Anda di halaman 1dari 13

“HUKUM SYIRKAH 2”

SYIRKAH KAPITALIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu : Ahyar, ME

Disusun oleh :
Eko Aris Suwardi (21241014)
Muhamad Kurniawan (21241024)
Yudi Mario Herwindo ( 21241042)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TERPADU
YOGYAKARTA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Seiring berkembangnya zaman, masyarakat mulai menyadari bahwasannya mereka


membutuhkan jalan terbaik dalam sistem perekonomian. Segala jenis produk yang ada
dipasar merupakan aplikasi dari kapitalisme, yang secara tidak langsung akan
mengkhawatirkan kaum lemah yang tidak memiliki kekayaan maupun kekuasaan.

Pada awal abad 18, mulai lah banyak pemikiran mengenai sistem ekonomi islam yang
dianggap sebagai salah satu solusi terbaik untuk diterapkan. Segala jenis produk syariah
mulai banyak dipertimbangkan dan dibanding-bandingkan dengan sistem yang konvensional.

Maka dari itu, segala jenis bidang mulai diarahkan sesuai ajaran Islam, tak lain kami
akan membahas salah satu syirkah yang belum banyak terpublikasi, padahal syirkah ini
memiliki peranan penting dalam investasi (saham), yaitu syirkah musahamah. Bagaimana
kita dapat bekerja sama sesuai ajaran Islam dan mengaplikasikan dalam kehidupan.
BAB II

PEMBAHASAN

B. Pembahasan

a. Syirkah Secara Umum

Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:

ِ ‫ان َع ْن بَع‬
‫ْض ِه َما‬ ُ ‫ْن بِا اْل َخ ِربِ َحي‬Fِ ‫اَِإْل ْختِالَطُ َأىْ َخ ْلطُ َأ َح ِد ْال َمالَي‬.
ِ ‫ْث الَ يَ َم ْت َز‬
Artinya:

”Percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa
dapat dibedakan antara keduanya.”

Menurut terminologi, ulama fiqh beragam pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:

- Menurut Malikiyah

ِ ‫ف لَهُ َما َمعًا اَ ْنفُ ُسهُ َما اَيْ َأ ْن يَْأ َذ َن ُكلُّ َو‬
‫د ِم َن‬Fٍ ‫اح‬ َ َّ‫ن فِى الت‬Fْ ‫ِه َي اِ َذ‬
ِ ُّ‫صر‬
‫ف‬ َ َّ‫ق الت‬
ِ ُّ‫صر‬ ِّ ‫ال لَهُ َما َم َع ِإ ْبقَا ِء َح‬
ٍ ‫ف فِى َم‬ َ ‫احبِ ِه فِى َأ ْن يَتَص ََّر‬
ِ ‫ص‬ َ ِ‫ال َّش ِر ْي َكي ِْن ل‬
‫لِ ُكلٍّ ِم ْنهُ َما‬.
Artinya:

“Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang
secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah
satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak
untuk bertasharruf.”

- Menurut Hanabilah

‫ف‬ َ َ‫ق َأ ْوت‬


ٍ ُّ‫صر‬ ُ ‫اَِإْل جْ تِ َما‬.
ٍ ‫ع فِى اِ ْستِقَا‬
Artinya:

“perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengolahan harta (tasharruf).”


- Menurut Syafi’iyah

ِ ‫ق فِى َش ْى ٍء ِال ْثنَي ِْن فَا َ ْكثَ َر َعلَى ِجهَ ِةال ُّشي ُْو‬
‫ع‬ ِّ ‫ت ْال َح‬
ُ ‫ثُب ُْو‬.
Artinya:

“ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur
(diketahui).”

- Menurut Hanafiyah

ِ ‫س ْال َم‬ ‫ْأ‬


‫ْح‬
ِ ‫ال َوالرِّ ب‬ ِ ‫ارةٌ َع ْن َع ْق ٍدبَي َْن ْال ُمتَ َش‬
ِ ‫ار َكي ِْن فِى َر‬ َ َ‫ ِعب‬.
Artinya:

“Ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu pada pokok
harta dan keuntungan.”[1]

Secara garis besar, syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha
dengan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.

Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Menurut ulama
Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima. Sedangkan orang yang
berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat. Menurut jumhur ulama, rukun
syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad.

Syarat umum syirkah, antara lain:

1. Syirkah itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan, artinya salah satu pihak jika
bertindak hukum terhadap obyek syirkah itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil
seluruh pihak yang berserikat. Juga, anggota serikat saling mempercayai.

2. Prosentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak yang berserikat dijelaskan


ketika akad berlangsung.

3. Keuntungan diambil dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.

b. Pengertian Syirkah Musahamah


Syirkah musahamah adalah penyertaan modal usaha yang dihitung dengan jumlah lembar
saham (bukan dengan nilai nominal) yang diperdagangkan di pasar modal sehingga
pemiliknya dapat berganti-ganti dengan mudah dan cepat.[2] Syirkah musahamah bermanfaat
bagi pengembangan bisnis karena saham disebar dalam jumlah yang besar; modal syarik
tidak berubah karena keluarnya pemegang saham lama (dengan cara jual dijual) atau
masuknya pemegang saham baru (dengan cara membeli).

Dapat dikatakan pula bahwa syirkah musahamah adalah Akad (kontrak) dua orang atau lebih
yang masing-masing terikat untuk berkontribusi dalam proyek bisnis dengan menyetor bagian
harta (modal), untuk berbagi keuntungan dan kerugian yang muncul dari proyek itu.

Saham merupakan bukti kepemilikan (ekuitas). Membeli saham berarti memiliki sebagian


dari perusahaan, artinya Anda juga berbagi risiko dengan emiten (penerbit saham). Bila
emiten mendapat laba, sebagian akan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk
dividen. Menerbitkan saham, di samping saham yang sudah dimiliki oleh perusahaan
sebelumnya, merupakan salah satu pilihan perusahaan ketika memutuskan dalam hal
pendanaan perusahaan.

Tujuan umum dari syirkah adalah untuk menciptakan kesejahteraan pelakunya, sedangkan
tujuan dari syirkah musahamah dilakukan guna menciptakan kesejahteraan umum (bukan
hanya pebisnisnya).[3]

c.       Perseroan Terbatas (PT)

Perseroan Terbatas yaitu persekutuan untuk menjalankan perusahaan yang mempunyai modal
usaha yang terbagi atas beberapa saham, setiap sekutu turut mengambil bagian sebanyak satu
saham atau lebih.

“Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas


menyebutkan: Perseroan Terbatas (PT), yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

Ciri-ciri PT diantaranya yaitu :

1. Para pemegang saham bertanggungjawab terbatas terhadap utang-utang perusahaan sebesar


modal yang disertakan.
2. Kekayaan PT terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing pemegang saham.

3. Pemegang saham berhak mendapatkan dividen apabila perusahaan mendapatkan


keuntungan , dan

4. Perusahaan yang berbadan hukum PT didirikan dengan akta notaris yang antara lain
membuat nama PT dan modal.

Jenis-jenis PT dibedakan menjadi empat bagian yaitu :

1. PT Tertutup yaitu PT yang saham-sahamnya hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu

2. PT Terbuka yaitu PT yang saham-sahamnya dimiliki oleh setiap orang

3. PT Kosong yaitu PT yang sudah tidak lagi menjalankan kegiatannya, tinggal namanya saja

4. PT Asing yaitu PT yang didirikan di Negara lain yang berkedudukan di Negara tersebutdan
tunduk pada hukum Negara.[4]

Pendirian perseroan terbatas seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, dalam hubungannya dengan syirkah terlihat bahwa:

1) Perseroan didirikan dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa
Indonesia; dan

2) Setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan.

Perseroan terbatas dari segi konsep syirkah yang kontemporer disebut syirkah musahamah;
yaitu kerja sama antara dua pihak atau lebih guna melakukan usaha untuk memperoleh
keuntungan yang modalnya dinyatakan/dinilai dalam bentuk saham (bukan dengan nilai
nominal) yang diperdagangkan di pasar modal; pertanggungjawaban pemegang saham sesuai
dengan jumlah yang dimiliki; keuntungan dan kerugian yang diterima oleh pemegang saham
sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki. Perseroan terbatas termasuk subjek hukum
yang di dalamnya terdapat investor (pemodal), komisaris yang mewakili kepentingan
investor, masyarakat dan pihak otoritas; pengurus dan pegawai.

Syirkah musahamah dari sudut praktik memberlakukan dua akad karena menyangkut banyak
pihak. Bagi sesama investor berlaku akad syirkah; bagi komisaris dan pengurus berlaku akad
ijarah yang besar ujrahnya ditetapkan dalam RUPS; sedangkan bagi pegawai juga berlaku
akad ijarah yang besar ujrahnya ditetapkan oleh pengurus.
Perseroan terbatas dilihat dari sifatnya dibedakan menjadi dua: Perseroan Terbatas Tertutup,
dan Perseroan Terbatas Terbuka (Tbk). Perseroan terbatas terbuka secara konseptual
berhubunngan dengan syirkah mas’uliyah mahdudah; karena terdapat kriteria mengenai
jumlah pemilik saham dari perseroan yang bersangkutan. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami bi al-
Adillah, al-Zuhaili menginformasikan bahwa jumlah pemilik saham dalam perseroan terbatas
yang terbuka adalah 50 syarik/pihak; kriteria perseroan yang termasuk terbuka tidaklah
seragam di berbagai negara.[5]

d. Hukum Syirkah Muhasamah

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum syirkah musahamah. Pertama, ada ulama yang


berpendapat bahwa syirkah musahamah tidak dibolehkan, karena terjadi pengalihan dari
individu syarik ke dalam jumlah kepemilikan saham dalam hal menentukan arah perusahaan
termasuk menentukan pihak pengelola/direksi dan/atau istilah lainnya yang berlaku di
lembaga-lembaga bisnis. Jumlah syarik sebagai pemilik saham tidak dapat menentukan arah
perusahaan yang berbasis syirkah musahamah; tetapi yang menentukan adalah pemegang
saham mayoritas. Di samping itu, ulama yang tidak membolehkan dilakukannya akad syirkah
musahamah berpendapat bahwa syirkah musahamah mengenyampingkan aspek ridha (rela);
padahal aspek ridha adalah aspek penting dalam bersyirkah. Kedua, ada juga ulama yang
berpendapat bahwa syirkah mushamah boleh (ja’iz) dilakukan selama (dengan syarat)
kegiatan usaha yang dilakukannya tidak mencakup:

1) Objek yang haram seperti khamr (minuman beralkohol) dan babi; dan

2) Cara usaha yang diharamkan seperti usaha yang ribawi dan judi.

Perseroan terbatas dilihat dari sifatnya dibedakan menjadi dua: Perseroan Terbatas Tertutup,
dan Perseroan Terbatas Terbuka (Tbk). Perseroan terbatas terbuka secara konseptual
berhubunngan dengan syirkah mas’uliyah mahdudah; karena terdapat kriteria mengenai
jumlah pemilik saham dari perseroan yang bersangkutan. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami bi al-
Adillah, al-Zuhaili menginformasikan bahwa jumlah pemilik saham dalam perseroan terbatas
yang terbuka adalah 50 syarik/pihak; kriteria perseroan yang termasuk terbuka tidaklah
seragam di berbagai negara. [6]

Pada prinsipnya, Islam tidak melarang umatnya untuk mencari harta dari mana pun. Tapi,
harta tersebut haruslah halal dan thoyib. Maksudnya, cara mendapatkannya halal, tapi barang
yang didapat tidak halal, berarti tidak baik. Begitu pun sebaliknya. Jadi harus semuanya
bagus, baik cara mendapatkannya maupun barangnya. Dalam hal jual beli hukumnya boleh
dan halal. Tapi bagaimana dengan hukum jual beli saham?

Para ahli fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukum jual beli saham di pasar modal dari
perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak
di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa saja yang terkait dengan babi, jasa
keuangan konvensional seperti bank dan asuransi, dan industri hiburan, seperti kasino,
perjudian, prostitusi, media porno, dan sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual beli saham
perusahaan seperti ini adalah semua dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut.

Namun mereka berbeda pendapat jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah
dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha halal, misalnya di bidang transportasi,
telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya. Syahatah dan Fayyadh berkata,”Menanam
saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh secara syar’i. Dalil yang menunjukkan
kebolehannya adalah semua dalil yang menunjukkan bolehnya aktivitas tersebut.”

Tapi ada fukaha yang tetap mengharamkan hukum jual beli saham walau dari perusahaan
yang bidang usahanya halal. Mereka ini misalnya Taqiyuddin an-Nabhani, Yusuf as-Sabatin
dan Ali As-Salus Ketiganya sama-sama menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang
sesungguhnya tidak Islami. Jadi sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya
yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai
perusahaan Islami (syirkah Islamiyah) atau tidak.

Aspek inilah yang nampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan pakar
ekonomi Islam saat ini, terbukti mereka tidak menyinggung sama sekali aspek krusial ini.
Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang usaha (halal/haram), dan
berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti transaksi spot (kontan di tempat), transaksi
option, transaksi trading on margin, dan sebagainya.

Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Iqtishadi (2004) menegaskan bahwa perseroan


terbatas (PT, syirkah musahamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak sah), karena
bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya antara lain
dikarenakan dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam akad syirkah.

Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor yang menyertakan modalnya dengan
cara membeli saham dari perusahaan atau dari pihak lain di pasar modal, tanpa ada
perundingan atau negosiasi apa pun baik dengan pihak perusahaan maupun persero (investor)
lainnya. Tidak adanya ijab kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan
pasangan laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan
Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar’i.

Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang usahanya
halal) adalah lebih kuat (rajih), karena lebih teliti dan jeli dalam memahami fakta, khususnya
yang menyangkut bentuk badan usaha (PT). Apalagi, sandaran pihak pertama yang
membolehkan bisnis saham asalkan bidang usaha perusahaannya halal, adalah dalil al-
Mashalih Al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin. Padahal menurut Taqiyuddin
An-Nabhani, al-Mashalih Al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena
kehujjahannya tidak dilandaskan pada dalil yang qath’i.

e. Dampak Positif dan Negatif Jual Beli Saham

Sebenarnya, transaksi saham di pasar memiliki dampak positif, di samping dampak


negatifnya yang lebih banyak. Beberapa dampak positif dari jual beli saham adalah sebagai
berikut:

· Membuka pasar tetap yang memudahkan penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi.

· Mempermudah pendanaan pabrik-pabrik, perdagangan dan proyek pemerintah melalui


penjualan saham.

· Mempermudah penjualan saham dan menggunakan nilainya.

· Mempermudah mengetahui timbangan harga-harga saham dan barang-barang komoditi,


melalui aktivitas permintaan dan penawaran.

Akan tetapi, dampak negatif yang ditimbulkan dari transaksi saham, terutama pada pasar
sekunder jauh lebih besar seperti:

·         Transaksi berjangka dalam bursa saham ini sebagian besar bukan jual beli sebenarnya,
yakni tidak adanya unsur serah terima sebagai syarat sah jual beli menurut hukum Islam.

·         Kebanyakan dari transaksi saham adalah penjualan sesuatu yang tidak dimiliki, baik
berupa uang, saham, giro piutang dengan harapan akan dibeli di pasar sesungguhnya dan
diserahkan pada saatnya nanti, tanpa mengambil uang pembayaran terlebih dahulu.
·         Pembeli dalam pasar ini kebanyakan membeli kembali barang yang dibelinya sebelum
dia terima. Hal ini juga terjadi pada orang kedua, ketiga atau berikutnya secara berulang.
Peran penjual dan pembeli selain yang pertama dan terakhir, hanya untuk mendapatkan
keuntungan semata secara spekulasi (membeli dengan harga murah dan mengharapkan harga
naik kemudian menjualnya kembali).

·         Penodal besar mudah memonopoli saham di pasaran agar bisa menekan penjual yang
menjual barang-barang yang tidak mereka miliki dengan harga murah, sehingga penjualan
lain kesulitan.

·         Pasar saham memilki pengaruh merugikan yang sangat luas. Harga-harga pada pasar
ini tidak bersandar pada mekanisme pasar yan benar, tetapi oleh banyak hal yang lekat
dengan kecurangan, seperti dilakukan oleh pemerhati pasar, monopoli barang dagangan dan
kertas saham, atau dengan menyebarkan berita bohong dan sejenisnya.

f. Hukum Jual Beli Saham

1) Alasan Jual Beli Saham Haram

Suatu transaksi dianggap sah dalam Islam kalau ada akad. Bila pembelian saham
hanya terjadi transaksi sepihak tanpa adanya akad dengan penjual langsung atau perusahaan
yang bersangkutan, maka transaksi itu batal. Hal ini dikaitkan dengan sepasang laki-laki dan
wanita yang akan menikah. Perbedaannya hanyalah pada akad nikah.

Tanpa adanya ijab dan kabul, maka pernikahan itu tidak sah. Jadi kalau mau
menanamkan modal, harus ada perundingan atau negosiasi dengan perusahaan yang
bersangkutan. Hal inilah yang membuat jual beli saham yang ada di bursa saham. menjadi
haram walaupun jenis usahanya halal.

2) Alasan Jual Beli Saham Halal

Perusahaan yang menjual sahamnya di bursa saham terutama di bursa saham Islam,
telah menyerahkan penjualan sahamnya kepada bursa saham. Dalam hal ini pihak bursa
saham menjadi ‘perwakilan’ dari perusahaan-perusahaan tersebut.

Dengan demikian, akad yang terjadi cukup dengan ‘perwakilan’ saja tidak harus
berhubungan dengan perusahaan yang bersangkutan. Jadi, asalkan bidang usahanya halal,
maka membeli sahamnya juga halal. Dengan kecanggihan teknologi, akad jual beli bisa
dilakukan lebih sederhana dan cepat.

Hal ini pun merupakan ijtihad para ulama yang juga para pakar ekonomi
kontemporer. Mengingat bahwa perkembangan zaman sudah sangat cepat, maka umat Islam
pun harus berpacu, tapi dengan tidak mengabaikan tuntunan dan hukum Islam yang ada.[7]
BAB III

KESIMPULAN

C. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Syirkah musahamah adalah


penyertaan modal usaha yang dihitung dengan jumlah lembar saham (bukan dengan nilai
nominal) yang diperdagangkan di pasar modal sehingga pemiliknya dapat berganti-ganti
dengan mudah dan cepat. Hukum Syirkah Muhasamah terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama, ada yang membolehkan, ada yang tidak membolehkan. Syirkah mushamah
boleh (ja’iz) dilakukan selama (dengan syarat) kegiatan usaha yang dilakukannya tidak
mencakup:

1)      Objek yang haram seperti khamr (minuman beralkohol) dan babi; dan

2)      Cara usaha yang diharamkan seperti usaha yang ribawi dan judi.

Dalam jual beli saham, terdapat dampak positif maupun dampak negatif, tetapi lebih banyak
dampak negatif daripada dampak positifnya. Hal itu menyebabkan alasan dalam menentukan
hukum jual beli saham itu sendiri.
Daftar Pustaka

Syafe’i, Rachmat. Fiqih Muamalat. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Hasanudin, Maulana & Mubarok, Jaih. Perkembangan Akad Musyarakah. Jakarta: Kencana


Prenada Media Group, 2012.

.http://www.anneahira.com/hukum-jual-beli-saham.html

[1] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 183-185

[2] Maulana Hasanudin & Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta:


Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 69

[3] Ibid , hlm. 70

[4] Ibid, hlm. 145

[5] Ibid, hlm. 147-148

[6] Ibid, hlm. 171

[7] http://www.anneahira.com/hukum-jual-beli-saham.html

Anda mungkin juga menyukai