Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia fitrahnya untuk beribadah kepada Tuhan, Salah satu beribadah
kepada Tuhan adalah dengan membaca ayat suci Al qur’an, dengan menbaca al
quran dengan tajwid dan makhraj yang benar akan bernilai pahala di sisi
Tuhan. Di sini penulis akan mencoba memberikan uraian dari salah satu cara
membaca Al qur’an yaitu waqaf.
Waqaf dari sudut bahasa ialah berhenti atau menahan, manakala dari sudut
istilah tajwid ialah menghentikan bacaan sejenak dengan memutuskan suara di
akhir perkataan untuk bernapas dengan niat ingin menyambungkan kembali
bacaan.
Mengetahui waqaf  merupakan hal yang penting, waqof telah menjadi
agenda pembicaraan para ulama dari dahulu hingga saat ini, sebab akan
berimplikasi terhadap penafsiran al Qur’an. Dengan memperhatikan waqaf di
dalam membaca al Qur’an akan kelihatan ketepatan makna ayat-ayat al Qur’an.
Oleh karenanya, tanda waqaf adalah laksana ‘kompas’ penentu arah kemana harus
dituju.

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Waqaf ?
b. Apa yang dimaksud Waqaf Hasan ?
c. Apa tanda Waqaf Hasan ?

C. Tujuan Masalah
a. Mengetahui Apa pengertian Waqaf ?
b. Mengetahui Apa yang dimaksud Waqaf Hasan ?
c. Mengetahui Apa tanda Waqaf Hasan ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Waqaf

Secara umum, wakaf berasal dari bahasa Arab yaitu “Waqf”. Istilah


tersebut memiliki arti dalam Bahasa Indonesia yaitu artinya “menahan diri”.
Sementara menurut fiqih Islam, wakaf merupakan hak pribadi yang dipindahkan
atau diberikan untuk menjadi dimiliki secara umum/ bersama agar manfaatnya
dinikmati banyak orang. Pemberian itu diberikan dalam jangka waktu tertentu
atau untuk jangka waktu selamanya.

Sementara menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, wakaf adalah suatu


perbuatan yang dilakukan wakif (pemberi) memisahkan dan atau menyerahkan
sebagian hartanya selamanya atau dalam jangka waktu tertentu untuk digunakan
dan dimanfaatkan guna kepentingan ibadah atau kesejahteraan umum menurut
syariah.1

Beberapa Mashab yang memberikan pendapatnya tentang pengertian


ibadah ini adalah Mashab Syafi’i, Mashab Hanafi, dan Mashab Malik. Menurut
Mashab Syafi’I, wakaf merupakan suatu tindakan melepaskan harta dari
kepemilikan melalui sebuah prosedur yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa harta yang diwakafkan dapat


berupa benda bergerak yang dimanfaatkan dalam jangka waktu lama atau kekal.
Wakaf menurut Mazhab Hanafi adalah suatu sikap tidak melakukan tindakan
apapun atas harta yang dimilikinya yang berstatus tetap hak milik dengan
memberikan manfaat dari harta tersebut kepada pihak lainnya dalam jangka waktu
saat ini atau jangka waktu yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sementara menurut Mazhab Malik, wakaf adalah tindakan tidak


melepaskan harta yang dimilikinya, tetapi memiliki kewajiban untuk memberikan
1
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press. Hal 33.

2
manfaat dari harta yang diwakafkan tersebut kepada masyarakat luas dan tentunya
tidak boleh mengambil kembali harta yang sudah diwakafkan.

B. Waqaf Hasan (Baik)


Waqaf hasan adalah berhenti pada suatu kata yang sempurna maknanya
namun ada hubungannya dengan kalimat/ayat berikutnya secara makna dan secara
lafadz. Kemudian ibtida’ dari kata setelah kata yang diwaqafkan. Adapun tanda
waqaf yang dapat dijadikan sebagai pedoman waqaf hasan adalah tanda waqaf al-
washlu aula (‫ )صلى‬dan waqaf murakhas (‫)ص‬.
Contoh:
Al-Fatihah 2-4
ِ ِ‫) َمال‬3( ‫) الرَّحْ َم ِن ال َّر ِح ِيم‬2(  َ‫ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِمين‬
)4( ‫ك يَوْ ِم الدِّي ِن‬
Apabila kita waqaf di akhir tiga ayat di atas termasuk waqaf hasan. Ketiga ayat di
atas semua berisi sifat Allah swt dan ayat 3 dan 4 adalah naat/shifat dari kata
“Lillah”.
Contoh lainnya Al-Humazah 1-2:
)2( ُ‫) الَّ ِذي َج َم َع َمااًل َو َع َّد َده‬1( ‫َو ْي ٌل لِ ُك ِّل هُ َم َز ٍة لُ َم َز ٍة‬
Waqaf  pada akhir ayat 1 surat Al-Humazah termasuk hasan karena sudah
sempurna makna dan karena ayat 2 merupakan penjelas ayat sebelumnya.

Misalnya dalam Q.S al-Fatihah[1]: 2-3, qari berhenti pada kata َ‫الَ ِمين‬qq‫َربِّ ْال َع‬
ِ ‫ الرَّحْ َم ِن الر‬karena kata sesudahnya masih berkaitan
kemudian memulai pada kata ‫َّح ِيم‬
dengan sifatnya Allah.2

Contoh Al-Baqorah ayat 3;

  َ‫صاَل ةَ َو ِم َّما َرزَ ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِقُون‬ ِ ‫الَّ ِذينَ يُْؤ ِمنُونَ بِ ْال َغ ْي‬
َّ ‫ب َويُقِي ُمونَ ال‬

"... (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka."

2
Amin, M., Sam, M. I., AF., H., Hasanuddin, & Sholeh, A. N. (2011). Himpunan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia sejak 1975. Jakarta: Erlangga. Hal 86.

3
Berhenti pada kata  َ‫صاَل ة‬
َّ ‫ال‬  sebuah ungkapan yang sempurna, namun dianjurkan
memulai dari  َ‫صاَل ة‬
َّ ‫ال‬  َ‫ َويُقِي ُمون‬  , karena ayat selanjutnya masih ada hubungan arti
dan lafadz. Dalam bahasa arab diidtilahkan ma'tuf.

C. Tanda Waqaf Hasan ‫صلى‬

Tanda waqaf ‫لى‬qq‫ ص‬disebut dengan waqaf Hasan. Saat menemui tanda
tersebut, maka boleh meneruskan bacaan atau menghentikan bacaan. Namun,
akan lebih baik untuk meneruskan bacaannya.

Contoh tanda waqaf ‫ صلى‬terdapat dalam surat Az-Zukhruf ayat 44:

َ‫وَِإنَّهۥُ لَ ِذ ْك ٌر لَّكَ َولِقَوْ ِمكَ ۖ َو َسوْ فَ تُ ْسـَٔلُون‬

Waqaf Hasan adalah penghentian pada kata yang sebenarnya sudah sempurna,
tetapi masih memiliki hubungan dengan kata setelahnya, baik kalimat maupun
maknanya.3

Ada kemungkinan ia merupakan kata yang disifati oleh kata setelahnya atau
menjadi kata yang diganti atau dijelaskan sehingga kata setelahnya menjadi badal-
nya,

atau ia menjadi mustatsnä minhu (asal sesuatu yang dikecualikan) sehingga kata
setelahnya menjadi mustatsná (sesuatu yang dikecualikan) dan semacamnya.

Contoh waqaf ini adalah penghentian pada lafzhul-jalälah (nama Allah) dalam
surah Al-Fatihah berikut ini.

‫هّٰللا‬
ِ ‫بِس ِْم ِ الرَّحْ مٰ ِن الر‬
‫َّحي ِْم‬

bismillaahir-rohmaanir-rohiim

3
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press. Hal 56.

4
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
(QS. Al-Fatihah 1: Ayat 1)

‫هّٰلِل‬
ِ ‫  اَ ْل َح ْم ُد‬Kalimat

"Segala puji bagi Allah", meski ia adalah kalimat yang sudah sangat dikenal
masya rakat, tetapi ia masih mempunyai hubungan dengan kalimat
setelahnya, baik dari sisi makna maupun lafaznya.

Hal itu disebabkan kata setelah lafzhul-jalalah sangat berhubungan atau


bergantung kepada-Nya karena menjadi sifat-Nya.4

Hukum waqaf ini adalah "lebih baik berhenti" dan "mengawali dengan kata


selanjutnya", jika peng hentiannya di permulaan ayat, seperti berhenti pada kata,
‫ العلمين‬dalam firman Allah,

‫الحمد هلل رب العلمين‬

'Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam'. Bahkan, berhenti pada kata ini
adalah sunah. Setiap membaca Al-Qur'an, Rasulullah saw. selalu memutus-mutus
ayat demi ayat. Beliau membaca

‫هّٰللا‬
ِ ‫بِس ِْم ِ الرَّحْ مٰ ِن الر‬
‫َّحي ِْم‬

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.


Kemudian, beliau berhenti. Hal itu berarti, keterangan hadits menjadi acuan dasar
tentang pembahasan waqaf.

BAB III

PENUTUP

4
Amin, M., Sam, M. I., AF., H., Hasanuddin, & Sholeh, A. N. (2011). Himpunan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia sejak 1975. Jakarta: Erlangga. Hal 97.

5
A. Kesimpulan
Secara umum, wakaf berasal dari bahasa Arab yaitu “Waqf”. Istilah
tersebut memiliki arti dalam Bahasa Indonesia yaitu artinya “menahan diri”.
Sementara menurut fiqih Islam, wakaf merupakan hak pribadi yang dipindahkan
atau diberikan untuk menjadi dimiliki secara umum/ bersama agar manfaatnya
dinikmati banyak orang. Pemberian itu diberikan dalam jangka waktu tertentu
atau untuk jangka waktu selamanya.
Waqaf hasan adalah berhenti pada suatu kata yang sempurna maknanya
namun ada hubungannya dengan kalimat/ayat berikutnya secara makna dan secara
lafadz. Kemudian ibtida’ dari kata setelah kata yang diwaqafkan. Adapun tanda
waqaf yang dapat dijadikan sebagai pedoman waqaf hasan adalah tanda waqaf al-
washlu aula (‫ )صلى‬dan waqaf murakhas (‫)ص‬.

DAFTAR PUSTAKA

6
Ali, M. D. (1988). Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press.

Amin, M., Sam, M. I., AF., H., Hasanuddin, & Sholeh, A. N. (2011). Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai