Anda di halaman 1dari 19

PENGARUH MODIFIKASI SIFAT FISIKOKIMIA TERHADAP DISOLUSI

TABLET DAN NILAI AUC OBAT

1. Tujuan Praktikum
a. Menguraikan penjelasan mengenai disolusi
b. Menampilkan praktek uji disolusi sediaan tablet

2. Dasar Teori

Tablet merupakan bentuk sediaan padat yang terdiri dari satu atau lebih
bahan obat yang dibuat dengan pemadatan dimana suatu sediaan tablet
biasanya memiliki perbedaan dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan ataupun
ketebalannya. Sehingga pengertian obat baik dalam bentuk padatan atau
bentuk laninnya merupakan bagian dari semua zat baik kimiawi, hewani
maupun nabati, yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan
atau mencegah penyakit gejala-gejalanya (Ismail and Kanitha, 2020).

Sebelum senyawa obat memberikan efek terapinya, maka obat akan


melalui suatu proses sistem penghantaran obat. Sistem Penghantaran Obat
(SPO) atau Drug Delivery System merupakan suatu istilah yang
menggambarkan bagaimana suatu obat dapat sampai ke tempat target
aksinya. Sistem penghantaran obat setiap kalanya selalu dikembangkan
dengan tujuan untuk meningkatkan kerja obat dengan cara antara lain,
peningkatan farmakokinetika seperti pada proses absorbsi, distribusi,
metabolisme dan eksresi, selain itu pada perubahan farmakodinamika
misalnya pada mekanisme kerja, respon farmakologi, mempertahankan kerja
dan penargetan obat (Noval and Malahayati, 2021).

Tujuan utama dalam sistem penghantaran obat ialah melepaskan bahan


aktif sampai ke sistem peredaran darah dan ke reseptor obat agar dapat
menghasilkan efek farmakologi yang optimal. Dalam sistem penghantaran
obat di dalam tubuh, salah satu faktor yang penting adalah bentuk sediaan.
Penggunaan suatu bentuk sediaan bertujuan mengoptimalkan penyampaian
obat sehingga dapat mencapai efek terapi dalam lingkungan in vivo dimana
pelepasan obat berlangsung (Noval and Malahayati, 2021).
Sistem penghantaran obat yang baik umumnya harus memerlukan
pertimbangan terkait dengan cara pemberian, indikasi, sifat fisika kimia
bahan aktif dan sistem sediaan yang akan dikembangkan, namun ada hal lain
yang perlu diperhatikan pada setiap sediaan obat ialah tentang stabilitas obat,
sehingga harus sangat diperhatikan karena akan berdampak pada efektifitas,
keamanan dan mutu obat (Deviarny, 2012).

Sediaan farmasi yang diberikan dengan rute oral untuk mencapai


konsentrasi terapeutik dipengaruhi oleh kecepatan disolusi dan ketersediaan
hayati. Pemberian suatu sediaan obat secara oral merupakan rute pemberian
yang paling banyak digunakan karena kemudahannya, sehingga banyak obat
yang beredar di Indonesia dalam bentuk sediaan oral dan dapat mendorong
industri-industri obat untuk memproduksi obat oral yang bioekivalen. Namun
terdapat hambatan utama yaitu Biopharmaceutis Classification System (BCS)
kelas II di mana suatu keadaan bioavaibilitas sediaan oral yang rendah karena
kelarutan obat yang rendah dalam cairan gastrointestinal menyebabkan
terjadinya absorpsi gastrointestinal yang rendah pula. Bioavaibilitas dari suatu
sediaan oral tergantung pada beberapa faktor yaitu kelarutan dalam air,
permeabilitas obat, tingkat disolusi dan metabolisme jalur pertama (Ima, et
all., 2017).

Laju absorbsi obat oral sangat tergantung pada kecepatan disolusi zat
aktif dari bentuk sediaannya. Jika laju disolusi obat yang rendah maka
diperlukan dosis yang lebih besar untuk mencapai suatu efek terapeutik,
sehingga modifikasi dari suatu obat menjadi pilihan efektif dalam
meningkatkan disolusi baik dengan metode fisika, kimia dan teknik lain
(Sagala, 2019).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju disolusi dari suatu
zat obat, diantaranya yaitu : (Siregar, 2010)

a. Sifat fisikokimia obat


Sifat – sifat fisikokimia daru suatu bahan aktif obat memiliki peranan
dalam pengendalian disolusinya dari bentuk sediaan, karena kelarutan zat
aktif dalam air diketahui sebagai salah satu dari faktor yang menentukan
laju disolusi. Faktor-faktornya meliputi efek kelarutan obat dan ukuran
partikel obat. Dimana jika kelarutan suatu obat dalam air cukup besar
maka akan obat akan terdisolusi dengan cepat, dan jika obat memiliki
ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang
berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi meningkat .
b. Formulasi sediaan
Formulasi sediaan berkaitan juga dengan laju disolusi suatu bahan obat
dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Dimana dalam
suatu formulasi sediaan obat sudah pasti mengandung zat bahan pengisi,
pengikat dan penghancur yang memiliki sifat hidrofilik pada bahan obat
yang bersifat hidrofobik, sehingga disolusinya bertambah namun pada
bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi. Selain itu
proses pembuatan sediaan juga dapat mempengaruhi laju disolusi sediaan,
dimana pada saat metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-
obat yang kurang larut. Jika ada penambahan bahan pengisi yang bersifat
hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan
menambah laju disolusi.
c. Bentuk sediaan
Faktor yang paling umun yang dapat mempengaruhi laju disolusi ialah
bentuk sediaan dimana suatu sediaan ada dua macam bentuk sediaan baik
itu sediaan solid sehingga sangat mempengaruhi sekali pada saat proses
disolusi meliputi metode granulasi atau prosedur pembuatan, ukuran
granul, interaksi zat aktif dan eksipien, pengaruh gaya kempa, pengaruh
penyimpanan pada laju disolusi.
d. Alat disolusi
Alat disolusi dapat menyebabkan hasil disolusi berubah – ubah dari uji ke
uji pada semua teknik pengujian yang digunakan. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhinya yaitu :
- Tegangan Permukaan medium disolusi
- Viskositas, semakin tinggi viskositasnya maka akan semakin kecil laju
disolusinya.
- pH, suatu larutan asam cenderung lebih cepat memecah tablet
dibandingkan air sehingga mempercepat laju disolusi.
e. Parameter uji
Faktor – faktor tersebut seperti sifat dan karakteristik media disolusi, pH,
lingkungan dan suhu sekeliling telah mempengaruhi daya guna disolusi
suatu zat aktif.

Metode dispersi padat merupakan modifkasi bahan obat dengan


pendispersian bahan obat yang sukar larut dalam air ke dalam suatu
pembawa yang mudah larut sehingga akan mengurangi ukuran partikel, atau
diusahakan terbentuknya polimorf yang lebih mudah larut. Self-
emulsifying adalah campuran minyak dan surfaktan, yang dapat beremulsi
secara spontan untuk menghasilkan partikel emulsi minyak dalam air
saat kontak dengan fase air dibawah pengaruh pengadukan (Sagala, 2019).

Ada beberapa alat yang dapat digunakan untuk melakukan uji disolusi
suatu obat, diantaranya yaitu (USP,
2005):

1. Tipe basket/keranjang
Alat terdiri atas wadah tertutup yang
terbuat dari kaca atau bahan
transparan lain yang inert, dilengkapi
dengan suatu motor atau alat
penggerak. Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat
mempertahankan suhu dalam wadah 37° ± 0,5° C selama pengujian
berlangsung. Alat diletakkan pada tempat yang tidak dapat memberikan
gerakan, goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat
perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi berbentuk silinder dengan dasar
setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter dalam 98-106 mm, dengan
volume sampai 1000 mL. Batang logam berada pada posisi tertentu
sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan
tanpa goyangan yang berarti.
2. Tipe paddle/dayung
Tipe dayung mirip dengan tipe basket,
namun terdapat perbedaan yaitu pada
dayung yang terdiri dari daun (propellor)
dan batang sebagai pengaduk. Batang
berada pada posisi sedemikian sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada
setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan
berputar dengan halus tanpa goyangan
yang berarti. Daun melewati diameter
batang sehingga dasar daun dan batang rata. Jarak 25mm ± 2mm antara
daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian
berlangsung. Untuk mencegah mengapungnya sediaan digunakan
sepotong kecil bahan inert seperti gulungan kawat berbentuk berbentuk
spiral.
3. Reciprocating Cylinder
Desain dari USP apparatus 3, didasarkan pada uji disintegrasi, selain itu
menggabungkan fitur hidrodinamik dari metode botol berputar dan
menyediakan kemampuan pengadukan dan perubahan komposisi media
selama proses serta otomatisasi penuh dari prosedur. Apparatus 3 dapat
sangat berguna dalam kasuskasus dimana satu atau lebih perubahan
pH/penyangga yang diperlukan dalam
prosedur pengujian disolusi misalnya,
salut enterik/sunstained rilis.
4. Flow Through Cell
Aliran melalui sel terdiri dari reservoir
untuk medium disolusi dan pompa yang
memaksa medium disolusi melalui sel
sampel uji. Laju alir berkisar antara 4-6
mL/menit. Enam sampel dilakukan pengujian disolusi, dan suhu
dipertahankan pada 37℃. Alat ini digunakan untuk pengujian dengan
bentuk sediaan modified-release yang mengandung bahan aktif yang
memiliki kelarutan sangat terbatas.
Prinsipnya, samepel dipegang dalam posisi tetap sementara medium
disolusi dipompa oleh pemegang sampel, sehingga melarutkan obat.
Peristaltik pompa sentrifugal tidak dianjurkan. Laju aliran biasanya
dipertahankan antara 10-100 mL/menit. Medium disolusi kemudian
diresirkulasi. dalam metode ini, laju disolusi dapat diperoleh setiap saat,
sedangkan pada metode dayung atau metode keranjang tingkat pelarutan
kumulatif terdapat di monitor. Sebuah volume besar medium disolusi juga
dapat digunakan, pengoperasian alat mudah disesuaikan (Shargel, 2004).
5. Paddle Over Disk (Dayung Diatas Cakram)
Alat uji disolusi jenis ini terdiri dari pemegang sampel atau perakitan disk
yang memegang produk. Seluruh persiapan ditempatkan dalam labu
disolusi yang telah diisi oleh media tertentu, suhu dipertahankan pada
32℃. Dayung ditempatkan langsung diatas perakitan disk. Selanjutnya,
sampel diambil pada bagian tengah antara permukaan media disolusi dan
bagian atau pisau dayung pada waktu yang ditentukan. Sebanyak 6 tablet
diuji pada metode ini, kriteria penerimaan
dapat dinyatakan dalam monografi obat.
6. Rotating Cylinder (Silinder Berputar)
Alat ini dapat digunakan untuk menguji
sediaan transdermal yang dimodifikasi dari
apparatus 1 (tipe keranjang). Pada keranjang,
sebuah silinder berbahan stainless steel yang
digunakan untuk menyimpan sampel. Sampel kemudian dipasang ke
cuphrophan (bahan selulosa berpori lembab). Pengujian dipertahankan
pada suhu 32℃. Sampel diambil pada bagian tengah antara permukaan
media disolusi dan bagian atas
silinder yang berputar untuk dapat
dianalisis.
7. Reciprocating Disk (Tipe Cakram
Naik Turun)
Metode piringan bolak balik
digunakan untuk pengujian produk
transdermal, sampel ditempatkan pada pemegang sampel berbentuk
cakram menggunakan cuprophan. Pengujian ini dipertahankan pada suhu
32℃, dan frekuensi reciprocating adalah sekitar 30 siklus per menit.
Kriteria penerimaan tercantum dalam monografi obat.

Kecepatan disolusi merupakan parameter yang menentukan kecepatan


absorbsi obat di tempat absorbsi obat yang diinginkan. Peningkatan
absorbsi dari suatu obat tergantung dengan kelarutan zat aktif yang sanggat
baik sehingga obat terbasorbsi dengan baik di dalam tubuh. Untuk melihat
jumlah obat yang tersampaikan ke aliran darah maka dapat dilihat dari
parameter nilai Cmax (konsentrasi maksimal) dan AUC (area under curve).
Hal ini berkaitan dengan terjadinya peningkatan bioavaibilitas obat yang
terabsorbsi di saluran cerna saat suatu obat berada dalam tubuh (Priani, et all.,
2022).

3. Alat dan Bahan

a. Alat : b. Bahan :
- Dissolution tester - Tablet Rifampicin 450 mg
- Spektrofotometer UV-VIS - Cangkang kapsul
- Pipet ukur - Etanol
- Peralatan gelas - NaOH
- Urea
- Larutan dapar fosfat pH 7,2

c. Cara Kerja Skematis


Pembuatan larutan KH2PO4 0,2 M Pembuatan larutan NaOH 0,2 M

Timbang 27,2 gram Timbang dan larutkan 8


KH2PO4 gram NaOH

Ambil 1000 mL aquadest Pindahkan ke dalam labu


ukur 1000 mL
Larutkan KH2PO4 dengan
aquadest, add 1000 mL Add hingga tanda batas

Larutan KH2PO4 0,2M Larutan NaOH 0,2 M


Pembuatan dapar fosfat pH Pembuatan kurva baku
6,8

250 mL larutan 50 mg rifampicin


KH2PO4 tambahkan dilarutkan dengan NaOH
add 500 mL, add tanda
aquadest ad 850 ml
batas

Tambahkan NaOH Buat beberapa


sedikit demi sedikit konsentrasi (5, 10, 15,
hingga pH 6,8 20, 25 ppm)

Jika pH lebih dari 6,8 + Ukur serapan dengan


HCl Panjang gelombang
maksimun 334

Larutan dapar fosfat pH 6,8 Hasil diplotkan dalam


grafik

Persamaan regresi linier


y = a ± bx

Rekristalisasi Dispersi Padat

0,75 gram rifampicin Larutkan 0,5 gram + 0,25


dilarutkan dalam gram urea, larutkan
etanol menggunakan etanol
hingga menjadi serbuk
Uapkan hingga
terbentuk kristal Masukan dalam
cangkang kapsul
Masukan dalam
cangkang kapsul Lakukan uji disolusi,
menggunakan metode
keranjang
Lakukan uji disolusi,
menggunakan metode
keranjang Larutan obat terdisolusi

Larutan obat terdisolusi

Penentuan profil disolusi


Wadah disolusi ( chamber ) diisi dengan air dan atur suhu pada
37° C

Kemudian chamber diisi medium disolusi sebanyak 900 ml

Sampel tablet dimasukkan dalam chamber yang sudah terisi


medium disolusi kemudian alat disolusi diatur pada kecepatan
50 rpm

Larutan diambil sebanyak 5 ml, pada menit ke 5, 10, 15, 30, dan
45.

Setiap pengambilan harus digantikan dengan medium lagi


dengan volume dan suhu yang sama.

Masing-masing larutan diukur serapannya pada panjang


gelombang maksimum 334 nm dengan spektrofotometer UV-VIS

Kemudian tentukan kadar zat aktif yang terdisolusi per satuan


waktu menggunakan kurva kalibrasi

Kadar zat aktif yang terdisolusi dapat dihitung denga cara :


Menghitung nilai x ( ppm ) menggunakan persamaan
regresi linier y = a bx
x=(y a)/ b y absorbansi sampel

Menghitung nilai C (mg) menit pencuplikan


C=

Menghitung faktor koreksi (FK)


FK = ()C menit sebelumnya
Menghitung kadar obat (mg) terdisolusi
Kadar obat (mg) terdisolusi = C = FK kumulatif

Menghitung % kadar terdisolusi


% kadar terdisolusi = () 100%
4. Lembar Hasil Praktikum
Tabel Pengamatan
a. Rekristalisasi Rifampicin
Kadar % Kadar
Waktu
Absorbansi X (ppm) C (mg) Obat (mg) Obat
(menit)
Terdisolusi Terdisolusi
5 1,673
10 2,473
15 2,584
30 2,690
45 2,721

b. Dispersi Padat Rifampicin


Kadar % Kadar
Waktu
Absorbansi X (ppm) C (mg) Obat (mg) Obat
(menit)
Terdisolusi Terdisolusi
5 2,738
10 2,861
15 2,819
30 2,777
45 2,796
5. Pembahasan

Disolusi erat kaitannya dengan laju absorbsi obat oral, dimana dapat
menggambarkan tentang kecepatan zat aktif dalam suatu sediaan obat
terdisolusi. Semisal suatu obat kecepatan disolusinya rendah maka obat
tersebut harus memerlukan dosis yang cukup besar agar mencapai efek
terapeutik. Agar mencapai efek terapeutik maka obat harus dimodifikasi demi
meningkatnya laju disolusi obat baik dimodifikasi secara fisika, kimia atau
pun teknik lain (Sagala, 2011). Dalam sistemnya ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi disolusi obat diantaranya adalah sifat fisikokimia zat
aktif obat, formulasi obat, bentuk sediaan, alat yang digunakan saat uji
disolusi dan parameter uji lain.

Faktor yang dapat mempengaruhi disolusi obat adalah faktor formulasi


dan metode fabrikasi. Bentuk amorf zat khasiat lebih mudah larut
dibandingkan bentuk kristal, namun bentuk kristal lebih stabil daripada
bentuk amorf. Laju disolusi dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam bentuk
garam, bentuk garam lebih mudah larut dibandingkan bentuk asam (Raini, et
al., 2010). Faktor formulasi dan metode fabrikasi memepengaruhi disolusi zat
aktif karena penambahan dan metode fabrikasi yang berbeda beda.

Pada praktikum menggunakan tablet rifampicin yang digunakan sebagai


sampel dalam suatu uji disolusi. Secara umum rifampicin digunakan dalam
pengobatan Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, suatu basil yang dapat tertidur dalam tubuh manusia untuk
waktu yang lama (Damayanti, et al., 2019). Rifampicin sukar larut dalam
air, namun mudah larut dalam kloroform, etil asetat dan dalam metanol
(Kemenkes RI, 2014).

Modifikasi yang dilakukan pada sediaan tablet rifampicin adalah dengan


metode rekristalisasi tablet rifampicin dan dispersi padat yang kemudian
dimasukan dalam cangkang kapsul. Pada proses dispersi padat serbuk dari
tablet rifampicin ditambahkan urea sebagai zat pendispersinya. Fungsi dari
metode tersebut adalah untuk melihat kecepatan disolusi obat berdasarkan
metode modifikasinya. Uji disolusi dilakukan untuk mengetahui profil
pelepasan rifampisin yang praktis sukar larut dalam air. Obat yang sukar larut
dalam air uji disolusi sangat pentung sebagai jaminan untuk ketersediaan
hayati dan farmasetika.

Uji disolusi obat menggunakan dapar fosfat pH 6,8. Berdasarkan


monografinya jika menggunakan media disolusi dapar fosfat maka pH
larutan harus 5,8 hingga 7,4 (BPOM, 2014). Dalam larutan dapar
mengandung NaOH dan KH2PO4, dalam konsentrasi yang berbeda sehingga
memperoleh pH 6,8 dalam volume 1000 mL. Uji disolusi yang dilakukan
menggunakan alat tipe II yaitu tipe dayung yang memerlukan 900 ml larutan
dapar (Sari, et al., 2013).

Parameter disolusi yang ditentukan adalah DE45 atau dissolution


efficiency pada menit ke-45 merupakan salah satu dari parameter disolusi.
Dimana nilai DE45 menunjukkan kecepatan pelarutan obat ke dalam
medium mendekati profil absorpsi obat secara in vivo (Mahaswari, et al.,
2022).

Disolution Efficiency menggambarkan kemampuan pelepasan obat pada


rentang waktu tertentu yang digambarkan dengan perbandingan luas area
dibawah kurva jumlah obat terdisolusi sebagai waktu terhadap 100% jumlah
obat terdisolusi secara teoritis (Edyaningrum, 2013).

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan, nilai DE45 pada sampel


disperse padat lebih tinggi dibandingkan nilai DE45 rekristalisasi. Nilai DE45
dikatakan baik jika mencapai 95% (Nurtanti, et al., 2010). Dari kedua sampel
diperoleh bahwa medode dispersi padat obat terdisolusi dengan baik dalam
dapar fosfat karena nilai DE45 100,12% dengan kata lain lebih dari 95%,
sedangkan untuk sampel perlakuan rifampicin secara rekristalisasi nilai DE 45
93,94%.

6. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, maka ada beberapa hal
yang dapat diarik kesimpulan yaitu :
1. Faktor yang dapat mempengaruhi disolusi obat diantaranya adalah sifat
fisikokimia zat aktif obat, formulasi obat, bentuk sediaan, alat yang
digunakan serta parameter lainnya.
2. Persamaan kurva baku sediaan rifampicin setelah dibaca absorbansinya
adalah y = 0,113x + 0,3692
3. Rifamficin dispersi padat terdisolusi dengan baik dalam dapar fosfat
dengan pH 6,8 yang ditunjukan dengan nilai DE 45 sangat baik lebih dari
95%.
Daftar Pustaka
BPOM, 2014. Pedoman Uji Disolusi Dan Tanya Jawab. Jakarta: Badan Pengawas
Obat Dan Makanan Republik Indonesia.

Damayanti, N. A., Putranti, W. & Pertiwi, D., 2019. omparisons of physical


properties and rates of rifampicin dissolution in Fixed Dose Combination
(2FDC) tablet against rifampicin tablet. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Indonesia, Volume Vol : X, No : 03, pp. 222-228.

Deviarny, C., Henny, L. & Safni, 2012. Uji Stabilitas Kimia Natrium Askorbil
Fosfat dalam Mikroemulsi dan Analisisnya dengan HPLC. Jurnal Farmasi
Andalas Padang, Volume Vol : I, No : 01.

Edyaningrum, A., 2013. Perbandingan Mutu Fisik Dan Profil Disolusi Tablet
Glibenklamida Merek Dagang Dan Generik.

Ima, A. et al., 2017. Artikel Tinjauan : Teknik Meningkatkan Kelarutan Obat.


Fitofarmaka, Volume Vol : XV, pp. 49-57.

Ismail, F. & Kanitha, D., 2020. IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR


PENTOXYFILLIN DALAM SEDIAAN TABLET SECARA
SPEKTROFOTOMETRI FOURIER TRANSFORM INFRARED (FT-IR)
DAN SPEKTROFOTOMETRI UV-VISIBEL. Jurnal Farmagazine, Volume
Vol : IV, No : 02, pp. 07-13.

Kemenkes RI, 2014. Farmakope Indonesia. 5 ed. Jakarta: Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia.

Mahaswari, A. A. I. R., Putra, I. G. N. A. D. & Setyawan, E. I., 2022. Profil


Disolusi dan Media Disolusi Yang Baik Pada Tablet Rifampicin. Jurnal
Ilmiah Multi Disiplin Indonesia, Volume Vol : III, No : 02, pp. 451- 453.

Noval & Malahayati, S., 2021. Teknologi Penghantaran Obat Terkendali. Jawa
Tengah: CV. Pena Persada.

Nurtanti, M. P., Kusuma, A. M. & Siswanto , A., 2010. Profil Disolusi Terbanding
Tablet Rifampicin. PHARMACY, Volume Vol : VII, No :01, pp. 07-10.
Priani, S. E., Nurismawati, D. A. & Darusman , F., 2022. PENGARUH
PENGEMBANGAN SELF-NANOEMULSIFYINGDRUG DELIVERY
SYSTEM TERHADAP DISOLUSI, BIOAVAILABILITAS, DAN
AKTIVITAS AGEN ANTIHIPERLIPIDEMIA. Jurnal Ilmiah Farmasi
Farmasyifa, Volume Vol : V, No : 01, pp. 101-111.

Raini, Mariana, Daroham, M. & Lastari, P., 2010. Uji Disolusi dan Penetapan
Kadar Tablet Loratadin Inovator dan Generik Bermerek. Artikel Media
Litbang Kesehatan, Volume Vol : XX, No : 02, pp. 59-64.

Sagala, R. J., 2019. Review: Metode Peningkatan Kecepatan Disolusi


Dikombinasi Dengan Penambahan Surfaktan. Jurnal Farmasi Galenika,
Volume Vol : V, No : 01, pp. 84-92.

Sari, D. P., Sulaiman, S. & Mafruhah, O. R., 2013. Uji Disolusi Terbanding Tablet
Metformin Hidroklorida Generik Berlogo dan Bermerek. Majalah
Farmaseutik, Volume Vol : IX, No : 01, p. 225.

Siregar, C. & Wikarsa, S., 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar-Dasar
Praktis. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC.

United States Pharmacopeia Convention, 2005. USP. NF 23 ed. Rockville: U.S.


Pharmacopeia Convention.
Lampiran
Foto Keterangan
Pembuatan Dapar

Pembuatan larutan KH2PO4


sebanyak 27,2 gram/1000 mL

Pembuatan larutan NaOH


menggunakan 8 gram dalam 1000
mL

Pembuatan dapar posfat pH 6,8


menggunakan 250 ml KH2PO4
ditambah aquadest hingga 850 ml
lalu tambahkan NaOH. Jika pH lebih
dari 6,8 maka ditambahkan larutan
HCl. Larutan dapar dibuat sebanyak
3L

Ambil 900 mL larutan dapar,


masukan dalam chamber, kemudian
lakukan uji disolusi

Pembuatuan serbuk rifampicin

Tablet rifampicin digerus hingga


menjadi serbuk lalu ditimbang
sesuai kebutuhan
Foto Keterangan
Rekristalisasi

Timbang 0,75 gram serbuk


rifampicin kemudian dilarutak
dengan etanol sambil diuapkan
hingga membentuk kristal

Masukan dalam cangkang kapsul


hingga penuh

Dispersi Padat

0,50 serbuk rifampicin


ditambahkan dengan 0,25 urea
kemudian dilarutkan dengan
etanol hingga terbentuk dispersi
padat

Masukan dalam cangkang kapsul

Larutan baku rifampicin yang


akan dilakukan spektro sebagai
kurva baku
Lakukan uji disolusi dengan
metode dayung tiap chamber
diberi tanda
1). Rifampicin
2). Rekirstalisasi
3). Dispersi Padat
Ambil larutan uji sesuai waktu
yang telah ditentukan

Anda mungkin juga menyukai