Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION

LBM 1 “ Lemas & Pucat “

Disusun Oleh :

NAMA : Nadhirah Az-Zahra


NIM : 022.06.0063 / B
KELOMPOK : SGD 9
TUTOR : dr. Irsandi Riski Farmananda, S.Ked
BLOK : Sistem Hematologi & Imunologi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

MATARAM

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan laporan SGD (Small Group
Discussion) ini bisa tersusun. Laporan ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar
mahasiswa (LBM 1)”Lemas dan Pucat” pada sistem Hematologi & Imunologi meliputi seven
jumps step yang dibagi menjadi dua sesi SGD. Dalam penyusunan laporan ini, saya mendapat
banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui
kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada:

1. dr. Irsandi Riski Farmananda, S.Ked, selaku tutor dan fasilitator SGD (Small Group
Discussion) kelompok 9

2. Teman-teman yang memberikan masukan dan dukungannya kepada saya. Saya menyadari
bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu pendalaman lebih lanjut.

Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
laporan ini. Akhir kata saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak
yang akan menggunakannya.

Mataram, 8 November 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... 3
BAB I ................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................................... 4
1.1 Skenario ..................................................................................................................................... 4
1.2 Deskripsi Masalah ..................................................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN .................................................................................................................................. 5
2.1 Fisiologi & Komponen Darah .................................................................................................. 5
2.2 Histologi Darah ......................................................................................................................... 8
2.3 Klasifikasi Anemia .................................................................................................................... 9
2.4 Etiologi Anemia ....................................................................................................................... 12
2.5 Epidemiologi Anemia .............................................................................................................. 17
2.6 Patofisiologi Anemia ............................................................................................................... 18
2.7 Tata Laksana Anemia ............................................................................................................. 21
2.8 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Anemia .................................................... 23
BAB III .............................................................................................................................................. 26
KESIMPULAN ................................................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 27
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Skenario
AK seorang anak laki laki berusia 8 tahun, datang ke poliklinik Anak RS Unizar diantar
oleh orangtuanya dengan keluhan lemas dan pucat sejak 1 minggu yang lalu. Menurut ibu
pasien, keluhan pucat paling terlihat pada daerah muka, telapak tangan dan kaki. Pasien
juga muah merasa kelelahan setelah beraktifitas ringan. Selain itu, ibu pasien juga
mengatakan perut pasien semakin membuncit, nyeri pada bagian perut, serta nafsu makan
menurun. Keluhan seperti ini sudah sering terjadi. Adik pasien yang berusia 2 tahun juga
mengalam keluhan serupa dan sudah melakukan tranfusi darah sejak usia 5 bulan.

1.2 Deskripsi Masalah


Dalam SGD LBM 1 Pada blok Sistem Hematologi dan Imunologi yang berjudul “Lemas
dan Pucat”, kami mendapatkan beberapa identifikasi masalah. Pada skenario dikatakan
bawa anak laki-laki berusia 8 tahun datang dengan keluhan lemas pucat sejak seminggu
yang lalu. Pasien sering pucat pada daerah muka, telapak tangan, dan kaki. Tidak hanya
gejala lemas dan ucat saja, pasien mengeluh sering mengalami kekelalahn meski hanya
beraktifitas ringan, perut pasien membuncit, terasa nyeri, dan nafsu makan menurun.
Diketahui bahwa adik pasien mengalami keluhan yang serupa dengan sang kakak, namun
adek pasien telah mengalami transfuse darah sejak usianya 5 bulan. Dari gejala yang
dialami AK kami menduga bahwa AK mengalami anemia, dimana anemia merupakan
kondisi kekurangan eritrrosit pada darah. hal ini dapat menyebablan kurangnya pasokan
oksigen ke daerah muka, telapak tangan, dan kaki karena kurangnya kadar hemoglobin
pada dara. Hemoglobin merupakan protein yang ada di eritrosit, berfungsi untuk membawa
okeisgen ke seluruh tubuh. Pada LBM kali ini kami akan membahas mengenai apa saja
komponen darah, definisi, etiologo, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan
penunjang,tata laksana, dll dari anemia. Sebagai seorang dokter AK akan disarankan untuk
melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang untuk memperkuat diganosa. Hal penting
untuk dipelajari untuk memahami blok Sistem Hematologi dan Imunologi dan akan
berguna di blok selanjutnya yang relevan dengan blok Sistem Hematologi dan Imunologi.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Fisiologi & Komponen Darah
Darah adalah media pengangkut atau sebagai transportasi bahan-bahan antara sel dan
lingkungan eksternal atau diantara sel itu sendiri. Transportasi bahan-bahan tersebut
sangat penting untuk mempertahankan homeostasis. Darah membentuk sekitar 8 % dari
total berat badan. Darah terdiri dari tiga jenis elemen selular khusus yaitu eritrosit (sel
darah merah), leukosit( sel darah puih),trombosit(platelet). Seluruh sel-sel tersebut
tersuspensi atau terlarut dalam plasma. Plasma merupakan komponen darah yang
berbentuk cairan yang dimana tidak ada komponen element cellular. Plasma terdiri dari
beberapa komponen yaitu air, elektrolit, nutrisi,gas, zat sisa, hormone, dan plasma protein.
Air yang terkandung dalam plasma berfungsi sebagai media transport berbagai macam zat-
zat atau bahan-bahan yang dibawa oleh darah. Selain itu air yang terkandung dalam plasma
dapat berfungsi menghantarkan panas yang dihasilkan oleh proses metabolime di dalam
jaringan. (Sherwood,2019)

Elektrolit yang terkandung pada plasma berfungsi sebagai eksitabilitas membrane sel,
berperan dalam pertukaran cairan melalui tekanan osmotic antara ekstraseluler dan
intraseluler. Elektrolit-elektrolit dalam darah juga berperan sebagai buffer dalam
perubahan pH didalam darah. (Sherwood,2019)

Secara umum plasma protein berperan dalam efek osmotic yang penting dalam
distribusi cairan ekstraseluler , serta sebagai buffer perubahan pH. Plasma protein terdiri
dari albumin, globulin, dan fibrinogen. Albumin, merupakan protein plasma yang plaing
banyak serta berperan besar dalam menentukan tekanan osmotic koloid . Albumin ini juga
berkaitan dengan bahan-bahan yang tidak larut dalam plasma misalnya bilirubin, garam
empedu, dan penisilin untuk transportasi dalam plasma. (Sherwood,2019)

Plasma ptotein yang kedua adalah globulin. Globulin dibagi lagi menjadi dua yaitu
globulin α dan β, serta globulin γ . Globulin α dan β memiliki fungsi untuk mengangkut
banyak bahan tidak larut air seperti kolesterol, besi dan yang lainnya. Berbeda dengan
globulin α dan β, globulin γ berfungsi sebagai antibody. Protein plasma ini disintesis oleh
hati, kecuali globulin γ yang di produksi oleh limfosit. Komponen plasma ketiga adalah
fibrinogen, yang merupakan faktor penting dalam pembekuan darah. (Sherwood,2019)
Plasma terbagi menjadi dua yaitu plasma water dan substansi larut dalam plasma.
Plasma water berfungsi sebagai media untuk bahan yang dibawa dalam darah. Sebagian
besar zat anorganik dan organik larut dalam plasma. komponen anorganik ini membentuk
sekitar 1 % berat plasma elektrolit (ion) yang paling banyak dalam plasma adalah natrium
dan klorida,sebagiannya kecilnya adalah bikarbonat, kalium dan kalsium. Fungsi penting
dari ion-ion tersebut adalah berperan dalam eksitabilitas membrane, distribus osmotic
cairan antara CES dan sel, dan buffer perubahan pH. Komponen organic yang paling
banyak berdasarkan berat adalah plasma protein yang membentuk sekitar 6-8 % dari berat
total plasma. Sebagian kecil komponen organik lainnya seperti nutrient (glukosa, asam
amino, lipid dan vitamin),waste products (kreatinin, bilirubin, dan substansi nitrogen
(urea)),gas terlarut (O2 dan CO2), dan hormon. (Sherwood,2019)

Elemen cellular dari darah terdiri dari eritrosit atau sel darah merah, leukosit atau sel darah
putih, serta trombosit atau platelet :

• Eritrosit atau sel darah merah ini memiliki fungsi yaitu mengangkut O₂(khususnya)
dan CO₂. Susunan eritrosit sendiri sangatlah kompleks. Pada bagian dinding,
eritrosit tersusun oleh lipid dan protein. Sedangkan pada bagian dalam, eritrosit
memiliki hemoglobin namun tidak memiliki nukleus. Sel darah merah sendiri aktif
selama 120 hari sebelum akhirnya dihancurkan. Eritrosit berbentuk lempeng
bikonkaf dengan diameter sekitar 8 μm, dan tebal 2 μm namun dapat berubah
bentuk sesuai diameter kapiler yang akan dilaluinya, selain itu setiap eritrosit
mengandung kurang lebih 29 pg hemoglobin, maka pada pria dewasa dengan
jumlah eritrosit normal sekitar 5,4jt/ μl didapati kadar hemoglobin sekitar 15,6
mg/dl Eritrosit berasal dari sel punca pluripoten di dalam sumsum tulang merah
yang menghasilkan seluruh jenis sel darah. Sel punca myeloid adalah sel punca
yang terdeferensiasi sebagian menghasilkan eritrosit dan beberapa jenis sel darah
lain. (Barret, 2015).
• Elemen kedua adalah leukosit, leukosit terdiri dari neutrophil yang berperan dalam
menelan bakteri dan debris; eusinofil yang berfingsi menyerang cacing parastik
serta berperan dalam reaksi alergik;basophil yang berfungsi mengeluarkan
histamine,yang penting dalam realsi alergik,;monosit yang berfungsi dalam transit
untuk menjadi makrofag jaringan;serta limfosit, yang dibagi lagi menjadi limfosit
B yang menghasilkan antibody dan limfosit T menghasilkan respon imun. (Barret,
2015).
• Elemen ketiga adalah trombosit yang berperan dalam hemostasis. (Barret, 2015).

Fisiologi Pembentukan Sel Darah Hemopoiesis adalah istilah yang digunakan untuk
proses pembentukan sel darah dalam tubuh. Hematopoiesis merupakan proses
pembentukan komponen sel darah, dimana terjadi proliferasi, maturasi dan diferensiasi sel
yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel menyebabkan peningkatan atau pelipatgandaan
jumlah sel, dari satu sel hematopoietik pluripotent menghasilkan sejumlah sel darah.
Maturasi merupakan proses pematangan sel darah, sedangkan diferensiasi menyebabkan
beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat khusus yang berbeda-beda. Secara lebih
detailnya dapat dilihat pada gambar skema dibawah ini :

Proses produksi dari sel darah

Berdasarkan gambar diatas proses produksi sel darah atau hemopoiesis adalah pada
sumsum tulang khususnya di red bone marrow(sumsum tulang merah). Proses produksi
sel darah diawali dengan undifferentiated pluropoitent stem cell yang akan berdiferensiasi
(berubah bentuk) menjadi dua yaitu myeloid stem cell dan lymphoid stem cell. Myeloid
stem cell berdiferensasi menjadi megakaryocytes, granulocyte precursor,erythrocyte, serta
monocyte precursors. Setelah precursors telah terbentuk di dalam sumsum tulang,
kemudian precursors akan di lepaskan ke sirkulasi aliran darah. Pada sirkulasi tersebut sel-
sel tersebut akan berubah menjadi bentuk mature(matang),seperti megakaryocytes akan
menjadi platelets atau trombosit, granulocyte precursor akan menjadi
granulocytes(basophil,neutrophil,eosinophil), erythrocyte akan menjadi eritrosit,serta
monocyte precursors akan menjadi monosit. Sedangkan,lymphoid stem cell akan
berdiferensiasi menjadi cikal bakal dari limfosit. (Sherwood,2019)

Sel darah merah matur memiliki waktu hidup 120 hari (kurang lebih 4 bulan) di dalam
pembuuh darah, setelah 120 hari maka sel darah akan di fagositosis oleh macrophage yang
menghasilkan komponen sisa (komponen hemoglobin) yang akan didegradasi atau
dipecah menjadi globulin, ion iron dan ion non-iron. Siklus hidup eritrosit adalah produksi,
2 juta sel per detik dalam keadaan normal. Bahan baku dari pembentukan eritrosit adalah
glukosa, lipid dan asam amino, dan degradasi (penghancuran) , setelah 120 hari masa
hidup dari eritrosit tersebut maka setelahnya akan dihancurkan oleh makrofag yang
menghasilkan komponen sisa (komponen hemoglobin) yang akan didegradasi atau
dipecah menjadi globulin, ion iron dan ion non iron(Sherwood,2019)

2.2 Histologi Darah


Sel darah merah atau disebut juga sebagai eritrosit memiliki kandungan protein
pengangkut oksigen yang dikenal dengan hemoglobin. Hemoglobin merupakan pigmen
yang menyebabkan darah lengkap (whole blood) berwarna merah. Pria dewasa sehat
memiliki sekitar 5,4 juta sel darah merah per mikroliter (µL) darah, dan wanita dewasa
sehat memiliki sekitar 4,8 juta. (Satu tetes darah adalah sekitar 50 µL). Untuk
mempertahankan SDM dalam jumlah normal, sel-sel matang baru harus masuk ke dalam
sirkulasi dengan kecepatan menakjubkan yaitu paling sedikit 2 juta per detik, suatu
kecepatan yang mengimbangi laju destruksi SDM yang juga cepat (Tortora, GJ,
Derrickson, B., 2016).

Gambar : Histologi Darah

Bentuk Sel Eritrosit SDM adalah lempeng bikonkaf dengan diameter 7-8 µm. Sel darah
merah matang memiliki struktur sederhana. Membran plasma bersifat kuat dan lentur
sehingga SDM dapat mengalami deformasi tanpa ruptur saat terperas sewaktu melewati
kapiler sempit. Seperti yang segera dapat Anda lihat, glikolipid tertentu di membran
plasma SDM adalah antigen yang menyebabkan adanya berbagai 7 golongan darah
misalnya golongan ABO dan Rh. SDM tidak memiliki nukleus dan organel lain serta tidak
dapat bereproduksi atau melaksanakan aktivitas metabolik luas. Sitosol SDM mengandung
molekul-molekul hemoglobin; molekul penting ini disintesis sebelum hilangnya nukleus
selama produksi SDM dan menyusun sekitar 33% dari berat sel (Tortora, GJ, Derrickson,
B., 2016).

2.3 Klasifikasi Anemia


Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah merah:
konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut kriteria WHO
anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita.

Berdasarkan kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia
adalah kadar hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Kriteria
ini digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan.1 Anemia merupakan
tanda adanya penyakit. Anemia selalu merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari
penyebabnya. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana berguna
dalam evaluasi penderita anemia. (Oehadin, 2012)

GEJALA KLINIS

Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya anemia, juga
kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang terjadi perlahan-
lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan dengan
berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.

Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor :

• Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan


• Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif ) Pasokan
oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme kompensasi
peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada kadar Hb
mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g%, pada kadar
Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika terjadigangguan mekanisme kompensasi
jantung karena penyakit jantung yang mendasarinya. (Oehadin, 2012)

Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue, gejala
dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in the ears).
Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam
jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/ atau infark miokard). (Oehadin, 2012)

Anemia yang disebabkan perdarahan akut berhubungan dengan komplikasi


berkurangnya volume intraseluler dan ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan gejala mudah
lelah, lassitude (tidak bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat berlanjut menjadi postural
dizzines, letargi, sinkop; pada keadaan berat, dapat terjadi hipotensi persisten, syok, dan
kematian. (Oehadin, 2012)

PENYEBAB

Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia:

• Pendekatan kinetik Pendekatan ini didasarkan pada mekanis-me yang berperan dalam
turunnya Hb.
• Pendekatan morfologi Pendekatan ini mengkategorikan anemia berdasarkan
perubahan ukuran eritrosit (Mean corpuscular volume/MCV) dan res-pons retikulosit.
• Pendekatan kinetik Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme
independent:
➢ Berkurangnya produksi sel darah merah
➢ Meningkatnya destruksi sel darah merah
➢ Kehilangan darah. Berkurangnya produksi sel darah merah Anemia disebabkan
karena kecepatan produksi sel darah merah lebih rendah dari destruksinya.
Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah :
• Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh kekurangan
diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan darah (dei siensi
Fe)
• Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia,
mielodisplasia, inl itrasi tumor)
• Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
• Rendahnya trophic hormone untuk sti-mulasi produksi sel darah merah
(eritro-poietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen
[hipogonadisme])
• Anemia penyakit kronis/anemia inl amasi, yaitu anemia dengan karakteristik
berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena berkurangnya absorpsi
Fe dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari ma-krofag,
berkurangnya kadar eritropoietin (relatif ) dan sedikit berkurangnya masa hidup
erirosit. Peningkatan destruksi sel darah merah Anemia hemolitik merupakan
anemia yang disebabkan karena berkurangnya masa hidup sel darah merah
(kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah merah 110- 120
hari.2 Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat mengatasi
kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang
berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari.

Pendekatan morfologi Penyebab anemia dapat diklasii kasikan berdasarkan ukuran sel
darah merah pada apusan darah tepi dan parameter automatic cell counter. Sel darah merah
normal mempunyai vo-lume 80-96 femtoliter (1 fL = 10-15 liter) dengan diameter kira-kira 7-
8 micron, sama dengan inti limfosit kecil. Sel darah merah yang berukuran lebih besar dari inti
limfosit kecil pada apus darah tepi disebut makrositik. (Oehadin, 2012)

Sel darah merah yang berukuran lebih kecil dari inti limfosit kecil disebut mikrositik.
Automatic cell counter memperkirakan volume sel darah merah dengan sampel jutaan sel darah
merah dengan mengeluarkan angka mean corpuscular volume (MCV) dan angka dispersi mean
tersebut. Angka dispersi tersebut merupakan koei sien variasi volume sel darah merah atau
RBC distribution width (RDW). RDW normal berkisar antara 11,5-14,5%. Peningkatan RDW
menunjukkan adanya variasi ukuran sel. Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia
diklasifikasikan menjadi:

➢ Anemia makrositik
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL.
Anemia makrositik dapat disebabkan oleh:
• Peningkatan retikulosit Peningkatan MCV merupakan karakteristik normal
retikulosit. Semua keadaan yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan
memberikan gambaran peningkatan MCV
• Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah (defisiensi
folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam nukleat:
zidovudine, hidroksiurea)
• Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia akut)
• Penggunaan alcohol,
• Penyakit hati
• Hipotiroidisme (Oehadin, 2012)
➢ Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah merah yang kecil
(MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai penurunan hemoglobin
dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( mean concentration hemoglobin) dan MCV,
akan didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi. Penyebab
anemia mikrositik hipokrom :
• Berkurangnya Fe: anemia dei siensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia inl
amasi, defisiensi tembaga.
• Berkurangnya sintesis heme: keracunan logam, anemia sideroblastik kongenital
dan didapat.
• Berkurangnya sintesis globin: talasemia dan hemoglobinopati (Oehadin, 2012)
➢ Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL). Keadaan
ini dapat disebabkan oleh:
• Anemia pada penyakit ginjal kronik.
• Sindrom anemia kardiorenal: anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal
kronik.
• Anemia hemolitik: Anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah
merah: Kelainan membran (sferositosis herediter), kelainan enzim (dei siensi
G6PD), kelainan hemoglobin (penyakit sickle cell). Anemia hemolitik karena
kelainan ekstrinsik sel darah merah: imun, autoimun (obat, virus, berhubungan
dengan kelainan limfoid, idiopatik), alloimun (reaksi transfusi akut dan lambat,
anemia hemolitik neonatal), mikroangiopati (purpura trombositopenia
trombotik, sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat kimia (bisa
ular). (Oehadin, 2012)

2.4 Etiologi Anemia


1. Anemia Makrositik
Penyebab dari anemia makrositik diklasifikasikan menjadi dua kategorik,
yaitu kategorik megaloblastic dan non megaloblastic. Megaloblastik disebabkan
karena defisiensi atau gangguan penggunaan vitamin B12 atau folat (Socha et al.,
2020).

Defisiensi folat disebabkan oleh berkurangnya asupan (penyalahgunaan


alkohol atau malnutrisi), peningkatan konsumsi (hemolisis atau kehamilan),
malabsorpsi (keluarga, bypass lambung, atau obat-obatan seperti cholestyramine
atau metformin) (Moore & Adil, 2021).
Sedangkan Defisiensi vitamin B12 muncul pada kondisi dimana asupan
yang kurang (malnutrisi), keadaan malabsorpsi (gastritis atrofi baik autoimun
atau non-autoimun dari sindrom Helicobacter pyloriatau Zollinger-Ellison, infeksi
cacing pita Diphyllobothrium, bypass lambung, reseksi ileum), atau adanya
antagonis (nitrous oxide)(Moore & Adil, 2021).
Anemia non megaloblastik terjadi karena ketidakadanya neutrofil
hipersegmentasi. Biasanya terjadi karena konsumsi alkohol (toksisitas sel darah
merah), sferositosis herediter (gangguan regulasi volume meningkatkan ukuran sel
darah merah), hipotiroidisme dan penyakit hati (karena deposisi lipid dalam
membran sel), dan retikulositosis yang ditandai dari keadaan konsumsi sel darah
merah berlebih seperti hemolisis atau turnover pada kehamilan atau penyakit
sumsum tulang primer (retikulosit lebih besar dari rata-rata sel darah merah) (Socha
et al., 2020)
Defisiensi vitaminB12 adalah penyebab paling umum dari megaloblastic
anemia. Kekurangan vitaminB12 disebabkan oleh asupan makanan yang tidak
mencukupi, seperti pada kasus vegetarian atau malnutrisi, malabsorpsi karena dengan
tidak adanya faktor intrinsik yang disebabkan oleh anemia pernisiosa atau operasi
lambung, kelainan bawaan, seperti transcobalamin II defisiensi, atau paparan nitrous
oxide (Stabler, 2013;Nagao & Hirokawa, 2017).
Vitamin B12 mengikat faktor intrinsik yang disekresikan oleh parietal
lambung sel, dan diserap di ileum terminal. Setelah diserap, vitamin B12
bertindak sebagai koenzim dalam reaksi enzimatik yang menghasilkan metionin
dari homosistein. Akibatnya, asam folat diubah menjadi bentuk aktifnya (Cakmakli
et al., 2017). Ketika vitamin B12 kekurangan, asam folat aktif juga kurang. Akibatnya,
reaksi intraseluler yang melibatkan koenzim bentuk asam folat terpengaruh. Jadi, tidak
hanya vitamin B12 tetapi juga folat defisiensi merusak sintesis DNA (Chang et
al., 2015). Karena banyak vitamin B12 disimpan di hati, dibutuhkan 5-10 tahun
untuk masalah klinis untuk bermanifestasi setelah penurunan asupan atau
penyerapan vitamin B12 (Shipton & Thachil, 2015)(Soffer et al., 2022).
Defisiensi folat, Asam folat terkandung dalam sayuran hijau dan produk
hewani, seperti hati. Tunjangan diet asam folat yang direkomendasikan untuk orang
dewasa adalah 240 g sehari, dan asupan sekitar 400 g setiap hari diperlukan
untuk ibu hamil atau menyusui. Asam folat diserap di jejunum atas baik secara
difusi pasif maupun aktif serapan. Defisiensi folat disebabkan oleh defisiensi nutrisi
(mis. pola makan yang buruk, alkoholisme), malabsorpsi (misalnya, penyakit celiac,
inflamasi) penyakit usus), peningkatan kebutuhan (misalnya, kehamilan,
menyusui, hemolisis kronis), atau obat-obatan (misalnya, metotreksat, trimetoprim,
fenitoin) (Malek & Sacher, 2021).
Sindroma myelodysplastic, MDS didefinisikan sebagai kelainan sel induk
hematopoietik klonal yang ditandai oleh sitopenia, myelodysplasia, hematopoiesis
yang tidak efektif, dan peningkatan risiko perkembangan menjadi leukemia myeloid
akut (AML). MDS adalah disebabkan oleh akuisisi bertahap mutasionkogenik
(Bastida et al., 2019).
Alkoholisme, adalah yang terkenal penyebab anemia makrositik. Kronis
konsumsi alkohol lebih dari 80 gram per hari memiliki efek samping efek pada sistem
hematologi. Bahkan sebelum anemia berkembang, sekitar 90% pecandu alkohol
memiliki makrositosis (MCV antara 100 dan 110 fL) (Moore & Adil, 2021; Kaur
et al., 2018).
Hipotiroidisme, Anemia yang berhubungandengan hipotiroidisme biasanya
normositik atau makrositik. Karena hormon tiroid merangsang produksi
eritropoietin dan mempengaruhi hematopoiesis, penurunan hormon tiroid produksi
dapat menyebabkan anemia (Moore & Adil, 2021)
2. Anemia Mikrositik
Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi
dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena
terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam
darah. (Khaidir, 2007)
Anemia Defisiensi Besi adalah :
• Asupan zat besi Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang
yang mengkonsumsi bahan makananan yang kurang beragam dengan menu
makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan dan sedikit daging, unggas,
ikan yang merupakan sumber zat besi. Gangguan defisiensi besi sering terjadi
karena susunan makanan yang salah baik jumlah maupun kualitasnya yang
disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, distribusi makanan yang
kurang baik, kebiasaan makan yang salah, kemiskinan dan ketidaktahuan.
(Khaidir, 2007)
• Penyerapan zat besi Diet yang kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat
besi dalam tubuh karena banyaknya zat besi yang diserap sangat tergantung dari
jenis zat besi dan bahan makanan yang dapat menghambat dan meningkatkan
penyerapan besi. Kebutuhan meningkat Kebutuhan akan zat besi akan
meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi, anakanak, remaja,
kehamilan dan menyusui. Kebutuhan zat besi juga meningkat pada kasus-kasus
pendarahan kronis yang disebabkan oleh parasit. (Khaidir, 2007)
Kehilangan zat besi Kehilangan zat besi melalui saluran pencernaan, kulit dan
urin disebut kehilangan zat besi basal. Pada wanita selain kehilangan zat besi
basal juga kehilangan zat besi melalui menstruasi. Di samping itu kehilangan
zat besi disebabkan pendarahan oleh infeksi cacing di dalam usus. (Khaidir,
2007)
Talasemia adalah penyakit resesif autosom, yang artinya berasal dari kedua
orang tua yang terdiagnosis atau pembawa penyakit untuk pewarisan ke generasi
berikutnya. Hal ini disebabkan oleh mutasi atau delesi gen Hb, yang mengakibatkan
produksi kurang atau tidak adanya rantai alfa atau beta. Ada lebih dari 200 mutasi yang
diidentifikasi sebagai penyebab talasemia. Talasemia beta disebabkan oleh mutasi titik
pada tempat sambungan dan daerah promotor gen beta-globin pada kromosom
11.(Faisal, dkk 2023)
3. Anemia Normositik
Anemia normositik terbagi menjadi anemia normositik hiperproliferatif dan anemia
normositik hipoproliferatif. Anemia normositik hiperproliferatif ditandai dengan
peningkatan hitung retikulosit (>2%), seperti yang terjadi pada anemia hemolitik dan
anemia karena kehilangan darah akut. Anemia normositik hipoproliferatif ditandai
dengan penurunan hitung retikulosit (>2%), terjadi pada anemia karena
aplasia/hipoplasia sumsum tulang dan anemia pada penyakit kronis (anemia of chronic
disease/ACD). (Mutiawati, 2018)

Anemia mikrositik hiperproliferatif, Penyebab tersering anemia normositik


hiperproliferatif adalah anemia hemolitik (dengan berbagai penyebab) dananemia
hemolitik mikroangiopati. Anemia Hemolitik adalah penghancuran
eritrosit/hemolisis pada bagian membran eritrosit sehinggaterjadi pelepasan
hemoglobin/Hb ke dalam sirkulasi darah. Proses hemolisis dapat terjadi secara
perlahan/lambat sebagai bagian dari proses fisiologis normal atau mungkin dapat terjadi
dengan sangat cepat pada keadaan patologis. Hemolisis pada anemia hemolitik
disebabkan umur eritrosit memendek akibat peningkatan kecepatan destruksi
eritrosit atau destruksi eritrosit lebih banyak/lebih tinggi dibandingkan jumlah
produksi eritrosit di sumsum tulang. Penghancuran eritrosit berasal dari berbagai
penyebab yang mendasarinya yaitu defek membranseperti yang terjadi pada defisiensi
glukosa 6 fosfatdehidrogenase/G6PD, hemoglobinopati seperti yangterjadi pada
penyakit sickle cel atau thalasemia beta, destruksi imun seperti yang terjadi pada
anemia hemolitik autoimun/AIHA atau reaksi transfusi hemolitik, dan destruksi
nonimun seperti destruksi karena adanya agen infeksi, bahan toksik/obatobatan
microangiopathic hemolytic anemia(MHA)dengan destruksi mekanik dari eritrosit,
terutama di dalam sumsum tulang tempat eritrosit berasal. Destruksi mekanik
disebabkan oleh banyak faktor penyebab yang berasal dari space-occupying lesion
seperti deposisi fibrin dalam mikrovaskularisasi pembuluh darah pada sumsum
tulang, fibrosis, keganasan (termasuk leukemia), limfoma, mielofibrosis, metastasis
kanker, katup jantung prostetik dan trauma panas pada luka bakar berat. Penyebab
lain MHA selain space-occupying lesion diantaranya adalah penyakit dengan deposisi
fibrin pada permukaan endotel mengakibatkan eritrosit yang baru disintesis terbelah
dan berfragmentasi (seperti yang terjadi padadisseminated
intravascularcoagulation/DIC). (Mutiawati, 2018)

Anemia Normositik Hipoproliferatif, Penyakit yang termasuk dalam kelompok


anemia normositik hipoproliferatif diantaranya adalah anemia aplastik, sindrom
mielodisplastik, dan anemia pada gagal ginjal. Penyebab anemia aplastik sebagian
besar (50-70%) tidak diketahui, atau bersifat idiopatik. Penyebab anemia aplastik
dibagi menjadi tipe primer (kongenital atau didapat) dan tipe sekunder sebagai berikut:
(Sutanegara, Rahmadhona, 2022)

1.Primer Kongenital: Anemia Fanconi Anemia Fanconi mempunyai pola pewarisan


resesif autosomal dan sering menyebabkan retardasi pertumbuhan dan defek kongenital
pada tulang (misal, mikrosefalus, tidak ada radius atau ibu jari), saluran ginjal (misal,
ginjal tapal kuda atau di pelvis), atau kulit (daerah-daerah hiper- dan hipopigmentasi).
Anemia aplastik didapat idiopatik Anemia aplastik idiopatik merupakan tipe anemia
aplastik yang paling sering ditemukan, paling sedikit dua pertiga dari kasus yang
didapat. Pada sebagian besar kasus, jaringan hemopoietik menjadi sasaran suatu proses
autoimun yang didominasi oleh ekspresi oligoklonal sel T CD8+ sitotoksik.
Hemopoiesis klonal dengan mutasi somatik gen seperti PIGA, ASXLI dan DNMT3A,
agaknya berasal dari seleksi pada sumsum yang gagal, dimana hal ini terjadi pada 50%
kasus. (Sutanegara, Rahmadhona, 2022)

2.Sekunder Radiasi pengion : pajanan tak sengaja (radioterapi, isotop radioaktif) Bahan
kimia :benzena, organofosfat dan pelarut organik lainnya, DDT dan pestisida lainnya,
obat rekreasional (ekstasi) Obat : obat yang umumnya menekan sumsum tulang (misal,
busulfan, melfalan, siklofosfamid, antrasiklin, nitrosourea), obat yang kadang atau
jarang menyebabkan depresi sumsum tulang. (Sutanegara, Rahmadhona, 2022)

Sedangkan penyebab anemia mielodisplastik dikategorikan sebagai kelainan


mieloproliferatif sumsum tulang berdasarkan klasifikasi dari WHO termasuk dalam
kelainan sel abnormal dari seri sel mieloid. Jumlah sel seri mieloid abnormal dalam
sumsum tulang harus <20% dari seluruh sel berinti yang terhitung dalam sumsum
tulang. (Mutiawati, 2018)

2.5 Epidemiologi Anemia


Prevalensi anemia global tahun 2010 sebesar 32,9%, yaitu, lebih dari 2,2 miliar orang
memiliki kondisi anemia di dunia. World Health Organization (WHO) mendefinisikan
anemia sebagai jumlah hemoglobin (Hb) dari kurang dari 13 g/L pada pria, kurang dari 12
g/L pada wanita tidak hamil, dan kurang dari 11 g/L pada wanita hamil dan orang tua
(Nagao & Hirokawa, 2017). Tingginya angka anemia di dunia dikarenakan sulitnya
mengindentifikasi secara pasti jenis anemia apa yang dialami pasien menyebabkan
kesulitan dalam hal penanganan yang tepat terhadap kondisi spesifik pasien. Ditambah
juga pada pasien dewasa penyebab anemia juga bisa cukup rumit karena mereka memiliki
komorbid khas yang berbeda pada setiap pasien (Moore & Adil, 2021; Nagao & Hirokawa,
2017).

Prevalensi pasien dengan kondisi anemia di dunia ditemukan makrositosis pada 2% -


4% pasien. Pada sebuah studi dari 1784 orang dewasa tua yang tinggal di rumah ditemukan
memiliki kondisi makrositosis yaitu 6,3% pada pria dan 3,3% pada Wanita (Cascio &
DeLoughery, 2017). Penyebab anemia makrositosis pada orang dewasa tua lebih rumit
karena mereka sering memiliki beberapa komorbiditas. Studi kasus, keganasan hematologi
dan defisiensi besi anemia menyumbang 22% dan 12% etiologi dari pasien dewasa tua
dengan anemia, dan 35% lainnya masih belum diketahui etiologinya (Teixeira et al., 2022).
Jenis anemia yang paling banyak diderita oleh responden dalam studi anemia
mikrositik hipokrom, dengan persentase sebesar 53,8%kemudian diikuti anemia
normositik normokrom dengan persentase 32%. Hasil ini sejalan dengan studiRawat di
India dan Wirahartari di Indonesia, yang juga mendapati bahwa jenis anemia
yang paling banyak diderita ibu hamil adalah anemia mikrositik hipokrom dengan
persentase sekitar50%, kemudian diikuti oleh anemia normositik normokrom sebagai
jenis anemia terbanyak kedua. Dari seluruh penelitian yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa penyebab utama anemia pada ibu hamil adalah defisiensi
zat besi.(Valentina, Ludong 2021)

2.6 Patofisiologi Anemia


❖ Anemia Makrositik
Anemia makrositik terjadi ketika sum sum tulang belakang memproduksi sel darah
merah yang lebih besar dari biasanya, ini bisa terjadi karena berbagai macam faktor
pada tubuh, salah satunya adalah karena adanya defisiensi terhadap beberapa zat
penting pada tubuh semisal pada defisiensi vitamin B12 dan folat (Torrez et al., 2022).
Folat dan vitamin B12 diperlukan untuk sintesis asam nukleat sel darah merah. Tanpa
DNA atau RNA, eritropoiesis tidak efektif dengan asinkroni inti/sitoplasma,
menghasilkan prekursor eritrogenik yang lebih besar dengan inti abnormal (misalnya
hipersegmentasi) tetapi sitoplasma normal (Stabler, 2013).
Anemia yang terjadi dengan adanya makrositosis dan neutrofil hipersegmentasi
dikenal sebagai anemia megaloblastik. Tidak adanya neutrofil hipersegmentasi
mencirikan anemia nonmegaloblastik. Hal ini terjadi dari mekanisme yang dibahas
sebelumnya: kelainan yang melibatkan membran sel darah merah, kelebihan prekursor
eritrositik, peningkatan volume sel, atau toksisitas sel darah merah (Moore & Adil,
2021).
Anemia megaloblastik, terjadi karena adanya eritropoiesis yang tidak efektif
akibat apoptosis intramedullary dari prekursor sel hematopoietik, yang dihasilkan dari
kelainan sintesis DNA. Kekurangan vitamin B12 dan folat dapat menyebabkan sintesis
DNA yang rusak. Selanjutnya, nukleus dan sitoplasma tidak matang secara bersamaan
(Yang et al., 2018).
Sitoplasma (di mana sintesis hemoglobin tidak berubah) matang pada tingkat
normal, dan nukleus (dengan gangguan sintesis DNA) tidak sepenuhnya matang. Sel-
sel berhenti pada fase sintesis DNA (S) dan membuat kesalahan replikasi DNA, yang
pada akhirnya menyebabkan kematian sel apoptosis (Malek & Sacher, 2021). Peran
utama folat adalah untuk menyumbangkan gugus metil dalam sintesis DNA. Vitamin
B12 adalah kofaktor dalam reaksi yang mendaur ulang 5-metil-tetrahidrofolat kembali
menjadi tetrahidrofolat (THF) (Socha et al., 2020).
Generasi THF digabungkan dengan konversi homosistein menjadi metionin.
Kekurangan vitamin B12 menyebabkan folat terperangkap dalam bentuk 5-metil-THF,
dan juga menyebabkan kekurangan metionin. Sumbangan gugus metil atau jalur
"metabolisme satu karbon" sangat penting untuk sintesis DNA (Green, 2017). Sintesis
DNA yang berubah, hematopoiesis terganggu karena sel-sel prekursor hematopoietik
dengan cepat membelah sel. Sebagaimana dinyatakan di atas, defisiensi ini
menyebabkan terhentinya pembelahan inti tanpa perubahan signifikan dalam siklus
pematangan sitoplasma (Moore & Adil, 2021).
Sel-sel prekursor berinti di sumsum tulang mengembangkan inti yang belum
matang atau secara morfologis abnormal dan metamielosit raksasa, dengan sel darah
merah makrositik dan neutrofil hipersegmentasi pada apusan darah tepi. Defisiensi
yang berkepanjangan menyebabkan hemolisis intramedulla dari sel-sel prekursor
eritropoietik yang sedang berkembang di sumsum tulang (Stabler, 2013).
❖ Anemia Mikrositik
Patofisiologi dari anemia deficiency besi dimulai dari perdarahan menahun yang
menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi
tubuh sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan
ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted
state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi
besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila
kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali,
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada
bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai
iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah
peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit.
Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity
= TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila
penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga
kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik,
disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia). Pada saat ini juga
terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan
gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gelaja lainnya (Silbernagl, S,
Lang, F, 2018).
Patofisiologi yang mendasari antara jenis thalassemia hampir sama, ditandai
dengan penurunan produksi hemoglobin dan sel darah merah (RBC), adanya kelebihan
rantai globin yang tidak efektif, akan menyebabkan bentuk homotetramers yang tidak
stabil. Alfa homotetramers pada β-thalasemia lebih tidak stabil daripada β-
homotetramers di α-talasemia dan sebelumnya akan terbentuk presipitasi pada RBC,
menyebabkan kerusakan sel darah merah dan hemolisis yang berat oleh karena
eritropoesis yang tidak efektif serta hemolisis ekstramedular. Pada β-thalassemia
patofisiologinya berdasarkan karena berkurang atau hilangnya rantai globin-β yang
akan mengakibatkan berlebihnya rantai-α. Maka akan terjadi penurunan produksi
hemoglobin dan ketidak seimbangan rantai globin. Ini akan mengarah pada penurunan
dari volume hemoglobin (MCH) dan volume eritrosit (MCV). Pada thalassemia-β yang
berat, eritropoesis yang tidak efektif terjadi di sumsum tulang akan meluas ke tulang-
tulang normal dan menyebabkan distorsi dari tengkorak kepala, tulang wajah dan tulang
panjang. Aktivitas proliferasi eritroid di ekstramedular, akan menyebabkan
limfadenopati, hepatosplenomegali, dan pada beberapa kasus terjadi tumor
ekstramedular. Tidak efektifnya eritropoesis yang berat pada anemia kronis dan
hipoksia dapat menyebabkan peningkatan absorbsi besi pada saluran pencernaan.
Penderita thalassemia homozigot atau pun thalassemiaβ heterozygot akan meninggal
pada usia 5 tahun karena anemia yang berat. Namun transfusi menyebabkan
penumpukan besi yang progressif oleh karena ekskresi yang tidak baik. (Rojas, wahid
2020)
❖ Anemia Normositik
Pada anemia normositik normokrom (anemia pasca-perdarahan) disebabkan
oleh perdarahan yang terjadi secara tiba-tiba yang membuat cadangan besi semakin
berkurang. Kadar darah dan besi yang berkurang ini akan membuat darah muda
(retikulosit) yang belum matur ini terpaksa keluar dari sumsum tulang dan masuk ke
pembuluh darah. Retikulosit ini merupakan darah muda yang mudah lisis sehingga
dapat mengalami anemia (Silbernagl, S, Lang, F, 2018).
Anemia Hemolitik dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini
tergantung pada patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular,
destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik,
fiksasi komplemen dan aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung
mendegradasi dan mendestruksi membrane sel eritrosit.Hemolisis intravaskular jarang
terjadi. Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisisi
ektravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel
eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofog (Silbernagl,
S, Lang, F, 2018).
Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel darah yang berlebihan oleh
limpa. Hal ini terjadi ketika ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun
jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan ini meningkatkan peran fungsi
penyaring , sehingga sel darah normal pun akan mengalami perlambatan serta proses
penghancuran semtara. Walaupun proses penghancuran granulosit dan 18 trombosit
menyebabakan neutropenia dan trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut dapat
beradaptasi dengan perlambatan proses penyimpanan di limpa. Berbeda dengan sel
darah merah yang terperangkap aakan mengalami penghancuran menyebabkan
terjadinya anemia hemolitik (Silbernagl, S, Lang, F, 2018).
Infeksi Mikrooganisme memiliki mekanisme yang bermacam-macam saat
menginfeksi eritrosit menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Ada yang secara
langsung menyerang eritrosit seperti pada malaria, babesiosis dan bartonellosis.
Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Clostridiumperfringens, pembentukan
antibodi atau otoantibodi terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen mikroba
atau reaksi kompleks imun pada eritrosit. Pada infeksi malaria, derajat anemia yang
terjadi tidak sesuai dengan rasio jumlah sel yang terinfeksi , namun penyebabnya masih
belum jelas. Fragilitas osmotik pada sel yang tidak terinfeksi mengalami peningkatan,
penghancuran eritrosit pada infeksi malaria disebabkan lisisnya eritrosit akibat infeksi
langsung, peningkatan proses penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan
proses otoimun. Namun tidak terjadi satupun mekanisme di atas yang dapat
menjelaskan terjadinya anemia berat padaa malaria. Proses penghancuran sel darah
merah sebagian besar berlangsung di limpa. Splenopmegali merupakan gejalayang
sering dijumpai pada infeksi malaria kronik (Silbernagl, S, Lang, F, 2018)

2.7 Tata Laksana Anemia


Farmakologi Setelah diagnosis maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap
anemia defisiensi besi dapat berupa terapi kausal tergantung penyebab, misalnya;
pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi 25
kausal harus dilakukan kalau tidak maka anemia akan kambuh Kembali (Fitriany, J., &
Saputri, A. I., 2018), (Saraswati, dkk., 2021).

Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacemen theraphy). Terapi besi per oral: merupakan obat piliham pertama (efektif,
murah, dan aman). Preparat yang tersedia, yakni ferrosus sulphat (sulfas fenosus). Dosis
anjuran 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas fenosus mengandung 66 mg besi elemental.
Pemberian sulfas fenosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorpsi besi 50 mg/hari dapat
meningkatkan eritropoesis 2-3 kali normal. Preparat yang lain: ferrosus gluconate, ferrosus
fumarat, ferrosus lactate, dan ferrosus succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi
efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas fenosus (Fitriany, J., & Saputri,
A. I., 2018), (Saraswati, dkk., 2021).

Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi efek samping lebih berbahaya, dan lebih
mahal. Indikasi dari terapi ini adalah keadaan dimana kehilangan darah yang banyak
sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral. Kebutuhan besi yang besar
dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trisemester tiga atau sebelum operasi
Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal
kronik atau anemia akibat penyakit kronik. Preparat yang tersedia: iron dextran complex
(mengandung 50 mg besi/ml) iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah
iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parental dapat diberikan
secara intrauskular dalam atau intravena. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi
anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop. Terapi
besi parental bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar
500 sampai 1000 mg. Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa
kali pemberian (Fitriany, J., & Saputri, A. I., 2018).

Pengobatan lain berupa Diet (sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi
protein terutama yang berasal dari protein hewani). Dapat juga diberikan Vitamin C 3x100
mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi. Dapat juga melakukan Transfusi darah. anemia
defisiensi besi jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada
anemia defisiensi besi adalah adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah
jantung, Anemia yang sangat simpomatik, 26 misalnya anemia dengan gejala pusing yang
sangat menyolok, Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti
pada kehamilan trisemester akhir atau preoperasi (Fitriany, J., & Saputri, A. I., 2018),
(Saraswati, dkk., 2021).

Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang penderita dinyatakan memberikan


respon baik bila Retikulosit naik pada minggu pertama, menjadi normal setelah hari 10-14
diikuti kenaikan Hb 0,15 g/hari. Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu
(Fitriany, J., & Saputri, A. I., 2018).

Jika respon terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan :

• Dosis besi kurang


• Masih ada pendarahan cukup banyak
• Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum
• Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, peradangan menahun, atau
pada saat yang sama ada defisiensi asam folat.
• Diagnosis defisiensi besi salah (Fitriany, J., & Saputri, A. I., 2018), (Saraswati,
dkk., 2021).

Non-Farmakologi Pada terapi anemia non-farmakologi, pasien perlu mencukupkan


asupan nutrisi Fe atau zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Nutrisi tersebut dapat dengan
mudah ditemukan pada sayur-sayuran hijau, ikan laut, dan ungags (Fitriany, J., & Saputri,
A. I., 2018).

2.8 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Anemia


PEMERIKSAAN FISIK
Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau multisistem dan untuk
menilai beratnya kondisi penderita. Pemeriksaan fisik perlu memperhatikan:

➢ adanya takikardia, dispnea, hipotensi postural.


➢ pucat: sensitivitas dan spesii sitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku, wajah
ataukonjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi antara 19-70% dan 70-100%.
➢ ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus sering sulit
dideteksi di ruangan dengan cahaya lampu artii sial. Pada penelitian 62 tenaga medis,
ikterus ditemukan pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68%
penderita dengan bilirubin 3,1 mg/dL. (Oehadin, 2012)
➢ penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies rodent/chipmunk) pada talasemia.
➢ lidah licin (atroi papil) pada anemia dei siensi Fe.
➢ limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum); nyeri tulang
dapat disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit ini ltratif (seperti pada
leukemia mielositik kronik), lesi litik ( pada mieloma multipel atau metastasis kanker).
➢ petekhie, ekimosis, dan perdarahan lain.
➢ kuku rapuh, cekung (spoon nail) pada anemia dei siensi Fe.
➢ Ulkus rekuren di kaki (penyakit sickle cell, sferositosis herediter, anemia sideroblastik
familial).
➢ Infeksi rekuren karena neutropenia atau dei siensi imun. (Oehadin, 2012)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Complete blood count (CBC)


CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, ukuran
eritrosit, dan hitung jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium, pemeriksaan
trombosit, hitung jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam permintaan
pemeriksaan (tidak rutin diperiksa). Pada banyak automated blood counter, didapatkan
parameter RDW yang menggambarkan variasi ukuran sel. (Oehadin, 2012)
2. Pemeriksaan morfologi apusan darah tepi Apusan darah tepi harus dievaluasi de-ngan
baik. Beberapa kelainan darah tidak dapat dideteksi dengan automated blood counter.
1 Sel darah merah berinti (normoblas) Pada keadaan normal, normoblas tidak
ditemukan dalam sirkulasi. Normoblas dapat ditemukan pada penderita dengan
kelainan hematologis (penyakit sickle cell, talasemia, anemia hemolitik lain) atau
merupakan bagian dari gambaran lekoeritroblastik pada pende-rita dengan bone
marrow replacement. Pada penderita tanpa kelainan hematologis sebe-lumnya, adanya
normoblas dapat menunjukkan adanya penyakit yang mengancam jiwa, seperti sepsis
atau gagal jantung berat. Hipersegmentasi neutroi l Hipersegmentasi neutroi l
merupakan abnormalitas yang ditandai dengan lebih dari 5% neutroi l berlobus >5
dan/atau 1 atau lebih neutroi l berlobus >6. Adanya hipersegmentasi neutroi l dengan
gambaran makrositik berhubungan dengan gangguan sintesis DNA (dei siensi vitamin
B12 dan asam folat). (Oehadin, 2012)
3. Hitung retikulosit Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat
berupa persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit
absolut terkoreksi, atau reticulocyte production index. Produksi sel darah merah efektif
merupakan proses dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan dengan jumlah yang
diproduksi pada penderita tanpa anemia. Jumlah leukosit dan hitung jenis Adanya
leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau ini ltrasi sumsum
tulang, hipersplenisme atau dei siensi B12 atau asam folat. Adanya leukositosis dapat
menunjukkan adanya infeksi, inl amasi atau keganasan hematologi. (Oehadin, 2012)
4. Jumlah trombosit Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi penting
untuk diagnostik. Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan yang
berhubungan dengan anemia, misalnya hipersplenisme, keterlibatan keganasan pada
sumsum tulang, destruksi trombosit autoimun (idiopatik atau karena obat), sepsis, dei
siensi folat atau B12. Peningkatan jumlah trombosit dapat ditemukan pada penyakit
mieloproliferatif, dei siensi Fe, inl amasi, infeksi atau keganasan. Perubahan morfologi
trombosit (trombosit raksasa, trombosit degranulasi) dapat ditemukan pada penyakit
mieloproliferatif atau mielodisplasia. (Oehadin, 2012)
5. Pansitopenia Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan
netropenia. Pansitopenia berat dapat ditemukan pada anemia aplastik, dei siensi folat,
vitamin B12, atau keganasan hematologis (leukemia akut). Pansitopenia ringan dapat
ditemukan pada penderita dengan splenomegali dan splenic trapping sel-sel
hematologis. (Oehadin, 2012)
6. Evaluasi kadar hemoglobin dan hematokrit secara serial dapat membantu diagnostik.
(Oehadin, 2012)
BAB III

KESIMPULAN
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah merah:
konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut kriteria WHO
anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita.
Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue, gejala dan
tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in the ears). Pada
anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam jiwa
(gagal jantung, angina, aritmia dan/ atau infark miokard). Anemia berdasarkan morfolaoginya
terbagi dalam 3 kelompok yaitu anemia makrositik yang terdiri dari anemia defisiensi folat dan
B12 dan juga anemia megaloblastik, Anemia Mikrositik yang terdiri dari Anemia Defisiensi
zat besi dan talasemia, serta Anemia Normositik yang terdiri dari anemia yang hiperproliferatif
yang menyebabkan anemia hemolitik dan anemia hipoproliferatif yang terdiri dari anemia
anaplastic, mielofsitik. Anemia pada umumnya memiliki gejala umum seperti lemah, letih,
lesu, Lelah, dan lunglai yang disingkat dengan 5L. gejala lainnya berupa kulit Nampak pucat
serta mata yang berkunang-kunang. Gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah koilokia,
atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, dan PICA. Pemeriksaan penunjang dari anemia
adalah pemeriksaan laboratorium hematologi yang terbagi menjadi hematologi darah rutin dan
hematologi darah lengkap. Pemeriksaan laboratorium hematologi darah rutin tersusun atas
hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit, trombosit, dan indeks eritrosit. Untuk hematologi
darah lengkap terdiri dari 3, yakni pemeriksaan darah rutin, hitung jenis leukosit, dan morfologi
sel
DAFTAR PUSTAKA

Bastida, J. M., dkk. (2019). Hidden myelodysplastic syndrome (MDS): A prospective study to
confirm or exclude MDS in patients with anemia of uncertain etiology. International
Journal of Laboratory Hematology, 41(1), 109–117. DOI:
https://doi.org/10.1111/ijlh.12933

Oehadian, A. (2012). Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing Medical


Education, 39(6), 407–412

Sherwood, L.Z., (2019). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi: 9. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Tortora, & Gerard, J. ( 2016). Dasar Anatomi & Fisiologi. Volume 2 Edisi 13. Jakarta:
PenerbitBuku Kedokteran : EGC.

Barret, Kim E. et.al. (2015) . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ganong. (Ganong’s Review of

Medical Physiology). Edisi 24. EGC.

Socha, D. S., DeSouza, S. I., Flagg, A., Sekeres, M., & Rogers, H. J. (2020). Severe
megaloblastic anemia: Vitamin deficiency and other causes. Cleveland Clinic Journal
of Medicine, 87(3), 153–164. DOI: https://doi.org/10.3949/ccjm.87a.19072

Moore, C. A., & Adil, A. (2021). Macrocytic Anemia. StatPearls. URL:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NB K459295/

Nagao, T., & Hirokawa, M. (2017). Diagnosis and treatment of macrocytic anemias in adults.
Journal of General and Family Medicine, 18(5), 200–204. DOI:
https://doi.org/10.1002/jgf2.31

Shipton, M. J., & Thachil, J. (2015). Vitamin B12 deficiency - A 21st century perspective.
Clinical Medicine, Journal of the Royal College of Physicians of London, 15(2), 145–
150. DOI: https://doi.org/10.7861/clinmedicine.15- 2-145

Soffer, S., Efros, O., Levin, M. A., Freeman, R., Zimlichman, E., Reich, D. L., & Klang, E.
(2022). Low Frequency of Folate and Vitamin B12 Deficiency in Patients with Marked
Macrocytic Anemia. Journal of General Internal Medicine, 37(13), 3504– 3505. DOI:
https://doi.org/10.1007/s11606-022- 07451-2
Kaur, N., Nair, V., Sharma, S., Dudeja, P., & Puri, P. (2018). A descriptive study of clinico-
hematological profile of megaloblastic anemia in a tertiary care hospital. Medical
Journal Armed Forces India, 74(4), 365–370. DOI:
https://doi.org/10.1016/j.mjafi.2017.11.00 5

Malek, E., & Sacher, R. A. (2021). Megaloblastic Anemia. Pathobiology of Human Disease:
A Dynamic Encyclopedia of Disease Mechanisms, 1499–1505. DOI:
https://doi.org/10.1016/B978-0-12- 386456-7.07905-3

Stabler, S. P. (2013). Clinical practice. Vitamin B12 deficiency. The New England Journal of
Medicine, 368(2), 149–160. DOI: https://doi.org/10.1056/NEJMcp1113996

Teixeira, A. M., Macedo, B., Fontes, C. P., & Manuel, M. (2022). Macrocytic Anaemia: Not
Always a Straightforward Diagnosis. Cureus, 14(3), 12–15. DOI:
https://doi.org/10.7759/cureus.23152

Yang, J., Yan, B., Yang, L., Li, H., Fan, Y., Zhu, F., Zheng, J., & Ma, X. (2018). Macrocytic
anemia is associated with the severity of liver impairment in patients with hepatitis B
virus-related decompensated cirrhosis: A retrospective cross-sectional study. BMC
Gastroenterology, 18(1), 1–7. DOI: https://doi.org/10.1186/s12876-018-0893-9

Silbernagl, S, Lang, F (2018). Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi, EGC, Jakarta

Saraswati, P. P. T., Lestari, A. A. W., & Herawati, S. (2021). Gambaran Kasus Penyakit Ginjal
Kronik Dengan Anemia Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Tahun 2018 Dan 2019.
E-Jurnal Medika Udayana, 10(11), 7-11.

Fitriany, J., & Saputri, A. I. (2018). Anemia defisiensi besi. AVERROUS: Jurnal Kedokteran
dan Kesehatan Malikussaleh, 4(2), 1-14.

Sutanegara K D P. Rahmadhona D(2022) Anemia Aplastik: Dari Awitan Hingga Tata Laksana.
Jurnal Kedokteran Unram. Mataram. Indonesia

Mutiawati V K(2018) Aspek Laboratorium Pada Anemia Normositik Hiperproliferatif dan


Hipoproliferatif. Jurnal kedokteran Nanggroe Medika. Banda Aceh. Indonesia

Khaidir M(2007) Anemia Defisiensi Besi. Andalas Journal Of Public Health. Sumatera.
Indonesia
Valentina E A. Ludong M(2021) Gambaran Jenis Anemia Ibu Hamil Multipara di RS Citra
Medika Sidoarjo Periode 2016-2020. Taruma Negara Medical Journal. Jakarta.
Indonesia

Rojas B. Wahid I(2020) Terapi Transfusi Darah Leukodepleted Pada Pasien Thalassemia.
Jurnal Human Care Universitas Andalas. Sumatra. Indonesia

Anda mungkin juga menyukai