Disusun Oleh:
Almas shafira:(10123032)
Reni miranda:(10123017)
1
KATA PENGANTAR
kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
disusun guna memenuhi tugas yang diberikan oleh ibu Yuliana Dethan M.AG.
selaku dosen pengampu mata kuliah ilmu hadits. Selain itu, kami juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang (Hadits
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yuliana Dethan M.Ag. selaku
dosen pengampu mata Ilmu Hadits Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang kami tekuni. Kami
juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang membantu proses
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan
makalah ini.
2
Lampung, 15 oktober 2023
Tim Penyusun
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................................3
BAB I................................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN................................................................................................................................................4
A. Latar Belakang.............................................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................................5
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Liqa’ dan mu’asharah dalam periwayatan hadits oleh para ulama hadits dijadikan
syarat untuk mengetahui kualitas sanad suatu hadits. Khususnya dalam hadits
mu‘an’an dan muannan oleh ahli hadits kedua persyaratan ini digunakan untuk
Sanad hadits yang tidak memenuhi kedua syarat ini, terutama persyaratan
mu’asharah, maka hadits tersebut akan dianggap cacat sehingga tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah. Kemudian apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan liqa’ dan
5
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam ilmu musthalahul hadits, dikenal istilah hadits mu’an’an ( )ُمَع ْنَع نdan hadits
muannan ()ُم َٔو َّنن. Mu’an’an adalah suatu metode meriwayatkan hadits dengan menggunakan kata
‘an (dari), seperti ‘an fulaanin, ‘an fulaanin, ‘an fulaanin, tanpa menyebutkan kata-kata yang
jelas dan meyakinkan sebagai indikasi adanya mendengar, menceritakan, atau mengabarkan dari
rawi sebelumnya, namun disyaratkan harus tetap dengan menyebut nama rawi-rawinya. Jadi
hadits mu’an’an adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan menggunakan kata
‘an ( )عنatau
الَحِد ْيُث الُمَع ْنَع ُن ُهَو اِال ْسَناُد اَّلِذ ى ِفْيِه ُفَالٌن َع ْن ُفَالٍن
Hadits Mu’an’an ialah hadits yang dalam mata rantai sanadnya ditemukan adanya kalimat Fulan
dari Fulan.
Contohnya seperti hadist yang dikeluarkan Imam Bukhari melalui Ismail berikut ini:
: َح َد َثِنى َم اِلك َع ِن اْبِن ِشَهاٍب َع ْن َحِم ْيِد اْبِن َع ْبِد الَّرْح ٰم ِن َع ِن اْبِن ُهَر ْيَر َة َر ِض َى ُهللا َع ْنُه َاَّن َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َق اَل
َم ْن َقاَم َر َم َض اَن ِاْيَم اًنا ًو اْح ِتَس اًبا ُغ ِفَر َلُه َم ا َتَقَّد َم ِم ْن َذْنِبِه
6
Adapun hadist muannan adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan
menggunakan kalimat Haddatsanaa fulaanun anna fulaanan qaala… (fulan telah bercerita
kepadaku bahwasanya si fulan berkata….) Atau
…الَحِد ْيُث الُم َؤ َّنُن ُهَو َم ا ُيَقاُل ِفى َس َنِدِه َح ّدَث ُفَالٌن َاَّن ُفاَل ًنا َح َّد َثَنا ِبَك َذ ا
Hadits Muannan adalah hadits yang dalam mata rantai sanadnya ditemukan ucapan Fulan
menceritakan hadits kepadaku, sesungguhnya ia menceritakan hadits demikian .............
Ulama’ ahli hadits berkomentar bahwa hadits yang dalam periwayatannya menggunakan
cara seperti hadits mu’an’an dan muannan, bisa berstatus sama dengan hadits muttasil dengan
adanya dua syarat, yaitu
Masing-masing perawi harus hidup segenerasi dengan perawi yang menyampaikan hadits
kepadanya. Maksudnya setiap tingkatan perawi harus pernah hidup dalam satu kurun waktu
dengan tingkatan perawi di atasnya.
Suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari tingkat tabi’in, harus diteliti
terlebih dahulu apakah beliau pernah hidup semasa dengan sahabat yang dirawikan hadits
tersebut kepadanya, demikian pula perawi dari tingkat di bawahnya. Untuk itu, kita harus melihat
biografi para perawi tersebut terlebih dahulu.
Sebagai contoh, misalkan Sa’id Al-Musayyab perawi dari tingkat tabi’in meriwayatkan hadits
dari Abu Hurairah seorang perawi dari tingkat sahabat. Setelah diteliti, Sa’id Al-Musayyab hidup
pada tahun 13 H – 94 H dan adapun Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H. Dari itu maka dapat
diketahui bahwa kedua perawi tersebut pernah hidup semasa, yakni di antara tahun 13 H – 57 H.
Selain para perawi pernah hidup dalam satu kurun waktu yang sama, masing-masing
perawi harus benar-benar pernah bertemu dengan perawi yang menyampaikan hadist kepadanya.
7
Hal ini pun perlu diteliti kembali melalui riwayat hidup para perawinya, apakah masing-
masing tingkatan para perawi tersebut pernah bertemu atau tidak. Jika setelah diteliti dan ternya
kenyataannya bahwa tidak semua perawi itu pernah bertemu, maka menurut Imam Bukhari
hadits itu dianggap cacat dan tidak dapat diterima untuk dijadikan sebagai hujjah.
Persyaratan mu’asharah dan liqa’ dalam periwayatan hadits sangat berkaitan dengan ilmu rijalul
hadits, yaitu suatu cabang ilmu hadits yang mempelajari keadaan setiap perawi hadits, dari segi
kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air
mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan
mereka.
Oleh ulama hadits, salah satu alasan mereka lebih mengutamakan keshahihan kitab Imam
Bukhari dibandingkan kitab Imam Muslim ialah Imam Bukhari mensyaratkan kedua persyaratan
di atas dalam menyeleksi hadits-hadits di dalam kitabnya, adapun Imam Muslim mencukupkan
pada syarat mu’asharahnya saja.
Musalsal artinya yang terangkai atau yang berangkai.Menurut bahasa musalsal berasal dari kata
َس ْلَسَل, َس ْلَس َلٌة,ُيَس ْلِس ُلyang berarti berantai dan bertali menali. Hadis ini dinamakan musalsal karena
ada kesamaan dengan rantai (silsilah) dalam segi pertemuan pada masing-masing perawi atau
ada kesamaan dalam bagian-bagiannya.
Lebih luas Al-Iraqi memberikan definisi musalsal adalah hadis yang perawinya dalam sanad
berdatangan satu persatu dalam satu bentuk keadaan atau dalam satu sifat, baik sifat para perawi
maupun sifat penyandaran (isnad) baik terjadi pada isnad dalam bentuk penyampaian
periwayatan (ada’ ar-riwayah) maupun berkaitan dengan waktu dan tempatnya, baik keadaan
para perawi maupun sifat-sifat mereka, dan baik perkataan maupun perbuatan.
Dengan demikian hadis musalsal adalah hadis yang secara berturut-turut sanad-nya sama dalam
satu sifat atau dalam satu keadaan dan atau dalam satu periwayatan.[2]
Musalsal dalam pembicaraan ilmu Hadits adalah “Satu Hadits yang rawi-rawinya atau jalan
meriwayatkannya berturut-turut atas satu keadaan”
8
Yang dikatakan musalsal pada rawi-rawinya ialah :
Contoh : semua rawi bernama Ahmad, tetapi yang satu Ahmad bin Ibrahim, yang lain Ahmad
bin Salim dan lainnya.
Contoh : semua rawi ahli fiqh atau ahli hadits, atau imam-imam.
Contoh : semua rawi orang Mekkah atau orang Madinah dan sebagainya.
Contoh : anak meriwayatkannya dari bapak, bapak dari datuk, datuk dari saudaranya, selanjutnya
sampai penghabisan sanad.
Contoh : semua rowi berkata: “aku telah mendengar” atau “telah mengkhabarkan kepada kami”
atau “telah menceritakan kepada kami” atau dalam sanadnya semua pakai perkataan ( " )َع ْنdari".
a. Macam-macam Musalsal
Musalsal keadaan perawi terkadang dalam perkataan (qawli), perbuatan (fi’li), atau keduanya
(perkataan dan perbuatan atau qawli dan fi’li).
9
2. Musalsal sifat periwayat (musalsal bi shifat ar-ruwah)
Terkadang hadis terjadi musalsal dari awal sampai akhir dan terkadang sebagian musalsal
terputus di permulaan atau di akhiran. Al-Hafizh Al-Iraqi berkata : sedikit sekali hadis musalsal
yang selamat dari kedha’ifan, dimaksudkan di sini sifat musalsal bukan pada asal matan karena
sebagian matan shahih. Ibnu Hajar berkata :musalsal yang paling shahih di dunia adalah musalsal
hadis membaca Surah Ash-Shaff. Disebutkan dalam Syarah An-Nukhbahmusalsal para huffazh
memberi faedah ilmu yang pasti (qathi).Maka tidak seluruh hadis musalsal shahih.Hukum
musalsal adakalanya Shahih, Hasan dan Dha’if tergantung keadaan para perawinya. Keshahihan
hadis ditentukan 5 persyaratan yakni :
1. Persambungan sanad.
10
1. Menunjukkan kemuttashilan dalam mendengar.
‘Ali adalah isim fa’il dari kata Al-‘Uluwwu, العلوartinya tinggi. Sedangkan Nazil adalah An-
Nuzuul rendah (turun). Dalam terminologi ilmu hadis, hadis ‘Ali adalah hadis yang rawi-rawi
sanadnya sedikit dibandingkan dengan sanad lain dari hadis yang sama. Sedangkan hadis Nazil
adalah hadis yang rawi-rawi sanadnya lebih banyak dibandingkan sanad lain dari hadis itu juga.
Nazil merupakan kebalikan dari ‘Ali.
Contoh: قال انبي صلى هللا عليه و سلم من سمع سمع هللا به ومن يرائي يرا ئاهلل به.
Rasulullah saw bersabda: “ Barang siapa menyiar-nyiarkan (kebaikan supaya dipuji orang) tentu
Allah akan balas menyiarkan (‘aibnya), dan barang siapa unjuk-unjukkan (kebaikannya), maka
Allah akan balas memperlihatkan (keburukannya).
(I) (II)
Bukhari Bukhari
b. Yahya b. Sufyan
c. Sufyan c. Salamah
d. Salamah d. Jundab
e. Jundab e. Nabi
f. Nabi
11
Dalam sanad yang pertama, antara Bukhori dan Nabi saw ada 5 orang rawi. sedangkan dalam
sanad yang kedua antara Bukhari dan Nabi Saw ada 4 orang rawi. Karena jumlah rawi dalam
sanad kedua lebih sedikit dibanding sanad pertama, sanad kedua disebut ‘Ali.Sedangkan sanad
pertama karena rawinya lebih banyak disebut Nazil.
Yang dikatakan Hadits ‘Ali atau sanad ‘Ali itu, ada lima macam:
1. Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada Nabi Saw. Sedikit, kalau dibandingkan dengan
sanad lain dari Hadits itu juga.
2. Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah seorang Imam Hadits, sedikit, terbanding
dengan sanad lain dari riwayat itu juga. Imam-imam Hadits itu seperti: Malik, Syu’bah, Sufyan,
atstsauri, Syafi’i, Bukhari, Muslim, Ibnu Juraij, Zuhri, al-Auza’i, Sufyan bin ‘Ujainah, dan lain-
lain.
3. Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah satu Kitab Hadits yang teranggap, sedikit,
jika dibandingkan dengan sanad lain. Kitab-kitab Hadits itu seperti: Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abi Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i, Shahih Turmudzi, Musnad Ahmad, dan
sebagainya.
4. Satu sanad didalamnya ada rawi yang terima dari seorang syaikh, meninggal lebih dahulu
dari rawi lain yang juga terima dari syaikh itu. Seperti: seorang mendengar Sunan Abi Dawud
dari az-Zaki Abdil-‘Azhim. Seorang lagi mendengar Sunan tersebut dari an-Najib al-Harrani.
Az-Zaki wafat lebih dulu dari an-Najib, sedang kedua-duanya menerima dari seorang syaikh,
yaitu Abu Dawud. Maka sanad orang yang menerima dari az-Zaki itu lebih tinggi dari an-Najib.
5. Sanad yang didalamnya ada rawi yang mendengar dari seorang syaikh lebih dulu daripada
rawi lain mendengar dari syaikh itu juga.
12
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kebalikan dari tiap-tiap hadis yang ‘ali
adalah nazil.Artinya, lawan dari setiap hadis ‘ali yang telah dipaparkan sebelumnya adalah hadis
nazil.[9] Jadi ia mesti mempunyai bagian sama banyaknya dengan ‘Ali, yaitu lima juga.
1. Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada Nabi Saw. Banyak, dibandingkan dengan sanad
lain dari hadist itu juga.
2. Sanad yang bilangan rawinya banyak sampai kepada salah seorang Imam Hadits, kalau
dibandingkan dengan sanad lain dari riwayat itu juga.
3. Sanad yang bilangan rawinya sampai kepada salah satu Kitab Hadits yang yang teranggap,
banyak, dibandingkan dengan sanad yang lain.
4. Sanad yang didalamnya ada rawi yang terima dari seorang syaikh meninggal kemudian dari
rawi lain yang juga terima dari syaikh itu.
5. Sanad yang didalamnya ada rawi yang mendengar dari seorang syaikh kemudian
(belakangan) daripada rawi lain yang juga mendengar dari syaikh itu.
Dibagian ‘Ali, pada macam yang ketiga ada tersebut: “Sanad yang bilangan rawinya kepada
salah satu Kitab Hadits yang teranggap, sedikit, jika dibanding dengan sanad lain”.
1. Muwaffaqah, artinya ialah sampai kepada guru salah seorang imam hadis dengan jumlah
sanad yang lebih sedikit daripada yang diriwayatkan melalui imam hadis.
2. Badal atau Ibdal, artinya ialah sampai kepada guru-gurunya imam hadis dengan jumlah sanad
yang lebih sedikit daripada sanad imam hadis.
3. Musawah, artinya ialah jumlah sanadnya sama mulai rawi sampai akhirnya dengan sanad
salah seorang imam-imam hadis.
13
4. Mushafahah, artinya ialah persamaan kita dengan murid imam hadis.
Sebenarnya, sebuah hadis baik dia berderajat ‘Ali ataupun Nazil, tidak memberikan pengaruh
terhadap derajat sebuah hadis, dengan catatan keduanya tidak memiliki kecacatan.Yang tentunya
sah dibicarakan dalam konteks ini adalah faidah. Adapun faidah-faidah mengetahui sebuah hadis
yang sanadnya sedikit (‘ali) ataupun banyak (nazil) adalah sebagai berikut:
a. Hadis ali lebih sedikit perawinya. Oleh karena itu kemungkinan-kemungkinan terjadinya
kekurangan (khalal) dari tiap perawi sangat minim, ketimbang sanad yang lebih banyak
perawinya. Sebagaimana lazimmya setiap manusia memiliki kekurangan masing-masing,
semakin banyak manusia (perawi) dalam sebuah transmisi sanad, peluang terjadiya cacat
terhadap sebuah riwayat lebih besar. Maka dari itu, apabila ada dua hadis yang sama makna
dengan jalur yang berbeda, kita akan lebih memilih hadis yang sanadnya lebih sedikit.
c. Dapat mentarjih dan memilih sanad yang lebih ‘ali ketika ada sanad lain yang
bertentangan.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Suatu hadits Mu’an’an dan muannan dapat dikatakan setingkat dengan hadits muttasil yaitu
apabila memenuhi syarat mu’asharah dan liqa’.
2. Mua’syarah ialah setiap tingkatan perawi pernah hidup dalam satu kurun waktu dengan
tingkatan perawi di atasnya.
3. Liqa’ ialah setiap tingkatan perawi pernah bertemu dengan tingkatan perawi di atasnya.
4. Imam Bukhari dalam kitab shahihnya mensyaratkan kedua syarat tersebut, adapun Imam
muslim mencukupkannya pada persyaratan mu’asharah saja.
5. Apabila suatu hadits memenuhi syarat mu’asharah dan liqa’ dalam periwayatannya, maka
hadits itu dapat diterima dan dijadikan hujjah. Jika tidak memenuhi kedua syarat tersebut, maka
hadits tersebut dianggap cacat dan tertolak.
6. Apakah seorang perawi pernah hidup semasa atau bertemu dengan perawi pada tingkatan
di atasnya dapat diketahui dengan mempelajari ilmu rijalul hadits, yakni ilmu yang mempelajari
mengenai sejarah dan keadaan para perawi.
7. Hadits Musalsal ialah hadis yang berterus menerus para rawinya sewaktu meriwayatkannya
dengan satu cara atau sifat.
8. Sedang hadis ‘Ali adalah hadis yang rawi-rawi sanadnya sedikit dibandingkan dengan
sanad lain dari hadis yang sama.
15
9. Sedangkan hadis Nazil adalah hadis yang rawi-rawi sanadnya lebih banyak dibandingkan
sanad lain dari hadis itu juga. Nazil merupakan kebalikan dari ‘Ali.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maliki, Prof. Dr. Muhammad Alawi. 2009. Al-Manhalu Al-lathiifu fi Ushuuli Al-Haditsi
Asy-Syariif : Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Al-Khattan, Manna’ Khalil. 2004. Mabahits fi Ulumil Hadits (Pengantar Studi Ilmu Hadits).
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Mas’udi, Hafidz Hasan, Ilmu Musthalah Hadis, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2013.
As-Syahruzuri, Abdur Rahman, ‘Uluumul Hadits Li Ibn As-Shilaah, Libanon, Daarul Fikr,
2004.juz 1.Khon, Abdul Majid,.Ulumul Hadis. Jakarta : Amzah, 2010
Rosidin, Mukarom Faisal, Buku Ajar Hadis: Hadis Berdasarkan Sifat Sanad, Solo: UI Press.
16