Anda di halaman 1dari 23

TUGAS

KETEKNIKAN PENGOLAHAN

OLEH

KELOMPOK 2

1. SEPTIA NOVIANA FALENSIA HARIS


NIM. 2020C1A006

2. PUTRI AYU RAHAYU


NIM. 2020C1A004

3. SIGIT RAMDANI
NIM. 2020C1A014

4. DINDA PARMITHA
NIM. 2019C1A006

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

2023
IKAN KERING

Mutu Ikan Kering

Proses pengeringan ikan yang dilakukandengan menggunakan


pengeringan surya tertutup mutunya lebih baik dari pada pengeringan secara
tradisional. Jenis bahan bakar sangat mempengaruhi mutu dan karakteristik ikan
yang dikeringkan. Bila dibandingkan penggunaan bahan bakar gas, minyak tanah
dan kayu, maka penggunaan bahan bakar gas lebih efektif dan efisien dari pada
menggunakan bahan bakar kayu, hal ini disebabkan karena energi/panas yang
dihasilkan bahan bakar gas lebih tinggi dan temperature suhu pada ruang
pengering mudah terkontrol serta ikan kering yang dhasilkan lebih bersih dan
higenis tidak berjelaga (Savitri, 2018 ; Maulana, 2010). Untuk mengetahui mutu
ikan kering maka dilakukan pengujian kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar
lemak, kadar karbohidrat, kenampakan, aroma, rasa dan tekstur.

Kadar Air

Ningrum (2019),mengatakan kadar air ikan asin kering meningkat dan


menurun seiring dengan pemberian konsentrasi garam dan lama
penggaraman.Proses pengeringan di ruang roomdrying dengan suhu 30oc – 55oc
selama (3, 6 dan 24 jam) dengan konsentrasi garam 27%, 34% dan 41%. Pada
penggaraman 3 jam kadar air terbaik ikan asin kering pada konsentrasi garam
sebesar 41% dengan kadar air akhir adalah 16,83%. Kemudian pada proses
penggaraman selama 6 jam kadar air terbaik adalah pada konsentrasi garam 27%
dengan kadar air akhir adalah 22,4% dan pada penggaraman selama 24 jam kadar
air terbaik adalah 27,65% dengan konsentrasi garam 41%.

Kadar Abu

Riansyah et al.(2013),melakukan pengujian kadar abu ikan sepat siam.


Pengujian kadar abu diperlukan untuk suatu bahan pangan karena pengujian kadar
abu dapat menunjukkan total mineral dalam suatu bahan pangan. Kadar abu awal
ikan sepat siam adalah 2,39%, setelah dilakukan pengeringan selama 6 jam dan 12
jam dengan suhu (50, 60 dan 700C) maka kadar abu ikan sepat siam meningkat,
hal ini terjadi karena semakin lamanya waktu pengeringan semakin tinggi kadar
abu. Pada waktu pengeringan selama 6 jam kadar abu tertinggi adalah pada suhu
70oc sebesar 3,99% dan pada pengeringan selama 12 jam kadar abu tertinggi pada
suhu 70oc sebesar 6,65%.

Kadar Protein

Pengeringan ikan sepat siam dilakukan selama 6 jam dan 12 jam pada
suhu (50,60 dan 700C), kemudian dilakukan pengujian kadar protein ikan sepat
siam, dimana kadar protein awal ikan sepat siam adalah 20,39. Setelah dilakukan
pengeringan, kadar protein ikan sepat siam semakin meningkat. Hal ini
disebabkan semakin lama waktu pengeringan dan semakin tinggi suhu pengering
maka kadar protein ikan semakin meningkat. Pada pengeringan ikan sepat siam
selama 6 jam dan suhu 700C maka kadar protein tertinggi sebesar 24,12% dan
lama pengeringan 12 jam dan suhu 700C kadar protein tertinggi sebesar 42,41%.
Kemudian kadar proteinikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan waktu
pengeringan 8 jam dan suhu (60, 65, 700C) kadar protein tertinggi pada suhu
700Csebesar 13,44% (Riansyah et al.,2013 ; Ikhsan, 2018).Ningrum et al.
(2019),mengatakan,semakin lamanya waktu penggaraman ikan dan semakin
tinggin konsentrasi garam yang digunakan nilai kadar protein ikan semakin tinggi.
Protein ikan dengan lama perendaman air garam 3, 6 dan 24 jam dengan
konsentrasi garam 27%, 34% dan 41%. Pada perendaman 3 jam kadar protein
ikan tertinggi 67,03% pada konsentrasi garam 41%, kemudian pada perendaman 6
jam dengan konsentrasi garam 41% kadar protein tertinggi 65,22% dan proses
perendaman 24 jam kadar protein tertinggi 61,35% dengan konsentrasi garam
27%.

Kadar Lemak

Riansyah et al.(2013),sudah melakukan nilai kadar lemak ikan asin sepat


siam. Nilai kadar lemak awal ikan asin sepat siam 1,58%. Setelah dilakukan
proses pengeringan selama 6 jam dengan suhu 50oC nilai kadar lemak 1,98%,
selanjutnya pada suhu 60oC nilai kadar lemak sebesar 2,02% dan suhu 70oC nilai
kadar lemak sebesar 2,19%.Setelah dilakukan proses pengeringan selama 12 jam
dengan suhu 50oC nilai kadar lemak 6,29%, selanjutnya pada suhu 60oC nilai
kadar lemak sebesar 6,62% dan suhu 70oC nilai kadar lemak sebesar 10,28%. Hal
ini disebabkan karena semakin lama waktu pengeringan dan semakin tingginya
suhu pengeringan akan semakin menyebabkan peningkatan kadar lemak dan
berbanding terbalik dengan nilai kadar air.Ikhsan (2018),mengatakan kadar lemak
dendeng ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) tertinggi terdapat pada perlakuan
dengan suhu pengeringan 60oC yaitu 47,44%, kemudian pada suhu 65oc sebesar
39,54% dan pada perlakuan suhu pengeringan 70oC yaitu sebesar 48,94% dengan
waktu pengeringan 8 jam.

Kadar Karbohidrat

Riansyah et al.(2013),melakukan pengujian nilai kadar karbohidrat ikan


asin sepat siam. Nilai kadar karbohidrat ikan asin sepat siam segar yaitu 0,23%.
Setelah dilakukan proses pengeringan selama 6 jam menujukkan nilai kadar
karbohidrat pada suhu 50oC nilai kadarkarbohidrat sebesar 0,37%, kemudian pada
suhu 60oC nilai kadar karbohidrat sebesar 0,88% dan suhu 70oC nilai kadar
karbohidrat sebesar 0,99%.kemudian dilakukan proses pengeringan selama 12 jam
menujukkan nilai kadar karbohidrat pada suhu 50oC nilai kadar karbohidrat
sebesar 044%, kemudian pada suhu 60oC nilai kadar karbohidrat sebesar 1,39%
dan suhu 70oC nilai kadar karbohidrat sebesar 1,62%. Hal ini menunjukkan
bahwa kenaikan nilai kadar karbohidrat ini terus berlangsung dengan semakin
lamanya waktu pegeringan yang digunakan.

Kenampakan
Berdasarkan uji mutu hedonik nilai kenampakan ikan asin sepat siam pada
pengeringan 6 jam dengan suhu 50Oc yaitu 6,28, kemudian pada suhu 60oC
sebesar 6,92 dan pada suhu70oC sebesar 7,28. Sedangkan untuk pengeringan 12
jam nilai kenampakan ikan sepat siam pada suhu 50oC sebesar 7,01 kemudian
pada suhu 60oC sebesar 6,8 dan pada suhu 70oCsebesar 7,8. kriteria uji mutu
hedonic nilai kenampakan ikan asin sepat siam adalah SNI-01-2721-
1992(Riansyah et al., 2013 ; BSN, 1992).Tumbelaka et al.(2013),telah melakukan
penelitian pengeruh konsentrasi garam dan lama penggaraman terhadap nilai
hedonik ikan bandeng (Chanos chanos) ikan kering, dimana konsentrasi
penggunaan garam adalah 15%, 25%, dan 35% dan lama penggaraman adalah 5
jam, 7 jam dan 9 jam. Dari perhitungan Kruskal-Wallis uji hedonic untuk nilai
kenampakan menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi dan lama penggaraman
tidak memberikan perbedaan nyata (P<0.05).Hasil penelitian menunjukkan bahwa
produk terbaik untuk pengolahan ikan bandeng asin kering yaitu perlakuan
konsentrasi garam 15 % dan lama penggaraman 7 jam.Kenampakan ikan bandeng
asin terlihat sama untuk semua perlakuan dan tidak terdapat kerusakan fisik serta
tidak adanya perubahan warna yang berarti.
Towadi et al. (2013), megatakan,pengaruh lama pengasapan yang berbeda
berpengaruh terhadap mutu organoleptik dan kadar air pada ikan tongkol
(Euthynnus affinis ) Asap. Dari hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan
pengasapan 2 jam nilai rata-rata6,40 kenampakan (utuh, bersih, warna coklat dan
kusam), kemudian pengasapan selama 3 jam nilai rata-ratanya sebesar 6,27 (utuh,
bersih, warna coklat dan kusam), selanjutnya pengasapan selama 3,5 jam nilai
rata-rata sebesar 7,53 (utuh, bersih, warna coklat, mengkilat spesifik jenis) dan
pengasapan selama 4 jam nilai rata-ratanya 6,60 (utuh, bersih, warna coklat,
mengkilat spesifik jenis).

Aroma
Riansyah et al.(2013),telah melakukan uji mutu hedonik nilai aroma ikan
asin sepat siam. Berdasarkan uji mutu hedonik nilai aroma ikan asin sepat siam
pada pengeringan 6 jam dengan suhu 50oCyaitu 4,48, kemudian pada suhu 60oC
sebesar 5,16 dan pada suhu 70oCsebesar 6,8. Sedangkan untuk pengeringan 12
jam nilai kenampakan ikan sepat siam pada suhu 50oC sebesar 6,48 kemudian
pada suhu 60oC sebesar 6 dan pada suhu 70oC sebesar 7,08. kriteria uji mutu
hedonic ikan asin sepat siam adalah SNI-01-2721-1992(BSN, 1992).Tuina et al.
(2013),telah melakukan uji mutu hedonic ikan nike. Hasil uji mutu hedonik aroma
dengan lama pengeringan 9 jam nilai rata – rata mutu aroma 6,78, kemudian lama
pengeringan 11 jam nilai rata-rata mutu aroma 6,82 dan pada lama pengeringan 12
jam nilai mutu aroma 7,18. Ikhsan et al.(2018),mengatakan hasil uji hedonic
aroma dendeng ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dari 25 panelis tingkat
kesukaan panelis terhadap tekstur pada perlakuan dengan suhu pengeringan 60oC
yaitu sebesar 3,36, kemudian pada suhu 65oC sebesar 3,75 dan pada perlakuan
suhu pengeringan 70oC yaitu sebesar 3,76 dengan waktu pengeringan 8 jam.
Towadet al.(2013),megatakan,pengaruh lama pengasapan yang berbeda
berpengaruh terhadap mutu aroma pada ikan tongkol (Euthynnus affinis ) Asap.
Dari hasil uji menunjukkan perlakuan pengasapan 2 jam nilai rata-ratanya 6,80
aroma (netral, sedikit bau tambahan), kemudian pengasapan selama 3 jam nilai
rata-rata 6,67 (netral, sedikit bau tambahan), selanjutnya pengasapan selama 3,5
jam nilai rata-rata 7,73 (kurang harum, asap cukup, tanpa bau tambahan) dan
pengasapan selama 4 jam nilai rata-rata 6,27 (netral, sedikit bau tambahan).

Rasa

Riansyah (2013),sudah melakukan uji mutu hedonik nilai rasa ikan asin
sepat siam. Berdasarkan uji mutu hedonik nilai rasa ikan asin sepat siam pada
pengeringan 6 jam dengan suhu 50oCyaitu 4,84, kemudian pada suhu
60oCdengan nilai 6 dan pada suhu 70oCnilai 6,8. Sedangkan untuk pengeringan
12 jam nilai kenampakan ikan sepat siam pada suhu 50oCsebesar 4,65 kemudian
pada suhu 60oCnilai 6,36 dan pada suhu 70oCnilai 7,08. kriteria uji mutu hedonic
ikan asin sepat siam adalah SNI-01-2721-1992(BSN, 1992).Ikhsan et al.
(2018),mengatakan hasil uji hedonic rasa dendeng ikan lele dumbo (Clarias
gariepinus) dari 25 panelis tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur pada
perlakuan dengan suhu pengeringan 60oC yaitu nilai ujinya 3,25, kemudian pada
suhu 65oCnilai ujinya 3,80 dan pada perlakuan suhu pengeringan 70oC yaitu
sebesar 3,68 dengan waktu pengeringan 8 jam.Towadi et al.
(2013),megatakanpengaruh lama pengasapan yang berbeda berpengaruh terhadap
mutu rasa pada ikan tongkol (Euthynnus affinis ) Asap. Hasil uji menunjukkan
perlakuan pengasapan 2 jam nilai rata-rata 6,53rasa (tidak enak, kurang gurih),
kemudian pengasapan selama 3 jam nilai rata-rata 6,80 (tidak enak, kurang gurih),
selanjutnya pengasapan selama 3,5 jam nilai rata-rata8,00 (enak, gurih) dan
pengasapan selama 4 jam nilai rata-rata 6,87 (tidak enak, kurang gurih).

Tekstur

Tuina et al. (2013), telah melakukan uji mutu hedonik tekstur ikan nike.
Hasil uji mutu hedonik tekstur lama pengeringan 9 jam nilai teksturnya 6,2,
kemudian lama pengeringan 11 jam nilai teksturnya 6,74 dan pada pengeringan 12
jam nilai tekturnya 7,33.Ikhsan et al.(2018),mengatakan hasil uji hedonic tekstur
dendeng ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dari 25 panelis tingkat kesukaan
panelis terhadap tekstur pada perlakuan dengan suhu pengeringan 60oC nilai
teksturnya 3,36, kemudian pada suhu 65oCnilai teksturnya 3,77 dan pada
perlakuan suhu pengeringan 70oC nilai teksturnya 3,76 dengan waktu
pengeringan 8 jam.Towadi et al.(2013), megatakanpengaruh lama pengasapan
yang berbeda berpengaruh terhadap mutu hedonic tekstur ikan tongkol
(Euthynnus affinis ) Asap. Perlakuan pengasapan 2 jam nilai rata-rata 6,40
kenampakan (kurang kering, antar jaringan longgar), kemudian pengasapan
selama 3 jam nilai rata-rata 6,33 (kurang kering, antar jaringan longgar),
selanjutnya pengasapan selama 3,5 jam nilai rata-rata 7,53 (padat, kompak, cukup
kering, antar jaringan erat) dan pengasapan selama 4 jam nilai rata-rata 6,60
(padat, kompak, cukup kering, antar jaringan erat).Agus dan Malik (2018), tekstur
ikan teri kering dapat dinilai dari kepadatan,kekerasan, kekompakan, kelembutan,
dan lembek atau tidaknya daging. Dari Hasilsidik ragam memperlihatkan bahwa
kadar garam dan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
tekstur ikan teri kering.Proses penguraian jaringan oleh enzim serta aktivitas
bakteri dapat menurunkan nilai organoleptik ikan teri kering, yang dapat
menyebabkan daging menjadi rusak, kehilangan teksturnya dan hancur dalam
bentuk serbuk.Kerusakan daging secara fisik disebabkan oleh komponen-
komponen penyusun jaringan pengikat dan benang-benang daging telah rusak
sebagai akibat dari perubahan biokimiawi dan kerja mikroba terutama bakteri.
Kerusakan komponen-komponen daging, terutama protein, dapat menyebabkan
terlepasnya ikatan-ikatan air sehingga daging akan kehilangan kemampuan untuk
menahan air.
MANISAN KERING BUAH TOMAT

Sifat Kimia

Suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar air dan kadar vitamin
C. Lama pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi dan kadar
vitamin C. Adapun interaksi keduanya memberikan pengaruh yang tidak berbeda
nyata untuk semua parameter sifat kimia.

Kadar air

Kadar air tertinggi terdapat pada suhu 60oC selama 8 jam yaitu sebesar
13,26%. Sedangkan kadar air terendah terdapat pada suhu 80oC selama 16 jam
yaitu sebesar 9,64%. Lama pengeringan dan interaksinya dengan suhu
pengeringan menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap kadar air manisan
kering buah tomat. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu lama
pengeringan yang digunakan maka semakin rendah kadar air yang dihasilkan,
dimana kadar air yang terkandung didalam bahan mengalami penguapan yang ikut
menguap ke udara sehingga air yang terkandung didalam bahan semakin
rendah.Hasil diatas sejalan dengan pendapat Histifarina et al. (2004) dengan
teknik pengeringan dalam oven, yang menyatakan bahwa dengan meningkatnya
suhu udara pengeringan yang digunakan maka makin besar kemampuan bahan
untuk melepaskan air dari permukaannya begitu pula semakin rendah suhu
pengeringan maka semakin banyak air yang terikat didalam bahan, sehingga kadar
air yang dihasilkan semakin rendah. Berdasarkan standar mutu manisan kering
buah-buahan kadar air maksimum 25%(BSN, 1996), perlakuan suhu dan lama
pengeringan dapat dikatakan memenuhi standar SNI.

Kadar Abu

Lama dan suhu pengeringan serta interaksi keduanya berpengaruh tidak


nyata terhadap kadar kabur manisan kering buah tomat. Hal ini terjadi karena suhu
dan lama pengeringan menyebabkan kadar air menguap sehingga kadar abu pada
manisan kering buah tomat yang dihasilkan tidak signifikan, kadar abu yang
dihasilkan tergantung pada bahan yang digunakan

Kadar Gula Pereduksi

Suhu pengeringan dan interaksinya dengan lama pengeringan berpengaruh


tidak nyata terhadap kadar gula pereduksi manisan kering buah tomat. Sedangkan
lama pengeringan memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini karena semakin lama
pengeringan semakin banyak air yang keluar sehingga manisan kering buah tomat
mempunyai kadar gula yang lebih tinggi.

Menurut Fitriani et al. (2013) pada pengaruh lama pengeringan manisan kering
jahe, bahwa semakin tinggi lama pengeringan maka semakin banyak molekul air
yang menguap sehingga kadar air semakin rendah dan kadargula pereduksi
semakin tinggi. Besarnya kadar gula pereduksi pada manisan kering buah tomat
dipengaruhi oleh komponenkomponen lain yang ada pada bahan, terutama kadar
air. Gula pereduksi manisan kering buah tomat yang dihasilkan dari perlakuan
suhu 60˚C dan suhu 80˚C dan lama pengeringan 8jam, 12 jam, dan 16 jam masih
dibawah maksimum SNI manisan buah-buahan. Tetapi pada perlakuan suhu 70oC
dengan waktu 16 jam meningkat yaitu sebesar 40,33%. Berdasarkan SNI 1718-
1996 manisan kering buah-buahan kadar gula pada manisan kering maksimum
40%. Sehingga padaKadar Abu

Lama dan suhu pengeringan serta interaksi keduanya berpengaruh tidak


nyata terhadap kadar kabur manisan kering buah tomat. Hal ini terjadi karena suhu
dan lama pengeringan menyebabkan kadar air menguap sehingga kadar abu pada
manisan kering buah tomat yang dihasilkan tidak signifikan, kadar abu yang
dihasilkan tergantung pada bahan yang digunakan

Kadar Gula Pereduksi

Suhu pengeringan dan interaksinya dengan lama pengeringan berpengaruh


tidakmanisan kering buah tomat menjadi lebih rendah. Pengeringan suhu diatas
30oC pada buah-buahan dapat mengakibatkan kehilangan vitamin C diatas
50%.Perbedaan kandungan vitamin C ini menunjukkan bahwa lama pengeringan
dansuhu pengeringan bahan berpengaruh nyata, hasil vitamin C dilihat pada Tabel
1, bahwa semakin tinggi lama pengeringan maka semakin tinggi pula kandungan
vitamin C pada manisan kering buah tomat. Perlakuan suhu 6oC dan lama
pengeringan 8 jam berkisar 5,33%, 12 jam sebesar 2,33%, dan 16 jam sebesar
2,00%, pada suhu 70˚C dengan lama pengeringan 8 jam berkisar antara 3,00%, 12
jam 2,33% dan 16 jam 2,00%, pada suhu 80oC lama pengeringan 8 jam berkisar
3,00%, 12 jam 2,67% dan lama pengeringan 16 jam sebesar 2,00%. Berdasarkan
hasil vitamin C tersebut bahwa semakin tinggi suhu dan lama pengeringan maka
semakin rendah kadar vitamin C yang ada pada manisan buah tomat yang
dihasilkan, hal tersebut diakibatkan oleh pemanasan dan vitamin C yang
terkandung didalam bahan berkurang. Hal ini sependapat dengan Sitohang (2013),
pengujian vitamin C pada pembuatan sirup markisa yang menyatakan bahwa
semakin tinggi suhu dan lamanya pengeringan maka kadar vitamin C suatu bahan
pangan semakin berkurang. Sedangkan pada interaksi antara perlakuan suhu dan
lama pengeringan terhadap kadar vitamin C berbeda tidak nyata.

Sifat Sensoris

Suhu dan lama pengeringan berpengaruh nyata terhadap sifat


hedonikwarna dan tekstur manisan kering buah tomat. Sedangkan untuk atribut
rasa, hanya suhu pengeringan yang menunjukkan pengaruh nyata. Interaksi suhu
dan lama pengeringan berpengaruh tidak nyata terhadap semua atribut sensoris
hedonik. Diantara atribut sensoris mutu hedonik, hanya aroma dan tekstur saja
yang dipengaruhi oleh suhu dan lama pengeringan. Suhu dan lama pengeringan
berpengaruh nyata terhadap sifat mutu hedonik hanya untuk atribut aroma.
Sedangkan untuk atribut tekstur, hanya lama pengeringan yang menunjukkan
pengaruh nyata. Tidak terlihat adanya pengaruh interaksi antara suhu dan lama
pengeringan terhadap semua atribut sensoris hedonik.

Warna
Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa Suhu dan lama pengeringan
memberikan pengaruh nyata terhadap sifat hedonik warna manisan kering buah
tomat, tetapi tidak untuk sifat mutu hedonik. Interaksi keduanya juga berpengaruh
tidak nyata terhadap sifat hedonik warna manisan kering buah tomat. Dari
perlakuan lama pengeringan 12-16 jam, semakin lama pengeringan menyebabkan
respon hedonik warna manisan kering buah tomat semakin meningkat.Hasil ini
sependapat dengan hasil penelitian Carina dan Wignyanto et al. (2007), bahwa
penggunaan suhu pengeringan denganwaktu lebih singkat dan suhu yang rendah
dapat mempertahankan warna pada manisan belimbing wuluh. Semakin lama
buah tomat dikeringkan, maka tingkat kesukaan panelis terhadap manisan buah
tomat semakin rendah, dan warna yang dihasilkan semakin cokelat.

Aroma

Suhu dan lama pengeringan serta berpengaruh tidak nyata terhadap sifat
hedonik aroma manisan kering buah tomat, tetapi berpengaruh nyata terhadap
sifat mutu hedoniknya. Interaksi keduanya menunjukkan pengaruh tidak nyata
terhadap sifat hedonik dan mutu hedonik aroma manisan kering buah
tomat.Menurut Salunkhe (2002). Aroma buah tomat dihasilkan dari senyawa
pembentuk flavor selama proses pengolahan terjadi, aroma juga bisa berkurang
akibat proses pengolahan dan pada saat pengeringan atau pemanasan.Pendapat ini
didukung oleh Yunita dan Rahmawati et al. (2015), pada produk yang diberi
penambahan gula bila dilakukan pemanasan yang lebih lama terjadi proses
karamelisasi yaitu reaksi pencokelatan non enzimatik. Karamel yang terbentuk
selama pemanasan memberikan warna cokelat pada produk pangan.

Tekstur

Suhu dan lama pengeringan berpengaruh nyata terhadap sifat hedonik


tekstur, sedangkan untuk sifat mutu henonik hanya perlakuan suhu pengeringan
yang berpengaruh. Interaksi antara suhu dan lama pengeringan berpengaruh tidak
nyata terhadap sifat hedonik dan mutu hedonik tekstur manisan kering buah
tomat.Menurut pendapat Sinurat dalam Murniyati (2014) yang menyatakan bahwa
semakin rendah kandungan air pada sistem gel akan menyebabkan ikatan antara
matriks pembentuk gel menjadi semakin rapat sehingga tekstur menjadi keras.
pemanasan yang dilakukan pada saat pengolahan manisan kering dapat
meningkatkan kekerasan tekstur karena dapat mengurangi ikatan pada molekul
pektin dan membuat tekstur menjadi lebih keras. Hal ini diperkuat oleh Sulisna et
al. (2015) kekuatan gel dipengaruhi oleh air bebas dalam suatu bahan. Semakin
tinggi air bebas maka kekuatan gel akan semakin rendah dan sebaliknya semakin
rendah air bebas akan menyebabkan kekuatan semakin tinggi.

Rasa

Suhu pengeringan memberikan pengaruh nyata terhadap sifat hedonik rasa


manisan kering buah tomat, tetapi tidak untuk sifat mutu hedonik. Menurut
Pratiwi (2009), semakin lama suhu pemanasan maka rasa semakin meningkat,
karena sukrosa mampu membentuk cita rasa yang baik karena kemampuan
menyeimbangkan rasa asam, pahit, atau asin melalui pembentukan karamelisasi.
Menurut Jumeri (2002), pembentukan flavour mempengaruhi rasa suatu produk
akhir yang salah satunya ditentukan oleh bahan yang ditambahkan. Pendapat ini
mendukung pernyataan Kartika et al. (1987), bahwa sukrosa yang ditambahkan
dalam bahan pangan akan menimbulkan citarasa dan dapat menimbulkan rasa
manis. Rasa manis bertambah bila jumlah sukrosa semakin tinggi, tetapi dalam
jumlah tertentu rasa enak ayang ditimbulkan akan menurun. Panelis menyukai
rasa manisan kering buah tomat karena memiliki rasa yang enak yaitu rasa manis.
Rasa manis yang ditimbulkan pada manisan kering karena penambahan gula pada
saat proses pengolahan sesuai SNI No.1718-83.1996 manisan basah yang
mempunyai kadar gula sekitar 40%.
KERUPUK KULIT SAPI

Kadar air kerupuk kulit sapi

Data hasil pengamatan untuk pengaruh lama pengeringan terhadaprataan


kadar air kerupuk kulit sapi, dapat dilihat pada. Hasil analisis statistic menunjukan
bahwa lama pengeringan dalam oven memberikan pengaruh yang berbeda nyata
(P<0,05) terhadap nilai kadar air kerupuk kulit sapi. Hasil uji lanjut beda nyata
jujur (BNJ)menunjukkan bahwa perlakuan lama pengeringan 48 jam
menghasilkan kadar air yang berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah dari lama
pengeringan 24 jam, namun lama pengeringan 36 jam berbeda tidak nyata dengan
lama pengeringan 24 jam. Kadar air yang rendah akan meningkatkan kerenyahan
pada produk, karena semakin banyak air yang keluar dari bahan maka semakin
banyak ruang kosong yang terdapat dalam jaringan sehingga pada saat kerupuk
digoreng akan mengembang sampai tingkat tertentu dan menyebabkan kerupuk
menjadi lebih renyah (Djunaedi, 2015). Widati dan Mustakim (2007) menyatakan
bahwa kadar air yang rendah akan meningkatkankehalusan pada produk, karena
semakin banyak air yang keluar dari bahan maka semakin banyak ruang kosong
yang terdapat dalam jaringan. Amertaningtyas et al. (2011) mengemukakan bahwa
protein menyerap air dan mengikatnya, sedangkan air yang terikat pada protein
tersebut sulit dilepaskan walaupun dengan pemanasan.

Volume pengembangan Kerupuk Kulit Sapi


Data hasil pengamatan untuk pengaruh lama pengeringan terhadap volume
pengembang kerupuk kulit sapi, dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis statistik
menunjukan bahwa perlakuan lama pengeringan memberikan pengaruh yang
berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai volume pengembangan perlakuan
lama pengeringan 48 jam menghasilkan volume pengembangan yang berbeda
sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dari lama pengeringan 24 jam, dan berbeda
nyata (P<0,05) lebih tinggi dari lama pengeringan 36 jam, namun lama
pengeringan 36 jam berbedatidak nyata (P>0,05) dengan lama pengeringan 24
jam. Volume pengembangan berhubungan erat dengan kandungan protein
kerupuk. Semakin tinggi kandungan protein kerupuk rambak maka semakin
rendah daya kembangnya (Wahyuningtyas et al2014). Kadar kolagen yang ada
pada kulit hewan juga dapat mempengaruhi perbedaan volume pengembangan
yang dihasilkan. Usia kulit hewan yang digunakan pada kerupuk rambak dari
masing-masing produsen dapat mempengaruhi volume pengembangan kerupuk.
Hal ini terjadi karena kadar kolagen pada kulit dipengaruhi oleh usia
hewan.Proses penggorengan menyebabkan kerupuk mengalami
pemekaran/pengembangan. Terjadinya pengembangan kerupuk disebabkan oleh
terbentuknya rongga-rongga udara akibat menguapnya air yang terikat pada
struktur kerupuk karena pengaruh suhu penggorengan. Selain itu pada saat
perebusan kulit, air akan terikat dalam protein kolagen membentuk gel dengan
ikatan yang sangat kuat sehingga pada saat pengeringan sulit diuapkan tetapi
dapat dihilangkan pada saat penggorengan karena penggunaan suhu tinggi.
Jumlah air yang terserap saat perebusan akan mengubah protein kolagen menjadi
gelatin yang akan mempengaruhi tingkat pengembangan dan kerenyahan rambak
matang yang dihasilkan (Widati dan Mustakim, 2007).

Warna

Warna merupakan salah satu parameter yang di ukur dalam penilaian mutu
dan tingkat penerimaan panelis atas sebuah produk. Data pada Tabel 2diketahui
bahwa perlakuan yang diberikan berupa lama pengeringan dalam oven
menunjukan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap warna kerupuk kulit sapi
berkisaran antara 3,87 (agak suka) sampai 5,05 (suka). Nilai rataan skor tertinggi
di peroleh pada perlakuan P2 yakni pengeringan pada temperatur 60°C selama 36
jam dan terendah pada perlakuan P1 yakni pengeringan pada temperatur 60°C
selama 24 jam. Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan lama
pengeringan dalam oven memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata
(P<0,01) terhadap warna yang dihasilkan. Berdasarkan hasil uji lanjut dengan uji
beda nyata jujur menunjukan bahwa lama pengeringan oven 36 jam berbeda
sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi warnanya di bandingkan dengan lama
pengeringan oven 48 jam dan berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dari lama
pengeringan oven 24 jam.Data hasil uji sensoris warna kerupuk kulit sapi
perlakuan P2 yakni pengeringan pada temperatur 60°C selama 36 jam lebih di
sukai panelis, disebabkan karena warna kerupuk kulit sapi yang di hasilkan lebih
putih, juga dipengaruhi oleh lamanya pengeringan dalam oven. Sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-4308-1996, yaitu berwarna normal,juga
sesuai dengan pendapat Sompie et al.(2012) bahwa struktur jaringan kulit
berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik kulit dan pengaruh yang terbesar adalah
terdapat pada serabut kolagen.

Aroma

Diketahui bahwa perlakuan yang diberikan berupa lama pengeringan dalam oven
menghasilkan aroma yang khas dan sangat berpengaruh terhadap aroma kerupuk
kulit sapi yang dihasilkan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma kerupuk kulit
sapi berkisaran antara 3,80 (agak suka) sampai 4,92 (suka). Nilai rataan skor
tertinggi diperoleh pada perlakuan P2 yakni pengeringan pada temperatur 60°C
selama 36 jam, sedangkan terendah pada perlakuan P1 yakni pengeringan pada
temperatur 60°C selama 24 jam.Berdasarkan nilai aroma kerupuk kulit sapi,
panelis lebih menyukai aroma kerupuk kulit sapi dengan perlakuan P1 yakni
pengeringan pada temperatur 60°C selama 36 jam dengan skor 4,92 yang
termasuk dalam kategori suka. Berdasarkan hasil analisis sidik keragaman
menunjukan bahwa perlakuan lama pengeringan dalam oven yang berbeda
memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat
kesukaan aroma kerupuk kulit sapi yang dihasilkan. Hasil uji lanjut menunjukkan
bahwa lama pengeringan oven 36 jam berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih baik
aromanya di bandingkan dengan lama pengeringan oven 48 jam dan berbeda
nyata (P<0,05) lebih tinggi dari lama pengeringan oven 24 jam. Lama
pengeringan oven 48 jam berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih baik aroma dari
lama pengeringan oven 24 jam.

Berdasarkan hasil uji sensoris, kerupuk kulit sapi memiliki aroma yang
khas hal ini dipengaruhi oleh lamanya pengeringan dalam oven. Hal ini berkaitan
dengan pernyataan Murtini et al. (2014) bahwa timbulnya aroma makanan
disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap. Aroma yang
dikeluarkan setiap makanan berbeda-beda. Selain itu, cara memasak yang berbeda
akan menimbulkan aroma yang berbeda pula (Eriyana dan Syam, 2017).
Berdasarkan nilai aroma kerupuk kulit sapi, panelis lebih menyukai aroma
kerupuk kulit sapi dengan perlakuan P1 yakni pengeringan pada temperatur 60°C
selama 36 jam dengan skor 4,92 yang termasuk dalam kategori suka. Berdasarkan
hasil analisis sidik kersgaman menunjukan bahwa perlakuan lama pengeringan
dalam oven yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata
(P<0,01) terhadap tingkat kesukaan aroma krupuk kulit sapi yang di hasilkan.
Hasil uji lanjut dengan uji beda nyata jujur menunjukan bahwa lama pengeringan
oven 36 jam berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih baik aromanya dibandingkan
dengan lama pengeringanoven 48 jam dan berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi
dari lama pengeringan oven 24 jam. Lama pengeringan oven 48 jam berbeda
sangat nyata (P<0,01) lebih baik aroma dari lama pengeringan oven 24 jam.
Berdasarkan hasil uji sensoris, kerupuk kulit sapi memiliki aroma yang khas hal
ini dipengaruhi oleh lamanya pengeringan dalam oven. Hal ini berkaitan dengan
pernyataan (Murtini et al., 2014) bahwa timbulnya aroma makanan disebabkan
oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap. Aroma yang dikeluarkan setiap
makanan berbeda-beda. Selain itu, cara memasak yang berbeda akan
menimbulkan aroma yang berbeda pula (Eriyana et al., 2017).

Kerenyahan

Data menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan berupa lama


pengeringan dalam oven berpengaruh terhadap kerenyahan kerupuk kulit sapi
yang dihasilkan. Hasil yang di peroleh menunjukan bahwa tingkat kesukaan
panelis terhadap kerenyahaan kerupuk kulit sapi dengan perlakuan yang berbeda,
berkisaran antara 3,00 (tidak suka) sampai 5,25 (agak suka). Nilai rataan skor
tertinggi terdapat pada perlakuan P2 yakni pengeringan pada temperatur 60°C
selama 36 jam. Sedangkan terendah pada perlakuan P1 pengeringan pada
temperatur 60°C selama 24 jam.Berdasarkan hasil analisis sidik ragam
menunjukan bahwa perlakuan lama pengeringan dalam oven memberikan
pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kerenyahan kerupuk kulit
sapi yang di hasilkan. Setelah dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur menunjukan
bahwa lama pengeringan oven 36 jam berbeda sangat nyata (p<0,01) lebih tinggi
kerenyahan di bandingkan dengan lama pengeringan oven 48 jam dan berbeda
nyata (P<0,05) lebih tinggi kerenyahan dari lama pengeringan oven 24 jam. Lama
pengeringan oven 48 jam berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi kerenyahan
dari lama pengeringan oven 24 jam.Berdasarkan hasil uji sensori,pelakuan pada
kerupuk kulit sapi menghasilkan kerenyahan yang di sukai oleh panelis hal ini
mungkin dikarenakan perlakuan lama pengeringan dalam oven berpengaruh
terhadap kerenyahan kerupuk kulit sapi yang dihasilkan, kerenyahan merupakan
sifat penting dalam penerimaan produk hasil penggorengan seperti kerupuk.
Tekstur kering hasil penggorengan tergantung pada kemudahan terputusnya
partikel penyusunnya pada saat pengunyahan dan tergantung pula pada ukuran
dan kekukuhan granulagranula pati yang sudah mengembang(Irmayanti et al.,
2017). Adanya peningkatan tingkat kerenyahan ini diduga karena adanya kapur
pada proses pengapuran, maka proses gelatinisasi terjadi lebih sempurna sehingga
akan menghasilkan struktur yang lebih porous setelah digoreng. Sedangkan pada
perebusan dengan air panas, molekul airyang terperangkap pada jaringan semakin
banyak, menyebabkan air tidak semuanyadapat teruapkan pada waktu
penggorengan. Semakin banyak air yang tidak teruapkan semakin mengurangi
keporousan kerupuk sehingga kerenyahan menurun. Tekstur produk pangan
dipengaruhi oleh protein yang mengalami denaturasi atau koagulasi (Muchtadi &
Sugiyono, 2014).

Citarasa
Citarasa merupakan faktor terpenting terhadap akseptabilitas selain warna,
aroma, kerenyahan. Diketahui bahwa perlakuan yang di berikan berupa lama
pengeringan dalam oven jam yang berbeda menunjukan bahwa tingkat kesukaan
panelis terhadap citarasa kerupuk kulit sapi dengan perlakuan yang berbeda
berkisaran antara 3,25 (agak suka) sampai 5,05 (suka).Berdasarkan hasil analis
sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan lama pegeringan dalam oven
memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap citarasa
kerupuk kulit sapi. Berdasarkan hasil uji lanjut dengan hasil uji beda nyata jujur
menunjukan bahwa lama pengeringan oven 36 jam berbeda sangat nyata (P<0,01)
lebih tinggi citarasa dibandingkan dengan lama pengeringan oven 48 jam dan
berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi citarasa dari lama pengeringan oven 24 jam.
Lama pengeringan oven 48 jam berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi
citarasa dari lama pengeringan oven 24 jam. Data-data tersebu menunjukan bahwa
panelis lebih menyukai kerupuk kulit sapi dengan perlakuan P2 pengeringan pada
temperatur 60°C selama 36 jam hal ini di pengaruhi oleh perlakuan yang di
berikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari (Ismed, 2016) menyatakan bahwa
makanan yang diproses dengan penggorengan menjadi lebih gurih. Hal ini juga
didukung oleh Ratnaningsih (2007); Iskandar et al.(2018) menyatakan bahwa
minyak berperan dalam memberikan cita rasa pada bahan pangan yang digoreng.
Minyak yang diserap akan merenyahkan makanan.
BUBUK KOPI

Hasil dan Pembahasan


Dari dapat dilihat dengan meningkatnya lama fermentasi pada pengolahan
bubuk kopi menyebabkan terjadinya peningkatan kadar abu, nilai organoleptik
rasa, aroma dan warna sebaliknya terjadi penurunan pada rendemen dan kadar air.
Dari dapat dilihat dengan semakin meningkatnya lama pengeringan menyebabkan
terjadinya kenaikan pada kadar abu, nilai organoleptik rasa, aroma, dan warna
sebaliknya terjadi penurunan pada rendemen dan kadar air.

Rendemen
Dapat dilihat bahwa rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan P1
11,345% dan terendah diperoleh pada perlakuan P4 10,918% dan seluruh
perlakuan saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg lainnya. Penurunan
rendemen tersebut disebabkan dengan meningkatnya lama fermentasi pada
pengolahan bubuk kopi maka biji kopi yang difermentasi akan mengalami
penurunan bobot karena terjadi penurunan kadar air, sehingga rendemen bubuk
kopi yang diperoleh akan semakin menurun. Taib, dkk (1988) menyatakan
penurunan kandungan air pada bahan akan menyebabkan berat bahan tersebut
semakin menurun, sehingga rendemen yang dihasilkan semakin menurun pula.
Dapat dilihat bahwa rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan T1
11,515 % dan terendah diperoleh pada perlakuan T4 10,751 % dan seluruh
perlakuan saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg lainnya.Dapat dilihat
bahwa nilai rendemen semakin menurun dengan semakin meningkatnya lama
pengeringan. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya lama pengeringan mak
jumlah air yang terdapat pada jaringan biji kopi akan semakin menurun sehingga
rendemen bubuk kopi yang dihasilkan menurun. Taib, dkk (1988) menyatakan
penurunan kandungan air pada bahan akan menyebabkan berat bahan tersebut
semakin menurun, sehingga rendemen yang dihasilkan semakin menurun pula.

Kadar air
Dapat dilihat bahwa Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 7,150
% dan terendah diperoleh pada perlakuan P4 6,150 % dan seluruh perlakuan
saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg lainnya.kadar air bubuk kopi
semakin menurun dengan semakin lamanya fermentasi. Hal.ini disebabkan
semakin lama proses fermentasi berlangsung, terjadi kenaikan suhu, dimana
aktivitas mikroba akan meningkat, aktivitas enzim menjadi lebih aktif sehingga
lendir menjadi encer. Panas akan mempengaruhi hancurnyalendir dari dari biji,
pori-pori biji akan terbuka sehingga kandungan air akan menguap (Sivetz dan
Foote, 1963), sehingga kadar air bubuk kopi akan semakin menurun.
Dapat dilihat bahwa Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 7,425
% dan terendah diperoleh pada perlakuan T4 6,150 % dan seluruh perlakuan
saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg lainnya. kadar air bubuk kopi
semakin menurun dengan semakin lamanya pengeringan. Hal ini disebabkan
semakin lamapengeringan maka semakin banyakkandungan air pada biji kopi
yang menguap selama proses pengeringan, sehingga kadar air bubuk kopi akan
semakin menurun.

Kadar abu
Dapat dilihat bahwa Kadar abu tertinggi diperoleh pada perlakuan P4
4,150 % dan terendah diperoleh pada perlakuan P1 3,225 % dan seluruh perlakuan
saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg lainnya.kadar abu semakin
meningkat dengan semakin meningkatnya lama fermentasi. Hal ini disebabkan
kadar air bubuk kopi semakin menurun dengan semakin lama fermentasi yang
mengakibatkan kadar mineral atau kadar abu akan semakin meningkat. Selain itu,
biji kopi banyak mengandung mineralmineral yang dapat meningkatkankelarutan
seperti logam monovalen yaitu natrium dan kalium serta fosfor dan sulfur yang
terdapat dalam jumlah besar (Clarke, R. J. and Macrae, R. 1987), sehingga kadar
abu bubuk kopi akan semakin meningkat.
Dapat dilihat bahwa Kadar abu tertinggi diperoleh pada perlakuan T4
4,100 % dan terendah diperoleh pada perlakuan T1 3,175 % dan seluruh
perlakuan saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg lainnya.semakin
lama waktu pengeringan yang digunakan maka kadar abu akan semakin
meningkat. Hal ini disebabkan lama pengeringan mempengaruhi bahan kering
pada bahan, dimana semakin lama waktu pengeringan maka kadar air bubuk kopi
akan semakin menurun sehingga menyebabkan kadar abu semakin meningkat.

Nilai organoleptik rasa


Dapat dilihat bahwa nilai organoleptik rasa tertinggi diperoleh pada
perlakuan P4 3,513 % dan terendah diperoleh pada perlakuan P1 3,400 % dan
seluruh perlakuan saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg lainnya.Nilai
organoleptik rasa semakin meningkat dengan semakin meningkatnya lama
fermentasi.Hal ini disebabkan fermentasi bertujuan untuk meningkatkan cita rasa
dari kopi, sehingga nilai organoleptik rasa semakin meningkat karena disukai
panelis.
Dapat dilihat bahwa nilai organoleptik rasa tertinggi diperoleh pada
perlakuan T4 3,550 % dan terendah diperoleh pada perlakuan T1 3,325 % dan
seluruh perlakuan saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg lainnya.Nilai
organoleptik rasa bubuk kopi semakin meningkat dengan semakin meningkatnya
lama pengeringan. Hal ini disebabkan pengeringan berpengaruh terhadap cita rasa
kopi, sehingga semakin lama pengeringan maka nilai organoleptik rasa bubuk
kopi akan semakin meningkat.

Nilai organoleptik aroma


Dapat dilihat bahwa nilai organoleptik aroma tertinggi diperoleh pada
perlakuan P4 3,400 % dan terendah diperoleh pada perlakuan P1 2,988 % dan
seluruh perlakuan saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg lainnya.Nilai
organoleptik aroma semakin meningkat. Hal ini disebabkan dengan semakin
meningkatnya lama pengringan maka kadar air kopi akan menurun, sehingga
aroma yang dihasilkan akan semakin meningkat.
Dapat dilihat bahwa nilai organoleptik aroma tertinggi diperoleh pada
perlakuan T4 3,388 % dan terendah diperoleh pada perlakuan T1 3,088 % dan
seluruh perlakuan saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg
lainnya.semakin lama waktu pengeringan yang digunakan maka nilai organoleptik
aroma akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan dengan semakin
meningkatnya lama pengringan maka kadar air kopi akan menurun, sehingga
aroma yang dihasilkan akan semakin meningkat.

Nilai organoleptik warna


Dapat dilihat bahwa nilai organoleptik warna tertinggi diperoleh pada
perlakuan P4 2,900 % dan terendah diperoleh pada perlakuan P1 2,488 % dan
seluruh perlakuan saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg lainnya.Nilai
organoleptik aroma semakin meningkat. Hal ini disebabkan dengan semakin
meningkatnya lama pengringan maka kadar air kopi akan menurun, sehingga
aroma yang dihasilkan akan semakin meningkat.
Dapat dilihat bahwa nilai organoleptik warna tertinggi diperoleh pada
perlakuan T4 2,850 % dan terendah diperoleh pada perlakuan T1 2,588 % dan
seluruh perlakuan saling berbeda sangat nyata antara satu dengan yg
lainnya.semakin lama waktu pengeringan yang digunakan maka nilai organoleptik
aromaakan semakin meningkat. Hal inidisebabkan dengan semakin meningkatnya
lama pengringan makakadar air kopi akan menurun, sehinggaaroma yang
dihasilkan akan semakinmeningkat.

Anda mungkin juga menyukai