MINUMAN
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat-Nyalah Makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan makalah yang berjudul “Teknik Evaluasi Obat Secara Invitro Dan
Interprestasi Data Percobaan” ini dalam rangka memenuhi penugasan mata kuliah
Evaluasi obat tradisional makanan dan minuman.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari segala kekurangan. Hal
ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki.
Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca akan penulis terima dengan senang
hati demi perbaikan makalah lebih lanjut sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi. Harapan kami
semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara pengujian obat secara in vitro?
2. Bagaimana uji pra klinik pada obat ?
3. Bagaimana uji klinik pada obat ?
4. Bagaimana tahapan pasca pemasaran pada obat ?
1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui cara pengujian obat secara in vitro.
2. Untuk mengetahui uji pra klinik pada obat.
3. Untuk mengetahui uji klinik pada obat.
4. Untuk mengetahui tahapan pasca pemasaran pada obat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
yang dilakukan melalui uji toksisitas dan uji aktivitas, sedangkan uji klinik
dilakukan melalui 4 fase uji. (Anonim,2014; Mahan, 2014 ).
4
pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan
diuji pada manusia.
Uji praklinik selain memakai hewan, telah dikembangkan pula berbagai
uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji
antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba,
uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat
pada hewan (Thorat et al.,2010) tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara
in vitro.
a. Uji toksisitas in vitro
Secara umum uji toksisitas obat dibagi dalam 2 bagian yakni uji
toksisitas in vitro (suatu uji yang dilaksanakan diluar tubuh hewan
coba) dan uji toksisitas in vivo (di dalam tubuh hewan coba). Uji
toksisitas in vitro adalah suatu uji untuk menentukan tingkat
ketoksikan suatu bahan yang di uji menggunakan media biakan bahan
biologi tertentu yang merupakan subjek dari pengujian. Pada
umumnya uji toksisitas in vitro hanya untuk obat terbatas saja, sebagai
contoh uji obat antiinfeksi (antibiotik) menggunakan kultur media
bakteri penyebab penyakit, obat antivirus menggunakan kultur
jaringan untuk perkembangbiakan virus tertentu, obat antikanker
menggunakan kultur jaringan sel kanker (sel myeloma) atau sel
normal (fibrobalas) dan anthelmintik (obat cacing) menggunakan
kultur/media cacing dapat tumbuh dan berkembang, demikian pula
terhadap obat antijamur.
Informasi yang diperoleh dari hasil uji toksisitas in vitro adalah
mengetahui besarnya konsentrasi bahan uji yang dapat membunuh
50% (lethal concentration 50% = LC50) dari bahan biologi yang di
kultur/di benihkan, disamping juga dapat menentukan aktivitas suatu
bahan uji dalam menghambat atau membunuh penyebab penyakit
secara in vitro. Sedangkan untuk mengetahui keamanan bahan uji
yang telah lolos melalui uji toksisitas in vitro, masih dilakukan
tahapan uji toksisitas in vivo sebelum pelaksanaan uji lebih lanjut.
5
b. Uji aktivitas in vitro
Uji aktivitas (khasiat) adalah suatu uji untuk menentukan
kebenaran khasiat suatu bahan uji yang dibuktikan secara ilmiah pada
hewan coba atau pada bahan biologi tertentu dengan metodologi dan
parameter yang akan di uji ditentukan berdasarkan tujuan penggunaan
bahan uji yang akan dipakai di klinik. Seperti halnya uji toksisitas,
pada uji aktivitas dikenal uji aktivitas in vitro dan uji aktivitas in vivo.
Pada uji aktivitas secara in vitro dilaksanakan terhadap jenis obat
terbatas seperti obat antimikroba, obat anti kanker, obat anti parasit
dan anti jamur, menggunakan media tertentu sebagai subjek
penelitian. Namun demikian bahan uji yang telah dibuktikan
aktivitasnya secara in vitro masih harus dilanjutkan dengan uji
aktivitas in vivo pada hewan coba. Sebagai contoh uji aktivitas untuk
obat antikanker setelah dilakukan uji aktivitas bahan uji secara in vitro
yakni pengaruh bahan uji terhadap perkembangbiakan sel mieloma
sebagai model sel kanker secara in vitro, maka pengujian selanjutnya
dilakukan uji aktivitas secara in vivo pada hewan coba yang di buat
menderita kanker. Hewan coba yang dibuat menderita kanker
tergantung pada jenis kanker dan stadium kanker serta penggunaan
bahan uji untuk mencegah atau untuk mengobati kanker, yang
disesuaikan dengan penggunaan bahan uji yang akan di pakai di
klinik. Tujuan dari uji aktivitas pada hewan coba dimaksudkan untuk
membuktikan kebenaran khasiat obat secara ilmiah berdasarkan
metode ilmiah.
6
Fase ini penting karena kemungkinan diperoleh efek samping obat yang timbul
setelah lebih banyak pemakai. Fase ini disebut juga sebagai uji klinik paska
pemasaran.
a. Uji Klinik fase I
Uji klinik fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk
pertama kalinya pada manusia. Hal yang diteliti di sini ialah keamanan
obat, bukan efektivitasnya dan dilakukan pada subjek sehat. Namun, ada
beberapa keadaan ketika pasien nyata digunakan, seperti pasien yang
memiliki stadium akhir penyakit dan kekurangan pilihan pengobatan
lainnya atau dalam kondisi darurat seperti wabah. Tujuan fase ini adalah
“menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang
tidak menimbulkan efek samping serius.” Fase ini bertujuan untuk
“mengkonfirmasi temuan pada uji praklinik, farmakokinetik,
farmakodinamik, efek samping obat, dan toleransi pada obat uji.” Hasil
penelitian farmakokinetika ini digunakan untuk melakukan pemilihan
dosis yang lebih tepat pada penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil yang
diperoleh dibandingkan dengan hasil uji sebelumnya yang dilakukan
terhadap hewan coba yang diperoleh pada masa uji praklinik, di mana
obat tersebut mengalami proses farmakokinetika seperti yang terjadi
pada manusia. Bila ternyata terdapat hal yang serupa yang ditemukan
pada hewan maka perlu dilakukan penelitian toksisitas jangka panjang
pada hewan tersebut.
Uji coba fase I biasanya mencakup jangkauan dosis (dose-ranging)
yang disebut eskalasi dosis, sehingga dosis yang sesuai untuk
kepeerluan atau memeiliki efek terapeutik dapat ditemukan. Rentang
dosis yang diuji biasanya akan menjadi sebagian kecil dari dosis yang
menyebabkan kerusakan percobaan hewan. Dosis awal yang diberikan
pertama kali pada subjek biasanya 1/50 x dosis minimal yang
menimbulkan efek pada hewan. Tergantung dari data yang diperoleh
pada hewan dari uji praklinis, dosis berikutnya ditingkatkan sedikit-
sedikit atau dengan kelipatan dua hingga diperoleh efek farmakologik
atau sampai timbul efek yang tidak diinginkan. Efek yang gidak
7
diinginkan ini menunjukkan bahwa calon obat sudah berada pada
keadaan memberikan efek toksik yang mungkin terjadi. Untuk ini akan
dilakukan pemeriksaan laboratorium secara umum maupun yang lebih
spesifik. , Uji klinik fase I ini dilaksanakan secara terbuka, artinya tanpa
pembanding dan tidak tersamar, pada sejumlah kecil subjek dengan
pengamatan intensif oleh orang-orang ahli dibidangnya, dan dikerjakan
di tempat yang sarananya cukup lengkap. Total jumlah subjek pada fase
ini bervariasi antara 20-80 orang. Uji klinik fase I dapat dibagi menjadi
beberapa jenis:
a. Studi Single Ascending Dose (SAD)
Studi pada kelompok kecil dimana subjek diberi dosis
tunggal obat sementara mereka diamati dan diuji untuk jangka
waktu tertentu. Jika mereka tidak menunjukkan efek samping
yang merugikan, dan data farmakokinetik menunjukan nilai aman
atau keamananan yang cukup dalam uji klinik, dosis ditingkatkan,
dan kelompok subjek baru kemudian diberikan dosis yang lebih
tinggi. Ini berlanjut sampai didapatkan perhitungan tingkat
keamanan farmakokinetik tepat, atau efek samping yang tak
tertahankan mulai muncul pada titik dimana obat telah mencapai
Maxium tolerated dose (MTD).
b. Studi Multiple Ascending Dose (MAD)
Studi ini memiliki tujuan yang sama dengan studi SAD
namun berbda dalam perlakuan kelompok. Bila pada SAD,
kelompok kecil dimana subjek diberi dosis tunggal obat untuk
jangka waktu tertentu sementara studi MAD pada satu kelompok
dimana subjek diberikan multiple dosis dalam jangka waktu
tertentu baru berpindah pada kelompok selanjutnya.
c. Studi Food Effect (FE)
Studi ini mempelajari atau memantau efek makanan pada
tingkat distribusi dan tingkat penyerapan obat ketika produk obat
diberikan segera setelah makan (kondisi terisi makan),
dibandingkan dengan pemberian dalam kondisi puasa.
8
b. Uji Klinik fase II
Pada Uji Klinik fase II obat diujikan pada kelompok yang lebih
besar (100 - 300 orang/subjek) untuk menilai bagaimana obat tersebut
bekerja dan menilai keamanannya. Pada fase II perlu pengawasan yang
ketat. Umumnya fase II ini dibagi dalam 2 tahap yaitu: II A dan II B.
Pada fase II A tanpa pembanding, sedangkan pada fase IIB perlu
pembanding. Pada fase II A dirancang untuk menilai dosis yang
diperlukan atau berapa dosis obat harus diberikan, sedangkan pada fase
II B dirancang untuk menilai efikasi atau menilai kemampuan obat
tersebut bekerja sesuai dosis yang diresepkan. Pada pengembangan obat
baru, kegagalan umumnya terjadi pada fase II ini, yaitu didapatkan obat
bekerja tidak sesuai seperti yang direncanakan atau ditemukan efek
toksik. Pada fase II ini wajib didampingi oleh spesialis farmakologi
klinik, dan dokter spesialis yang terkait dengan penyakit yang diderita
responden / pasien.
9
a. Uji Klinik Fase IIIa
Dengan data efikasi dan keamanan yang diperoleh dari uji coba
fase 2, uji coba fase 3a dimulai. Studi dilakukan dalam fase ini yang
mendukung klaim awal sponsor kepada pihak berwenang. Sebagian
besar studi fase 3 dilakukan dalam uji klinik fase 3a seperti uji coba
non-inferioritas, studi keselamatan jangka panjang dan studi
registrasi lokal dll. sebagian besar penelitian menghasilkan
informasi yang mendukung leaflet informasi pasien/ patient
information leaflet (PIL. Beberapa penelitian juga dapat dilakukan
pada populasi khusus tergantung pada sifat obat / penyakit.Sebagian
besar kandidat obat dibandingkan dengan pembanding aktif. Jika
ada kekurangan pengobatan standar untuk penyakit target, kandidat
obat dibandingkan dengan plasebo. Fase ini dilakukan sebelum
mendapatkan persetujuan indikasi pertama.
b. Uji Klinik Fase IIIb
Fase ini dimulai setelah mendapatkan indikasi yang disetujui
pertama dari otoritas pengawas dan sebelum mendapatkan
persetujuan pemasaran/peluncuran obat. Saat mengajukan aplikasi
awal ke otoritas regulasi, studi fase ini masih akan berlanjut. Ini
adalah studi tambahan yang mengumpulkan informasi tambahan
seperti keamanan jangka panjang dan efek obat pada kualitas hidup
dll. Maksud dari studi ini adalah untuk menghasilkan data yang
mendukung publikasi dan klaim pemasaran. Otoritas persetujuan
regulator dapat mengandalkan hasil studi fase 3b ini sebelum
mengambil keputusan tentang persetujuan pemasaran obat
meskipun hasilnya tidak dimaksudkan untuk pengajuan peraturan.
10
fase IV merupakan survei epidemiologi menyangkut efek samping
maupun efektivitas obat. Pada Uji Klinik fase ini dapat menjaring efek
samping yang belum terdeteksi pada fase III, sehingga pada fase IV ini
dapat melihat terjadinya efek samping yang timbul setelah pemakaian
jangka panjang. Pada fase IV dapat diamati : 1) Efek samping yang
frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun–
tahun lamanya; 2) Efektivitas obat pada penderita berpenyakit berat atau
berpenyakit ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah
penggunaan berulangkali dalam jangka panjang; dan 3) Masalah
penggunaan berlebihan, penyalahgunaan, dan lain-lain. Uji fase IV
dapat juga berupa Uji Klinik jangka panjang dalam skala besar untuk
menentukan efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga
datanya menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.
Tahapan Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik berdasarkan Keputusan
dari Peraturan Kepala BPOM RI No. 21 tahun 2015 meliputi tahap
pertama dilakukan evaluasi dokumen, kemudian pada tahap kedua uji
klinik prapemasaran dan tahap ketiga uji klinik pasca pemasaran.
Pengawasan pasca pemasaran (post-market surveillance)
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh industri farmasi terhadap obat
yang beredar dilihat dari aspek keamanan, khasiat dan mutu. Dalam
lingkup pengawasan obat pasca pemasaran, pemantauan aspek
keamanan obat merupakan kegiatan yang strategis dalam rangka
menjamin keamanan obat (ensuring drug safety). Kegiatan ini pada
gilirannya, berdampak terhadap jaminan keamanan pasien (ensuring
patient safety) sebagai pengguna akhir obat.
Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca
pemasaran dilakukan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan
penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang
sebenarnya. Banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek
samping obat dapat dicegah, dengan pengetahuan yang bertambah,
antara lain diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat
pasca pemasaran.
11
Oleh karena itu, kegiatan ini menjadi salah satu komponen penting
dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat
secara umum. Di samping pengawasan yang dilakukan oleh Badan
POM, Industri Farmasi mempunyai peran dan tanggung jawab untuk
menjamin keamanan obat yang diedarkannya. Bentuk peran dan
tanggung jawab dimaksud tertera pada pasal 9 Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010
tanggal 16 Desember 2010, bahwa Industri Farmasi wajib melakukan
Farmakovigilans. Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety
Update Report (PSUR))
Pelaporan berkala pasca pemasaran merupakan kegiatan
pemantauan dan pelaporan aspek keamanan obat yang dilakukan oleh
Industri Farmasi terhadap obat yang diedarkan. PSUR dilaporkan setiap
6 (enam) bulan untuk 2 (dua) tahun pertama, dan setiap tahun untuk 3
(tiga) tahun berikutnya setelah disetujui beredar di Indonesia.
Kriteria obat yang wajib dilaporkan :
a. Obat dengan zat aktif baru, termasuk produk biologi sejenis
(similar bio-therapeutic product).
b. Obat lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan POM.
Format PSUR sekurang-kurangnya berisi informasi sebagai berikut:
a. Ringkasan Eksekutif (executive summary)
b. Pendahuluan
c. Status peredaran
d. Data mutakhir mengenai tindak lanjut regulatori berdasarkan
alasan keamanan oleh pemerintah atau pemegang izin edar
(update on regulatory authority or Marketing Authorization
Holder Actions for safety reasons)
e. Perubahan informasi keamanan (changes to reference safety
information)
f. Data pasien terpapar (patients exposure data)
12
g. Riwayat kasus individu (individual case histories: line listings
and summary tabulations (termasuk diskusi kasus individual,
jika perlu)
h. Hasil studi (jika ada)
i. Informasi lain (yang berkaitan dengan efikasi; data keamanan
mutakhir yang penting)
j. Informasi keamanan menyeluruh (overall safety information)
k. Kesimpulan
Pelaporan Studi Keamanan Pasca Pemasaran
13
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pengujian adalah sebuah cara yang tepat untuk menentukan suatu
produk tersebut sudah layak dinyatakan sebagai obat. Penemuan dan
pengembangan obat terus menerus dilakukan untuk terus menghasilkan produk-
produk yang bermanfaat di dunia kesehatan. Target obat biasanya berupa sel,
protein, gen, ataupun biofarmasetik. Uji pra klinis dan uji klinis merupakan
tahapan yang penting dalam penemuan dan pengembangan obat.
Pengujian in vitro dilakukan sebelum pengujian in vivo. Pengujian in
vitro dilakukan dalam lingkungan yang terkendali dan berada di luar makhluk
hidup. Uji praklinik adalah suatu uji yang dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui keamanan dan kebenaran khasiat suatu bahan uji secara ilmiah
yang dilakukan melalui uji toksisitas dan uji aktivitas, sedangkan uji klinik
dilakukan melalui 4 fase uji.
Pengawasan pasca pemasaran (post-market surveillance) merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh industri farmasi terhadap obat yang beredar
dilihat dari aspek keamanan, khasiat dan mutu. Dalam lingkup pengawasan
obat pasca pemasaran, pemantauan aspek keamanan obat merupakan kegiatan
yang strategis dalam rangka menjamin keamanan obat (ensuring drug safety).
14
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No 13 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Mahan V L. 2014. Clinical Trial Phases. International Journal of Clinical
Medicine, 5, 1374-1383
Rahmatini.2010. Evaluasi Khasiat dan Keamanan Obat (Uji Klinik), Majalah
Kedokteran Andalas No.1. Vol.34 hal 31-38.
Santoso,B.,Suryawati,S.,Saleh Danu,S, Evaluasi Khasiat dan Keamanan Obat
(Uji klinik), Dalam Farmakologi Klinik dan Farmakoterapi, Jog
Thorat S B, Banarjee S K, Gaikwad D D, Jadhav S L, Thorat R M. 2010.
Clinical Trial: A Review. International Journal of Pharmaceutical
Sciences Review and Research, Volume 1, Issue 2, p 101-106.
Widjaja G & Aini MH. ASPEK HUKUM UJI KLINIK. (JCI) Jurnal Cakrawala
Ilmiah.2022;1(6):1346-1348.
15