Anda di halaman 1dari 46

USULAN LAPORAN TUGAS AKHIR

UJI DAYA HAMBAT EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus

adrogynus) TERHADAP BAKTERI Staphylococcus aureus

AGUNG BATARA SURYA


NH0519003

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NANI HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1

A. Latar Belakang........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah................................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian.................................................................................... 4

D. Manfaat Penelitian.................................................................................. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 6

A. Uraian Tanaman Katuk (Sauropus androgynus)..................................... 6

B. Simplisia.................................................................................................. 8

C. Uraian Tentang Bakteri .......................................................................... 12

D. Media Pertumbuhan Bakteri................................................................... 20

E. Jenis-Jenis Bakteri................................................................................... 22

F. Macam-Macam Cara Isolasi Mikroba..................................................... 24

G. Uraian Tentang Ekstraksi........................................................................ 25

H. Uraian Tentang Ekstrak........................................................................... 30

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS......................................... 33

A. Dasar Pemikiran Variabel....................................................................... 33

B. Kerangka Kerja....................................................................................... 34

C. Defenisi Oprasional................................................................................. 35

D. Hipotesis Penelitian................................................................................. 35

BAB IV METODE PENELITIAN..................................................................... 36

ii
A. Jenis Penelitian........................................................................................ 36

B. Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................. 36

C. Populasi dan Sampel............................................................................... 36

D. Alat dan Bahan Penelitian....................................................................... 37

E. Prosedur Kerja......................................................................................... 37

F. Analisis Data........................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 41

SKEMA KERJA................................................................................................. 43

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alam tropis Indonesia menyimpan berbagai kekayaan alam yang

beraneka ragam, baik flora maupun faunanya. Keanekaragaman

mikroorganismenya pun sangat melimpah. Sejak dahulu, masyarakat kita

percaya bahwa penggunaan bahan alam merugikan dibandingkan dengan obat

sintesis. Sehingga diperlukan penelusuran lebih mendalam mengenai

penggunaan tanaman dalam pengobatan (Putri, 2018).

Bahan alam merupakan bahan atau materi organik yang dihasilkan

langsung dari alam yang memiliki khasiat pada bidang kesehatan, kosmetik,

pestisida, makanan fungsional, kegiatan budaya dan hal lainya. Pemanfaatan

bahan alam ini disebabkan karena ada senyawa metabolit sekunder

didalamnya. Metabolit sekunder merupakan molekul kecilyang terdapat pada

tumbuhan atau hewan tetapi paling banyak ditemukan pada tumbuhan yang

memiliki fungsi fisiologi bagi tumbuhan. Senyawa metabolit sekunder pada

tumbuhan berfungsi sebagai pelindung diri tumbuhan dari gangguan

(Awaludin, 2021).

Penggunaan herbal dalam pengobatan komplomenter dan alternatif di

Indonesia semakin populer. Bukti-bukti empiris dan dukungan ilmiah yang

semakin banyak terhadap khasiat herbal memyebabkan herbal semakin

1
2

populer dikalangan masyarakat Indonesia. Mikroorganisme merupakan

makhluk hidup yang berukuran sangat kecil. Aktivitas dari mikroorganisme

bergantung pada keadaan sekitar sehingga dapat mempengaruhi kehidupan

manusia sebagai penyebab terjadinya berbagai macam penyakit yang

merugikan (Yusriyani, 2019).

Daun katuk (Sauropus adrogynus) merupakan merupakan tanaman khas

daerah tropis. Tumbuh berlimpah dikawasan Asia. Daun katuk dipenuhi

senyawa fitokima berkhasiat obat. Daun katuk dapat meningkatkan

metabolisme karbohidrat dan protein didalam sel, sehingga tidak semua

asupan sumber kalori tersebut ditimbun tubuh menjadi lemak. (Wied Harry,

2007). Daun katuk (Sauropus adrogynusi)merupakan daun majemuk genap.

Bunganya berbentuk unik dengan kelopak yang keras berwarna putih semu

kemerahan. Buahnya berbentuk bulat, berukuran kecil-kecil seperti kancing

dan berwarna putih (Fauziah Muhlisah, 2018).

Daun katuk (Sauropus adrogynus ) memiliki kandungan seperti efedrin,

saponin, flavonoid, tanin dan vitamin C. Daun katuk memiliki tingkat

karotenoid provitamin A yang tinggi, terutama pada daun yang baru dipetik

serta tingkat vitamin A dan B yang cukup tinggi, protein dan juga

mineral.Tanaman katuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan, selain bahan

makanan tanaman katuk juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk

penyembuhan penyakit seperti bisul, batuk, demam, mempelancar ASI, dan

darah kotor (Syamsul Hidayat, 2015).


3

Bakteri merupakan mikroorganisme uniseluler yang relatif sederhana.

Karena materi genetik tidak diselimuti oleh selaput membran inti, sel bakteri

tersebut disebut dengan sel bakteri prokariotik secara umum bakteri terdiri

atas beberapa bentuk yaitu basil atau batang, bulat atau spiral (Yusriyani,

2019).

Penelitian terdahulu telah menemukan bahwa daun katuk (Sauropus

adrogynus) memiliki kandungan tanin, saponin, flavonoid dan alkaloid yang

mampu memberikan efek antibakteri. Penelitian yang dilakukan oleh Mueshin

dan Sulaeman menunjukan bahwa pada ekstrak daun katuk ditemukan zat

penghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli (Bagus, 2017).

Berdasarkan data dari penelitian (Saifudin, 2018) bahwa ekstrak dari

daun katuk (Sauropus adrogynus) dapat diformulasikan sebagai salep kulit.

Dan pada penelitian (Bagus, 2017), bahwa ekstrak daun katuk sebagai bahan

pengawet alami dapat membantu dalam pengawetan daging ayam dengan pH

5,4.

Berdasarkan penelitian (Ahmad, 2015) penggunaan obat tradisional daun

katuk (Sauropus adrogynus) didasarkan pada kepercayaan dan pengalaman

yang diturunkan dari generasi ke generasi yang bersifat pengetahuan

tradisional, daun katuk memiliki sifat antikuman dan antiprotozoa karena

mengandung zat aktif tanin dan flavonoid.

Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian mengenai uji

daya hambat ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus) terhadap bakteri

Staphylococcus aureus karena pengggunaan obat tradisional daun katuk pada


4

masyarakat awam yaitu lebih banyak direbus dan diminum, digunakan sebagai

obat demam, diare, luka atau peradangan dan bisul.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, dirumuskan masalah penelitian

apakah ekstrak daun katuk (Sauropus adrogynus) yang memilki kandunggan

senyawa tanin dan flavonoid dapat menghambat bakteri Staphylococcus

aureus?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui uji daya hambat ekstrak

daun katuk (Sauropus adrogynus) terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui ekstrak daun katuk (Sauropus adrogynus) dapat

menghambat bakteri Staphylococcus aureus.

b. Untuk mengetahui diameter zona hambat konsentrasi ekstrak daun

katuk (Sauropus adrogynus).

c. Untuk mengetahui pada konsentrasi berapakah ekstrak dari daun

katuk (Sauropus adrogynus) dapat menghambat bakteri Staphylococcus

aureus.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi institusi, dari hasil penelitian ini dapat menjadi sumber

informasi dan edukasi bagi masyarakat, kampus kesehatan pada umumnya

dan kampus STIKES Nani Hasanuddin Makassar pada khususnya.


5

2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan, diharapkan dari penelitian ini dapat

menjadi referensi ilmiah khususnya di bidang mikrobiologi.

3. Manfaat bagi peneliti, memberikan informasi tentang manfaat atau khasiat

dari daun katuk (Sauropus adrogynus) sebagai antimikroba.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Tanaman Katuk (Sauropus androgynus)

Daun katuk (Sauropus adrogynus) adalah daun yang bisa digunakan

sebagai sayuran yang menyehatkan terutama bagi ibu yang sedang

menyusui karena dapat memperlancar ASI. Daun katuk (Sauropus

adrogynus) merupakan tanaman yang memiliki kandungan karotenoid

tinggi dan kandungan zat aktif papaverin (Tjuk Imam, 2018).

1. Klasifikasi Tanaman Katuk (Sauropus adrogynus):

Gambar 2.1 Tanaman Katuk

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Euphorbialess

Family : Euphorbiaceae

Genus : Sauropus

Spesies : Sauropus adrogynus L (Awaludin, 2021)

6
7

2. Morfologi tanaman

Tanaman katuk berbentuk perdu atau tumbuhan kayu yang

bercabang-cabang. Tingginya mencapai 2-3 meter. Cabang-cabangnya

agak lunak dan terbagi, daun tersusun selang-seling pada satu tangkai,

berbentuk lonjong sampai bundar dengan panjang 2,5 cm dan lebar

mencapai 1,25-3 cm. Batang berkayu, bulat. Bunga tunggal atau

berkelompok tiga, majemuk bentuk payung diketiak daun, mahkota

bulat telur, warna ungu. Buahnya bertangkai panjang (Syamsul

Hidayat, 2015)

3. Nama daerah

Nama daerah dari tanaman katuk ada beberapa macam yaitu,

memata,cekur manis, sayur manis (Melayu), simani (Minangkabau),

katuk (Sunda), kebing dan katukan (Jawa), kerakur (Madura) (Joko,

2018).

4. Bagian yang dimanfaatkan

Bagian yang dimanfaatkan dari tanaman katuk yaitu daun. Karena

daun biasanya digunakan sebagai bahan makanan dan bisa digunakan

sebagai obat tradisional (Syamsul Hidayat, 2015)

5. Kandungan

Tanaman katuk memiliki kandungan seperti efedrin, saponin,

flavonoid, tanin dan vitamin C. Daun katuk memiliki tingkat

karotenoid provitamin A yang tinggi, terutama pada daun yang baru


8

dipetik serta tingkat vitamin A dan B yang cukup tinggi, protein dan

juga mineral (Syamsul Hidayat, 2015)

6. Manfaat

Tanaman katuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan, selain

bahan makanan tanaman katuk juga dimanfaatkan sebagai obat

tradisional untuk penyembuhan penyakit seperti bisul, batuk, demam,

mempelancar ASI, dan darah kotor (Syamsul Hidayat, 2015).

7. Cara penggunaan

Dibuat sayur dari daun katuk, baik dikonsumsi oleh ibu yang

sedang menyusui karena dapat membantu memperlancar produksi ASI

(Syamsul Hidayat, 2015).

8. Waktu pengambilan

Waktu pengambilan yang baik untuk sampel daun katuk yaitu

pada pagi hari.

9. Bagian daun yang diambil

Menurut penelitian (Lilis Suhaillah, 2017) bagian daun katuk yang

baik untuk penelitian yaitu bagian daun muda berwarna hijau.

B. Simplisia

Simplisia merupakan bahan alamiah yang digunakan sebagai obat,

belum mengalami pengolahan apapun, dan jika tidak dinyatakan atau

disebutkan lain, simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia

dapat berupa simplisia nabati, hewani dan simplisia pelikan atau mineral

(Suharmiati, 2019).
9

Simplisia adalah bahan baku alamiah yang digunakan untuk membuat

ramuan tradisional yang belum mengalami pengolahan apapun kecuali

proses pengeringan (Afifah Efi, 2019).

1. Jenis-Jenis Simplisia

Simplisia nabati merupakan simplisia berupa tanaman utuh,

bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman yaitu isi sel

yang secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu

dikeluarkan oleh selnya.

Simplisia hewani merupakan simplisia berupa hewan utuh, bagian

hewan atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum

berupa zat kimia murni.

Simplisia pelikan atau mineral merupakan simplisia berupa bahan

pelikan atau mineral yang belum ataupun telah diolah dengan cara

sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Suharmiati, 2019).

2. Tahapan Pembuatan Simplisia

Berikut adalah tahapan dalam pembuatan simplisia yaitu

(Suharmiati, 2019):

a) Pengumbulan bahan baku

Kadar senyawa aktif dalam satu simplisia berbeda-beda,

antara lain tergantung pada bagian tanaman yang digunakan, umur

tanaman atau bagian tanaman saat panen, waktu panen, dan

lingkungan tempat tumbuh.


10

b) Sortasi basah

Kegiatan sortasi basah perlu dilakukan untuk membuang

bahan lain yang tidak berguna atau berbahaya. Misalnya rumput,

kotoran binatang, bahan-bahan yang busuk, dan benda lain yang

bisa mempengaruhi kualitas simplisia.

c) Pencucian

Agar bahan baku bebas dari tanah atau kotoran yang melekat

dan bersih, maka harus dilakukan pencucian. Pencucian bisa

dilakukan dengan menggunakan air PDAM, sumur, atau air sumber

yang bersih.

d) Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses

perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk

mempermudah pengeringan, pengepakan, dan penggilingan.

Tanaman yang baru diambil sebaiknya tidak langsung dirajang,

akan tetapi dijemur terlebih dahulu dalam keadaan utuh selama 1

hari.

e) Pengeringan

Tujuan dari pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia

yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu

yang lama,. Mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi

enzimatik bisa mencegah penurunan mutu atau kerusakan simplisia


11

f) Sortasi kering

Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan

simplisia. Tujuan sortasi yaitu untuk memisahkan benda-benda

asing, seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan

pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal.

g) Pengepakan dan penyimpanan

Tujuan pengepakan dan penyimpanan yaitu untuk melindungi

agar simplisia tidak rusak atau berubah mutunya karena beberapa

faktor, baik dari dalam maupun luar seperti cahaya, oksigen, reaksi

kimia intern, dehidrasi, penyerapan air, kotoran, atau serangga.

h) Pemeriksaan mutu

Simplisia harus memenuhi persyaratan umum untuk simplisia

seperti dalam Farmakope Indonesia. Secara umum, simplisia harus

memenuhi persyaratan kadar air yang tepat, tidak berjamur, tidak

mengandung lendir, tidak berwarna dan berubah bau, serta tidak

terserang serangga.

3. Suhu Pembuatan Simplisia

Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar

matahari atau dengan menggunakan suatu alat pengeringan. Hal yang

perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan.

Suhu pengeringan bergantung pada simplisia dan cara pengeringan.

Pengeringan dapat dilakukan antara suhu 30 ̊ - 90 ̊ C (terbaik umumnya

pada suhu 60 ̊ C). Jika simplisia mengandung bahan aktif tidak tahan
12

panas atau mudah menguap, pengeringan dilakukan pada suhu serendah

mungkin, misalnya pada suhu 30 ̊ - 40 ̊ C atau dengan cara pengeringan

vakum atau metode pengeringan untuk mengeluarkan air dari bahan

yang akan dikeringkan (Nani, 2019).

C. Uraian Tentang Bakteri

Nama bakteri berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata bacterion

yang berarti batang kecil. Bakteri merupakan mikroorganisme bersel satu

prokariotik yang hidup bebas dan dapat ditemukan di beberapa lingkungan

seperti di udara, tanah, debu, air, serta hidup di dalam tubuh tumbuhan,

hewan, atau manusia (Tetty Setiowati, 2007).

Bakteri merupakan mikroorganisme uniseluler yang relatif sederhana.

Karena materi genetik tidak diselimuti oleh selaput membran inti, sel

bakteri tersebut disebut dengan sel bakteri prokariotik secara umum

bakteri terdiri atas beberapa bentuk yaitu basil atau batang, bulat atau

spiral (Yusriyani, 2019). Bakteri Berikut adalah uraian bakteri Escherichia

coli:

1. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang

berbentuk bulat dengan diameter 0,8-1,0 µm dan tersusun

bergerombol tidak beraturan, kadang-kadang seperti untaian buah

anggur, tidak dapat bergerak dan tergolong bakteri aerob sampai

anaerob fakultatif. Staphylococcus aureus merupakan

mikroorganisme yang normal ada dikulit, hidung, tenggorokan dan


13

saluran pencernaan manusia. Bakteri ini banyak dijumpai pada

selaput hidung, kulit, dan kantung rambut (Rollando, 2019).

Staphylococcus aureus menghasilkan enzim katalase. Hal ini

yang membedakannya dengan Streptococcus. Bakteri ini

merupakan kelompok bakteri yang dapat meragi karbohidrat

(antara lain manitol) dan menghasilkan asam laktat sehingga dapat

diidentifikasi salah satunya dengan media Mannitol Salt Agar dan

tumbuh dengan cepat pada suhu 370C. S.aureus dapat bertahan

pada kondisi kering, panas pada suhu 500C selama 30 menit dan

dalam larutan NaCI 9 %. Koloni yang terbentuk pada media

sederhana padat berbentuk bulat dengan diameter 1-2 mm, warna

putih hingga kuning emas, tepi utuh, kenaikan permukaan

melengkung dan tekstur halus, basah dan opaque (Rollando, 2019).

Staphylococcus aureus mengeluarkan enterotoksin pada

makanan yang berprotein tinggi. Enterotoksin ini bersifat

termostabil, tahan terhadap aktivitas pemecahan oleh enzim-enzim

pencernaan dan relatif tahan terhadap pengeringan. Patogenitas

Staphylococcus aureus merupakan efek gabungan dari berbagai

macam metabolit yang dihasilkannya. Setiap jaringan atau organ

tubuh dapat diinfeksi oleh Staphylococcus dan menyebabkan

timbulnya penyakit dengan tanda-tanda yang khas, yaitu

peradangan setempat, nekrosis dan pembentukan abses. S.aureus

adalah patogen utama pada manusia, karena menyebabkan


14

keracunan makanan dan infeksi kulit. Infeksi lokal pada kulit dapat

berupa jerawat, infeksi folikel rambut atau abses. Jika

Staphylococcus menyebar dan terjadi bakteremia, maka dapat

terjadi endokarditis, osteomielitis, meningitis atau infeksi paru-

paru (Rollando, 2019).

2. Klasifikasi Staphylococcus aureus sebagai berikut :

Divisio Protophyta

Class Schizomycetes

Ordo Eubacteriales

Famili Micrococcaceae

Genus Staphylococcus

Spesies Stapylococcus aureus

(Lisnawati & Prayoga, 2020).

Gambar 2.1 Bakteri Stapylococcus aureus

3. Morfologi dan karakteristik umum

Stapylococcus berasal dari kata staphyle berarti untaian buah

anggur dan coccus berarti bakteri yang memiliki morfologi

berbentuk bulat seperti untaian anggur dengan diameter 0,75-1,25

µm. Stapylococcus aureus adalah bakteri gram positif, bersifat


15

aerob atau anaerob fakultatif, bersifat pathogen dengan sel

berbentuk peluru serta tahan hidup dalam lingkungan yang

mengandung garam dengan konsentrasi tinggi, misalnya NaCI

10%. Hasil penawaran yang berasal dari perbenihan padat akan

memperlihatkan susunan bakteri yang bergelombol seperti anggur,

sedangkan yang berasal dari perbenihan cair bisa melihat bentukan

kuman yang lepas sendiri-sendiri, berpasangan atau rantai pendek

yang pada umumnya lebih dari empat sel. Untuk membiakkan

Staphylococcus aureus dalam keadaan anaerob diperlukan suhu

optimal antara 28-380C atau sekitar 350C. Apabila bakteri tersebut

diisolasi dari seorang penderita, suhu optimal yang diperlukan

adalah 370C. pH optimal untuk pertumbuhan Staphylococcus

aureus adalah 7,0-7,5. Pada umumnya Staphylococcus aureus

dapat tumbuh pada medium yang biasa dipakai di Laboratorium

bakteriologi. Pada keadaan mati bakteri ini masih dapat

menghasilkan enterotoksin missal pada makanan yang telah

membusuk. Staphylococcus aureus menyebabkan penyakit melalui

kerja toksin tanpa memperhatikan infeksi invasif. Keracunan

makanan karena enterotoksin ditandai mual muntah dan diare.

Bakteri ini biasa dijumpai pada kulit yang terluka atau pada jerawat

dan dapat berkembang secara cepat sehingga akan menimbulkan

infeksi atau penyakit bagi manusia. Selain kemampuan

berkembang-biak yang cepat bakteri ini juga mampu untuk


16

menyebar secara luas ke dalam jaringan (Lisnawati & Prayoga,

2020).

4. Sifat umum bakteri Staphylococcus aureus

Karateristik dari Staphylococcus aureus adalah berbentuk

bulat (kokus), dengan pewarnaan Gram bersifat Gram positif,

tersusun seperti buah anggur. Dibedakan dengan bakteri

Streptococcus sp dengan uji katalase, pada S.aureus memberikan

uji katalase positif. Bakteri S.aureus bersifat aerob atau fakultatif

anaerob, bersifat halofilik artinya dapat hidup dalam lingkungan

yang mengandung garam tinggi. Misal NaCl konsentrasi 10 %,

tidak bergerak, beberapa galur bakteri tersebut dapat membentuk

kapsul, pada umumnya galur yang virulen dapat menghemolisiskan

eritrosit. Daya tahan bakteri terhadap antiseptika bervariasi, dalam

larutan hydrogen peroksida 3 % mati dalam waktu 3 menit, larutan

fenol 2 % bisa mati dalam waktu 15 menit, sedang dalam larutan

iodium tincture mati dalam 1 menit (Menaldi et al., 2016).

5. Antibakteri

Bahan antibakteri diartikan sebagai bahan yang mengganggu

pertumbuhan dan metabolisme bakteri, sehingga bahan tersebut

dapat menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh bakteri.

Cara kerja bahan antibakteri antara lain dengan merusak dinding

sel, merubah permeabilitas sel, merubah molekul protein dan asam


17

nukleat, menghambat kerja enzim, serta menghambat sintesis asam

nukleat dan protein (Lisnawati & Prayoga, 2020).

Pemakaian antibakteri yang berlebihan menyebabkan mikroba

yang semula sensitif terhadap antibiotik menjadi resisten. Oleh

karena itu, senyawa antibakteri diperlukan untuk mengatasi bakteri

resisten tersebut. Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak

terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Sifat ini

dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup.

Resistensi dibagi dalam kelompok resistensi genetik, resistensi non

genetik dan resistensi silang. Mekanisme resistensi terhadap

antimikroba antara lain : perubahan tempat kerja (target site) obat

pada mikroba; mikroba menurunkan permeabilitasnya hingga obat

sulit masuk ke dalam sel; inaktivasi obat oleh mikroba; mikroba

membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat

oleh antimikroba; dan meningkatkan produksi enzim yang

dihambat oleh antimikroba (Lisnawati & Prayoga, 2020).

6. Penggolongan Zat-Zat Antibakteri

Kemoterapeutika antimikroba dapat digolongkan atas dasar

mekanisme kerjanya dalam zat-zat bakterisid dan bakteriostatis

sebagai berikut :

a. Zat-zat bakterisid (L.caedere = mematikan), yang pada dosis

biasa berkhasiat mematikan kuman. Obat-obat ini dapat dibagi

pula dalam dua kelompok yakni : yang bekerja :


18

1) Terhadap fase tumbuh, misalnya penisilin dan sefalosporin

,polipeptida (polimiksin, basitrasin) rifampisin, asam

nalidiksat dan kuinolon-kuinolon. Zat-zat ink kurang

efektif terhadap kuman dalam fase tersebut.

2) Terhadap fase istirahat, misalnya aminoglikosida,

nitrofurantion, INH, kotrimoksazol dan juga polipeptida

tersebut diatas.

b. Zat-zat bakteriostatis (L.statis =menghentikan), yang pada

dosis biasa terutama berkhasiat menghentikan pertumbuhan

dan perbanyakan kuman. Permusnahan harus dilakukan oleh

sistem tangkis tubuh sendiri dengan jalan fagositosis

(‘dimakan’ oleh limfosit). Contohnya adalah sulfonamide,

kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida dan linkomisin, PAS

serta asam fusidat (Hoan Tjay & Rahardja, 2013).

Penggolongan ini tidak mutlak, karena faktor konsentrasi

(dosis) dan waktu turut menentukan kegiatan obat. Kebanyakan

bakteriostatika menjadi bakterisid pada dosis sangat tinggi, yang

biasanya terlalu toksis untuk diberikan pada manusia. Lagi pula

kepekaan kuman bagi obat memegang peranan; pada dosis tertentu

obat dapat berdaya bakterisid untuk suatu kuman dan hanya

bakteriostatis bagi kuman lain. Secara klinis perbedaan ini

biasanya tidaklah penting, karena pada akhirnya daya tahan tubuh

juga memegang peranan bagi pemusnahan kuman-kuman patogen.


19

Pengecualian adalah pengobatan infeksi dari penderita yang

memiliki daya tahan tubuh terganggu, mis. penderita AIDS,

pengguna kortikosteroida, sitostatika dan obat-obatan ysng

menekan imunitas. Pada kasus demikian obat-obatan bakterisid

yang harus digunakan (Hoan Tjay & Rahardja, 2013)

7. Pengukuran Daya Antibakteri

Ada dua cara pengukuran daya antibakteri yaitu :

a. Dilusi cair atau dilusi padat

Metode dilusi digunakan untuk menghitung konsentrasi

minimal suatu agen antibiotik yang dibutuhkan untuk

menghambat atau mematikan suatu mikroorganisme. Agen

antibiotik yang akan di uji di encerkan dalam berbagai

konsentrasi, kemudian diukur konsentrasi terendah yang

menghambat atau membunuh pertumbuhan mikroorganisme.

Pada dilusi cair, agen antibiotik uji di campur dengan suspensi

bakteri pada media cair, sedangkan pada dilusi padat agen

antibakteri di campur dengan media agar, kemudian di tanam

bakteri (Lisnawati & Prayoga, 2020).

b. Difusi

Metode difusi digunakan untuk menentukan apakah suatu

bakteri uji bersifat peka, resisten atau intermediet terhadap

suatu agen antibaketri. Agen antibakteri yang diujikan akan

berdifusi melalui media agar. Pada percobaan ini, metode difusi


20

yang digunakan adalah cara sumuran. Agen antibiotik

diteteskan pada sumuran dengan diameter 3 mm yang dibuat

pada media agar yang telah diinkulasi dengan bakteri, diukur

zona hambatan pada sekitar sumuran. Pembacaan hasil

pengukuran daya antibakteri dalam metode difusi dikenal 2

macam zona yaitu :

1. Zona radikal adalah suatu daerah di sekitar disk atau

sumuran yang tidak ditemukan pertumbuhan bakteri sama

sekali (jernih). Daya antibakteri diukur dengan mengukur

diameter dari zona ini.

2. Zona non radikal adalah suatu daerah di sekitar disk atau

sumuran di mana terlihat pertumbuhan bakteri yang kurang

subur dibandingkan dengan daerah di luar pengaruh agen

antibakteri. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan

bakteri hanya dihambat tetapi tidak dimatikan oleh agen

antibakteri tersebut (Lisnawati & Prayoga, 2020).

D. Media Pertumbuhan Bakteri

Media adalah campuran nutrien atau zat makanan yang dibutuhkan

oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan. Media selain untuk

menumbuhkan mikroba juga dibutuhkan untuk isolasi dan inokulasi

mikroba serta untuk uji fisiologi dan biokimia mikroba. Media yang baik

untuk pertumbuhan mikroba adalah yang sesuai dengan lingkungan

pertumbuhan mikroba tersebut, yakni susunan makananya dimana media


21

harus mengandung air untuk menjaga kelembaban dan untuk pertukaran

zat atau metabolisme, juga mengandung sumber karbon, mineral, vitamin

danm gas, tekanan osmose yaitu harus isotonik, derajat keasaman atau Ph

umumnya netral tapi ada juga yang alkali, temperatur harus sesuai dan

steril (Yusmaniar, 2017).

Media adalah suatu bahan yang digunakan untuk menumbuhkan

mikroba yang terdiri atas campuran nutrisi atau zat-zat makanan. Selain

untuk menumbuhkan mikroba, media dapat juga digunakan untuk isolasi,

memperbanyak, pengujian sifat-sifat fisiologis dan perhitungan jumlah

mikroba (Ramadhani, 2020).

Berdasarkan bentuknya media dibedakan menjadi (Yusmaniar, 2017):

1. Media Cair

Media cair digunakan untuk pembenihan diperkaya sebelum

disebarkan ke media padat, tidak cocok untuk isolasi mikroba dan tidak

dipakai untuk mempelajari koloni kuman. Contoh media cair adalah

nutrient broth (NB), Pepton dilution fluid (PDF), Lactose broth (LB),

Mac conkey broth (MCB).

2. Media Semi Padat

Media semi padat adalah media yang mengandung agar sebesar

0,5%.

3. Media Padat

Media padat mengandung komposisi agar sebesar 15%. Media

padat digunakan untuk mempelajari koloni kuman, untuk isolasi dan


22

memperoleh biakan murni. Contohnya adalah Nutrient agar (NA),

Potato detrose agar (PDA), Plate count agar (PCA).

a) Media Isolasi

Media yang mengandung unsur esensial yang dibutuhkan

untuk pertumbuhan mikroba.

b) Media Diperkaya

Media diperkaya merupakan media yang mengandung

bahan dasar untuk pertumbuhan mikroba dan zat-zat tertentu yang

ditambahkan seperti serum, kuning telur.

4. Media Selektif

Media selektif merupakan media cair yang ditambahkan zat

tertentu untuk menumbuhkan mikroorganisme tertentu dan diberikan

penghambat untuk mikroba yang tidak diinginkan. Contoh media yang

ditambahkan ampicilin untuk menghambat mikroba lainya.

E. Jenis-Jenis Bakteri

Bakteri dibedakan berdasarkan bentuk dasar bakterinya yaitu (Tetty

Setiowati, 2007):

1. Bakteri batang

Bakteri berbentuk batang dikenal sebagai basil. Bentuk basil

dapat dibedakan menjadi:

a) Basil tunggal yaitu bakteri yang hanya berbentuk satu batang

tunggal.
23

b) Diplobasil adalah bakteri berbentuk batang yang bergandengan

dua-dua.

c) Streptobasil adalah bakteri berbentuk batang bergandengan

membentuk rantai.

2. Bakteri bulat

Bakteri berbentuk bulat (kokus) dibedakan menjadi:

a) Monokokus adalah bakteri berbentuk bulat tunggal.

b) Diplokokus adalah bakteri berbentuk bulat yang bergandengan

dua-dua.

c) Streptokokus adalah bakteri yang berbentuk bulat yang

berkelompok membentuk rantai.

d) Stafilokokus adalah bakteri berbentuk bulat yang berkelompok

membentuk seperti buah anggur.

e) Sarkina adalah bakteri berbentuk bulat yang berkelompok

empat-empat membentuk seperti kubus.

3. Bakteri spiral

Bakteri berbentuk spiral dibedakan menjadi:

a) Spiral adalah bakteri yang berbentuk spiral.

b) Vibrio adalah bakteri berbentuk seperti bentuk tanda baca

koma.

c) Spiroseta adalah bakteri berbentuk seperti spiral yang bergerak

melengkung.
24

F. Macam-Macam Cara Isolasi Mikroba

1) Isolasi dengan cara pengenceran (Dilution)

a) Teknik preparasi suspensi

Sampel yang telah diambil kemudian disuspensikan

dalam aquadest steril. Tujuanya adalah melarutkan atau

melepaskan mikroba dari substratnya ke dalam air sehingga

lebih mudah penanganannya. Macam-macam preparasi

bergantung pada bentuk sampel (Ramadhani, 2020).

1. Teknik pengulasan (swab)

Digunakan menggunakan cottom bud steril pada

sampel yang memiliki permukaan luas dan pada umumnya

sulit dipindahkan atau sesuatu pada benda tersebut.

2. Pencucian

Ditujukan untuk melarutkan sel-sel mikroba yang

menempel pada permukaan substrat yang luas tapi relatif

berukuran kecil. Misalnya daun dan bunga.

3. Penghancuran (Maserasi)

Sampel yang berbentuk padat dapat ditumbuk dengan

mortar dan pestle sehingga mikroba yang ada

dipermukaan atau didalam dapat terlepas kemudian

dilarutkan dalam air.

4. Teknik pengenceran bertingkat


25

Tujuan dari pengenceran bertingkat yaitu

memperkecil atu mengurangi jumlah mikroba yang

tersuspensi dalam cairan.


26

G. Uraian Tentang Ekstraksi

1. Defenisi Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu teknik pemisahan berdasarkan

partisi analit di antara dua fase. Ekstraksi didefenisikan sebagai

transfer selektif satu atau beberapa senyawa dari satu fase ke fase lain

(Latifah, 2019).

Ekstraksi ialah sebuah proses yang dilakukan untuk

mendapatkan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan

ataupun hewan dengan pelarut yang sesuai dalam standar prosedur

ekstraksi (Dirjen POM, 2008).

Ekstraksi merupakan tahap interaksi sampel dengan pelarut untuk

memperoleh komponen yang diharapkan (Latifah, 2019).

2. Tujuan Ekstraksi

Tujuan dari dilakukanya proses ekstraksi yaitu tidak lain untuk

mendapatkan analit (mendapat satu atau sekelompok senyawa) yang

terkandung dalam suatu sampel. Agar proses ekstraksi memberikan

efesiensi yang baik, penggunaan pelarut yang tepat merupakan aspek

yang vital (Latifah, 2019).

3. Pelarut Ekstraksi
27

Pelarut ekstraksi umumnya dikategorikan berdasarkan

polaritasnya, pelarut polar dapat mengekstraksi analit yang bersifat

polar. Bila analit yang akan diekstraksi bersifat non polar, maka

pelarut yang lebih sesuai bersifat non polar mengikuti kaidah. Secara

umum, pelarut dapat dikategorikan sebagai berikut (Latifah, 2019):

a) Pelarut Polar

Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk

mengekstraksi senyawa-senyawa yang polar dari sampel

biofarmaka. Pelarut polar cenderung universal digunakan karena

walaupun polar tetap dapat menyari senyawa-senyawa dengan

tingkat kepolaran lebih rendah. Contohnya adalah air, metanolo,

etanol, dan asam asetat.

b) Pelarut Semipolar

Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih

rendah dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk

mendapatkan senyawa-senyawa semipolar dari sampel biofarmaka.

Contohnya adalah aseton, etil asetat, dan kloroform.

c) Pelarut Nonpolar

Pelarut nonpolar baik untuk mengekstraksi senyawa-senyawa

yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar. Pelarut ini baik

untuk mengekstraksi berbagai jenis minyak dan lemak. Contoh

pelarut ini adalah heksana dan eter.


28

4. Metode Ekstraksi

Secara umum ekstraksi dibedakan menjadi dua kategori besar

yaitu ekstraksi dengan bantuan pemanasan dan ekstraksi tanpa

pemanasan. Pemanasan dapat meningkatkan energi kinetik molekul

analit pada sampel (bila sampel berupa tanaman obat yang sudah

dikeringkan dikenal dengan simplisia) danj juga molekul pelarut

sehingga pemanasan diyakini dapat meningkatkan efesiensi ekstraksi

melalui peningkatan tumbuhan efektif antara molekul analit dengan

pelarut. Berikut metode ekstraksi yang digunakan untuk ekstraksi

padat-cair komponen aktif dari simplisia tanaman obat (Latifah,

2019).

a) Metode Maserasi

Maserasi merupakan metode ekstraksi sederhana yang

dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut

selama beberapa waktu. Umumnya dilakukan pada suhu kamar.

Pelarut dapat diganti beberapa kali untuk meningkatkan efesiensi

ekstraksi. Metode ini banyak digunakan untuk mengekstraksi

komponen analit yang termolabil dan mudah larut dalam pelarut

pengekstraksi.

b) Metode Perlokasi

Perlokasi adalah metode ekstraksi dengan mengalirkan

pelarut melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Digunakan

radas khusus yang dilengkapi dengan cerat dan bagian penyaring


29

pada bagian cerat. Metode ini dikenal dengan metode ekstraksi

dingin karena tidak menggunakan pemanasan.

c) Metode Refluks

Metode refluks merupakan metode ekstraksi dengan

menggunakan pemanasan. Simplisia dimasukan ke dalam labu

didih beserta dengan pelarut. Setelah labu didih dihubungkan

dengan kondesor pendingin, dilakukan pendidihan sampel selama

waktu yang ditentukan.

d) Metode Soxhletasi

Soxhletasi merupakan metode ekstraksi simplisia secara

berkesinambungan. Pada metode ini ekstraksi soxhletasi

digunakan radas khusus. Pelarut ditempatkan dalam labu didih,

sedangkan sampel dikemas dalam selongsong dan ditempatkan

pada radas soxhlet yang dihubungkan dengan labu didih dan

kondesor pendingin. Pelarut yang dipanaskan menguap dan

didinginkan pada kondesor sehingga kembali menjadi cairan

pelarut yang membasahi sampel dan mengekstraksi komponen.

e) Metode Ekstraksi Lainya

Selain metode ekstraksi yang dijelaskan pada poin

sebelumnya, sampel biofarmaka dapat juga diekstraksi dengan

metode lain seperti distilasi uap, ekstraksi dengan bantuan

gelombang mikro, dan ekstraksi dengan bantuan gelombang

ultrasonik. Destilasi uap ialah metode yang popular untuk


30

ekstraksi komponen yang mudah menguap (seperti minyak atsiri)

dari sampel biofarmaka yang umunya berupa tanaman.

H. Uraian Tentang Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi

zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut yang diuapkan

dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga

memenuhi baku yang telah (Nia Lisnawati, 2020).

Ekstrak merupakan sediaan umum yang tercantum dalam farmakope

Indonesia 2014. Ekstrak yaitu sediaan pekat yang dperoleh dengan

mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani (Erindyah, 2019).

Ekstrak adalah sediaan cair, kental atau kering yang merupakan hasil

proses ekstraksi atau penyarian suatu matriks atau simplisia menurut cara

yang sesuai (Anindi, 2020).

Ekstrak merupakan sediaan kering, kental, atau cair yang dibuat

dengan cara mengambil sari simplisia menurut cara yang tepat dan diluar

pengaruh cahaya matahari langsung (Bambang Sudewo, 2019).

1) Jenis-Jenis Ekstrak

Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati, yang

mengandung etanol sebagai pelarut dan pengawet. Jika tidak

dinyatakan lain pada masing-masing monografi, tiap ml ekstrak

mengandung bahan aktif dari 1 gram simplisia yang memenuhi syarat

(Erindyah, 2019).
31

Ekstrak kental yaitu ekstrak yang diperoleh apabila sebagian besar

cairan penyari sudah diuapkan.

Ekstrak kering adalah ekstrak yang diperoleh jika sudah tidak

mengandung pelarut atau cairan penyari (Anindi, 2020).

2) Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Ekstrak

(a). Faktor Biologi

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asalnya yaitu tumbuhan

obat dan khusus dipandang dari segi biologi. Faktor biologi, baik

untuk bahan bahan tumbuhan obat hasil budaya ataupun tumbuhan

liar yang meliputi, identitas jenis, lokasi tumbuhan asal, periode

pemanen, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan

bagian yang digunakan.

(b). Faktor Kimia

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan sel yaitu tumbuhan

obatnya khususnya dipandang dari segi kandungan kimianya.

Faktor kimia bahan tumbuhan obat hasil budidaya ataupun dari

tumbuhan liar, meliputi, kandungan senyawa aktif, rasio dari

senyawa aktif, rata-rata senyawa aktif dalam bahan, komposisi,

perbandingan ukuran alat ekstraksi, pelarut yang digunakan,

kandungan senyawa, kandungan logam, kandungan pestisida

(Anindi, 2020).
32

3) Nilai PH

Alat pengukur PH atau dikatakan PH meter, adalah alat yang

digunakan untuk mengukur PH atau menentukan derajat keasaman

pada suatu larutan. PH normal memiliki nilai 7 sementara bila PH

lebih dari 7 menunjukan zat tersebut memiliki sifat basa sedangkan

nilai yang kurang dari 7 maka menunjukan keasaman (Pebra

Heriansyah, 2020).
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Dasar PemikirannVariabel

Variabel penelitian pada dasarnya yaitu segala sesuatu yang berbentuk

apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh

informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

Daun katuk (Sauropus adrogynus) mempunyai banyak fungsi atau

manfaat dalam kehidupan. Daun katuk juga bermanfaat untuk melindungi

struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, anti inflamasi, mencegah

keropos tulang, dan sebagai antibakteri alami. Fungsi lainya yaitu berperan

secara langsung sebagai antibakteri dengan mengganggu fungsi

mikroorganisme seperti bakteri atau virus dan juga dapat meningkatkan

imunitas tubuh (Putri dkk, 2018).

Daun katuk (Sauropus adrogynus) mengandung antara lain yaitu

senyawa alkaloid, protein, lemak vitamin mineral, saponin, flavonoid, dan

tannin. Beberapa senyawa kimia yang terdapat dalam tanaman katuk

(Sauropus adrogynus) diketahui sebagai obat.

Uraian diatas menjadi dasar untuk melakukan penelitian tentang apakah

daun katuk (Sauropus adrogynus) dapat menghambat bakteri Staphylococcus

aureus.

33
34

B. Kerangka Kerja

Salah satu pengobatan tradisional adalah dengan


menggunakan daun katuk (Sauropus adrogynus)

Daun katuk mengandung senyawa metabolit sekunder


yang dapat berfungsi sebagai pengobatan

Daun katuk (Sauropus adrogynus) memiliki banyak


vitamin C, A dan antioksidan

Daun katuk (Sauropus adrogynus) dapat membantu


dalam menghambat pertumbuhan bakteri

Pembuatan ekstrak
daun katuk Pembuatan media
(Sauropus bakteri uji
adrogynus)

Ekstrak daun katuk (Sauropus


adrogynus) dan media uji bakteri

Pengujian daya hambat ekstrak daun


katuk (Sauropus adrogynus) pada
bakteri Staphylococcus aureus
35

C. Defenisi Operasional

1. Daun katuk, merupakan sampel yang akan digunakan dalam penelitian.

2. Maserasi adalah metode yang akan digunakan untuk menghasilkan ekstrak

daun katuk (Sauropus adrogynus).

3. Ekstrak daun katuk (Sauropus adrogynus) merupakan hasil ekstraksi dari

sampel daun katuk (Sauropus adrogunus).

4. Bakteri staphylococcus aureus adalah bakteri yang digunakan dalam

penelitian.

5. Kontrol positif pada penelitian ini adalah kelompok kontrol positif yang

menghasilkan efek atau perubahan pada zona hambat bakteri. Pada

penelitian yang digunakan adalah cotrimoxazole.

6. Kontrol negatif pada penelitian ini adalah kelompok kontrol yang tidak

menghasilkan efek atau perubahan pada zona hambat bakteri. Pada

penelitian ini yang digunakan adalah aquadest steril.

D. Hipotesis Penelitian

Adapun dugaan sementara dalam penelitian ini yaitu ekstrak daun katuk

(Sauropus adrogynus) dapat menghambat bakteri staphylococcus aureus.


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium untuk

mengetahui daya hambat daun katuk (Sauropus adrogynus) terhadap bakteri

Staphylococcus aureus.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan

Farmasi Stikes Nani Hasanuddin Makassar.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 7 Juni-7 Juli 2021

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah daun katuk (Sauropus

adrogynus) yang berada di kota Makassar.

2. Sampel

Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 500 gram

simplisia daun katuk (Sauropus adrogynus) dengan konsentrasi 30% 50%

70% dan bakteri Staphylococcus aureus.

36
37

D. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

Adapun alat yang digunakan yaitu autoklaf, batang pengaduk, cawan

petri, cawan porselin, erlenmeyer, gelas ukur, gunting, gelas ukur, gelas

kimia, inkubator, jangka sorong, Laminar Air Flow (LAF), ose, penangas

air, pinset, pipet volume, rak tabung, sendok tanduk, spoit, tabung reaksi,

dan timbangan analitik.

2. Bahan

Adapun bahan yang digunakan yaitu air suling, aluminium foil, biakan

bakteri Staphylococcus aureus, cotrimoxazole, ekstrak daun katuk

(Sauropus adrogynus), etanol 95%, kapas, masker, Nutrient Agar (NA).

E. Prosedur Kerja

1. Pengambilan dan pengolahan sampel

a. Pengambilan Sampel

Daun katuk yang telah diambil dilakukan pembersihan dan

dipisahkan dari kotoran yang menempel pada sampel daun, lalu dicuci

dengan air mengalir, kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan

ditempat yang tidak terkena sinar matahari. Setelah kering lalu diserbukan

kemudian sampel siap diekstraksi.

b. Pembuatan Ekstrak

Ditimbang sebanyak 500 gram, lalu dimasukan kedalam toples kaca

dan ditambahkan etanol 95% hingga sampel terendam rata kemudian

dilakukan maserasi selama 5 hari, sambil dilakukaan pengadukan 1x24


38

jam, setelah 5 hari disaring, hasil dari saringan disimpan untuk diuapkan

pelarutnya dan terbentuk ekstrak kental.

2. Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian harus dilakukan proses

sterilisasi. Alat-alat gelas disterilkan dalam oven besuhu 180̊ C selama 2

jam. Ose dan pinset disterilkan dengan cara pemijaran langsung atau

pembakaran langsung. Untuk alat-alat yang tidak tahan pemanasan dan

beresiko cukup disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121̊ C selama 15

menit.

3. Pembuatan Medium

Ditimbang nurtrien agar (NA) sebanyak 4 gram kemudian dimasukan

kedalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan aquadest. Setelah dicukupkan

hingga volume 100 ml, lalu didihkan dan disterilkan dalam autoklaf

selama 15 menit pada suhu 121̊ C.

4. Penyiapan Bakteri Uji

a). Peremajaan Biakan Murni Bakteri Uji

Bakteri uji Staphylococcus aureus yang berasal dari biakan murni,

diambil satu ose kemudian diinokulasi dengan cara digoreskan pada

medium Nutrien Agar (NA) miring, lalu di inkubasi pada suhu 37 ̊ C

selama 24 jam.
39

b). Pembuatan Suspensi Kultur Bakteri Uji

Hasil biakan murni bakteri diambil satu ose, kemudian

disuspensikan dengan larutan Nacl sehingga didapatkan suspensi

biakan bakteri Staphylococcus aureus.

5. Pembuatan Larutan Uji

Dibuat larutan uji pada ekstrak daun katuk dengan menggunakan

konsentrasi 30% 50% 70%. Ekstrak daun katuk 30% dibuat dengan cara

menimbang 0,3 gram ekstrak kemudian disuspensikan dengan aquadest

100 ml. Ekstrak daun katuk 50% dibuat dengan cara menimbang 0,5 gram

ekstrak kemudian disuspensikan dengan aquadest hingga 100 ml. Ekstrak

daun katuk 70% ditimbang 0,7 gram ekstrak kemudian disuspensikan

dengan aquadest steril 100 ml.

6. Pembuatan Kontrol Positif dan Kontrol Negatif

Untuk membuat kontrol positif digunakan cotrimoxazole 400 mg dan

dilarutkan dalam 20 ml aquadest dan untuk membuat kontrol negatif

digunakan aquadest steril sebanyak 20 ml.

7. Pengujian Mikrobiologi

Disiapkan medium nutrient agar yang berisi suspensi bakteri

Staphylococcus aureus dan dituang secara aseptik kedalam cawan petri

steril sebanyak 15 ml. Kemudian dilanjutkan dengan menempatkan paper

disk yang telah direndam dalam ekstrak daun katuk dengan konsentrasi

30% 50% dan 70% untuk kontrol negatif aquadest steril sebanyak 20 ml,

dan kontrol positif ciprofloxacin 500 mg yang dilarutkan dalam 20 ml


40

aquadest steril, kemudian diletakan pada permukaan media yang telah

memadat secara aseptis dengan menggunakan pinset steril dengan jarak 2-3

cm dari pinggir cawan petri, kemudian diinkubasi pada suhu 37 ̊ C selama 1

x 24 jam. Daerah hambatan yang terbentuk diukur dengan menggunakan

jangka sorong.

8. Pengamatan dan Pengukuran Zona Hambat

Pengamatan dan pengukuran diameter hambatan dilakukan setelah

masa inkubasi 1 x 24 jam, zona hambatan yang terbentuk tersebut diukur

menggunakan jangka sorong.

F. Analisis Data

Cara menganalisis data yaitu data yang diperoleh langsung dari

pengamatan yang dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Farmasi Sekolah

Tinggi Ilmu Kesehatan Nani Hasanuddin Makassar, kemudian diolah secara

statistik Rancangan Acak Lengkap (RAL).


41

DAFTAR PUSTAKA

Afifah Efi. (2019). Khasiat dan Manfaat Temulawak Rimpang Penyembuh Aneka
Penyakit. Agromedia.

Anindi, dkk. (2020). Pengantar Fitokimia D3 Farmasi 2020. IKAPI.

Awaludin, dkk. (2021). Ikan dan Krustasea Aplikasi Bahan Alam Untuk
Pertumbuhan dan Reproduksi. Universitas Borneo Tarakan.

Bagus. (2017). Pengunaan Ekstrak Daun Katuk (Sauropus adrogynus) Sebagai


Bahan Pengawet Alami Daging Ayam. AGRITEPA, Vol. IV, N, 72.

Bambang Sudewo. (2019). Buku Pintar Hidup Sehat Cara Mas Dewa.
Agromedia.

Dirjen POM. (2008). Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan RI.

Erindyah, dkk. (2019). Farmasetika Dasar. Muhammadiyah University Press.

Fauziah Muhlisah. (2018). Sayur dan Bumbu Dapur Berkhasiat Obat. PS.

Joko, S. (2018). Cantik, Sehat dan Bugar Dengan Herbal. PT Bentang Pustaka.

Latifah, dkk. (2019). Dosmetika Buah Merah. IPB Press.

Lilis Suhaillah. (2017). Uji Sensitifitas Filtrat Daun Katuk (Sauropus adrogynus)
Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Dan Escherichia coli. Journal
Ners Community, Vol 08, No, 188.

Nani, dkk. (2019). Modul Penyiapan Simplisia Kelor (Aspek Produksi, Sanitasi
dan Hygiene). HIBAH PPM.

Nia Lisnawati. (2020). Ekstrak Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa blimbi L). CV
Jakad Medika Publishing.

Pebra Heriansyah. (2020). Rahasia Muda Menguasai Kultur Jaringan Tanaman:


Teori dan Praktiknya. IKAPI.

Putri, dkk. (2018). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Katuk
(Sauropus Adrogynus) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Dan
Escherichia coli Dengan Metode Difusi Agar. Indonesia Natural Research
Pharmaceutical Journal Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Vol 2, No,
34.
42

Ramadhani, dkk. (2020). Dasar-Dasar Praktikum Mikrobiologi. CV Pena


Persada Redaksi.

Saifudin, dkk. (2018). Uji Sifat Fisik Dan Antibakteri Salep Ekstrak Daun Katuk
(Sauropus adrogynus). Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. XI No.

Suharmiati. (2019). Khasiat dan Manfaat Jati Belanda Si Pelangsing Tubuh dan
Peluruh Kolestrol. Agromedia.

Syamsul Hidayat. (2015). Kitab Tumbuhan Obat. Agrofio.

Tetty Setiowati. (2007). Biologi Interaktif. Azka Press.

Tjuk Imam. (2018). Buku Berternak Itik Terkini Pakan Alternatif dan
Pengaruhnya Pada Produktivitas Itik Lokal. Panca Terra Firma.

Wied Harry. (2007). Makan Enak Untuk Hidup Sehat, Bahagia, dan Awet Muda.
IKAPI.

Yusmaniar. (2017). Mikrobiologi dan Parasitologi. Kementrian Kesehatan RI.

Yusriyani, dkk. (2019). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun


Katuk(Sauropus adrogynus) Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus Dan Escherichia coli Secara Bioautografi.
Akademi Farmasi Yamasi Makassar Universitas Panca Sakti.

SKEMA KERJA

Sampel daun Katuk- Pembuatan medium Biakan bakteri


(Sauropus adrogynus) murni

Diinokulasi satu
Simplisia Medium Medium
ose dalam
pembiakan perlakuan
medium
Ekstraksi
NA, 37 °C 24 jam 43

Medium Peremajaan
NA bakteri
suspensi dengan
Ekstrak Ampas
etanol cair aquadest
Kesimpulan
Analisis Based Seed
Pembahasan
layer layer Suspensi bakteri
Data
Staphylococcus
Ekstrak etanol kental aureus

Diuapkan
Diletakkan paperdisk
yang telah direndam
Konsentrasi 30 %,
konsentrasi dan KP,KN
50 %, 70 %, serta
Aquadest steril
sebagai KN, Perlakuan
Cotrimoxazole sebagai
KP
Pengujian daya hambat
bakteri

Inkubasi 37°C 24 jam


Pengukuran diameter hambat

Anda mungkin juga menyukai