Disusun Oleh :
Nia P.S Nainggolan, S.Ked (206100802049)
Sinda Agatha, S.Ked (206100802006)
Stefy Astry D. Masil, S.Ked ( 196100802030)
Wedro Nugraha, S.Ked (216100802029)
PEMBIMBING :
dr. Nunun Chatra Kristinae, Sp.THT-KL
KEPANITERAAN KLINIK
KSM TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA DAN LEHER
RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
PALANGKA RAYA
2022
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
DYSFAGIA ET CAUSA PARESE NERVUS IX, X
LAPORAN KASUS
Telah memenuhi syarat untuk diujikan di bagian SMF/Ilmu Kesehatan THT-KL
ii
KATA
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya laporan kasus yang berjudul “DYSFAGIA ET CAUSA
PARESE NERVUS IX, X” ini akhirnya dapat diselesaikan. Laporan kasus ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Kesehatan THT-KL di RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya. Pada
kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih ke pada dr. Nunun Chatra
Kristinae, Sp.THT- KL selaku pembimbing kelompok kami.
Laporan kasus ini disusun dengan kemampuan kami yang sangat terbatas
dan masih banyak kekurangan, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun demi perbaikan dan kesempurnaan laporan ini. Semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................... ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3
2.1 Anatomi dan fisiologi ...................................................................... 3
2.2 Disfagia ............................................................................................ 9
2.2.1 Definisi. ............................................................................................ 9
2.2.2 Epidemiologi. ................................................................................... 9
2.2.3 Etiologi...................................................................................................10
2.2.4 Patofisiologi............................................................................................10
2.2.5 Diagnosis................................................................................................11
2.2.6 Tatalaksana.............................................................................................14
2.2.7 Komplikasi..............................................................................................17
2.2.8 Prognosis.................................................................................................17
BAB III KASUS...........................................................................................................18
3.1 Identitas Pasien.......................................................................................18
3.2 Anamnesis...............................................................................................18
3.2.1 Keluhan Utama.......................................................................................18
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang.....................................................................18
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu........................................................................19
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga.....................................................................19
3.2.5 Riwayat Kebiasaan..................................................................................19
3.3 Pemeriksaan............................................................................................19
3.3.1 Status Generalis......................................................................................19
3.3.2 Status Lokalis..........................................................................................20
3.3.3 Pemeriksaan Darah.................................................................................21
3.3.4 Pemeriksaan Radiologis..........................................................................22
3.4 Diagnosis................................................................................................25
iv
3.5 Terapi......................................................................................................25
3.6 Prognosis.................................................................................................25
3.7 Diagnosa Banding...................................................................................26
3.8 Follow Up...............................................................................................26
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................27
BAB V PENUTUP.....................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................30
v
BAB I
PENDAHULUAN
Disfagia atau sulit menelan merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esofagus. Istilah disfagia harus dibedakan dengan
odinofagia atau nyeri menelan yang merupakan gejala yang sering dikeluhkan
akibat adanya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring dan
hipofaring. Pada penderita disfagia terdapat gangguan gerakan otot-otot menelan
dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung. Sedangkan
pada penderita odinofagia biasanya tidak terdapat gangguan apapun pada proses
menelan dan refleks muntahnya masih positif. Keluhan disfagia dapat disertai
dengan keluhan lainnya seperti odinofagia (nyeri waktu menelan), rasa panas di
dada, rasa mual, muntah, regurgitasi, hematemesis, melena, anoeksia,
hipersalivasi dan berat badan yang cepat berkurang. Pasien biasa datang dengan
keluhan utama terdapat sensasi makanan yang tersangkut di daerah leher atau
dada ketika menelan.1
Menurut US National Database, insidensi disfagia pasca stroke lebih
tinggi pada masyarakat asia dan grup minoritas lainnya dibandingkan dengan ras
kulit putih, menunjukkan bahwa terdapat disparitas ras dalam perkembangan
disfagia pasca stroke. Prevalensi disfagia meningkat seiring dengan bertambahnya
usia seseorang dan merupakan problem kesehatan yang utama pada pasien lanjut
usia. Di Amerika dilaporkan bahwa stroke merupakan penyebab utama disfagia
mekanik dengan prevalensi mencapai 51-73 % dimana terdapat gejala disfagia
pada pasien penderita stroke.2
Canadian Association of Gastroenterology Practical Guidelines :
Evaluation of dysphagia, membagi klasifikasi disfagia menjadi dua macam:
disfagia orofaring dan disfagia esofageal. Disfagia orofaring disebabkan oleh
abnormalitas/ gangguan pada struktur atau fungsi dari orofaring. Sedangkan
disfagia esofageal disebabkan oleh abnormalitas/gangguan pada struktur atau
fungsi dari esofagus.3 Disfagia esofageal kemudian dapat dibagi lagi menjadi
1
2
3
4
tendo dan otot-otot. Sewaktu me-nelan, ontraksi otot-otot ini akan menyebabkan
laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja
untuk membuka mulut dan membantu menggerakkan lidah.2
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringis
superior dan n.laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf
motorik dan sensorik. Nervus laringis superior mempersarafi m.krikotiroid,
sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini
mula-mula terletak di atas m.konstriktor faring medial, di sebelah medial a.karotis
interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang hioid, dan setelah
menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam 2
cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus.2
diarahkan ke dalam esofagus dan dicegah untuk masuk ke dalam saluran napas
seperti saluran hidung dan trakea. Seorang Individu tidak akan berusaha untuk
bernapas ketika saluran napasnya tertutup sementara karena pusat menelan secara
sementara menghambat pusat respirasi yang berdekatan. Uvula terangkat dan
menekan bagian belakang tenggorok menutup saluran hidung dari faring sehingga
makanan tidak masuk ke hidung. Posisi lidah yang menekan langit-langit keras
menjaga agar makanan tidak masuk kembali ke mulut sewaktu menelan.5
Makanan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasilaring dan
penutupan erat lipatan vokal di pintu masuk laring, atau glotis. Bagian pertama
trakea adalah Icrring, atau kotak suara, yang melaluinya lipatan vokal teregang.
Sewaktu menelan, lipatan vokal melakukan tugas yang tidak berkaitan dengan
berbicara. Kontraksi otot-otot laring mendekatkan kedua lipatan vokal satu sama
lain sehingga pintu masuk glotis tertutup . Terakhir, epiglotis (epi artinya "di
atas"). penutup jaringan kartilagenosa yang terletak di anterior glotis, melipat ke
belakang menutupi glotis yang telah tertutup sebagai proteksi tambahan agar tidak
masuk ke saluran pernapasan. Dengan glotis yang tertutup, otot-otot faring
berkontraksi untuk mendorong bolus ke dalam esophagus.5
Sfingter faringoesofagus menjaga pintu masuk ke esofagus selalu tertutup
sebagai hasil dari kontraksi otot rangka sirkular sfingter yang dipengaruhi oleh
saraf. Kontraksi tonik stingter esofageal atas mencegah masuknya udara dalam
jumlah besar ke dalam esofagus dan lambung sewaktu bernapas. Udara hanya
diarahkan ke dalam saluran napas. Jika tidak, saluran cerna akan menerima
banyak gas. yang dapat menimbulkan eructation (sendawa) berlebihan. Sewaktu
menelan, sfingter ini terbuka dan memungkinkan bolus masuk ke dalam esofagus.
Setelah bolus beradadi dalam esofagus, sfingter faringoesofagus menutup, saluran
napas terbuka, dan bernapas kembali dilakukan.5
Pusat menelan memicu gelombang peristaltik primer yang menyapu dari
pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di depannya menelusuri esofagus
untuk masuk ke lambung. Kata peristalsis merujuk kepada kontraksi otot polos
sirkular berbentuk cincin yang bergerak prugresif maju, mendorong bolus ke
bagian di depannya yang masih melemas. Sewaktu gelombang peristalsis
menyapu
8
2.1 Disfagia
2.1.1 Definisi
Disfagia atau kesulitan menelan merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esofagus. Keluhan ini akan timbul bila terdapat
gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari
rongga mulut ke lambung.9 Disfagia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan
gejala yang merupakan akibat dari penyebab yang mendasari.11
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi disfagia meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang
dan merupakan masalah kesehatan yang utama pada pasien lanjut usia. Dilaporkan
bahwa stroke merupakan penyebab utama disfagia mekanik.2 Sekitar 51-73%
pasien dengan stroke mengalami disfagia, yang merupakan faktor resiko
bermakna berkembangnya pneumonia.12
Prevalensi disfagia pada tahun 2012 berdasarkan usia, yaitu 10% - 22%
mengenai pasien usia 50 tahun keatas. Tingginya angka insidensi tersebut
berdampak pada peningkatan risiko aspirasi cairan maupun makanan kedalam
saluran pernafasan. Aspirasi yang terjadi pada saluran pernafasan dapat berakibat
pada timbulnya pneumonia aspirasi.13 Hal tersebut didukung oleh data National
Institue of Health Stroke Scale (NIHSS) yang menunjukkan bahwa sebanyak 43%
- 50% pasien stroke mengalami pneumonia aspirasi dengan tingkat mortalitas
mencapai 45%.14
Disfagia karena cedera otak traumatis / traumatic brain injury (TBI) bisa
multifaktoral, tetapi terutama terjadi karena gangguan neurologis pada salah satu
atau semua dari tiga fase menelan (fase oral, fase faringeal dan laringeal) dan
disfungsi komunikasi, kognitif dan perilaku. Sifat variabel TBI menignkatkan
kompleksitas disfagia pada pasien, tergantung pada tingkat keparahan dan lokasi
cedera neuroanatomi. Derajat disfagia yang terjadi dapat ringan hingga berat,
sehingga seringkali memerlukan pemberian makanan enteral.13
1
2.1.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas disfagia mekanik, disfagia
motorik, dan disfagia oleh gangguan emosi.9
a. Disfagia Mekanik
Disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor dan
benda asing. Penyebab lain akibat peradangan mukosa esofagus, striktur lumen
esofagus, serta akibat penekanan lumen esofagus dari luar, misalnya oleh
pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, dan kelenjar getah bening di
mediastinum. Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esofagus.
Pada keadaan normal lumen esofagus orang dewasa dapat meregang sampai 4 cm.
Keluhan disfagia mulai timbul bila dilatasi ini tidak mencapai diameter 2,5 cm.9
b. Disfagia Motorik
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuskular yang
berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan
saraf otak n.V, n.VII, n.IX, n.X, dan n.XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta
gangguan peristaltik esofagus dapat menyebabkan disfagia. Kelainan otot polos
esofagus yang dipersarafi oleh komponen parasimpatik n. Vagus dan neuron
nonkolinergik pasca ganglion (post ganglionic noncholinergic) di dalam ganglion
mienterik akan menyebabkan gangguan kontraksi dinding esofagus dan relaksasi
sfingter esofagus bagian bawah, sehingga dapat timbul keluhan disfagia.
Penyebab utama dari disfagia motorik adalah akalasia, spasme difus esofagus,
kelumpuhan otot faring dan skleroderma esofagus.9
c. Globus Histerikus
Keluhan disfagia yang timbul bila terdapat gangguan emosi atau tekanan
jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.9
2.1.4 Patofisiologi
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang
berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari
beberapa faktor, yaitu ukuran bolus makanan, diameter lumen esofagus yang
dilalui bolus,
1
kontraksi peristaltik esofagus, fungsi sfingter esofagus bagian atas dan bawah,
serta kerja otot rongga mulut dan lidah.9
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila sistem neuro-muskular
mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring
dan uvula, persarafan ekstrinsik esofagus bekerja dengan baik, sehingga aktivasi
motorik berjalan lancar. Kerusakan pada pusat menelan dapat menyebabkan
kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot esofagus dan sfingter esofagus
bagian atas. Oleh karena otot esofagus dan sfingter esofagus bagian atas juga
mendapatkan persarahan dari inti motor nervus vagus, maka aktivitas peristaltik
esofagus masih tampak pada kelainan di ital. Relaksasi sfingter esofagus bagian
bawah terjadi akibat peregangan langsung dinding esofagus.9
2.1.5 Diagnosis
a. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis yang cermat untuk
menentukan diagnosis kelainan atau penyakit yang menyebabkan timbulnya
disfagia. Jenis makanan yang menyebabkan disfagai dapat memberikan informasi
kelainan yang terjadi. Pada disfagia mekanik, mula-mula kesulitan menelan hanya
terjadi pada waktu menelan makanan padat. Bolus makanan tersebut kadang perlu
didorong dengan air dan pada sumbatan yang lebih lanjut, cairan pun akan sulit
ditelan. Bila sumbatan ini terjadi secara progresif dalam beberapa bulan, maka
harus dicurigai kemungkinan adanya proses keganasan di esofagus. Sebaliknya
pada disfagia motorik, yaitu pada pasien akalasia dan spasme difus esofagus,
keluhan sulit menelan makanan padat dan cairan dalam waktu yang bersamaan.9
Waktu dan perjalanan keluhan disfagia dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas untuk diagnostik. Disfagia yang hilang dalam beberapa hari dapat
disebabkan oleh peradangan. Disfagia yang terjadi dalam beberapa bulan dengan
penurunan berat badan yang cepat, dicurigai adanya keganasan di esofagus.
Lokasi rasa sumbatan di daerah dada dapat menunjukkan kelainan esofagus
bagian torakal, tetapi bila sumbatan terasa di leher, maka kelainannya dapat di
faring, atau esofagus bagian servikal. Gejala lain yang menyertai disfagia, seperti
1
dalam endoskop dan yang kedua evaluasi menelan makanan berwarna dengan
berbagai konsistensi.15 Endoskop dimasukkan melalui hidung melewati nasofaring
dan ditempatkan di dalam laringofaring di atas pita suara palsu. Bolus berbentuk
cair dan padat diberi warna hijau sehingga mudah dilihat.10
2.1.6 Tatalaksana
Terdapat beberapa cara penanganan rehabilitasi penderita disfagia, yaitu:
teknik postural, modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan, modifikasi
diet, compensatory swallowing maneuver, teknik untuk memperbaiki oral sensory
awareness, stimulasi elektrik, terapi latihan, dan penyesuaian peralatan yang
digunakan.10
a. Teknik Postural
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan postur kepala dan
tubuh dapat mengeliminasi terjadinya aspirasi pada penderita disfagia. Sebaiknya
terapis harus mengetahui secara tepat gangguan anatomi dan fisiologik yang
dialami penderita sebelum menentukan postur yang tepat. Beberapa teknik
postural yang di-gunakan yaitu: chin down atau chin tuck, chin up, head rotation,
head tilt, dan lying down.10
c. Modifikasi diet
Modifikasi tekstur bolus sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
aspirasi. Makanan dengan konsistensi cair lebih sulit dikontrol dan lebih mudah
1
f. Stimulasi elektrikal
Neuromuscular electrical stimulation (NMES) bekerja dengan memberikan
stimulasi listrik pada otot-otot menelan lewat elektroda yang ditempatkan di atas
otot-otot tersebut. Beberapa studi tentang penggunaan stimulasi listrik ini
menunjukkan bahwa NMES merupakan alternatif terapi yang efektif dan aman
untuk penderita disfagia serta dapat digunakan pada anak-anak. Penggunaan
NMES ini efektif pada disfagia akibat penyakit tertentu seperti stroke, kanker
pada kepala dan leher, serta multipel sclerosis.10
g. Terapi latihan
Terapi latihan digunakan untuk me-nguatkan otot-otot, meningkatkan
lingkup gerak sendi (LGS) dan koordinasi dari mulut, rahang, bibir, lidah,
palatum, dan pita suara. Terapi latihan yang biasanya digunakan antara lain:
latihan LGS
1
rahang, latihan penguatan otot lidah, latihan adduksi pita suara, dan latihan
metode Shaker.10
h. Penyesuaian peralatan yang digunakan
Beberapa peralatan telah dibuat untuk membantu penderita disfagia,
termasuk penderita yang juga mengalami kelemahan ekstremitas atas yang akan
memengaruhi kemandirian penderita untuk makan. Peralatan tersebut misalnya
gelas dengan sedotan, nose cutout cup, plate guard, sedotan, serta garpu dan
sendok yang dimodifikasi.10
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi disfagia yang sering terjadi dapat berupa aspirasi pneumonia,
malnutrisi, dehidrasi, obstruksi jalan napas bila bolus berukuran cukup besar yang
memasuki jalan napas, dan kematian.10
2.1.8 Prognosis
Gangguan menelan yang diakibatkan oleh stroke atau traumatic brain injury
memiliki potensi untuk pulih. Mann et al. mendapatkan bahwa sekitar 87%
penderita stroke kembali ke diet semula setelah 6 bulan, tetapi hasil
videofluroskopi menun-jukkan terdapat 51% penderita yang tetap menunjukkan
adanya gangguan pada proses menelan. Penderita dengan kondisi yang statis atau
progresif seperti amyo-thropic lateral sclerosis, multipel sklerosis, muskular
distrofik, dan Parkinsonisme harus dievaluasi secara periodik, dengan
mempertimbangkann pemberian nonoral feeding.10
BAB III
KASUS
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dengan
keluhan sulit menelan sejak 10 hari SMRS.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, rujukan
dari RS Kuala Pembuang, diantarkan oleh istri pasien dengan keluhan sulit
menelan sejak 10 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan sering tersedak dan tidak
dapat menelan makanan apapun yang dimakan bahkan pasien juga tidak dapat
menelan air liurnya sendiri. Sebelumnya, pasien pernah dirawat RS Kuala
Pembuang selama 3 hari. Beberapa waktu sebelum dirujuk, pasien muntah
sebanyak kurang lebih 2 kali. Pasien menyampaikan bahwa tidak ada riwayat
trauma atau luka dileher. Saat ini pasien makan masih melalui NGT, keluhan
mual-muntah disangkal. Pasien juga tidak mengeluh batuk,pusing, demam atau
pembengkakan di leher. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal.
18
1
3.3 Pemeriksaan
3.3.1 Status Generalis
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tanda Vital : Tekanan Darah : 142/98 mmHg
Nadi : 79 x/menit, reguler, isi cukup,
kuat angkat
Respirasi : 22 x/menit, thoraco-abdominal
Suhu : 36,8 ℃ axilla
SpO2 : 99 % udara bebas
- Kepala : Normocephal
- Mata : Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
- Wajah : Simetris
2
6. Trakea ditengah.
Kesan :
- Kardiomegali
- Paru tidak tampak kelainan
3.4 Diagnosis
- Disfagia et causa Parese Nervus IX dan X
- SNH
- Acute Kidney Injuri (AKI) dd/ Acute on Chronic Kidney Diseases (ACKD)
- Hipertensi
- Hiperkolesterol
3.5 Terapi
a. Non farmakoterapi
- Diet makanan yang lunak melalui NGT
b. Farmakoterapi
- IVFD D5 % 20 tpm
- Inj. Citicolin 2x500 mg
- Inj. Mecobalamin 2x500 mg
- Inj. Cefotaxime 2x1 gr H8
- Inj. Ranitidin 2x50 mg
- PO Ketocid (Asam Keto dan Asam Amino Esensial) 3x1
- PO Aspilet 1x80mg
- PO Candesartan 1x16 mg
- PO Herbeser 2x200mg
- PO Nystatin drop 3x1,5 cc sublingual
- PO Chlorpromazine 1x25mg bila cegukan
3.6 Prognosis
Quo ad vitam : ad dubia
Quo ad functionam : ad
dubia Quo ad sanationam :
ad dubia
2
3.8 Follow Up
Tanggal Senin 05-12-2022
Subjektif
Sulit Menelan dan tersedak.
Objektif TD: 142/98 mmHg N: 79 x/m RR: 22 x/m Suhu: 36,8 ℃ SPO2: 99%
Leher : Mobilisasi leher tidak ada halangan, Massa (-), Edema (-
), kulit leher tidak tampak kemerahan.
Pemeriksaan THT :
Faringoskopi : tonsil T1/T1 tenang, Faring tidak tampak
hiperemis, Arcus faring tidak simetris
Assesment
Disfagia et causa parese nervus IX dan nervus X
Plan
- IVFD D5 % 20 tpm
- Inj. Citicolin 2x500 mg
- Inj. Mecobalamin 2x500 mg
- Inj. Cefotaxime 2x1 gr H8
- Inj. Ranitidin 2x50 mg
- PO Ketocid (Asam Keto dan Asam Amino Esensial) 3x1
- PO Aspilet 1x80mg
- PO Candesartan 1x16 mg
- PO Herbeser 2x200mg
- PO Nystatin drop 3x1,5 cc sublingual
- PO Chlorpromazine 1x25mg bila cegukan
BAB IV
PEMBAHASA
N
27
28
5.1 Kesimpulan
Disfagia atau sulit menelan merupakan salah satu gejala atau penyakit di
orofaring dan esofagus. Disfagia terbagi tiga yaitu disfagia mekanik, disfagia
motorik dan globus histerikus. Disfagia motorik disebabkan oleh kelainan
neuromuskular yang berperan dalam proses menelan, kelainan saraf otak N. V, N.
VII, N.IX, N. X, dan N. XII, kelumpuhan otot faring, lidah serta gangguan
peristaltik esofagus. Stroke merupakan penyebab utama disfagia motorik dengan
prevalensi 51-73%.
Berdasarkan anamnesis pada pasien ditemukan keluhan sulit menelan dan
tersedak, pasien juga memiliki riwayat stroke 2 tahun yang lalu, kemudian dari
pemeriksaan fisik didapatkan parase nervus IX dan X. Pemeriksaan penunjang
didapatkan CT Scan kepala non kontras terdapat infark lacunar pada ganglia
basalis kanan dan genu capsula interna kiri. Sedangkan pada pemeriksaan
Oesofagus Maag Duodenum (OMD) memberikan kesan dalam batas normal.
Sehingga disfagia pada pasien merupakan disfagia motorik yang disebabkan oleh
stroke yang dialaminya.
Adapun tatalaksana yang diberikan yaitu Inj. Cefotaxime 2x1 gram
sebagai antibiotik mencegah risiko infeksi dari pemasangan NGT, Inj. Ranitidine
2x1 ampul. Selain farmakoterapi pasien juga disarankan melakukan pengaturan
posisi tubuh, neuromuscular electrical stimulation, serta repetitive transcranial
magnetic stimulation, Compensatory swallowing maneuver, terapi latihan.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Adel Ebada El Sayed, R., & Mohamed Khalifa Ewees, A. (2021). Effect of
Shaker Exercise on Dysphagia Level among Patients with Cerebral
Vascular Stroke. Egyptian Journal of Health Care, 12(1), 646–663.
https://doi.org/10.21608/ejhc.2021.144291
2. . Standring, S. Gray’s Anatomy The Anatomical Basis of Clinical Practice
39th Edition. Livingstone. Elselvier.2005
11. Pratomo SM, Dewi AMK, Santosa YI, Antono S, Minuljo TT, Budiarti
R. Faktor Risiko Disfagia pada Pasien Diabetes Mellitus. Medica
Hospitalia
30
Journal of Clinical Medicine. 2022;9(2):198-194.
31