Anda di halaman 1dari 7

HUKUM WAQAF DAN IBTIDA’

KARYA ILMIAH
Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah

Praktikum Qiroah dan Ibadah

UIN Syarif Hidyatullah Jakarta

OLEH:

ZIEL MAHQWA SUNARTO

[Agribisnis 1C]

PROGRAM STUDI AGRIBSNIS. FAKULTAS SAINS & TEKNOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

Kebutuhan manusia terhadap Al-Quran tidak terhindarkan dan diragukan lagi. Al-
Quran yang merupakan kitab suci yang dimiliki oleh umat manusia harus menjadi pedoman
umat manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Al-Quran yang diturunkan Allah swt.
Kepada Nabi Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril ini berisi semua kejadian
baik yang sudah dilampaui atau masa yang akan datang. Umat Muslim seharusnya meyakini
kebenaran itu tanpa peraguan sedikitpun. Allah Swt. Berfirman :

َ ‫ۙ ٰذل َِك ْالك ِٰتبُ اَل َري‬


‫ْب ۛ ِف ْي ِه ۛ ُه ًدى لِّ ْل ُم َّت ِقي َْن‬
Terjemahan Indonesia:
“Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”,
(QS. Al-Baqarah: 2)

Sebabnya, sebagai umat Islam harus senantiasa membaca, mempelajari dan


mengamalkan apa-apa yang dikandung di dalam Al-Quran itu sendiri. Membaca Al-Quran
tidak bisa sembarangan, ada etika, pengucapan dan pelafalan sesuai tuntunan nabi
Muhammad. Oleh karena itu, lahirlah ilmu tajwid yang mengandung beberapa hukum
bacaan dan pelafalan bunyi agar sesuai kaidah yang berlaku.
 Mempelajari ilmu tajwid hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika dalam suatu tempat
ada seseorang yang menguasai ilmu ini, maka bagi yang lainnya tidak menanggung dosa, dan
sebaliknya jika tidak seorangpun yang menguasai ilmu ini, maka seluruh penduduk daerah
tersebut menanggung dosa. Adapun membaca Al-Qur’an dengan tajwid hukumnya fardhu
‘ain. Jika seseorang tidak menggunakan tajwid dalam membaca Al-Qur’an, maka ia berdosa.
Ilmu tajwid sangat penting sekali untuk dipelajari sebelum belajar membaca Al-Qur’an,
karena dengan ilmu tajwid kita dituntun bagaimana cara melafalkan huruf hijaiyah,
bagaimana cara memanjangkan atau memendekkan bacaan, dan dimana memberhentikan
bacaan atau disebut waqaf dan memulai kembali bacaan disebut ibtida.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Waqaf

A.1. Pengertian Waqaf

Secara etimologis, waqaf berarti menahan, diam, berdiri dan tenang. Secara
terminologis, waqaf berarti menghentikan suara sesaat untuk mengambil nafas baru
dengan niat melanjutkan bacaan. Menurut Ahmad Muthahar Abdurrahman al-Muraqi
yang dikutif oleh Abdul Mujib Ismail, definisi waqaf adalah sebagai berikut :

‫الوقف هو قطع الصوت عند آخر الكلمة مقدار زمن التنفس اما اقصر منه فالسكت‬
Artinya : “Memutus suara di akhir kalimat (ketika membaca al-Qur’an) selama masa
bernapas, tetapi jika lebih pendek dari masa bernafas itu, maka disebut saktah”.

Berdasarkan beberapa definisi tentang waqaf baik ditinjau dari aspek etimologis
maupun terminologis, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa waqaf adalah
menghentikan bacaan dengan cara memutuskan suara dan melepaskan nafas di ujung
perkataan-perkataan tertentu dalam suatu tempo biasa.

A.2. Klasifikasi Waqaf


Ada beberapa
adalah sebagai berikut :

a. Waqaf Idhthirory

Waqaf idhthirory ialah waqaf yang dilakukan oleh qari’ karena kehabisan
nafas, batuk, lupa, dan lain sebagainya. Waqaf ini boleh diberlakukan pada kata
manapun. Namun demikian, qari’ sebaiknya menyambung kembali dengan kata
sebelumnya apabila waqaf tadi belum sempurna artinya. Jika sudah sempurna, maka
sebaiknya bacaan dimulai kembali dari kata berikutnya. Misalnya terpaksa waqaf
pada kata ‫ على‬dalam ayat ۡ‫َختَ َم ہّٰللا ُ ع َٰلی قُلُ ۡوبِ ِہم‬

b. Waqaf Intizhory
Waqaf intizhory adalah waqaf pada suatu kalimat yang di dalamnya terdapat
banyak hukum qira‟at. Dalam kalimat lain disebutkan bahwa waqaf inthizhory adalah
berhenti menunggu. Artinya pembaca berhenti pada sebuah kata yang perlu untuk
menghubungkan dengan kalimat lain pada bacaannya ketika ia menghimpun beberapa
qira’at karena adanya perbedaan riwayat. Waqaf ini diberlakukan ketika pembaca
mengumpulkan atau membaca beberapa riwayat dari sepuluh qira’at yang mutawatir
yaitu dengan cara berhenti pada suatu kata tertentu untuk selanjutnya kembali
mengulangi macam-macam qira’at yang ada pada ayat tersebut. Misalnya waqaf pada
kata ‫ ا ْل ِح َجا َرة‬dalam ayat َ‫عدَّتْ لِ ْل ٰكفِ ِريْن‬ َ َّ‫فَاتَّقُوا الن‬
ُ َّ‫ار الَّتِ ْي َوقُ ْو ُدهَا الن‬
ِ ُ‫اس َوا ْل ِح َجا َرةُ ۖ ا‬
Menurut ulama Qira‟at, mewaqafkan bacaan pada kata ‫ ا َرة‬-‫ ا ْل ِح َج‬itu ada dua
pendapat. Ada yang mengatakan boleh waqaf atau terus saja dan ada pula yang
mengatakan terus itu lebih baik. Hal ini disebabkan adanya tanda (‫ )ج‬sehingga
diharuskan berhenti. Pendapat pertama mengatakan bahwa waqaf dibolehkan.
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa tidak perlu berhenti bahkan terus itu
lebih baik. Hal ini disebabkan adanya tanda (‫)ص""لى‬, maka untuk menghargai kedua
pendapat tersebut di atas sengaja diwaqafkan terlebih dahulu pada kata -‫ ة‬-‫ َر‬-‫ ا‬-‫ َج‬-‫ح‬-ِ -‫ ْل‬-‫ا‬
kemudian diulang kembali pembacaan dari kata -‫ ْي‬-ِ‫ت‬-َّ‫ل‬-‫ ا‬umpamanya.

c. Waqaf Ikhtibary
Waqaf ikhtibary ialah ketika seorang qari’ berhenti sesuai perintah karena sedang
diuji dan dites supaya ia yakin pada kualitas bacaan dan pengetahuannya tentang tata
cara waqaf pada tempat yang mengharuskan ia melakukannya. Waqaf ini diberlakukan
ketika seorang penguji mengajukkan pertanyaan atau seorang guru dalam mengajarkan
muridnya tentang suatu kata apakah boleh waqaf atau tidak. Misalnya waqaf pada kata
ِّ ‫َوا ْتل ُ َعلَ ْي ِه ْم َن َبا َ ا ْب َن ْي ٰا َد َم ِبا ْل َح‬
‫ ا ْب َن ْي‬dalam ayat ‫ـق‬
Pada dasarnya, kata ‫ ا ْبنَ ْي‬seharusnya diwaqafkan dengan menggunakan (‫)ن‬,
maka (‫ )ن‬itu dihilangkan. Apabila diteruskan atau disambungkan dengan kata (‫)آدم‬
sesudahnya. Menurut kaidah Ilmu Tajwid, pada hakekatnya berhenti pada tempat-
tempat yang telah ditentukan itu tidak diperbolehkan, tetapi hal seperti ini
diperbolehkan untuk melakukan pengetesan. Contoh, seorang guru sedang
menerangkan kepada muridnya tentang keadaan waqaf pada tempat- tempat seperti itu
jika terpaksa karena sesak nafas atau nafasnya pendek, dan lain sebagainya.

d. Waqaf Ikhtiyary

Secara garis besar, ada dua macam waqaf ikhtiyary yaitu waqaf ikhtiyari jaiz dan
ghairu jaiz.
Waqaf ikhtiyary jaiz adalah ketika seorang qari’ berhenti pada suatu kata yang
sudah mendatangkan pemahaman makna yang dikehendaki dan tidak merusak arti atau
membingungkan pikiran pendengar. Sedangkan waqaf ghairu jaiz merupakan waqaf
yang tidak diperbolehkan atau bisa disebut juga sebagai waqaf qabih.
Waqaf ikhtiyary merupakan waqaf yang disengaja, dipilih atau dituju, bukan
karena sebab-sebab yang telah lewat pada nomor satu, dua dan tiga. Waqaf ini dipilih
secara sengaja oleh seorang qari’ untuk menghentikan bacaan al-Qur’an pada suatu
kalimat. Pilihannya untuk waqaf pada kalimat tersebut bukan karena alasan darurat,
menunggu atau memberi keterangan. Keputusan untuk waqaf semata- mata merupakan
‫هَّٰلِل‬
pilihan hatinya sendiri. Misalnya waqaf pada kata َ‫ ٱ ْل َعالَمِين‬dalam ayat َ‫ب ٱ ْل َعالَمِين‬
ِّ ‫ٱ ْل َح ْم ُد ِ َر‬

Waqaf ikhtiyary dapat diklasifikasikan ke dalam empat bagian yaitu waqaf tamm,
kafi, hasan dan waqaf qabih. Berikut ini akan dijelaskan :

a. Waqaf tamm
Waqaf tamm adalah berhenti pada perkataan yang sempurna susunan kalimatnya
dan tidak berkaitan dengan kalimat sesudahnya baik lafadz maupun maknanya. Pada
umumnya, waqaf tamm terdapat pada akhir ayat, terkadang sebelum habis ayat,
terkadang dipertengahan dan kadang juga setelah habis ayat dan ditambah sedikit
waqaf
b. Waqaf kafi
Waqf kafi ialah berhenti pada perkataan yang sempurna kalimatnya, tetapi masih
berkaitan makna dengan kalimat sesudahnya namun tidak berkaitan dengan lafadznya
‫ہّٰللا‬
seperti pada kata َ‫ اَل ُي ْؤ ِم ُنون‬dan memulai pada kata ۡ‫ع ٰلی قُل ُ ۡو ِب ِہم‬
َ ُ ‫َخ َت َم‬
c. Waqaf hasan
Waqaf hasan ialah berhenti pada perkataan yang sempurna susunan kalimatnya,
tetapi masih berkaitan makna dan lafadznya dengan kalimat sesudahnya. Dalam mushaf
al-Qur’an, waqaf ini ditandai dengan rumus (‫)صلى‬. Waqaf ini sering terjadi antara sifat
‫هَّٰلِل‬
dan yang disifatinya. Contoh ِ ‫ ٱ ْل َح ْم ُد‬kemudian mulai dari َ‫ب ٱ ْل َعالَمِين‬
ِّ ‫ َر‬dan dalam hal ini
washal lebih utama.
d. Waqaf qabih
Waqaf qabih adalah berhenti pada perkataan yang tidak sempurna susunan
kalimatnya, karena berkaitan dengan lafadz dan makna perkataan atau kalimat
sesudahnya. Contoh waqaf qabih pada lafadz ‫ بسم‬dari lafadz ِ ‫ ِب ْس ِم هّللا‬.Kedua lafadz ini
tidak bisa dipisahkan karena lafadz pertama berkedudukan sebagai mudhaf,
sementara lafadz berikutnya berkedudukan sebagai mudhaf ilaih. Mudhaf dan mudhaf
ilaih ialah dua kata sempurna kalimat majemuk yang tidak boleh dipisahkan satu
sama lain.

B. Ibtida’

B.1. Pengertian Ibtida’


Secara etimologis, ibtida’ mempunyai akar kata dari bada’a yang artinya memulai.
Adapun secara terminologis, ibtida’ berarti memulai bacaan setelah berhenti atau
waqaf. Menurut Ulama Qurra’ ibtida’ adalah memulai membaca al-Qur’an baik memulai
dari awal maupun meneruskan bacaan yang semula dihentikan.
Bedasarkan uraian definisi tentang ibtida’ baik ditinjau dari aspek etimologis
maupun terminologis, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ibtida’ dapat
dipahami sebagai permulaan bacaan setelah berhenti atau waqaf.

B. 2. Klasifikasi Ibtida’

Ibtida’ dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian yaitu :


a. Ibtida’ Tamm
Ibtida’ tamm adalah memulai bacaan yang tidak ada hubungannya dengan kalimat
sebelumnya baik dari segi lafadz maupun makna. Contohnya :

‫ون‬
َ ‫ظ‬ُ ِ‫الذ ْك َر َوإِ َّنا َل ُه َل َحاف‬
ِّ ‫إِ َّنا َن ْحنُ َن َّز ْل َنا‬
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya” (QS. al-Hijr : 9).

b. Ibtida’ Kafi

Ibtida‟ kafi ialah memulai bacaan dari satu kalimat yang mempunyai hubungan arti
dengan lafadz sebelumnya. Contoh :

ۤ ‫ہّٰللا‬
ٌ ‫ش َاوۃٌ ۫ َّو لَ ُہمۡ َع َذ‬
‫اب َعظِ ۡی ٌم‬ َ ‫ار ِہمۡ ِغ‬
ِ ‫ص‬َ ‫س ۡمع ِِہمۡ ؕ َو َع ٰلی اَ ۡب‬
َ ‫َخ َت َم ُ َع ٰلی قُلُ ۡو ِب ِہمۡ َو َع ٰلی‬

c. Ibtida’ Hasan
Ibtida‟ hasan adalah memulai bacaan dengan kalimat yang masih ada hubungan dengan
kalimat sebelumnya, namun lafadznya bagus jika dimulai dengannya. Contoh :

َ‫اس َمن َيقُول ُ َءا َم َّنا ِبٱهَّلل ِ َو ِبٱ ْل َي ْو ِم ٱلْ َءاخ ِِر َو َما هُم ِب ُم ْؤ ِمنِين‬
ِ ‫َومِنَ ٱل َّن‬
d. Ibtida’ Qabih
Ibtida’ qabih ialah memulai bacaan dengan kalimat yang merusak makna disebabkan
sangat eratnya hubungan terhadap kalimat sebelumnya. Contoh QS. Huda : 53

َ‫َو َما َن ْحنُ لَ َك بِ ُم ْؤ ِمنِين‬

Menurut Wahyudi, ibtida’ itu adakalanya mulai membaca pertama kali dan
adakalanya, memulai membacanya sesudah waqaf. Ibtida’ itu harus dari awal kalimat
dan tidak boleh diambil dari potongan kalimat, sebab dapat merusak kalimat al-Qur’an.
Mengetahui ibtida’ itu harus lebih hati-hati dari pada waqaf, karena waqaf itu masih bisa
berhenti di mana saja apabila dalam keadaan darurat. Lain halnya dengan ibtida’ yang
tidak boleh seenaknya saja memulai bacaan, tetapi harus memilih dari perkataan yang
mafhum.

Secara garis besar, ibtida‟ dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Ibtida’ jaiz
Ibtida’ jaiz yaitu ibtida‟ dari kalimat yang jelas maknanya atau sesuai dengan apa
yang dikehendaki Allah SWT.

b. Ibtida’ ghairu jaiz


Ibtida’ ghairu jaiz yaitu ibtida’ dari kalimat yang dapat merusak atau merubah
makna kalimat. Ibtida’ ini dibagi menjadi dua bagian yaitu :
- Ibtida’ dari perkataan yang masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya baik lafadz
maupun maknanya seperti :

ٍ ‫َت َّب ْت َيدَٓا أَ ِبى لَ َه‬


‫ب َو َت َّب‬
Artinya : “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” (QS.
Al-Lahab : 1)

- Ibtida’ dari perkataan yang mendatangkan makna yang tidak dikehendaki oleh Allah
SWT atau menyalahi aqidah seperti :

‫وا ٱ َّت َخ َذ ٱهَّلل ُ َولَدًا‬


۟ ُ‫َو َقال‬

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ibtida’ itu
tidak boleh kecuali dengan awalnya huruf suatu lafadz. Ibtida’ juga tidak boleh kecuali
dengan huruf yang hidup. Oleh sebab itu, apabila terdapat lafadz yang huruf pertamanya
disukun (mati), maka haruslah didatangkan kepadanya hamzah washal agar bisa
diucapkan.

DAFTAR PUSTAKA

- https://tafsirweb.com/.... Html
- https://tafsiralquran2.wordpress.com/2012/11/20/2-8/
- Aripin, Ridwan. 2018. Pengaruh Waqaf dan Ibtida’ Terhadap Terjemah dan Tafsir.
Jakarta. UIN Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai