Anda di halaman 1dari 24

INTRODUCTION TO MATHEMATICS EDUCATION

MUFTIHUL HIJRAH

200101512003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021
DAFTAR ISI

SAMPUL..................................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................1
B. Fokus Penelitian.............................................................................................5
C. Tujuan Penelitian............................................................................................6
D. Manfaat Penelitian..........................................................................................7
E. Batasan Istilah.................................................................................................8
BAB II KAJIAN PUSTAKA...................................................................................9
A. Kesalahan Siswa.............................................................................................9
B. Teori Nolting................................................................................................12
C. Jenis-jenis Kesalahan pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar......................13
D. Materi Geometri Bangun Ruang Sisi Datar..................................................14
E. Bangun Ruang SisiDatar..............................................................................16
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................22
A. METODE PENELITIAN.............................................................................22
B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN....................................................22
C. SUMBER DATA..........................................................................................22
D. INSTRUMEN PENELITIAN.......................................................................22
E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA............................................................23
F. TEKNIK PENGUJIAN KEABSAHAN DATA...........................................24
G. TEKNIK ANALISIS DATA........................................................................25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

ii
BAB II

PEMBAHASAN

A. HAKIKAT MANUSIA

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dibekali dengan akal

dan pikiran. Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang

memiliki derajat paling tinggi di antara citaannya yang lain. Hal yang paling

penting dalam membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa

manusia dilengkapi dengan akal, pikiran, perasaan, dan keyakinan untuk

mempertinggi kualitas hidupnya di dunia. Sedangkan hewan adalah

binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada

di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di

habitatnya.

Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik yang

secara prinsipil membedakan manusia dengan hewan meskipun antara

manusia dan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi

biologisnya. Kesamaan secara biologis ini misalnya adanya kesamaan

bentuk (misalnya kera), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak

dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anak,

pemakan segalanya, dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia.

Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakan manusia itu zoon

politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan

manusia sebagai das kranke tieri (hewan yang sakit).

1
2

Kenyataan dalam pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang

keliru, mengira bahwa manusia dan hewan hanya berbeda secara gradual,

yaitu suatu perbedaan yang melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama

keadaannya, misalnya air karena perubahan temperatur lalu menjadi es batu.

Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan, orang hutan, misalnya,

dapat dijadikan manusia.

Upaya manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak

identik dengan manusia telah ditemukan. Charles Darwin dengan teori

evolusinya telah berjuang untuk menemukan bahwa manusia berasal dari

kera, tetapi temuannya ini ternyata gagal. Ada misteri yang dianggap

menjembatani proses perubahan dari kera ke manusia yang tidak sanggup

diungkapkan yang disebut the missing link, yaitu suatu mata rantai yang

putus. Ada suatu proses antara yang tak dapat dijelaskan. Jelasnya tidak

ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai

bentuk ubah dari primata atau kera melalui proses evolusi yang bersifat

gradual.

B. WUJUD SIFAT HAKEKAT MANUSIA

Ada beberapa wujud sifat hakikat manusia yang tidak dimiliki oleh

hewan. Wujud sifat hakikat manusia ini dikemukakan oleh paham

eksistensialisme dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi

konsep pendidikan, yaitu:

1. Kemampuan menyadari diri


3

Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan

hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh

manusia. Berkat adanya kemampuan itu, manusia menyadari bahwa

dirinya (akunya) memiliki ciri khas. Hal ini menyebabkan manusia

dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan

dengan yang bukan aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan

bukan hanya membedakan. Lebih dari itu manusia dapat membuat

jarak dengan lingkungannya, baik yang berupa pribadi maupun

nonpribadi.

Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah

ganda. Kedua arah yang terdapat dalam bagan di atas di dalam

pendidikan perlu untuk dikembangkan secara berimbang.

Pengembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas,

sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek

individualitas manusia.

Yang lebih istimewa adalah manusia dikaruniai kemampuan

untuk membuat jarak dengan dirinya sendiri. Sungguh merupakan

suatu anugerah yang luar biasa yang menempatkan posisi manusia

sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri.

Si aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subjek

kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek untuk melihat

kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang

terdapat pada dirinya. Pada saat demikian, seorang aku dapat berperan
4

ganda yaitu sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek. Hal inilah

yang disebut dengan pendidikan diri sendiri atau oleh Langeveld

disebut self forming.

2. Kemapuan Bereksistesi diri

Selain memiliki kemampuan menyadari diri, manusia juga

memiliki kemampuan bereksistensi. Kemampuan bereksistensi adalah

kemampuan menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu

dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja yang berkaitan dengan

ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan kata lain, manusia tidak

terbelenggu dengan tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini

(sekarang), tetapi dapat menembus ke sana, ke masa depan, atau ke

masa lampau.

Adanya kemampuan bereksistensi yang dimiliki oleh manusia

tentu saja terdapat unsur kebebasan pada manusia. Jadi, adanya

manusia bukan “ber-ada” seperti hewan di dalam kandang dan

tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada” di muka

bumi (Drijarkara, 1962:61-63). Jika seandainya pada diri manusia itu

tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, manusia

tidak lebih dari hanya sekedar esensi belaka, artinya ada hanya

sekedar “ber-ada” dan tidak pernah “meng-ada” atau “bereksistensi”.

Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta

didik perlu diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar


5

mengantisipasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek

masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif

sejak kanak-kanak.

3. Pemilikan Kata hati

Kata hati (conscience of man) juga sering disebut dengan istilah

hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dsb. Conscience

bermakna pengertian yang ikut serta atau pengertian yang mengikut

perbuatan. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa

yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti

juga akibatnya bagi manusia sebagai manusia. Pelita hati atau hati

nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri

manusia yang memberikan penerangan tentang baik buruk

perbuatannya sebagai manusia.

Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk

mengambil keputusan tentang baik dan benar, buruk dan salah,

ataupun kemampuan dalam mengambil keputusan tersebut hanya dari

sudut pandang tertentu (misalnya sudut kepentingan diri) dikatakan

bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Jadi, kriteria baik-benar, buruk-

salah harus dikaitkan dengan baik-benar atau buruk-salah bagi

manusia sebagai manusia.


6

Dapat disimpulkan bahwa kata hati adalah kemampuan

membuat keputusan tentang yang baik-benar dan yang buruk-salah

bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral

(perbuatan), kata hati merupakan petunjuk bagi moral/perbuatan.

Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang

tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming). Realisasinya

dapat ditempuh dengan elatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi.

Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral (berbuat) yang

didasari oleh kata hati yang tajam.

4. Moral

Moral merupakan suatu perbuatan yang menyertai kata hati.

Dengan kata lain, moral adalah perbuatan itu sendiri. Kadangkala

antara moral dan hati masih terdapat jarak. Artinya, seseorang yang

telah memiliki kata hati yang tajam belum tentu perbuatannya itu

merupakan realisasi dari kata hatinya sendiri. Berarti dalam hal ini

diperlukan kemauan untuk menjembatani jarak di antara keduanya.

Yang dimaksud dengan kemauan adalah kemauan yang sesuai dengan

kodrat manusia.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang

sinkron dengan kata hati yang tajam adalah moral yang benar-benar

baik bagi manusia. Sebaliknya, moral yang yang tidak sinkron dengan

kata hati yang tajam disebut dengan moral yang buruk sehingga orang

yang melakukan moral yang buruk ini disebut orang yang tak
7

bermoral. Moral disebut juga dengan etika. Selain etika, juga terdapat

kata yang pengertiannya sering disamakan oleh orang, yaitu etiket.

Sebenarnya, antara etika dan etiket tidakla sama. etika tidak hanya

berkaitan dengan perbuatan yang baik/benar, tetapi juga salah/buruk,

sedangkan etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun.

Dengan demikian, berdasarkan perbedaan pengertian antara etika dan

etiket, dapat dikatakan bahwa orang yang etiketnya tinggi (bersopan

santun) bisa jadi moralnya rendah. Berkaitan dengan moral ini, dalam

suatu pembelajaran, peserta didik perlu diajarkan moral-moral-moral

yang baik. Jika ini tidak dilakukan, dunia pendidikan kita akan

menghasilkan kaum intelektual yang tak bermoral.

5. Kemampuan Bertanggungjawab

Tanggung jawab berarti keberanian untuk menentukan bahwa

suatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia dan bahwa

hanya karena itu perbuatan itu dilakukan sehingga sanksi apa pun

yang dituntut oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma

agama diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini

menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik

baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.

6. Rasa Kebebasan

Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu),

tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini

sebenarnya ada dua hal yang saling bertentangan yaitu rasa “bebas”
8

dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia”. Meskipun antara rasa

“bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” ini

bertentangan, tetapi sebenarnya saling berkaitan. Memang merdeka

adalah rasa bebas, tetapi kebebasan tersebut tentu saja tidak

bertentangan dengan kodrat manusia.

Orang tidak dapat berbuat bebas tanpa memperhatikan petunjuk

dari kata hati. Jika hal ini tetap dilakukan, kebebasannya itu disebut

dengan kebebasan semu. Kebebasan semu segera diburu oleh ikatan-

ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru mengundang

kegelisahan. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis

membunuh berusaha mati-matian untuk menyembunyikan diri (rasa

tidak merdeka). Di sini terlihat bahwa kemerdekaan berkaitan erat

dengan kata hati dan moral.

7. Kebiasaan Melaksanakan Kewajiban Dan Menyadari Hak

Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul

sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Jika

seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu, tentu ada pihak

lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Selanjutnya

kewajiban ada karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya.

Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang kosong. Artinya, meskipun

hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahui

(misalnya hak memperoleh perlindungan hukum). Walaupun sudah

diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya.


9

Hak sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan,

sedangkan kewajiban dipandang sebagai beban. Sebenarnya

kewajiban bukan beban, melainkan suatu keniscayaan (Drijarkara,

1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia,

kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Jika menolak, itu artinya

ia mengingkari kemanusiaannya. Akan tetapi, apabila kewajiban itu

dilaksanakan, hal tersebut tentu saja merupakan suatu keluhuran.

Adanya keluhuran dari melaksanakan kewajiban itu menjadi lebih

jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang sebaliknya,

yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain,

dsb.

Implementasi dari perbuatan ini adalah orang akan merasa

dikhianati, kecewa, dan akhirnya tumbuh sikap tidak percaya.

Kewajiban bukanlah suatu ikatan, melainkan suatu keniscayaan.

Sebagai suatu keniscayaan berarti apa yang diwajibkan menusia

menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerima. Namun,

terhadap keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga

melanggar. Ia boleh memilih dengan konsekuensi jika taat, akan

meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar akan

merosot martabatnya sebagai manusia. Berarti realisasi hak dan

kewajiban ini sifatnya relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat

dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa


10

keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena

pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan

kondisi, hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi,

atau harapan yang berfungsi untuk memberi arah pada segenap usaha

untuk menciptakan keadilan.

8. Kemampuan Menghayati Kebahagian

Hampir semua orang merasakan kebahagiaan. Pengertian

kebahagiaan sebenarnya tak mudah dijabarkan meskipun mudah

dirasakan. Terdapat beberapa kata yang bersinonim dengan

kebahagiaan, misalnya senang dan gembira. sebagian orang mungkin

menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang

atau gembira dikatakan sedang mengalami kebahagiaan. Sebagian lagi

mengaanggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari

kebahagiaan sebab sifatnya lebih permanen daripada perasaan senang

yang sifatnya lebih temporer.

Dengan kata lain, kebahagian lebih merupakan integrasi atau

rentetang dari sejumlah kesenangan. Malah ada yang lebih jauh lagi

berpendapat tidak cukup digambarkan sebagai himpunan dari

pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari

itu yaitu merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan,

kepuasan dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan

penderitaan. Proses integrasi dari semuanya itu menghasilkan suatu

bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”.


11

Peliknya persoalan mungkin juga karena kebahagian itu lebih

dapat dirasakan daripada dipikirkan. Pada saat orang menghayati

kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan daripada aspek nalar. Oleh

karena itu, dikatakan bahwa kebahagiaan itu sifatnya rasional padahal

kebahgiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan itu ternyata

tidak demikian karena aspek kepribadian yang lain seperti akal pikiran

juga ikut berperan.

Bukankan seseorang hanya mungkin menghayati kebahagiaan

jika ia mengerti tentang sesuatu yang menjadi objek rasa bahagianya

itu. juga orang yang sedang terganggu pikiran atau tidak beres

kesadarannya tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Di sini

jelas bahwa penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung oleh

aspek nalar dan aspek rasa. Berarti dapat disimpulkan bahwa

kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara

faktual, pada rangkaian prosesnya, ataupun pada perasaan yang

diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati

semuanya itu dengan keheningan jiwa dan mendudukkan hal-hal

tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu usaha, norma-

norma, dan takdir.

Menurut hemat penulis, konsep kebahagiaan seperti yang

disebutkan ini tampaknya dapat diterima. Kebahagiaan pada dasarnya

akan dapat dirasakan seseorang jika orang tersebut dapat mengahayati

suatu objek yang membuat dia bahagia. Objek ini sebenarnya tidak
12

hanya terbatas pada suatu hal baik yang dialami oleh seseorang, tetapi

juga pada suatu hal yang tidak baik. Sebagai contoh, sebuah keluarga

yang yang kemampuan ekonominya pas-pasan akan dapat merasakan

kebahagiaan jika ia menghayati kemiskinan yang dialaminya.

Tidak sedikit orang yang hidupnya miskin merasa tidak bahagia

karena mereka tidak menghayati kebahagiaan itu. Barangkali konsep

“menghayati” ini sama dengan “bersyukur” jika dikaitkan dengan

agama. Selanjutnya apakah seseorang yang terlihat senang dapat

dikategorikan sebagai orang yang bahagia. Tampaknya pendapata ini

tak dapat dibenarkan seratus persen. Adakalanya orang yang terlihat

senang sebenarnya tidak bahagia. Kesenangan yang terlihat padanya

hanya merupakan manipulasi terhadap orang lain. Ia barangkali tidak

ingin orang lain tahu bahwa dirinya menderita. Dengan demikian,

untuk menutup penderitaannya itu, ia memperlihatkan kepada orang

lain bahwa dirinya senang.

Di atas telah disebutkan bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak

terletak pada keadaannya sendiri secara faktual, pada rangkaian

prosesnya, ataupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak

pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa

dan mendudukkan hal-hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga

hal, yaitu usaha, norma-norma, dan takdir. Apakah yang dimaksud

dengan usaha, norma, dan takdir? Perhatikan bagan berikut ini.


13

Usaha adalah perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi

masalah hidup. Hidup dengan menghadapi itulah realitas hidup. Oleh

karena itu masalah hidup harus dihadapi. Selanjutnya, usaha untuk

mengatasi masalah hidup itu harus bertumpu pada norma-norma yang

berlaku dalam agama dan masyarakat. Artinya, jika masalah hidup itu

diatasi tanpa memperhatikan norma-norma, orang tersebut tentu tidak

akan mengalami hidup yang merdeka.

Dengan demikian, jika orang tersebut tidak mengalami hidup

yang merdeka, tentu dapat dikatakan bahwa ia tidak bahagia. Setelah

manusia mengatasi masalah dengan norma-norma yang berlaku, hal

terakhir yang dapat dilakukannya adalah menerima takdir. Takdir

merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses terjadinya

kebahagiaan. Ia erat berkaitan dengan rangkaian usaha. Berarti

seseorang baru dapat dikatakan sudah takdirnya jika ia telah melalui

dua rangkaian yang disebutkan tadi, yaitu usaha dan norma. Salah jika

ada orang yang menempatkan takdir lebih dahulu daripada usaha.

Memang sakit adalah takdir, tapi jika orang tidak berusaha untuk

mengatasi sakit tersebut, tentu kemungkinan besar sakitnya tidak akan

sembuh.

Berkaitan dengan wujud sifat hakikat manusia ini, sebenarnya

menurut penulis masih ada wujud sifat hakikat manusia yang lain

yang tak dapat diabaikan, yaitu kemampuan berbahasa. Hal ini pula

yang membedakan antara manusia dan hewan (Hidayat, 2006: 24).


14

Artinya adalah bahwa manusia adalah makhluk yang berbahasa,

sedangkan hewan tidak. Akan tetapi, pernyataan ini janganlah

disamakan dengan ungkapan yang sering muncul dalam masyarakat,

yaitu bahasa binatang. Sebenarnya yang dimaksud dengan manusia

berbahasa, sedangkan hewan tidak adalah bahwa hewan tidak

memiliki karakteristik kebahasaan seperti yang dimiliki oleh manusia.

Karakteristik kebahasaan yang dimaksud, seperti unik, arbitrer,

sistematis dan sistemis, simbol, menggunakan kriteria pragmatik,

berkaitan dengan bunyi-bunyi segmental, mengandung kriteria

semantis atau fungsi semantik tertentu, terbatas dan relatif tetap.

C. PANDANGAN HAKEKAT MANUSIA

Hakekat manusia itu bisa di pandang dari berbagai sudut, ada 3

pandangan terhadap hakekat manusia, tapi ke 3 hakekat manusia itu ada

dalam setiap diri manusia, ketiganya saling berinteraksi dan mempengaruhi

dan resultan interaksi menghasilkan karakteristik manusia yang berbeda. 3

pandangan terhadap manusia adalah :

1. Pandangan Psikoanalitik

Menurut kaum psikoanalis tradisional (dalam Hansen dan

Warner 1977) manusia digerakkan oleh dorongan dari dalam dirinya

yang bersifat instink. Dalam hal ini individu tidak memegang kendali

atas nasibnya sendiri tetapi tingkah lakuknya tersebut semata – mata


15

diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan instink biologisnya. Freud

mengemukakan struktur kepribadian individu terbagi menjadi :

a. Id meliputi 2 instik manusia yaitu : instink seksualitas dan

instink agresi. Fungsi Id yaitu mendorong individu untuk

memenuhi kebutuhan dirinya sepanjang hidupnya.

b. Ego Fungsi kepribadian yang menjembati Id dengan dunia luar

individu.Ego ini berfungsi atas dasar prinsip realitas, mengatur

gerak – gerik id agar dalam memuaskan instinknya selalu

memperhatkan lingkungan. Dengan demikian perwujudan

fungsi Id itu menjadi tidak tanpa arah.

c. Super Ego Tumbuh berkat interaksi antara individu dengan

lingkungannya, khususnya lingkungan yang bersifat aturan

( yang meliputi perintah, larangan, gajaran dan hukuman ), nilai,

moral, adat dan tradisi.

Dalam individu tingkah laku, id sebagai penggerak, ego sebagai

pengatur dan pengarah dan super ego sebagai pengawas atau

pengontrol. Sedangkan peranan ego dalam menjembatani id dan super

ego dapat di ilhat dalam kaitannya dengan kecendrungan individu

untuk berada dua ekstrim : individu yang didominasi oleh idnya

sehingga tingkah lakunya menjadi impulsive dan individu yang

didominasi oleh suoer egonya sehingga tingkah lakunya menjadi

terlalu moralstik sehingga ego berperan agar individu tidak terjerumus

pada salah satu ekstrim.


16

Kemudian berkembang paham neo-analitik yang berpendapat

bahwa manusia hendaknya tidak secara mudah saja dianggap sebagai

binatang yang di gerakkan oleh tenaga dalam ( innate energy ) yang

ada pada dirinya. Kaum neo – analis mengakui adanya id, ego dan

super ego namu menekankan pentingnya ego sebagai pusat

kepribadian individu.

2. Pandangan Humanistik

Pandangan humanistik tentang manusia (dalam Hansen,dkk

1977) menolak pandangan freud.Rogers yang menokohi pandangan

humanistic berpendapat bahwa manusia itu memiliki dorongan untuk

mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, manusia itu rasional,

terisosialisasikan dan untuk brbagai hal dapat menetukan nasibnya

sendiri.

Selanjutnya Rogers mengemukakan bahwa manusia itu

meruakan keppribadian yang tidak statis atau tidak kaku. Manusia

pada hakekatnya dalam proses on becombing tidak pernah selesai,

tidak prenah sempurna.

Sedangkan prinsip belajar humanistic itu adalah : Hasrat untuk

belajar ( lamiah ), belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar

atas inisiatif sendiri dan belajar dan perubahan, Sedangkan menurut

Abraham maslow motivasi amnesia di pengaruhi tingkat kebutuhan.

3. Pandangan Behavioristik
17

Kaum behavioristik menganggap bahwa tingkah laku manusa di

pengaruhi oleh lingkungan. Hubungan itu di atur oleh hokum – hokum

belajar, seperti teori pembiasan (conditioning ) dan peniruan.

Pandangan behavioristik sering di kritik sebagai pandangan

yang merendahkan derajat manusia ( dehumanisasi ) karena

pandangan ini mengingkari adanya cirri – cirri yang amat penting

yang ada pada manusia dan tidak ada pada mesin atau binatang seperti

kemampuan memilih, menetapkan tujuan dan mencipta.

Pandangan behavioristik tidaklah mendehumanisasikan

manusia, melainkan justru men-dehomunkulisasikan manusia yaitu :

mengatasi kekerdilan manusia. Hanya dalam hubungannya dengan

lingkungan yang didekati. Secara ilmiah kekerdilan manusia dapat

diatasi dan harkat manusia dipertinggi.

Setelah mengetahui hakekat manusia dari berbagai pandangan,

upaya pengorganisasian dan pengembanagn masyarakat ( PPM )

mampu memfasilitasi unsure positif yang ada di setiap komponen

tersebut sehingga bisa meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

D. HAKIKAT MANUSIA DAN DIMENSI-DIMENSINYA

1. Dimensi Keindividualan.

Dalam bahsa Latin individu bersal dari kata individumum

berarti yang tak terbagi, sedangkan menurut Lysen mengartikan

individu sebagai “orang atau seseorang” sesuatu yang merupakan

suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi.


18

Selanjutnya individu juga diartikan sebagai pribadi, karena

adanya keindividualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan,

cita-cita, kecendrungan, semangat dan daya tahan yang berbeda.

Dimensi keindividual dalam konseling adalah manusia

diciptakan oleh Tuhan memiliki kepribadian yang berbeda-beda.

Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem

psikophisik individu yang menentukan tingkah laku dan pikiran yang

unik terhadap lingkungan. Para sosiolog membagi tipe kepribadian

manusia berdasarkan konstitusi psikis, fisik bahkan sampai

berdasarkan kebudayaan. Pengetahuan yang baik tentang kepribadian

penting artinya dalam kegiatan konseling karena hal inilah yang harus

dipahami lebih dahulu oleh konselor sebagai langkah awal pemberian

bantuan.

Teori konseling Trait and Factor memberikan tempat istimewa

bagi dimensi individualitas ini. Kepribadian seorang merupakan suatu

sistem sifat dan factor yang saling berkaitan antara satu dengan yang

lainnya seperti kecakapan, minat dan sikap. Tugas konseling ini

adalah membantu individu dalam memperoleh kemajuan memahami

dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan

kelemahan diri dalam kegiatan untuk mencapai kemajuan tujuan hidup

dan karir

2. Dimensi Kesosialan
19

Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas

pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk

bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Seseorang

dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di dalam

interaksi dengan sesamanya. Seseorang juga memiliki kesempatan

untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang ada

pada diri orang lain atau yang dikagumi pada diri orang lain. Manusia

sebagai makhluk yang sosial yang sangat membutuhkan bantuan

orang lain, manusia juga akan menjadi manusia yang sempurna

manakala manusia itu dalam kehidupan ini selalu menjalani hubungan

dengan manusia lain.

Pengembangan dimensi kesosialan ini memungkinkan seseorang

mampu berinteraksi, berkomunikasi, bergaul, bekerja sama, hidup

bersama dengan orang lain, dan mampu membina hubungan rumah

tangga yang baik. Dimensi kesosialan dalam konseling adalah

manusia sebagai makhluk sosial yang dalam hidupnya senantiasa

menjalin interaksi dengan orang lain. Dimensi sosial ini akan nampak

terlihat jelas dalam teori konseling behavioristik yang menganggap

perilaku manusia sebagai hasil belajar dari lingkungan dimana ia

tinggal. Konseling individual Adler juga memperlihatkan dimensi ini

dengan berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh

inferiority complex sehingga ia selalu berkompetisi dalam melakukan

interaksi sosial untuk mencapai keunggulan


20

3. Dimensi Kesusilaan

Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang

lebih tinggi. Akan tetapi di dalam kehidupan bermasyarakat orang

tidak cukup hanya berbuat pantas jika di dalam yang pantas atau

sopan itu terkandung kejahatan terselubung. Karena itu maka

pengertian yang lebih, dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua

macam istilah yang mempunyai konotasi yang berbeda yaitu: etiket

(kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan).

Kesusilaan mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu

berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia

memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta

melaksakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk

susila.

Dimensi kesusilaan dalam konseling adalah manusia dalam

mengembangkan dimensi individual dan dimensi social memerlukan

norma dan etika yang mengatur bagaimana agar kedua dimensi

tersebut berjalan secara seimbang. Dimensi kesusilaan ini merupakan

pemersatu, sehingga dimensi individual dan sosial dapat bertemu

dalam satu kesatuan yang penuh makna apabila ketiga dimensi ini

berkembang secara optimal manusia dapat mencapai taraf kebudayaan

tinggi dan menguasai teknologi tercanggih sekalipun.

4. Dimensi Keberagamaan
21

Dalam pandangan Islam, sejak lahir manusia telah mempunyai

jiwa agama, jiwa yang mengakui adanya zat yang Maha Pencipta dan

Maha Kuasa yaitu Allah SWT sejak di alam roh, manusia telah

memiliki komitmen bahwa Allah adalah tuhannya, pandangan ini

bersumber pada firman Allah dalam Q.S.al-A’raf :172.

Menurut Al-attas, ketundukan manusia sebelum kelahirannya

keatas bumi sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas

menunjukan hutang manusia kepada Allah dengan menyerahkan diri

untuk mengabdi kepada Allah. Kewajiban ini dirasakan oleh umat

manusia sebagai suatu kecendrungan yang wajar dan alamiyah.

Dimensi keberagamaan merupakan salah satu karakteristik

esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan

atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yang diwujudkan dalam

sikap dan perilaku. Keberagamaan mengisyaratkan bahwa adanya

pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama. Manusia

memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Dalam dimensi keberagamaan ini manusia

menghubungkan diri dalam kaitannya dengan Tuhan semesta alam.

Manusia tidak terpukau pada kehidupan di dunia saja, melainkan

mengkaitkan secara serasi, selaras, dan seimbang kehidupan dunianya

itu dikaitkan dengan kehidupan akhirat.

Selain itu agama juga memberikan manusia kemantapan batin,

rasa bahagia, rasa terlindungi, rasa sukses dan rasa puas pada diri
22

manusia (Jalaluddin, 2005:254). Pelaksanaan agama dalam hidup

tidak hanya sekedar melaksanakannya saja, akan tetapi harus seluruh

kehidupan dikendalikan dan dibimbing oleh agama. Agama juga

menjadi penentu kebahagiaan dan ketenangan hidup.

Pengembangan tiga dimensi terdahulu belum menyentuh

kebutuhan manusia akan nilai-nilai agama yang dibutuhkan bagi

kehidupan di akhirat kelak. Kehidupan manusia yang lengkap adalah

kehidupan yang mampu menjangkau dua bentuk kehidupan, yaitu

sekarang dan mendatang. Kajian konseling Barat pada mulanya belum

mampu menjangkau dimensi terdalam manusia yaitu spiritualitas atau

keagamaan. Meskipun Victor Frankl pencetus logoterapi berhasil

mengungkap dimensi ini, namun tidak mengandung konotasi

ketuhanan, tetapi lebih pada kualitas khas insani.

Dengan memperhatikan keempat dimensi di atas manusia

diharapkan mampu mencapai derajat keutuhan sesuai dengan

penciptaannya sebagai makhluk yang indah, tidak saja menguasai

teknologi tetapi juga memahami dan mengamalkan ajaran agamanya

Anda mungkin juga menyukai