dari 12 mg/dl. pada hari ketiga hidupnya
dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis.
Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir adalah kadar bilirubin serum total
biasanya mencapal puncak pada hari ke-3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dl.,
kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat
muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin
terkonyugasi kurang dari 2 mg/dl.
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor. faktor
lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum
yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang
sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung memiliki kadar puncak
bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada
munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin
karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari

6
dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang
belum matur, serta peningkatan sirkulasi enterohepatik.
2.7.2 Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus yang
kemungkinan menjadi patologik atau dapat dianggap sebagai hiperbilirubinemia
adalah:
a) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
b) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
c) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang bulan
dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan
d) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim C6PD dan sepsis)
e) Ikterus yang disebabkan oleh bayi baru lahir kurang dari 200 gram yang
disebbakan karena usia ibu dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun dan
kehamilan pada remaja, masa gestasi kurang dari 35 minggu, asfiksia,
hipoksia, syndrome gangguan pernapasan, infeksi, hipoglikemia,
hiperkopnia, hiperosmolitas.
2.7.3 Kern Ikterus
Kern ikterus adalah sindrom neurologik akibat dari akumulasi bilirubin
indirek di ganglia basalis dan nuklei di batang otak. Faktor yang terkait dengan
terjadinya sindrom ini adalah kompleks yaitu termasuk adanya interaksi antara
besaran kadar bilirubin indirek, pengikatan albumin, kadar bilirubin bebas,
pasase melewati sawar darah-otak, dna suseptibilitas neuron terhadap injuri.
2.7.4 Ikterus Hemolitik
Ikterus hemolitik atau ikterus prahepatik adalah kelainan yang terjadi
sebelum hepar yakni disebbakan oleh berbagai hal disertai meningkatnya
proses hemolisis (pecahnya sel darah merah) yaitu terdapat pada inkontabilitas
golongan darah ibubayi, talasemia, sferositosis, malaria, sindrom
hemolitikuremik, sindrom Gilbert, dan sindrom Crigler-Najjar.
Pada ikterus hemolitik terdapat peningkatan produksi bilirubin diikuti
dengan peningkatan urobilinogen dalam urin tetapi bilirubin tidak ditemukan
di urin karena bilirubin tidak terkonjugasi tidak larut dalam air. Pada neonatus
dapat terjadi ikterus neonatorum karena enzim hepar masih belum mampu

7
melaksanakan konjugasi dan ekskresi bilirubin secara semestinya sampai ±
umur 2 minggu.
Temuan laboratorium adalah pada urin didapatkan urobilinogen,
sedangkan bilirubin adalah negatif, dan dalam serum didapatkan peningkatan
bilirubin tidak terkonjugasi, dan keadaan ini dapat mengakibatkan
hiperbilirubinemia dan kernikterus (ensefalopati bilirubin).

2.8. Penegakan Diagnosis


2.8.1 Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, tetapi masih dapat
digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus
kulit berwarna karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan
metode visual tidak direkomendasikan, tetapi apabila terdapat keterbatasan alat
masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif
segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara
visual, sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat
dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang
kurang.
2. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
3. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.

2.8.2 Bilirubin serum


Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis
ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan
serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap
dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah
bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium

8
foil). Beberapa pusat kesehatan menyarankan pemeriksaan bilirubin direk. Bila
kadar bilirubin total lebih dari 20 mg/dl. atau usia bayi lebih dari 2 minggu.

2.8.3 Bilirubinometer transkutan.


Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan
prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang
gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan upakan representasi warna kulit
neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TB) dahulu menggunakan alat yang
amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan
multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen.
Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining bukan untuk
diagnosis.
Briscoe, dkk (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif
untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102)
dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo).
Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia
gestasi lebih dari 34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi
pada konsentrasi bilirubin serum lebih dari 14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari
penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin
(TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n = 303, r = 0.76, p < 0.0001), tetapi
interval prediksi cukup besar sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk
mengukur TSB. Namun, disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat
digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan
skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh, dkk. (2004)
menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara
rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari
segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

2.8.4 Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO


Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini
menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi
bilirubin serum yang rendah.

9
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin
bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini
berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin.bilirubin
menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas,
tatalaksana ikterus neonatorum lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan
gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran
konsentrasi CO yang dikeluarkan oleh pernapasan dapat digunakan sebagai
indeks produksi bilirubin.
Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus
Hari 1 Bagian tubuh manapun
Hari 2 Lengan dan tungkai Berat
Hari 3 Tangan dan kaki
Tabel. Perkiraan klinis tingkat keparahan ikterus.
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh mana pun pada hari pertama dan
terlihat pada lengan, tungkai, tangan, dan kaki pada hari kedua maka
digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar
secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum
untuk memulai terapi sinar.

2.9. Penilaian Awal Ikterus Bilirubin


Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulita tampak berwarna
kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi
empedu warna kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan
ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri.

Keterangan :
Daerah 1: Kepala dan leher.
Daerah 2: Daerah 1(+) badan bagian atas.
10
Daerah 3: Daerah 1, 2 (+) badan bagian bawah dan tungkai.
Daerah 4: Daerah 1, 2, 3 (+) lengan dan kaki di bawah lutut.
Daerah 5: Daerah 1, 2, 3, 4 (+) telapak tangan dan kaki.

2.10. Penilaian Klinik Lengkap


1) Uji coombs direk : Untuk menentukan diagnosis penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir, hasil positif mengindikasikan sel darah merah bayi telah terpajan (di selimuti
antibodi).
2) Uji coombs indirek :Mengukur jumlah antibodi Rh positif dalam darah ibu.
3) Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompabilitas ABO.
4) Kadar bilirubin total dan direk : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi
1,0-1,5mg/dL yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak
terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5mg/dL dalam 24 jam atau tidak
lebih dari 20mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15mg/dL pada bayi preterm
(tergantung berat badan).
5) Serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dL menandakan penurunan kapasitas
ikatan, terutama pada bayi preterm.
6) Glukosa serum : kadar dextrosit mungkin kurang dari 45% glukosa darah lengkap
kurang dari 3mg/dL atau tes glukosa serum kurang dari 40mg/dL bila bayi baru
lahir hipoglikemia dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam
lemak.
7) Hitung darah lengkap : hemoglobin darah (HB) mungkin rendah (kurang dari
14mg/dLz) karena hemolisis hematokrit (HT) mungkin meningkat (kurang dari
45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.

11
2.11. Penanganan Awal, Stabilisasi Umum dan Rujukan

2.12. Penatalaksanaan
a. Ikterus fisiologis
Pada bayi sehat dan tanpa faktor risiko, tidak perlu tindakan terapi Perlu
diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin
tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil Untuk mengatasi ikterus pada
bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
1) Minum ASI dini dan sering
2) Terapi sinar sesuai dengan panduan WHO
3) Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning)
Bilirubin serum total 24 jam pertama lebih dari 4,5 mg/dl, yang dapat
digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat
pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia
karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar
Tata laksana awal ikterus neonatorum (WHO)

12
1) Mulai terapisinar bila terus diklasifikasikan sebagal ikterus berat
2) Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut berat lahir kurang dari 25
kg lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolysis, atausepsis
3) Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin
semukan gelungen darahi havt dan luokan tes Coombs.
4) Bila kadar bilicate serta bawah niat dibutuhkannya terapi sinar
5) Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar.
6) Bila faktor rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring
G6PD bila memungkinkan.
7) Tentukan diagnosis banding
b. Tata laksana hiperbilirubinemia
Hemolitik paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor rhesus atau
golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata
laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apa pun
penyebabnya.
1) Bila nilal bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar
lakukan terapi sinar.
2) Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar
hemoglobin kurang dari 13 g/dl (hematokrit kurang dari 40%). dan tes Coombs
positif, segera rujuk bayi.
3) Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa sehingga tidak memungkinkan untuk
dilakukan tes Coombs, ikterus telah terlihat sejak hari pertama, dan hemoglobin
kurang dari 13 g/dL. (hematokrit kurang dari 40 %). segera rujuk bayi.
4) Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
a) Persiapkan transfer.
b) Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau pusat dengan fasilitas
transfusi tukar
c) Kirim contoh darah ibu dan bayi.
d) Jelaskan kepada ibu tentang penyebab hayi menjadi kuning mengapa perlu
dirujuk, dan terapi apa yang akan diterima bayi
5) Nasihati ibu:

13
a) Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas rhesus, pastikan ibu
mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan
dengan kehamilan berikutnya.
b) Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk
menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi
(contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfs, aspirin,
kamfer/mothbails, favabans)
e) Bila hemoglobin kurang dari 10 g/dl. (hematokrit kurang dan 30%).
berikan transfusi darah
d) Bila ikterus menetap selama dua minggu atau lebih pada bayi cukup bulan
atau tiga minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir kurang dari 2.5 kg
atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus
berkepanjangan (prolonged jaundice).
6) Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama
empat minggu. Bila hemoglobin kurang dari 8 g/dl (hematrokit kurang dari 24%
berikan transfusi darah.
c.Ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice)
1) Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga dua minggu pada
neonatus cukup bulan dan tiga minggu pada neonatus kurang bulan.
2) Terapi sinar dihentikan dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari
penyebab.
3) Bila buang air besar bayi pucat atau urine berwarna gelap, persiapkan
kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau bila memungkinkan rujuk
ke rumah sakit pusat khusus untuk evaluasi lebih lanjut.
4) Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.

2.13. Pencegahan
Pencegahan perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti wayat
inkompatibilitas ABO sebelumnya AAP dalam rekomendasinya mengemukakan
beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagal berikut
A. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan
hampir cukup bulan yang sehat, Dokter dan paramedis harus notivasi ibu untuk
menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.

14
Rendahnya asupan kalori dan/atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan
proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorim Meningkatkan
frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia
yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin
terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun
dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat
mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin
serum.
B. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki
risiko tinggi ikterus neonatorum.
1) Pemeriksaan golongan darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan
rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah
menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan rhesus Apabila golongan
darah ibu adalah 0 dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali
pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
2) Penilaian klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala
untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki
prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya
setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain. Pada bayi
baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga
memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam
ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian
ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki
angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah,
kemudian menjalar ke kaudal dan ekstremitas.

BAB III
PENUTUP

15
3.1. Kesimpulan
Ikterus adalah perubahan warna kuning pada sklera, kulit dan membran
mukosa yang disebabkan akumulasi bilirubin pada jaringan atau cairan interstitial,
timbul apabila kadar bilirubin dalam serum meningkat menjadi 2,0 - 3 mg/dl/ Ikterus
merupakan suatu gejala dari berbagai macam kelainan yang sangat bervariasi
beratnya, mulai dari penyakit hepar dan traktus biliaris yang membahayakan jiwa
sampai gangguan transport bilirubin yang ringan.Ikterus neonatorum adalah keadaan
klinis pada bayi yang ditandai dengan pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat
akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir adalah kadar bilirubin serum total
biasanya mencapal puncak pada hari ke-3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dl.,
kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat
muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi
kurang dari 2 mg/dl.Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium lain
harus dilakukan untuk mengetahui penyakit penyebab ikterus. Terapi ideal untuk
menghilangkan ikterus adalah dengan mengobati penyebabnya.

3.2. Saran
Sebagai seorang bidan kita harus bisa mendeteksi secara dini pada kasus ikterus agar
tindakan dapat segera diberikan sehingga tidak terjadi mortalitas maupum morbiditas
pada neonatus
Sebagai seorang mahasiswa kita harus memahami dan mempelajari teori ikterus
neonatorum dengan seksama karena nantinya akan menjadi bekal saat praktek klinik atau
saat menjadi seorang bidan.

16
DAFTAR PUSTAKA
Daianty, M, Arum, D, dkk 2018, “Asuhan Kebidanan Nonatus, Bayi, Balita, dan Anak
Prasekolah”, Yogyakarta, Penerbit ANDI
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2010, "Pedoman PWS KIA", Departemen
Kesehatan
Yuliarty, Dina, 2020, " Faktor-faktor yang Mempengaaruhi Pengetahuan Ibu Nifas Tentang
Ikterus Neonatorum Pada Bayi Umur 0-7 Hari di Puskesmas Kecamatan Senen
Jakarta Pusat", KTI, AKBID RSPAD Gatot Soebroto.
Nova, Nada, 2018, "Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Bayi Baru Lahir Dengan Ikterus
Neonatorum Di RSUD Syekh Yusuf Gowa", KTI UIN Alaudin Makassar
Titik, M, Lulut, S & Yuniasih P 2018, 'Risiko Kejadian Ikterus Neonatorum Pada Neonatus
Dengan Riwayat Afiksia Bayi Baru Lahir di RSD dr. Soebandi Jember', Jurnal
Kperawatan Terapan, Vol. 4, No. 2, hh. 154-164

17

Anda mungkin juga menyukai