I. PENDAHULUAN
Keselamatan berasal dari kata dasar selamat, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti terbebas dari bahaya, malapetaka, bencana; terhindar dari bahaya, malapetaka; bencana;
tidak kurang suatu apa; tidak mendapat gangguan; kerusakan, dan sebagainya; sehat; tercapai
maksud; tidak gagal; doa (ucapan, pernyataan, dan sebagainya) yang mengandung harapan
supaya sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa, dan sebagainya); pemberian salam mudah-
mudahan dalam keadaan baik (sejahtera, sehat dan afiat, dan sebagainya). Sementara
keselamatan berarti perihal (keadaan dan sebagainya) selamat; kesejahteraan; kebahagiaan dan
sebagainya.1
Hubungan pribadi antara manusia dan Penciptanya pada dasarnya didasarkan pada gagasan
keselamatan. Keselamatan adalah konsep religius, dan setiap agama memasukkan doktrin
keselamatan, soteriologi, bahkan hingga Buddhisme, yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. 2
Max Weber, seseorang yang berusaha mengkaji agama berdasarkan orientasi tindakan-
artinya melihat sejauh mana kontribusi suatu agama dalam proses pembentukan lingkungan
suatu tindakan sosial dan pengaruhnya terhadap kebudayaan secara umum- melihat bahwa
agama adalah sesuatu yang berbicara tentang "kondisi dan efek dari semacam aksi sosial."
Sehingga, secara umum agama menjadi representasi dari sesuatu yang membentuk minat atau
ketertarikan dalam bidang tertentu, dalam hal ini minat terhadap keselamatan. Dalam berjalannya
perkembangan sosial dan budaya, agama turut merubah definisi dari "keselamatan" bersama
dengan cara dan cara mencapai tujuan keselamatan. Dalam masyarakat "primitif", kepentingan
keselamatan dipahami dengan cara yang murni tidak manusiawi, duniawi ini. Karena tujuannya
— bahwa "supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi" (Efesus 6:3)—seringkali
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring “Selamat”, Arti kata selamat - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online,
diakses pada 25 Februari 2021, 17.00 WIB.
2
William F. Vallicella , Three Concepts of Salvation: Physical, Mystical, And Religious, 2007.
1
tidak dapat dicapai sendiri, dan memerlukan bantuan kekuatan yang luar biasa. Tetapi yang dapat
memperoleh bantuan kekuatan ini hanyalah orang-orang tertentu, mereka yang terpilih karena
melakukan suatu hal, misalnya meditasi.3
Di sinilah tampak perbedaan konsep keselamatan dalam agama dari bidang lain, yaitu agama
membuat atau menentukan jalan-jalan tertentu untuk sampai pada keselamatan itu Menurut
Weber, dalam pengembangan "agama keselamatan" dan penolakan mereka terhadap "dunia",
kepentingan religius khusus dirumuskan dan dilembagakan, yaitu tujuan diselamatkan dari dunia
yang mungkin bertentangan dengan kepentingan sehari-hari.4
II. PEMBAHASAN
3
Martin Riesebrodt, The Promise of Salvation: a Theory of Religion¸ (Chicago: The University of Chicago Press,
2009), 65.
4
Martin Riesebrodt, The Promise of Salvation…, 66.
5
Harold Coward, Sin and Salvation in the World Religion, (London: Oneworld Publication, 2003),
6
.A. J. Arberry, The Koran Interpreted (NY: MacMillan, 1976), hal. 93, 220, 344
2
A. Keselamatan dalam Jainisme
Jainisme merupakan agama keselamatan ("Erlösungsreligion") yang muncul di India
Utara sekitar abad ke-6 sM. Dalam Jainisme seperti dalam Buddhisme, seluruh sistem
didasarkan pada gagasan kelahiran kembali dan transmigrasi. Jainisme dan Buddha sama-sama
menolak otoritas kesakralan Weda, reaksi terhadap ekstremitas praktik-praktik keagamaan Hindu
seperti sistem kasta, upacara korban, pemujaan dewa dan otoritas kaum brahmana. Jainisme
berpegang pada latihan rohani yang melelahkan dan kontrol yang sulit. Intinya adalah tidak
peduli pada kenikmatan dan penderitaan, dengan cara menjalani hidup dalam kesengsaraan dan
kekerasan, atau bisa juga dengan menjadi seorang rahib (pendeta), tetapi bukan brahma. 7
Istilah Jain berasal dari kata jina dalam bahasa Sansekerta yang berarti pemenang atau
yang mengalahkan. Artinya orang-orang beragama Jain adalah mereka yang berhasil
mengalahkan atau mengatasi kungkungan atau belenggu penyakit dan penderitaan dalam
kehidupan. Agama Jain dianggap berasal dari Maha Penakluk (Maha Jaina) yang menjelma di
bumi untuk membimbing manusia. Penjelmaan pertama (penakluk pertama) bernama Adinath,
dan yang terakhir bernama Vardhamana yang dipanggil Mahavira. Mahavira kemudian lebih
dikenal sebagai Nabi Jainisme.8
Pada dasarnya, agama Jain tidak mengakui adanya Tuhan Pencipta sebagai sesuatu yang
absolut dan impersonal maupun personal, tetapi mereka mengakui adanya sesuatu yang di luar
waktu, yang terdapat dalam semua jiwa manusia- sesuatu yang oleh kaum Buddhis dibiarkan
tidak terdefinisikan- yang disebut sebagai atom monade. Akan tetapi mereka menolak dicap
sebagai Ateis. Dunia Jainisme penuh dengan dewa dalam setiap deskripsi, tetapi dewa-dewa ini
tidak ikut campur dalam kehidupan manusia - baik sebagai asisten dengan masalah duniawi
maupun sebagai bantuan untuk keselamatan. Meskipun konsep keselamatan tidak sebut secara
eksplisit dalam agama Jain, mereka memiliki konsep yang hampir mirip mengenai tujuan hidup,
yaitu mencapai kehidupan yang sempurna, memperoleh pengetahuan tentang pencerahan dan
moksa.9
Teks Jaina lebih jauh menekankan bahwa, dalam pencarian keselamatan, manusia
dilemparkan ke atas dirinya sendiri. Artinya, manusia itu sendiri yang mengusahakan agar
dirinya bisa beroleh kesempurnaan dalam hidup. Proses dalam menuju kesempurnaan ini adalah
sebuah perjalanan panjang. Perjalanannya panjang namun tidak ada pilihan lain. Manusia harus
berusaha meloloskan diri dari dunia. Ini adalah jiwa kita (atman di dalam), yang berada dalam
perjalanan kosmik dan setiap manusia harus menawar dengan pilihannya sendiri. Kapan pun ego
manusia mendorong seseorang untuk berbeda dengan pilihan jiwa kita (atman di dalam), itu
adalah serangkaian stres dan ketegangan terutama di dalam diri yang harus dilalui seseorang.
Untuk menghindari melewati tahap stres dan ketegangan yang tidak sehat, setiap manusia harus
mematuhi keinginan jiwa kita (atman di dalam). 10
7
Siti Nadroh, Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor, (Jakarta: Kencana, 2015), 121.
8
Siti Nadroh, Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor…, 122.
9
Siti Nadroh, Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor…, 131-137.
3
Pada dasarnya keselamatan merupakan akhir dari perjalanan kosmis atman jiwa di dalam
tubuh kita. Itu adalah puncak dari kehidupan itu sendiri karena di luar keselamatan tidak ada lagi
yang bisa dilakukan oleh jiwa atman. Tidak ada manifestasi lebih lanjut yang membebaskan jiwa
atman selamanya dari siklus kelahiran dan kematian. Keselamatan dicapai setelah mencapai
Pencerahan. Setelah mencapai tahap keselamatan tidak ada tempat lain yang bisa dituju atman
jiwa di dalam kecuali ke kediaman Tuhan – yang dalam agama Kristen disebut sebagai Kerajaan
Allah.11
Menurut Jainisme, moksa atau pembebasan hanya bisa dicapai dalam kelahiran manusia.
Bahkan setengah dewa dan makhluk surgawi harus menjelma kembali sebagai manusia dan
mempraktikkan keyakinan, pengetahuan, dan perilaku yang benar untuk mencapai pembebasan.
Menurut Jainisme, kelahiran sebagai manusia sangat langka dan tidak ternilai harganya, oleh
karena itu manusia harus membuat pilihan dengan bijak. Artinya, untuk mencapai moksa,
manusia harus menemukan kembali hakikatnya, sebagai kesadaran murni, pengetahuan yang
tidak terbatas, kekuatan yang tidak terbatas, dan kebahagiaan. Orang yang mencapai moksa
contohnya adalah para Thirtankara. Mereka menunjukkan beberapa ciri-ciri (kualitas) seperti:12
- Mampu mencegah kelaparan dalam daerah seluas 800 mil
- Menghancurkan semua dorongan yang bersifat merusak di dalam diri orang-orang
sekitarnya
- Dapat hidup tanpa makan
- Matanya senantiasa terbuka dan kelopak matanya tidak tertutup.
Dan beberapa ciri lain.
Selain kualitas seperti para Thirtankara, ada beberapa kualitas lain yang bisa diperoleh
setiap orang yang berusaha mencapai moksa, yaitu – persepsi yang tidak terbatas, - pengetahuan
yang tidak terbatas, - kekuatan yang tidak terbatas, - kebahagiaan yang tidak terbatas. Dan
kesempurnaan jiwa seperti ini bisa dicapai semasa hidup maupun setelah mati.
10
Vijay Kumar Jain(2005), Human Evolution Timeline Chart http://searchwarp.com/swa22083.htm diakses pada 25
Februari 2021 pukul 19.30 WIB
11
Varni, Jinendra; Ed. Prof. Sagarmal Jain, Translated Justice T.K. Tukol and Dr. K.K. Dixit, Sama Sutta . New Delhi:
Bhagwan Mahavir memorial Samiti , 1993.
12
Siti Nadroh, Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor…, 138-139.
4
Dalam agama Kristen, keselamatan dipahami dengan berbagai cara. Salah satu konsepsi
yang menonjol menekankan pembenaran - proses di mana individu, yang terasing dari Allah oleh
dosa, didamaikan dengan Allah dan diperhitungkan sebagai adil atau benar melalui iman di
dalam Kristus. Dalam bentuk-bentuk tertentu dari Hinduisme dan Buddha, misalnya,
keselamatan dipahami sebagai pembebasan dari rasa sakit yang tak terelakkan atas keberadaan
waktu melalui disiplin agama yang pada akhirnya mencapai keadaan keberadaan yang tidak
ditentukan oleh persepsi dan bentuk pemikiran yang terikat waktu. 13
Soteriologi adalah doktrin atau pengajaran tentang keselamatan yag dilakukan Allah dan
melalui Yesus Kristus. Disebut rencana keselamatan karena segala sesuatu yang berkaitan
dengan karya keselamatan suudah dirancang bahkan ditetapkan oleh Allah jauh sebelum manusia
diciptakan. Penerapan keselamatan karena rencana dan ketetapan Allah direalisasikan melalui
pengurbanan Yesus di salib, yakni penebusan orang-orang berdosa (1 Ptr 1:18-19). Penerapan
keselamatan ini direalisasikan melalui panggilan efektif orang-orang berdosa untuk menerima
anugerah keselamatan, sebagaimana Yesus dalam Amanat AgungNya dalam Matius 28:19-20.14
Umat Katolik Roma percaya bahwa "Manusia membutuhkan keselamatan dari Tuhan,"
dan "pertolongan Ilahi datang kepadanya di dalam Kristus melalui hukum yang membimbingnya
dan kasih karunia yang menopangnya." Demi keselamatan kita itulah "Allah mengasihi kita dan
mengutus Putranya untuk menjadi penebusan dosa-dosa kita; Bapa telah mengutus Putranya
sebagai Juruselamat dunia, dan Ia dinyatakan untuk menanggung dosa."
5
perenungan, dan peneguhan pengetahuan yang tertanam secara mendalam di dalam substansi
keberadaan kita.17 Dalam Al Qur'an, Tuhan (Allah dalam bahasa Arab), menyatakan (2:62):
Sesungguhnya mereka yang beriman, mereka yang Yahudi, Kristen, dan Sabian; siapa pun yang
(1) percaya kepada Tuhan, dan (2) percaya pada Hari Akhir, dan (3) menjalani hidup yang benar,
akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Mereka tidak perlu takut, juga tidak akan berduka.
Ada tiga kata kunci penting yang bermakna keselamatan dalam Islam, yakni An-Najah,
As-salam dan Inqaz. Konsep keselamatan yang khusus menunjuk pada konsep keselamatan
(Salvation) di akhirat adalah terma an-Najah yang di artikan sebagai jalan keselamatan yang
akan diperoleh oleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan berbuat kebajikan, Sedangkan
konsep keselamatan yang terkandung dalam kata as-Salam, yang berarti perdamaian (Sulh) dan
mencari selamat (Istislam). Dalam ayat ini, konsep keselamatan di artikan sebagai selamat dari
petaka, bahaya dan berbagai kesukaran seperti yang menimpa penduduk neraka . Terma lain
yang juga mengandung konsep keselamatan adalah al-Inqaz, yang mengandung arti keselamatan
yang berlaku di dunia dan akhirat. Jika dihubungkan ketiga paradigma tentang klaim
keselamatan, khususnya keselamatan bagi non muslim, maka tafsir yang berorientasi tekstual
pada prinsipnya bersifat eksklusif, yaitu memandang klaim kebenaran dan keselamatan secara
ekslusif hanya dimiliki oleh kalangan orang-orang yang menganut Islam sebagai agama yang di
bawa oleh Nabi Muhammad. Mayoritas penafsiran yang berorientasi tekstual meyakini bahwa
hanya ada satu agama (Al-Din) yaitu Islam sebagai jalan keselamatan.
Terkait dengan terma an-najah, tafsir kontekstual memahaminya dalam konteks
keimanan monoteistik dan perbuatan amal shaleh tanpa memandang identitas keberagaman
formal mereka.Hal ini sesuai dengan asumsi teologis penganut tafsir kontekstual bahwa
keselamatan di akhirat menghendaki tiga syarat utama yaitu, Iman, Islam dan amal shaleh.
Keselamatan tidak dapat dimonopoli kaum muslimin semata, tetapi juga menjadi hak kaum non-
muslim selama mereka percaya beriman kepada Tuhan, percaya pada kenabian Muhammad dan
mengerjakan amal shaleh. Keselamatan menjadi hak setiap orang yang beriman dan beramal
saleh dari agama apapun mereka berasal. Dengan kata lain, setiap agama yang mengajarkan
keimanan monoteistik terhadap Tuhan dan amal shaleh dapat menjadi jaminan bagi pemeluknya
untuk memperoleh keselamatan dan rahmat di akhirat. Allah tidak akan menyia-nyiakan
keberimanan seseorang dan kebaikannya, apapun identitas keagamaan yang dianutnya,meskipun
secara “Syari’at” setiap orang atau kelompok memiliki jalannya masing-masing. Keimanan
kepada Tuhan yang disertai perbuatan baik tetaplah bersifat lintas Agama (Cross – Religion).
Keselamatan dan kebahagiaan di akhirat tidak didasarkan atas status agama (formal) seseorang,
apakah ia seorang Muslim, Yahudi, Nasrani atau Sabi’in, tetapi lebih di dasarkan pada keimanan
yang benar (Sahih) dan amal saleh yang di lakukannya. Kebenaran religius (Truth) bisa datang
dari setiap agama di dunia dan keselamatan (Salvation) bisa diperoleh oleh setiap pemeluk
agama apapun.18
17
Seyyed Hossein Nasr, William Chittick The Essential. World Wisdom, 2007. hlm..45
18
Susanti, Salamah Eka. "Konsep Keselamatan Dalam Al-Qur'an." HUMANISTIKA: Jurnal Keislaman 4.2
(2018), 91-92
6
Keselamatan dalam Hinduisme
Dalam agama Hindu, keselamatan adalah pembebasan Atman dari Samsāra, siklus
kematian dan kelahiran kembali dan pencapaian kondisi spiritual tertinggi. Ini adalah tujuan
akhir agama Hindu, di mana bahkan neraka dan surga bersifat sementara. Ini disebut moksha
(Sansekerta:, "pembebasan") atau mukti (Sanskerta: , "pembebasan"). Moksa adalah pelepasan
terakhir dari konsepsi duniawi seseorang tentang diri, melonggarnya belenggu dualitas
pengalaman dan pembentukan kembali dalam sifat fundamentalnya sendiri, meskipun alam
dipandang sebagai tak terlukiskan dan melampaui sensasi. Keadaan sebenarnya terlihat berbeda
tergantung pada aliran pemikiran.
Bhakti ( bahasa sansekerta ) merupakan jalan yang indah menuju “ keselamatan “, Bhakti
adalah wujud cinta kasih, yang bisa kita persembahkan kepada Tuhan. Jika Tuhan puas terhadap
apa yang kita lakukan dalam bhakti, maka dimanapun kita berada tentu akan merasa mendapat
perlindungannya. Keselamatan menurut ajaran hindu adalah : kembalinya kita ( roh ) kea lam
rohani sehingga terhindar dari tiga hal yaitu : Jarra, uyadhi dan mrtyu ( sakit, usia tua dan mati ).
Roh bisa terhindar dari tiga hal tersebut jika memperoleh kebahagiaan sejati. Keselamatan berarti
memperoleh badan yang satcdananda, artinya penuh pengetahuan dan kebahagiaan. Kekekalan
akan dicapai, jika mencapai pada keselamatan. Oleh karena itu, dalam agama Hindu,
Keselamatan adalah terhindarnya dari penyakit, menjadi tua, dan mati; yaitu kembali ke
Kekerajaan Tuhan yang tampa disinari oleh cahaya matahari, bulan, api atau listrik. Di dalam
kerajaan, Tuhanlah Keselamatan yang sejati diperoleh dan dicapai dengan mengendalikan
pikiran. Oleh kerena itu, Tuhan menjamin seseorang yang dekat kepadaNya untuk memperoleh
keselamatan sesuai dengan perjuangan dalam bhakti masing-masing. 19
19
Budi Raharjo, Gambaran Keselamatan dalam Agama Hindu, Makna Keselamatan Dalam Prespektif Agama-
Agama, Ed.Ignatius Loyola Madya Utama, Yogyakarta ( Uiversitas Sanata Dharma, 2014 ) hlm 16-17
20
A.G.Honing Jr, Ilmu Agama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011) hlm, 166
7
menyembah dewa-dewi penghuni sorga, karena mereka sendiri masih diliputi kotoran batin yaitu
nafsu-nafsu dan juga kehadiran kelahiran dan kematian. Juga para dewa/dewi masih bisa marah,
murka, menghukum atau memiliki sifat-sifat buruk lainnya. Alam surge hanya dihuni oleh
orang-orang yang baik hatinyam rendah hati, penuh cinta dan malu berbuat jahat ( hiri ) dan
mempunyai rasa taku akibat berbuat jahat ( ottapa ). Keselamatan Absolut adalah terbebas dari
penderitaan ( samsara), keadaan nafsu keinginan, pemadaman semua kotoran batin. Keselamatan
abosolut ini disebut Kebebasan Mutlak ( Nibbana / Nirwana ). 21
Pembebasan, yang disebut nirvāna dalam Buddhisme, dipandang sebagai akhir dari
penderitaan, kelahiran kembali, dan kebodohan. Empat Kebenaran Mulia menguraikan beberapa
soteriologi Buddhis: mereka menggambarkan penderitaan (dukkha) dan penyebabnya,
kemungkinan lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, yaitu, Jalan Mulia Berunsur Delapan
(yakni jalan menuju tercapainya keselamatan sejati), yakni; pandangan benar, pikiran benar,
ucapan benar, perbuatan jasmani benar, perhatian benar, dan konstrasi benar. Keselamatan
menurut buddhis bukan karena seseorang terlahir di alam surga setelah meninggal. Mahkluk-
mahkluk yang terlahir di alam-alam surga maupun bahkan Brahma belum terbebas dari dukkha,
hanya sang Buddha dan para arahat yang telah melenyapkan seluruh kotoran batin merupakan
bukti manusia-manusia aging yang telah mencapai keselamatan sejati
Melalui asosiasi pengembangan melatih secara berkesinambungan, menjadikan jalan ini
sebagai kendaraan hidupnya, seseorang pada akhirnya mencapai jalani sebagai kendaraan
hidupnya, seorang pada akhirnya mencapai yang tertinggi, mencapai keselamatan sejati. 22
21
Sujiyanto, Jalan Keselamatan menurut pandangan Agama Budha, Makna Keselamatan Dalam Prespektif Agama-
Agama, Ed.Ignatius Loyola Madya Utama, Yogyakarta ( Uiversitas Sanata Dharma, 2014 ) hlm 21-22.
22
Ed. Wahyu Nugroho & Kees de Jong, Memperluas Horizontal Agama dalam konteks Indonesia, (Yogyakarta:
Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2019), Hlm 170
8
Menurut Sikhisme, kelahiran manusia sangat langka dan tidak ternilai harganya dan oleh karena
itu seorang pria harus membuat pilihannya dengan bijak.
Mengikuti kepercayaan Sikh, puncak keselamatan dipanggil Mukhti adalah keselamatan
dan kebebasan rohani setiap hidup yang kekal abadi. Mukhti adalah selari dengan Tuhan. Oleh
yang demikian bagi penganut agama Sikh, kerohanian lebih baik daripada fizikal. Terdapat
pelbagai cata hendak mencapai mukhti seperti; 23
- Meditasi kepada Tuhan Nam yaitu dengan memfokuskan diri pada sifat-sifat Tuhan
- Mengulang-ulang pujian pada Tuhan,
- Melalui amalan menuntut ilmu, berdisiplin, dan berhidmat pada manusia
23
Modh Rosmizi ABD Rahman, Panduan Memilih Agama, (PTS, 2005) Hlm 70-71
24
Martina Novalia & Herman Pakiding, Penghatar Teologi Agama-Agama – Konteks Indonesia, ( Jakarta: Ekumene
Literatur (ELITE), 2019). Hlm 46