Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Tuberkulosis


2.1.1 Pengertian tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis.
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak
yang dikeluarkannya. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki
kemungkinan menularkan penyakit TB. Infeksi akan terjadi apabila orang
lain menghirup udara yang mengandung percik renik dahak yang infeksius
tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Kemenkes RI, 2014).

Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan melalui penggalangan


kerja sama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah,
swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional
Pengendalian TB (Kemenkes RI, 2014).

Menurut Dewi (2019 hal 4) Tuberkulosis (TB) paru merupakan infeksi


kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang menyerang
jaringan parenkim paru. Mycobacterium tuberculosis termasuk bakteri aerob
yang sering menginfeksi jaringan yang memiliki kandungan oksigen tinggi.
Mycobacterium tuberculosis merupakan batang tahan asam gram positif,
serta dapat diidentifikasi dengan pewarnaan asam yang secara mikroskopi
disebut Basil Tahan Asam (BTA). Dinding sel M. Tuberculosis kaya lipid
dan lapisan tebal peptidoglikan yang mengandung asam mikolik yang
menyebabkan pertumbuhan mycobacterium tuberculosis menjadi lambat.

11
12

Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain


adalah sebagai berikut (KemkesRI, revisi 2015) :
2.1.1.1 Berbentuk batang dengan panjang 1- 10 mikron, lebar 0,2 – 0,6
mikron, berwarna merah pada pemeriksaan mikroskopis dengan
pewarnaan ZN
2.1.1.2 Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl
Neelsen.
2.1.1.3 Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein
Jensen, Ogawa.
2.1.1.4 Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu lama pada suhu antara 4ºC sampai -70 ºC.
2.1.1.5 Sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet
akan mati dalam beberapa menit.
2.1.1.6 Dalam dahak pada suhu 30 - 37 ºC akan mati lebih kurang 1
minggu.
2.1.1.7 Dapat bersifat dormant (‘tidur’ / tidak berkembang).

2.1.2 Penyebab tuberkulosis


Soeparman (2018 hal 23), menyatakan bahwa penyakit tuberkulosis paru
merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang jaringan organ atau
jaringan tubuh. Penyebab penyakit ini adalah sejenis kuman terbentuk batang
(basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium Tuberculosis. Kuman ini
berbentuk batang mempunyai ukuran 0,5–4 µ x 0,3–0,6 µ dengan batang
tipis, lurus agak bengkok bergranula atau tidak, tunggal berpasangan atau
berkelompok, tidak berspora, tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai
lapisan luar yang tebal, terdiri dari lipoit. Kuman ini mempunyai sifat
istimewa terhadap penghilang warna dengan asam dan alkohol, sehingga
disebut Basil Tahan Asam (BTA).

Adapun etiologinya (BPKM, 2019) yaitu sumber penularan penyakit TB


Paru adalah penderita Tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau
13

bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet


(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman Tuberkulosis
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman Tuberkulosis
tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui system
peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi Tuberkulosis ditentukan oleh
konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

2.1.3 Klasifikasi tuberkulosis


Dalam penelitiannya Eliana (2021 hal 12) mengklasifikasikan Tuberkulosis
dalam 3 (tiga) klasifikasi yaitu :
2.1.3.1 Tuberkulosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam :
a. TB Paru BTA (+)
Kriteria hasil dari tuberkulosis paru BTA positif adalah
sekurang-kurangnya 2 pemeriksaan dari 3 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA (+) atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan
foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.
b. TB Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan foto
rontgen dada menunjukan gambaran Tuberkulosis aktif. TBC
Paru BTA (-), rontgen (+) dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas.
14

2.1.3.2 Tuberkulosis Ekstra Paru


TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu :
a. TBC Ektra-Paru Ringan
Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TBC Ektra-Paru Berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC
saluran kencing dan alat kelamin.
2.1.3.3 Tipe Penderita
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe
penderita yaitu:
a. Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti
Tuberkolosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (Relaps)
Adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan TB Paru dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+).
c. Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan disuatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah.
d. Setelah Lalai (Pengobatan Setelah Drop Out)
15

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan


berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian dating kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA (+).

2.1.4 Cara Penularan Tuberkulosis


Adapun cara penularan Tuberkulosis (TB) (KemkesRI, revisi 2015) sebagai
berikut :
2.1.4.1 Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percikan
dahak yang dikeluarkan. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB
dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak dapat menularkan,
karena sensitivitas dengan pemeriksaan mikroskopis hanya 60%.
2.1.4.2 Infeksi akan terjadi bila seseorang menghirup udara yang
mengandung percikan dahak pasien TB.
2.1.4.3 Pada waktu pasien batuk, bersin dan bicara dapat mengeluarkan
sampai satu juta percikan dahak (droplet nuclei)

Menurut Masriadi (2017 hal 10) Penyakit TB paru ditularkan melalui udara
(droplet nuclei), saat penderita batu, bersin, atau berbicara, kuman TB paru
yang berbentuk droplet akan bertebaran di udara. Droplet yang sangat kecil
kemudian mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung
kuman TB paru. Kuman Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan di udara
selama beberapa jam lamanya, sehingga cepat atau lambat droplet yang
mengandung kuman TB paru akan terhirup oleh orang lain. Droplet tersebut
apabila telah terhirup dan bersarang di dalam paru-paru seseorang, maka
kuman tuberkulosis akan mulai membelah diri (berkembang biak), dari
sinilah akan terjadi infeksi.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada


dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
16

sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat


bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

2.1.5 Pengobatan Tuberkulosis


Menurut Purnama S, (2017) ada dua cara yang tengah dilakukan untuk
mengurangi penderita TB Paru saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Dalam
terapi TB Paru ada istilah yang dikenal dengan DOTS (Directly Observed
Treatment Short Course).
2.1.5.1 Terapi
Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TB
Paru jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal
dengan
istilah DOTS (Directly Observed Treatment Short Course). Strategi
ini diartikan sebagai “pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek oleh pengawasan pengobatan” setiap hari.

Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien,
melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
Deteksi atau diagnosis sangat penting karena pasien yang lepas dari
deteksi menjadi sumber penyebaran TB Paru berikutnya. Pengobatan
TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu :
a. Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap ini penderita mendapatkan obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, kemungkinan besar pasien dengan BTA positif menjadi
BTA negative (konversi) dalam 2 bulan.

b. Tahap Lanjutan
Pada tahap ini penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun
17

dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting


untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya
kekambuhan.

2.1.5.2 Imunisasi
Pengobatan TB Paru yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini
akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit TB Paru.
Vaksin TB Paru, yang dikenal dengan nama BCG tersebut dari
bakteri Mycrobacterium Tuberculosis strain Bacillus Calmette-
Guerin (BCG). Pemberian BCG dua atau tiga kali tidak memberikan
pengaruh terhadap efektivitas peningkatan imunitas tubuh. Karena
itu, vaksinasi BCG cukup diberikan sekali seumur hidup.

Sedangkan menurut (Hoagland dkk, 2016) Penyakit tuberkulosis aktif diobati


dengan terapi kombinasi yang terdiri atas 3 atau lebih obat (biasanya 4).
Selama terapi, pasien dengan TB aktif umumnya diberikan isoniazid (INH),
rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA) dan etambutol (EMB) selama 2 minggu
yang merupakan fase intensif. Kemudian terapi dilanjutkan dengan
pemberian isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan lagi (fase lanjutan) untuk
memusnahkan sisa bakteri yang telah masuk kedalam kondisi dormant.
Tujuan awal dari terapi kombinasi tersebut adalah untuk meminimalkan
perkembangan resistensi terhadap streptomisin setelah obat tersebut
diperkenalkan pertama kali. Saat ini, standar terapi untuk infeksi TB sensitif
obat sangat efektif dalam pembersihan bakteri

2.1.6 Jenis Obat TB


Obat yang digunakan untuk TB Paru digolongkan atas dua kelompok yaitu :
2.1.6.1 Obat primer
Obat primer memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan
toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat
18

disembuhkan dengan obat-obat ini. Contoh obat primer yaitu INH


(isoniazid), Rifampisin, Etabutol, Streptomisin, Pirazinamid. INH
atau isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik (menahan
perkembangan bakteri) dan tuberkulosid (membunuh bakteri).
Isoniazid masih merupakan obat yang sangat penting untuk
mengobati semua tipe TB Paru. Efek sampingnya dapat
menimbulkan anemia sehingga dianjurkan juga untuk mengkonsumsi
vitamin penambah darah seperti pridoksin (vit B6).

2.1.6.2 Obat Sekunder


Obat sekunder merupakan opsional lain dari obat primer, dan
merupakan salah satu solusi dari adanya resistensi terhadap satu atau
lebih obat TB Paru primer (Purnama S., 2016). Meskipun demikian
pengobatan TB Paru hampir selalu mengutamakan tiga obat yaitu
INH, rifampisin dan pirazinamid pada bulan pertama. Contoh obat
sekunder yaitu : Exionamid, Paraminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin dan Kanamisin.

Tabel 2.1 Daftar obat anti Tuberkulosis, yang mempunyai sifat bakterisidal,
sesuai dengan dosis pemakaian, aktivitas obat dan efek samping yang
mungkin terjadi

Dosis
Dosis 2x mg
Harian
Nama Obat (mg/kg/BB/ Efek Samping Aktivitas
(mg/kg/
hari)
BB/hari)
Steptomisin 15-25 25-30 Toksik terhadap Ektra
(S) (0,75 – (0,75 – 1g) nervus vestibular
1g) (N. VIII)
Isoniazid (H) 5-11 15 Neuritis Ektraseluler
Perifer Intraseluler
Hepatotoksik
Rimfapisin 10 10 Hepatitis Ektraseluler
(R) (450 – (450 – Nausea Intraseluler
600mg) 600mg) Vomiting Flu like
19

Syndrome
Prazinamid 30-35 50 Hiperurisemia Aktif dalam
(Z) (1,5 – (1,5 – 3g) Hepatotoksik suasana asam
2g) (Intraseluler)
Sumber : Alsagaff H & Mukty A, 2015

Tabel 2.2 Daftar obat anti Tuberkulosis, yang mempunyai sifat


bakteriostatik, sesuai dengan dosis pemakaian, aktivitas obat dan efek
samping yang mungkin terjadi

Dosis
Dosis 2x mg
Harian
Nama Obat (mg/kg/BB/ Efek Samping Aktivitas
(mg/kg/
hari)
BB/hari)
Etambutol (E) 15-25 50 Neuritis Intraseluler
(900 – Optik Ektraseluler
1200mg) Skin Rash Menghambat
timbulnya
mutan resisten
Etionamid (E) 15-30 - Nausea Intraseluler
(0,75 – Vomiting Ektraseluler
1g) Hepatotoksik Menghambat
timbulnya
mutan resisten
PAS (P) 150 (10- - Gastritis Ektraseluler
12g) Hepatotoksik
Sumber : Alsagaff H & Mukty A, 2015

2.1.7 Mekanisme Resistensi Obat Anti Tuberkulosis


Menurut Kemenkes dalam Manurung (2018), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya resistensi terhadap OAT antara lain :
2.1.7.1 Pemberi jasa/ petugas kesehatan, yaitu didiagnosis tidak tepat;
pengobatan tidak menggunakan panduan yang tepat; dosis, jenis,
obat dan jangka waktu pengobatan tidak akurat
20

2.1.7.2 Pasien, yaitu karena tidak memenuhi anjuran dokter/ petugas


kesehatan; tidak teratur minum OAT; menghentikan pengobatan
sebelum gangguan obat; gangguan penyerapan obat.
2.1.7.3 Program pengendalian TB, yaitu persediaan OAT yang kurang;
kualitas OAT yang disediakan rendah.

2.2 Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Minum OAT


2.2.1 Durasi pengobatan
Menurut studi kualitatif yang dilakukan oleh Gebreweld dkk. (2018)
menyatakan bahwa lama pengobatan dan efek samping obat menjadi
hambatan dalam kepatuhan pengobatan pasien TB paru. Pasien dengan
kondisi minum obat dalam jumlah yang banyak (polifarmasi) dapat
mempengaruhi kepatuhan minum obat. Hal ini dapat disebabkan karena
beberapa obat terdapat interaksi sehingga menimbulkan efek yang tidak
diharapkan. Begitu juga dengan pemilihan obat, beberapa obat memiliki efek
samping yang tidak diharapkan sehingga pasien merasa tidak cocok atau
tidak nyaman dalam minum obat tersebut sehingga sebagian mereka
memutuskan untuk menyerah sehingga dapat terjadi putus obat.

Lamanya durasi pengobatan juga berdampak pada seringnya pasien untuk


melakukan pemeriksaan lanjutan ke fasilitas kesehatan. Setiap pasien akan
mendapatkan jadwal pemeriksaan rutin ke fasilitas kesehatan baik puskesmas
maupun rumah sakit, sesuai dengan jumlah obat yang diresepkan/diterima.

2.2.2 Dukungan keluarga

Dukungan keluarga merupakan suatu dorongan yang diterima dan dirasakan


oleh individu berupa pemberian bantuan, pertolongan dan semangat
(motivasi). Dukungan keluarga tersebut diwujudkan dalam bentuk informasi
verbal maupun non verbal, dan penghargaan dalam bentuk bantuan tingkah
laku maupun materi dari keluarga, saat individu menghadapi suatu masalah
atau keadaan yang dirasakan tidak nyaman bagi individu tersebut. Dukungan
21

keluarga ini menuntun individu meyakini bahwa dirinya dirawat,


diperhatikan dan disayangi oleh keluarga atau orang-orang yang berada dekat
disekitarnya. (Firmana, 2017).

Menurut Yuni Lasmita dkk (2021) dukungan keluarga merupakan salah satu
factor pendukung seseorang dalam melakukan tindakan tertentu, sehingga
merasa nyaman baik secara fisik maupun psikis dalam bertindak.

Dukungan keluarga merupakan bantuan yang dapat diberikan kepada


keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang mana
membuat penerima dukungan akan merasa disayangi, dihargai, dan tentram
(Taylor, 2016). Dukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam menentukan
kepatuhan pengobatan, jika dukungan keluarga diberikan pada pasien TB
Paru maka akan memotivasi pasien tersebut untuk patuh dalam
pengobatannya dan meminum obat yang telah diberikan oleh petugas
kesehatan. Sejumlah orang lain yang potensial memberikan dukungan
tersebut disebut sebagai significant other, misalnya sebagai seorang istri
significant other nya adalah suami, anak, orang tua, mertua, dan saudara-
saudara.

Friedman (2018), berpendapat orang yang hidup dalam lingkungan yang


bersifat suportif, kondisinya jauh lebih baik dari pada mereka yang tidak
memiliki lingkungan suportif. Dalam hal ini, penting sekali bagi pasien TB
Paru untuk berada dalam lingkungan keluarga yang mendukung
kesehatannya, sehingga pasien TB Paru akan selalu terpantau kesehatannya.
Dukungan keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan yang dipandang
oleh anggota keluarga sebagai suatu yang dapat diakses/diadakan untuk
keluarga (dukungan bisa digunakan atau tidak digunakan, tapi anggota
keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap
memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).
22

2.2.3 Usia
Menurut Lasut (2017) Usia adalah usia individu yang terhitung mulai saat
dilahirkan sampai dengan berulang tahun. semakin cukup usia, tingkat
kematangan, dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan
bekerja. Dari segi kepercayaan masyakarakat, seorang yang lebih dewasa
dipercaya dari oran gyang belum tinggi kedewasaanya. Hal ini sebagai
pengalaman dan kematangan jiwa.

Menurut Yasin Dan Priyono (2016) Usia dari tenaga kerja adalah usia
produktif bagi setiap individu. Usia produktif dimana setiap individu sudah
mampu memberikan jasa bagi individu lain. Usia dari tenaga kerja adalah
usia produktif bagi setiap individu. Usia produktif dimana setiap individu
sudah mampu memberikan hubungan antara usia dengan kinerja menjadi isu
penting yang semakin banyak dibicarakan dalam dekade yang akan datang.
Ada tiga alasan yang mendasari pernyataan itu, yakni pertama adanya
kepercayaan bahwa kinerja menurun dengan bertambahnya usia. Kedua,
adanya realitas bahwa pekerja berumur tua semakin banyak. Ketiga,
peraturan di suatu negara untuk berbagai maksud dan tujuan, umumnya
mengatur batas usia pensiun.

Menurut Anjani dan Wirawati (2018) mengenai perbedaan usia dalam


penggunaan teknologi, keputusan penggunaan teknologi pekerja yang lebih
muda lebih dipengaruhi oleh sikap terhadap penggunaan teknologi.
Sebaliknya, pekerja yang lebih tua lebih dipengaruhi oleh norma subjektif
dan kontrol perilaku.

Menurut Kumbadewi (2016) apabila usia pekerja beranjak naik maka tingkat
produktivitas dari pegawai tersebut akan meningkat karena pekerja tersebut
berada dalam posisi usia produktif dan apabila usia pekerja menjelang tua
maka tingkat produktivitas kerja pun akan semakin menurun karena
keterbatasan faktor fisik dan kesehatan yang mempengaruhi.
23

Periode perkembangan usia manusia meurut Hurlock (2020) yaitu :


a. Usia 15 – 45 tahun atau periode dewasa awal adalah masa pencarian
kemantapan dan merupakan masa yang penuh dengan masalah dan
ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen,
masa ketergantungan, perubahan nilai – nilai, kreativitas, dan
penyesuaian diri pola hidup yang baru.
b. Usia 46 – 65 tahun atau periode dewasa madya merupakan masa
transisi, dimana masa penerimaan dan penyesuaian diri terhadap
perubahan fisik dan fisologis. Dan juga merupakan waktu pria dan
wanita meninggalkan ciri – ciri jasmani.

Perubahan daya tahan tubuh merupakan salah satu alasan dari hubungan
keadaan dan usia, hal ini juga selaras dengan penyakit TB Paru. Pada negara
maju, TB Paru menginfeksi penderita pada saat usia penderita masih muda,
karena adanya penurunan daya tahan tubuh pada usia lanjut, penyakit yang
lama bisa timbul kembali (Makhfudli, 2020).

Menurut Depkes (2018) kelompok usia yang paling produktif (15-50 tahun)
merupakan penyumbang 75% penyakit TB. Seorang penderita TB dewasa
akan kehilangan waktu kerjanya 4 sampai 4 bulan.

2.2.4 Pengetahuan
Menurut Sukijo Notoatmodjo dalam Aris Tamaji W (2014: 10) pengukuran
pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau mengisi angket yang
menyatakan tentang isi materi yang diukur dari subjek ukur penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau ukur dapat
kita sesuaikan dengan tindakan pengetahuan. Pertanyaan atau tes dapat
digunakan untuk pengukuran pengetahuan secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu :
a) Pertanyaan subjektif, misalnya pertanyaan uraian.
24

b) Pertanyaan objektif, misalnya pertanyaan pilihan ganda, betul atau


salah dan pertanyaan menjodohkan. Dua jenis pertanyaan tersebut,
pertanyaan objektif khususnya pilihan ganda lebih disukai untuk
dijadikan sebagai alat ukur karena lebih mudah disesuaikan dengan
pengetahuan dan lebih cepat.

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang


terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas
perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan
seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera
penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai
intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi
dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:

2.2.4.1 Tahu (Know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah


ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau
mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan
- pertanyaan.

2.2.4.2 Memahami (Comprehension)


Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut,
tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpresentasikan secara benar tentang objek yang diketahui
tersebut.
2.2.4.3 Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain.
25

2.2.4.4 Analisis (Analysis)


Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai
pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat
membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat
diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
2.2.4.5 Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen- komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain,
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang telah ada.
2.2.4.6 Evaluasi (Evaluasi)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini
dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan
sendiri atau norma yang berlaku di masyarakat. Indikator yang dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran
terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi:
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi:
1) Penyebab penyakit
2) Gejala atau tanda-tanda penyakit
3) Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari
pengobatan
4) Bagaimana cara penularannya
5) Bagaimana cara pencegahannya
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara
hidup sehat, meliputi:
1) Jenis makanan yang bergizi
26

2) Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatannya


3) Pentingnya olahraga bagi kesehatan
4) Penyakit atau TB Paru
5) Pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan
sebagainya bagi kesehatan
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan:
1) Manfaat air bersih
2) Cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk
pembuangan kotoran yang sehat, dan sampah
3) Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat
4) Akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi kesehatan,
dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
2.2.5 Jenis Kelamin
Menurut Depkes (2008), jenis kelamin menunjukkan perbedaan seks yang di
dapat sejak lahir yang dibedakan antara laki- laki dan perempuan. Jenis
kelamin merupakan faktor internal kebutuhan gizi seseorang. Menurut
Hungu (2016:43) jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan
laki-laki secara biologis sejak seorang itu dilahirkan. Perbedaan biologis dan
fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara
keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan yang ada di
muka bumi.

Menurut Notoatmodjo (2011) dalam Sri Yuliani (2018), jenis kelamin adalah
tanda biologis yang membedakan manusia berdasarkan kelompok laki- laki
dan perempuan. Jenis kelamin mengacu pada seseorang berperilaku dan
mencerminkan penampilan sesuai dengan jenis kelaminnya.

2.3 Teori Kepatuhan


2.3.1 Pengertian kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata dasar patuh yang berarti taat, suka menurut
perintah. Kepatuhan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan
dan perilaku yang disarankan dokter atau oleh orang lain (Santoso, 2015).
27

Menurut Notoatmodjo (2013) kepatuhan merupakan suatu perubahan


perilaku dari perilaku yang tidak mentaati peraturan ke perilaku yang
mentaati peraturan (Notoatmodjo, 2013).

Menurut Kozier (2010) kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya:


minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup) sesuai
anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak
mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi rencana. Pendapat lain
dikemukakan oleh Sacket (Dalam Neil Niven, 2015) mendefinisikan
kepatuhan pasien sebagai “sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan
ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan”. Pasien mungkin tidak
mematuhi tujuan atau mungkin melupakan begitu saja atau salah mengerti
instruksi yang diberikan.

Teori kepatuhan (compliance theory) dicetuskan oleh Stanley Milgram


(1963). Pada teori ini dijelaskan mengenai suatu kondisi dimana seseorang
taat terhadap perintah atau aturan yang telah ditetapkan. Adapun dua
perspektif dalam literasi sosiologi mengenai kepatuhan terhadap hukum,
yaitu instrumental dan normatif. Perspektif instrumental berasumsi bahwa
individu secara menyeluruh didorong oleh kepentingan pribadi dan persepsi
terhadap perubahan-perubahan yang dikaitkan dengan perilaku. Perspektif
normatif dihubungkan dengan anggapan orang yang menjadi moral dan
berlawanan atas kepentingan pribadi. Seorang individu yang cenderung
mematuhi hukum dianggap sesuai dan konsisten dengan norma-norma
internal yang sudah diterapkan. Komitmen normatif melalui moralitas
personal (normative commitment through morality) ini memiliki arti patuh
terhadap hukum karena hukum tersebut dianggap sebagai suatu kewajiban,
sedangkan komitmen normatif melalui legitimasi (normative commitment
through legitimaty) memiliki arti patuh terhadap peraturan dikarenakan
otoritas penyusun hukum tersebut telah memiliki hak untuk mengatur
perilaku (Marlina, 2018).
28

2.3.2 Faktor pengaruh kepatuhan


Sedangkan, Menurut teori Feuerstein (1986) dalam Niven (2002) terdapat 5
faktor yang mendukung kepatuhan klien antara lain:
2.3.2.1 Pendidikan klien dapat meningkatkan kepatuhan. Hal ini karena
pendidikan tersebut merupakan kegiatan penggunaan referensi
berupa buku dan kaset oleh klien secara mandiri.
2.3.2.2 Akomodasi Usaha yang harus dilakukan untuk memahami ciri
kepribadian klien agar dapat mempengaruhi kepatuhan, sehingga
klien harus bisa merasakan bahwa dirinya aktif dalam pengobatan.
Klien yang mengalami ansietas harus diturunkan dengan beberapa
teknik yang efektif sehingga mereka akan termotivasi untuk
mengikuti anjuran pengobatan.
2.3.2.3 Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Dukungan sosial berasal dari
keluarga dan teman-teman atau kelompok pendukung yang dapat
dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program pengobatan
penyakit.
2.3.2.4 Perubahan model terapi Program pengobatan dapat dibuat
sesederhana mungkin, dan klien dapat terlibat aktif dalam
pembuatannya.
2.3.2.5 Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien Hal
terpenting dalam memberikan feedback pada klien setelah
memperoleh informasi tentang diagnosis suatu penyakit adalah
penjelasan tentang diagnosanya saat ini, penyebabnya dan tindakan
yang bisa dilakukan dengan kondisi tersebut (Kurniawan, 2016).

Meningkatkan kepatuhan juga pernah diteliti oleh Sukartini (2015), perawat


menurut teori sistem interaksi King merupakan hal yang meningkatkan
kepatuhan dengan interaksi terus menerus antara pasien dan penderita
melalui sistem personal, sistem interpersonal, dan sistem sosial penderita.
29

2.3.3 Pentingnya kepatuhan


Kepatuhan dalam menjalankan pengobatan merupakan salah satu faktor
penentu utama dalam keberhasilan sebuah terapi. Setiap saat pasien bisa
menjadi tidak patuh berobat selama masa terapi , justru kecenderungan tidak
patuh pada awal pengobatan menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan.
Rerata penderita menjai tidak patuh karena efek samping obat dan rasa tidak
percaya diri pasien karena mereka menderita penyakit tersebut (Afandi,
2017).

Pengobatan TB Paru memerlukan jangka waktu yang lama dan rutin yaitu 6
– 8 bulan. Oleh karena itu, apabila penderita mengonsumsi atau melakukan
tindakan pengobatan tidak teratur, justru akan mengakibatkan kekebalan
ganda kuman TB Paru terhadap OAT, dan akhirnya penderita harus
melakukan tindakan pengobatan yang relatif lebih lama (Dhewi, Armiyati
dan Supriyono, 2021).

2.3.4 Variabel kepatuhan

Taylor dalam Niven, menyebutkan terdapat beberapa variabel yang


berhubungan dengan kepatuhan antara lain:

2.3.4.1 Ciri-ciri kesehatan dan pengobatan

Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis karena tidak


ada akibat bentuk yang langsung dirasakan dalam pengobatan
kompleks dan efek sampingnya. Tingkat kepatuhan rata-rata minum
obat untuk penyembuhan penyakit akut dengan pengobatan jangka
pendek adalah 78%, sedangkan sekitar 54% dengan penyakit kronis
dengan pengobatan jangka panjang.
30

2.3.4.2 Ciri-ciri individu

Variabel demografi digunakan untuk meramal kepatuhan individu,


seperti seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung mematuhi
aturan dokter.

2.3.4.3 Komunikasi antara klien dengan petugas kesehatan

Beragam aspek komunikasi akan mempengaruhi tingkat kepatuhan,


seperti informasi pengawasan dari PMO yang cukup serta dukungan
yang cukup.

2.3.4.4 Variabel sosial

Secara umum seseorang yang merasa menerima perhatian dan


pertolongan yang mereka butuhkan dari orang lain cenderung lebih
mudah mengikuti nasehat medis daripada pada individu yang kurang
mendapatkan dukungan sosial. Keluarga memiliki peranan penting
dalam pengobatan medis, sehingga memudahkan atau bahkan
menghambat perilaku kepatuhan. Beeker (1987) menyarankan
bahwa interaksi keluarga harus diintegrasikan pada proses
pengobatan dini.

2.3.4.5 Persepsi dan harapan klien

Variabel ini menerangkan bahwa kepatuhan sebagai fungsi dari


keyakinan tentang kesehatan, ancaman yang dirasakan, persepsi
kekebalan, pertimbangan mengenai hambatan (waktu dan atau biaya)
dan keuntungan mengenai efektivitas pengobatan (Kurniawan,
2016).

2.3.5 Teori kepatuhan Lawrence Green


Perilaku penderita TB Paru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut teori
yang dikemukakan oleh Lawrence Green perilaku seseorang bisa dipengaruhi
ataupun bisa terbentuk dari 3 faktor, antara lain yaitu predisposing factors,
enabling factors, dan reinforcing factors. Predisposing factors atau faktor
31

predisposisi terdiri dari pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakianan dan


nilai – nilai. Enabling factors atau faktor pendukung terdiri dari hal – hal
yang terwujud dalam lingkungan fisik, antara lain sarana maupun prasarana
kesehatan yang meliputi puskesmas, obat, alat, perundangan-undangan, dan
keterampilan terkait kesehatan. Sedangkan reinforcing factors atau faktor
pendorong seperti petugas kesehatan, keluarga, maupun pengambil
keputusan. (Nursalam, 2015)

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep menurut (Sugiyono, 2014) adalah suatu hubungan yang akan
menghubungankan secara teoritis antara variabel-variabel penelitian yaitu, antara
variabel independen dengan variabel dependen yang akan di amati atau di ukur
melalui penelitian yang akan di laksanakan. Menurut Nursalam (2017) kerangka
konsep penelitian merupakan abstraksi dari suatu realitas sihingga dapat
dikomunikasikan dan membentuk teori yang menjelaskan keterkaitan atara variable
yang diteliti. Sebuah penelitian mutlak memerlukan sebuah kerangka konsep.
Kerangka konsep (conceptual framework) adalah model pendahuluan dari sebuah
masalah penelitian, dan merupakan refleksi dari hubungan variabel-variabel yang
diteliti. Kerangka pemikiran (logical construct) adalah upaya mendudukperkarakan
seperangkat variabel penelitian didalam sistematis berfikir peneliti dengan mengacu
pada dua landasan pokok, yakni landasan empirikal, dan landasan teortikal. Adapun
kerangka konsep dari penelitian ini dapat dijabarkan seperti gambar di bawah ini:
32

FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN PATUH

1. DURASI KEPATUHAN
PENGOBATAN MINUM OBAT
2. DUKUNGAN ANTI
KELUARGA TUBERKULOSIS
3. USIA
4. PENGETAHUAN TIDAK PATUH
5. JENIS KELAMIN

Skema 1 Kerangka Konsep


33

2.5 Hipotesis
Hipotesis (hypo artinya sebelum dan thesis artinya pernyataan, pendapat) adalah
suatu pernyataan yang dikeluarkan sebelum melakukan tindakan, untuk menguji
kebenarannya perlu dilakukan empiris. Hipotesis merupakan pernyataan sementara
(tentative) yang menjadi jembatan, antara teori yang dibangun dalam merumuskan
kerangka pemikiran dengan pengamatan lapangan. Dengan demikian hipotesis ini
memberikan arahan pada penelitian yang harus dilakukan untuk peneliti (InDrawan,
R., dkk, 2014). Hipotesis sementara pada penelitian ini adalah :
2.5.1 Ada hubungan faktor durasi pengobatan dengan kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis di ruang poliklinik TB DOTS RSUD Sultan Suriansyah
Banjarmasin
2.5.2 Ada hubungan faktor dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat
anti tuberkulosis di ruang poliklinik TB DOTS RSUD Sultan Suriansyah
Banjarmasin
2.5.3 Ada hubungan faktor usia dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis
di ruang poliklinik TB DOTS RSUD Sultan Suriansyah Banjarmasin
2.5.4 Ada hubungan faktor pengetahuan dengan kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis di ruang poliklinik TB DOTS RSUD Sultan Suriansyah
Banjarmasin
2.5.5 Ada hubungan faktor jenis kelamin terhadap kepatuhan minum obat anti
tuberkulosis di ruang poliklinik TB DOTS RSUD Sultan Suriansyah
Banjarmasin.

Anda mungkin juga menyukai