Anda di halaman 1dari 17

ISLAM PRIYAI,SANTRI,ABANGAN DAN PERAN DAKWAH

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi

Dosen Pengampu:

Dr.Sahrul M.Ag

Disusun Oleh Kelompok 11 :

Arif Indra Hasan Hrp (0101203008)

Muhammad Dhio Irzwansyah (0101193126)

Nadya Syakillah (0101203063)

PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM (D)


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA
UTARA 2022/2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Kemudian shalawat
beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan alam, baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa risallah kebenaran yang abadi hingga sepanjang zaman.

Alhamdulillah tugas makalah ini dapat selesai meskipun masih banyak kekurangan
disana- sini tapi mudah-mudahan apa yang dijelaskan dalam tugas makalah kami ini dapat kami
pahami, dan dapat menjadi manfaat bagi para pembaca.

Kami sepenuhnya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang para pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang dapat membangun. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.

Demikianlah yang bisa kami sampaikan. Terakhir, kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfa’at dan dapat menambah khazanah keilmuan kita.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Medan, 27 November 2022

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii

BAB I..............................................................................................................................................iv

PENDAHULUAN..........................................................................................................................iv

Latar Belakang............................................................................................................................iv

Rumusan Masalah.......................................................................................................................iv

Tujuan.........................................................................................................................................iv

BAB II.............................................................................................................................................1

PEMBAHASAN..............................................................................................................................1

A. Varian Islam Priyai...............................................................................................................5

B. Varian Islam Santri...............................................................................................................6

C..Varian Islam Abangan..........................................................................................................7

D.Peran dakwah...........................................................................................................................8
BAB III..........................................................................................................................................13

PENUTUP.....................................................................................................................................13

Kesimpulan....................................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penelitian ini terkait dengan kebudayaan atau tradisi masyarakat lokal yang
bersinggungan dengan Islam, dan memang menarik untuk selalu dikaji. Seperti Cliffford
Geertz dalam The Religion of Java pada awal 1960-an mengungkap dinamika hubungan
Islam dan budaya di Jawa.
Geertz menghasilkan satu konsep yang terkenal dengan teori trikotomi (abangan,
santri dan priyayi).Dia juga memberikan gambaran bahwa orang Jawa memiliki agama
sendiri atau agama lokal yang muatannya banyak menyangkut kepercayaan terhadap hal
ghaib, serta berbagai tradisi ritual yang diidentikkan dengan kepercayaan kaum abangan
yang berpusat di pedesaan.Selain abangan yang berpusat di pedesaan, juga terdapat
golongan santri yang memiliki latar pemahaman agama yang kuat terhadap agama Islam.
Varian yang ketiga adalah priyayi yang hidup di kota, yang memiliki tata keyakinan dan
ritual tersendiri yang secara umum dipengaruhi oleh tradisi Hindu maupun Budha. Selain
itu, Geertz menyimpulkan bahwa Islam yang terdapat pada masyarakat Jawa adalah Islam
sinkretik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana varian islam priyai?
2. Bagaimana varian islam santri ?
3. Bagaimana varian islam abangan ?
4. Apa peran dakwah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui varian islam priyai
2. Untuk Mengetahui varian islam santri
3. Supaya Mengetahui varian islam abangan
4. Untuk mengetahui peran dakwah

iv
BAB II
PEMBAHASAN
A. Varian islam priyai

Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang


disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat
mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik dari pada
keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru
tulis, guru bangsawan yang makan gaji.
Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan
hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad, namun berkembang oleh campur
tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.Priyayi
memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi
halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya
adalah tradisi kromo- inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa
menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan
merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu
dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan keagamaan priyayi
berpusat etika, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai
untuk pangkat yang tepat, ketidaklangsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan
yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi
untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang
mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.
Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik
adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan,
dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai
priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug
untuk pesta pernikahan anaknya.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik
yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin
orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik

5
adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan
adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan
individu dan mengarahkannya pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis
dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit).1
B. Varian islam santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya
terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas
pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri.
Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh
terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian
kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang menipis. 2
Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sistem sekolah
agama,birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan
baikpada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto:
yakni petani santridesa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi
santri. Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara
mereka. Konflik itu dapat terpecahkan oleh kesamaan agama santri.3
Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada lima
perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan
sendiri,pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni,
perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama,
pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan
pragmatis.4
Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di
mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non
muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus
sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat
Undang- undang.Geertz memandang DEPAG merupakan kompromi kedua santri
terhadap

1
Clifford Geertz,Abangan, Santri,Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta:Pustaka Jaya.1989), h.430
2
Ibid.h.172
3
Ibid.h.182
6
4
Ibid.h.271

7
keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai
birokrasi di DEPAG.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto
dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan
konservatif. Di antaranya persoalan khutbah,teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa.
Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan
priyayi.

C. Varian islam abangan

Bagi sistem keagamaan Jawa,slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi


perlambang kesatuan mistis dan sosial dimana mereka berkumpul dalam satu meja
menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat
orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus,atau dikuduskan. Dalam tradisi
slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang
berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa (3) yang
terkait dengan integrasi desa,bersih desa (4)slametan sela untuk kejadian luar biasa yang
ingin dislameti.Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses
kehidupan dunia abangan.Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan
memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.5

Kepercayaan kepada roh dan makhluk halus bagi abangan menempati


kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka
percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal
yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal.
Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas
bukan manusia.6

Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang
lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhluk halus mundur ke sisa belantara,
puncak gunung berapi,dan Lautan Hindia.

5
Clifford Geertz, Abangan, Santri,Priyayi dalam Masyarakat Jawa(Jakarta:Pustaka Jaya.1989), h. 17.
8
6
Ibid.h.36

9
D. Peran dakwah

Islam dan dakwah merupakan satu kesatuan. Dakwah adalah bagian yang pasti
ada dalam kehidupan umat beragama. Salah satu ajaran Islam, dakwah merupakan
kewajiban yang dibebankan agama kepada pemeluknya. Dakwah intinya mengajak
kepada kebaikan (amar makruf). Dakwah bermakna efektif apabila da’i melihat latar
belakang mad’u (pendengar), baik dari sosial-budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Clifford Geertz dengan tiga varian, santri, abangan,
dan priyayi. Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman
keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup, tetapi menuju sasaran yang lebih
luas. Dakwah juga harus berperan kepada pelaksanaan ajaran Islam secara menyeluruh
dalam berbagai aspek. Inilah wajah Islam yang memang mengakomodasi segala budaya-
sosial, karena Islam adalah agama yang rahmatan lilalami.

Peran dakwah yaitu melalui dua pendekatan dakwah yaitu pendekatan dakwah
struktural dan pendekatan dakwah kultural. Pendekatan dakwah struktural disebut juga
dengan pendekatan politik. Pendekatan ini harus didukung oleh lembaga formal, seperti
lembaga legislatif yang membuat undang-undang untuk menjamin kehidupan masyarakat
dalam menjalankan ajaran agama, regulasi diperlukan untuk menjaga ukhuwah Islamiyah
di kalangan masyarakat (grass-root). Sedangkan pendekatan kultural atau sosial-budaya
lebih menekankan pada moral masyarakat melalui budaya (kultur) mereka. Pendekatan
kultural harus mendapat posisi yang kuat, karena langsung berhubungan dengan
masyarakat, sehingga hukum yang digunakan adalah norma yang berlaku di masyarakat.
Inilah penekanan dalam pendekatan kultural berdakwah . 7

Geertz melakukan penelitian dari tahun 1953-1954 di Mojokuto Kediri tentang


masyarakat muslim Jawa. Disana Geertz melabelkan tiga varian kelompok untuk
masyarakat sekitar, yaitu; Santri adalah kelompok yang taat menjalankan rukun Islam
(khususnya salat dan puasa) serta sangat memperhatikan penafsiran moral dan sosial dari
doktrin Islam. Mereka sangat memperhatikan iman dan keyakinan akan kebenaran Islam
dan bersikap tidak toleran terhadap kepercayaan dan praktek kejawen yang dianggap

7
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2004 (edisi revisi).h.347

10
menyimpang. Mereka juga kelompok sosial yang lebih kosmopolitan karena mempunyai
orientasi kekotaan dan sistem pemikiran yang rasional. Abangan adalah kelompok yang
lahir karena pertemuan Islam dengan tradisi lokal yang telah ada sebelum Islam datang.
Mereka belum mematuhi ajaran Islam sepenuhnya dan lebih mementingkan aspek
rohaniah keberagamaan daripada mematuhi doktrin legal Islam. Kelompok ini
berorientasi kedesaan dan mempraktekkan Islam dengan cara khusus dan lokal.
Sinkretisme antara Islam dan tradisi pra-Islam dan merupakan bentuk yang paling jelas
dari proses adaptasi budaya. Priyayi adalah kelompok aristokrat yang sebagian besar
adalah pegawai. Mereka lebih menekankan pada elemen Hinduisme, tidak menekankan
pada elemen Islam (santri) dan elemen sikretisme (abangan). KH. Bisri Mustofa
sebagaimana yang dikutip oleh Ali Aziz, membuat tujuh macam manusia dengan
statusnya yang terkait dengan dakwah, antara lain:
1) masyarakat awam, 2) masyarakat pelajar dan mahasiswa, 3) pejabat pemerintah, 4)
golongan nonmuslim, 5) pemimpin golongan atau ketua suku, 6) kelompok hartawan, 7)
para ulama dan cendikiawan.

Kegiatan dakwah dalam Islam sesungguhnya meliputi semua dimensi kehidupan


manusia karena amar ma’ruf nahy munkar meliputi segala aspek kehidupan manusia.
Dengan demikian, kegiatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, merupakan sarana yang
dijadikan kegiatan dakwah, baik dakwah Islamiyah (da’wah ila Allah) maupun dakwah
setan (da’wah jahiliyah).8

Ada beberapa pemahaman metode dakwah yang meliputi tiga cakupan, yaitu:

a. Metode bi al-Hikmah

Kata “hikmah” dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali dalam bentuk


nakiroh (umum) dan makrifah (khusus). Bentuk masdarnya “hukuman” yang bermakna
mencegah atau kezaliman, yang jika dikaitkan dengan dakwah berarti menghindari hal-
hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.

8
Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan Wawasan. (Bandung:
Pustaka Setia, 2002).h.59
11
Orang yang memiliki hikmah disebut al-hakim, yaitu orang yang memiliki
pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu.Kata hikmah juga sering dikaitkan
dengan filsafat, karena filsafat mencari pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu.

Sebagai metode dakwah, al-hikmat berarti bijaksana, akal budi yang mulia, lapang
dada, hati yang bersih, dan menarik perhatian orang kepada agama atau Tuhan.

‫ك ِثي و َما َ يذَّ َّك ُر ِ إ َّ َّٓل أُ ۟ولُو‬ ً ‫شا َ من ٱ ح ْك َمَة َف َق‬ َ َ ‫ُي ْؤ ِتى ٱ ْل ْ ك‬
‫مة‬
‫۟ا ٱ َْْل ْل ََٰبب‬ ‫ًرا‬ ‫ْد أُ و ِتى را‬ ‫ُء ُي ْؤ و ْل‬ ‫من ح‬
‫خ‬ ‫ت‬
‫ْي‬

Artinya: “Allah menganugerahkan al-hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki.


Barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, maka benar-benar tekah dianugerahi karunia
yang banyak (QS. Al-Baqoroh: 269)”

Seorang da’i hendaknya menggunakan berbagai macam metode untuk


menghadapi realitas yang dihadapi masyarakat yang sangat beragam (plural), baik dalam
asal-usul, pendidikan, budaya, ekonomi, dan organisasi keagamaan. Di sinilah kecakapan
da’i dibutuhkan agar dari semua elemen yang ada di masyarakat tetap bersatu dan
menjalin ukhuwah Islamiyah dengan tetap berpegang pada ajaran Allah.

b. Metode al-Mau’idza Hasanah

Terminologi al-Mau’idza Hasanah dalam perspektif dakwah sangat populer,


bahkan dalam acara seremonial keagamaan. Secara bahasa al-Mau’idza Hasanah terdiri
dari dua kata, al-Mau’idza dan Hasanah. Al-Mau’idza berasal dari kata wa’adzana,
ya’iidzu, wa’dzan, idzatan, yang berarti nasihat, bimbingan, pendidikan, dan peringatan.
Sedangkan Hasanah berarti kebaikan.al-Mau’idza Hasanah dapat diartikan sebagai
ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, kabar
gembira, peringatan, pesan-pesan positif (riwayah) yang bisa dijadikan pegangan dalam
kehidupan agar dijadikan sebagai pegangan untuk keselamatan dunia-akhirat.

12
al-Mau’idza Hasanah mengandung arti kata-kata yang bijak dengan penuh kasih
sayang dan penuh kelembutan, dengan tidak membongkar atau membeberkan kesalahan

13
orang lain sebab nasihat dengan lemah lembut dapat meluluhkan hati yang keras. al-
Mau’idza Hasanah lebih mudah melahirkan kebaikan dari pada larangan dan ancaman.

c. Metode Al-Mujadalah

Maksud dari metode al-mujadalah adalah tukar pendapat yang dilakukan oleh dua
pihak secara sinergis, yang tidak memunculkan permusuhan dengan tujuan agar lawan
menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.
Antara lain dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya yang
berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima
hukuman kebenaran tersebut.

Dalam berdakwah adalah kamampuan dan ketepatan da’i dalam memilih,


memilah, dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u (pendengar).
Al-Hikmah merupakan kemampuan da’i dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta
realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu,
al-hikmah sebagai suatu sistem yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis
dalam berdakwah.9

Da’i juga berhadapan dengan beragam pendapat dan warna dalam masyarakat.
perbedaan adalah keniscayaan, namun ada titik temu. Kepiawaian da’i dalam mencari
titik temu dalam heterogenitas merupakan bagian dari hikmah. Da’i juga berhadapan
dengan realitas perbedaan agama dalam masyarakat yang heterogen. Kemampuan da’i
untuk bersifat objektif terhadap umat lain, berbuat baik dan bekerjasama dalam hal-hal
yang dibenarkan agama tanpa mengorbankan keyakinan yang ada pada dirinya.

Seorang da’i akan memberikan materi dakwah berbeda sesuai dengan kemampuan
dan latar belakang mad’u nya. Sebagai contoh, Quraish Shihab ketika memberikan materi
dakwah hanya bisa ditelaah oleh kalangan yang berintelektual tinggi, karena materi yang
disampaikan sangat “tinggi” bahasanya (ilmiah). Berbeda dengan apa yang disampaikan

9
Ibid.h.244

14
oleh Mamah Dedeh, Umi Qurratun ‘ayun, Ustad Maulana, almarhum Zainudin MZ.,
semua kalangan bisa menerima materi yang disampaikan, karena bahasa yang digunakan
sangat ringan dan sesuai dengan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Kirun (pelawak) yang sekarang bertransformasi menjadi da’i dan lebih banyak
berdakwah di sekitar Jawa Timur, kebanyakan mad’u-nya adalah dari kalangan bawah
dan abangan, sehingga materi yang disampaikan sangat ringan dan cenderung lucu
(kocak). Meskipun demikian, materi tetap pada koridor ajaran agama Islam. Karenanya
akan mengena ke sasaran yang memang sudah di-goal-kan oleh Kirun tersebut.

Contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa meskipun latar belakang dan materi


dakwah berbeda, para da’i tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk
memperbaiki akhlak atau akidah mad’u ke arah yang lebih baik. Sehingga diharapkan
masyarakat mengerti terhadap teori yang disampaikan sekaligus menjalankan atau
mempraktekkan. Inilah tujuan dari dakwah baik menggunakan metode al-hikmah, al-
Mau’idza Hasanah, ataupun mujadalah.

15
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan

Dalam makalah ini kami membahasa tentang islam priyai,santri dan abangan.
Geertz melabelkan tiga varian kelompok untuk masyarakat sekitar, yaitu; Santri adalah
kelompok yang taat menjalankan rukun Islam (khususnya salat dan puasa) serta sangat
memperhatikan penafsiran moral dan sosial dari doktrin Islam. Mereka sangat
memperhatikan iman dan keyakinan akan kebenaran Islam dan bersikap tidak toleran
terhadap kepercayaan dan praktek kejawen yang dianggap menyimpang. Mereka juga
kelompok sosial yang lebih kosmopolitan karena mempunyai orientasi kekotaan dan
sistem pemikiran yang rasional. Abangan adalah kelompok yang lahir karena
pertemuan Islam dengan tradisi lokal yang telah ada sebelum Islam datang. Mereka
belum mematuhi ajaran Islam sepenuhnya dan lebih mementingkan aspek rohaniah
keberagamaan daripada mematuhi doktrin legal Islam. Kelompok ini berorientasi
kedesaan dan mempraktekkan Islam dengan cara khusus dan lokal. Sinkretisme antara
Islam dan tradisi pra-Islam dan merupakan bentuk yang paling jelas dari proses
adaptasi budaya. Priyayi adalah kelompok aristokrat yang sebagian besar adalah
pegawai. Mereka lebih menekankan pada elemen Hinduisme, tidak menekankan pada
elemen Islam (santri) dan elemen sikretisme (abangan).
Seorang da’i hendaknya menggunakan berbagai macam metode yaitu metode al-
hikmah, al-Mau’idza Hasanah, ataupun mujadalah untuk menghadapi realitas yang
dihadapi masyarakat yang sangat beragam (plural), baik dalam asal-usul, pendidikan,
budaya, ekonomi, dan organisasi keagamaan. Disinilah kecakapan da’i dibutuhkan agar
dari semua elemen yang ada di masyarakat tetap bersatu dan menjalin ukhuwah
Islamiyah dengan tetap berpegang pada ajaran Allah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an: Studi Kritis atas Visi, Misi, dan
Wawasan. Bandung: Pustaka Setia, 2002

Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama. Jogjakarta: Kanisius, 2001

Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan. Jogjakarta: Kanisius, 1992

Khatib Pahlawan Kayo, Manajemen Dakwah: Dari Dakwah Konvensional menuju


Dakwah Profesional. Jakarta: AMZAH, 2007

Northcott, Michael S., “Pendekatan Sosiologi” dalam Peter Carnolly, ed., Aneka
Pendekatan Studi Agama, 1999, hal 267-310. Hand Out: Bernard T. Adeney: Sociology of
Religion Reader. Yogyakarta, 2004

M. Ridho Syabibi, Metodologi Ilmu Da’wah: Kajian Ontolologis Da’wah Ikhwan Al-Safa.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2004 (edisi revisi). Hal 347. Lihat Sjahudi
Siradj, ilmu dakwah suatu Tinjauan Metodologis. Surabaya: IAIN Ampel, 1989

M. Quraish Shihab,. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mizan.2007

Magnis-Suseno, Franz..Etika Jawa.Jakarta: PT Gramedia..Rahardjo,1985

17

Anda mungkin juga menyukai