KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 Penduduk
wilayah dan telah menetap di wilayah tersebut dalam waktu enam bulan atau lebih serta
orang tersebut tinggal kurang dari enam bulan tetapi memiliki tujuan untuk menetap (BPS,
2021). Penduduk lebih identik yaitu warga yang menempati suatu wilayah tertentu dan telah
diakui keberadaannya di wilayah tersebut melalui bukti yang konkret yaitu kartu identitas.
Kependudukan pasal 1 ayat 2, penduduk didefinisikan sebagai warga negara Indonesia dan
keilmuan seperti sosiologi, geografi dan ekonomi. Pada sudut pandang ekonomi, penduduk
kerap kali dihubungkan dengan berbagai hal seperi pemasaran dan unit-unit ekonomi lainnya.
Selain dari segi ekonomi, permasalahan yang sering kali berkaitan dengan kependudukan dari
segi demografi yaitu mengenai jumlah penduduk, persebaran geografis serta berbagai hal
terhadap berbagai penyakit serta perubahan lingkungannya, termasuk hilangnya mobilitas dan
ketangkasan dan perubahan fisiologis yang terkait usia (Aru, 2009). Lanjut usia atau Lansia
sering kali dihubungkan dengan seseorang yang telah hidup dengan mencapai batasan umur
tertentu. ILO mendefinisikan batasan umur lansia yaitu seseorang yang berumur 65 tahun ke
atas (ILO, 2006). WHO menyatakan bahwa seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas. United Nations mendefinisikan lansia sebagai seseorang yang berusia 60 tahun atau lebi
h (UN, 2019). Menurut Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lan
jut Usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas, di
mana mengacu pada. BPS mengelompokkan usia lansia ke dalam tiga kelompok usia yaitu la
nsia muda (kelompok usia 60-69 tahun), lansia madya (kelompok usia 70-79 tahun), dan lansi
Secara umum seseorang dinyatakan sebagai lansia apabila usianya lebih dari 65
tahun. Lansia bukan merupakan penyakit, namun merupakan tahapan lanjut dari proses
kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh dalam beradaptasi dengan
lingkungan. Lansia juga merupakan keadaan yang ditandai dengan kegagalan seseorang
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan
bekerjanya, yaitu lansia usia produktif dan lansia usia tidak produktif. Usia Lansia produktif
merupakan lansia yang berusia 60 hingga 64 tahun dan dianggap mampu melakukan aktivitas
ekonomi yang menghasilkan barang dan/atau jasa. Sedangkan lansia tidak produktif merupak
an lansia yang berusia 65 tahun ke atas. Hal ini juga dikatakan dalam Undang-Undang Nomo
r 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut pasal 1, yang mengklasifikasikan lansia berdas
arkan kemampuan dalam menghasilkan barang/jasa, yaitu lansia potensial dan lansia tidak po
tensial. Lansia potensial merupakan lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa, sedangkan lansia tidak potensial adal
ah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan ora
ng lain.
2.1.3 Angkatan Kerja
Angkatan kerja merupakan penduduk yang berusia diatas 10 tahun yang telah
mampu terlibat dalam proses produksi. Konsep ketenagakerjaan yang digunakan BPS menga
cu pada konsep ILO, yaitu penduduk dikelompokkan menjadi penduduk usia kerja dan pendu
duk bukan usia kerja. Batasan usia kerja yang digunakan di Indonesia mengacu pada Peratura
n Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI tentang Metode Penghitungan Persediaan dan K
ebutuhan Tenaga Kerja Pasal 1, dimana Penduduk Usia Kerja adalah penduduk yang berumur
15 tahun dan lebih atau disebut tenaga kerja. Batasan usia tersebut berbeda dengan ILO yang
menetapkan bahwa batasan usia minimum untuk masuk dunia kerja adalah 18 tahun (ILO, 19
73).
Indonesia sendiri tidak menetapkan batasan usia maksimum untuk bekerja. Meskipu
n tidak terdapat batas usia maksimum penduduk usia kerja, BPS menentukan kondisi dimana
seseorang dianggap tidak lagi mampu untuk memenuhi kebutuhannya sehingga perlu bergant
ung pada orang lain, yaitu pada usia 65 tahun dan lebih, atau disebut penduduk kelompok usi
a tidak produktif. Sedangkan penduduk kelompok usia produktif adalah penduduk yang berus
Penduduk usia kerja dikelompokkan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan ker
ja. Angkatan kerja terdiri dari penduduk usia kerja yang aktif bekerja dan penduduk usia kerj
a yang punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja. Sedangkan bukan angkatan kerja
adalah kelompok penduduk selama seminggu yang lalu masih mempunyai kegiatan yaitu
pertama, sekolah yaitu penduduk yang kegiatan utamanya sekolah. Kedua, mengurus rumah
tangga yaitu penduduk yang kegiatan utamanya mengurus rumah tangga tanpa memperoleh
upat. Ketiga, penerima pendapatan yaitu penduduk yang tidak melakukan kegiatan tetapi
tetap memperoleh penghasilan seperti pensiunan, bunga simpanan dan lainnya. Keempat,
yaitu penduduk yang sudah tidak mampu melakukan kegiatan seperti lanjut usia, cacat
2.1.4 Bekerja
g dilakukan paling sedikit selama satu jam (secara kumulatif) dalam seminggu. Kegiatan
tersebut termasuk ke dalam kegiatan pekerja yang tak dibayar namun membantu usaha atau
kegiatan ekonomi. Konsep bekerja pada orang yang sementara tidak bekerja, yaitu mereka ya
ng mempunyai pekerjaan/usaha tetapi selama seminggu yang lalu tidak bekerja karena sesuat
u sebab seperti sakit, cuti, menunggu panen, tugas belajar, atau mogok kerja.
Bekerja adalah kegiatan yang dilakukan secara rutin atas dasar kewajiban dan
tanggung jawab bagi dirinya sendiri, orang lain dan juga perusahaan tanpa merugikan pihak
manapun (Irsyad, 2013). Motivasi manusia untuk bekerja salah satunya adalah memenuhi
kebutuhan hidup. Pada pekerjaan terdapat tiga aspek yang harus dipenuhi individu secara
logika yaitu aktifitas yang dilakukan karena adanya tanggung jawab, pekerjaan yang
dilakukan karena kesengajaan dan tersusun, dan pekerjaan dilakukan karena tujuan yang
Sektor informal merupakan sektor yang terdiri atas individu - individu yang bekerja
untuk dirinya sendiri (self employe). Motivasi pekerja untuk memperoleh pendapatan yang
cukup untuk sekedar mempertahankan hidup (survival). Konsep sektor informal, membagi
kegiatan ekonomi yang bersifat formal dan non formal. Konsep sektor informal pertama kali
diperkenalkan oleh Keith Hart (1973) melalui tulisannya yang berjudul “Informal Income Op
Sektor informal muncul ketika teori mengenai pembangunan mengalami krisis yang
tidak berhasil dalam menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan di negara-
negara berkembang. Kondisi perekonomian mengakibatkan sektor formal lebih selektif dalam
menerima pasokan tenaga kerja, bahkan memiliki peluang besar dalam memutus hubungan
(PHK) tenaga kerjanya. Sehingga sektor informal yang menjadi tumpuan dan harapan bagi
pekerja di masa mendatang, selain itu sektor informal juga menjadi alternatif yang
Adanya klasifikasi tidak sah pada sektor informal didasari oleh tingginya kriminalita
s dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan di Nima. Ditinjau dari kesempatan memperol
eh pendapatan, Hart mengklasifikasikan sektor informal menjadi dua, yaitu secara sah dan tid
ak sah.
b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar yaitu perumahan, transportasi, us
e. Jasa yang lain seperti pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sa
a. Jasa kegiatan dan perdagangan gelap terbagi atas penadah barang-barang curian,
Konsep tersebut mulai terjadi beberapa kali revisi sehingga muncullah ILO (1972)
Sejak konsep sektor informal yang disampaikan oleh ILO pada tahun 1972, dilakuka
n beberapa kali perubahan dalam pendefinisian konsep informal. Perubahan konsep sektor inf
ormal dilakukan agar dapat mencerminkan perkembangan keadaan ketenagakerjaan dan men
gurangi ambiguitas. Konsep sektor informal yang disampaikan ILO dalam International Conf
erence of Labour Statisticians (ICLS) ke-15 pada tahun 1993 menjadi konsep sektor informal
1. Terdiri dari unit-unit yang terlibat dalam produksi barang atau jasa dengan tujuan men
ciptakan lapangan kerja dan pendapatan. Unit-unit ini biasanya beroperasi pada orga
nisasi tingkat rendah, dengan sedikit atau tanpa pembagian antara tenaga kerja dan
modal sebagai faktor produksi dan berskala kecil. Sebagian besar hubungan tenaga k
erja bersifat tidak tetap, yang didasari kekerabatan atau hubungan pribadi dan sosial.
2. Unit produksi sektor informal mempunyai karakteristik usaha rumah tangga. Aset teta
p dan aset lain yang digunakan bukan milik unit produksi melainkan milik pemilikn
ya. Unit ini tidak dapat melakukan transaksi atau mengadakan perjanjian kontrak de
ngan unit lain, atau mendapatkan pinjaman atas nama mereka sendiri. Pemilik harus
mencari dana dengan risiko mereka sendiri dan secara pribadi bertanggung jawab, ta
npa adanya batasan atas hutang atau kewajiban yang timbul dalam proses produksi.
dapat digunakan secara terpisah untuk keperluan bisnis dan rumah tangga.
3. Kegiatan yang dilakukan oleh unit produksi di sektor informal belum tentu dilakukan
dengan sengaja untuk menghindari pembayaran pajak atau kontribusi jaminan sosial,
inistratif ketenagakerjaan lainnya. Oleh karena itu, konsep kegiatan sektor informal
l adalah kegiatan orang perseorangan atau keluarga, atau beberapa orang yang melaksanakan
usaha bersama untuk melakukan kegiatan ekonomi atas dasar kepercayaan dan kesepakatan,
dan tidak berbadan hukum. Sedangkan pekerja sektor informal adalah tenaga kerja yang beke
rja dalam hubungan kerja sektor informal dengan menerima upah dan/atau imbalan.
Indonesia, hal ini dikarenakan kemampuan sektor ini dalam menyerap tenaga kerja yang
tidak dapat terserap di sektor formal. Kegiatan ekonomi di sektor informal tidak hanya
sebagai pelengkap dari kegiatan ekonomi sektor formal, namun juga berperan sebagai
penyambung rangkaian kegiatan ekonomi yang tidak dapat dicapai oleh sektor formal.
oleh BPS dilakukan berdasarkan sisi pekerja, yaitu berdasarkan status pekerjaan utama. BPS
mendefinisikan status pekerjaan merupakan jenis kedudukan seseorang dalam melakukan pek
erjaan di suatu unit usaha atau kegiatan. Status pekerjaan diklasifikasikan menjadi tujuh kateg
ori, yaitu:
a. Berusaha sendiri, adalah kegiatan bekerja atau berusaha dengan menanggung risiko sec
ara ekonomis, di antaranya dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah dikelua
rkan dalam rangka menjalankan usahanya tersebut, tidak menggunakan pekerja dibayar
maupun pekerja tak dibayar, serta termasuk yang sifatnya memerlukan teknologi atau ke
ahlian khusus.
tau berusaha atas risiko sendiri dengan mempekerjakan buruh tidak tetap/pekerja keluarg
c. Berusaha dibantu buruh tetap dan dibayar, adalah berusaha atas risiko sendiri dan me
d. Buruh/karyawan/pegawai tidak tetap, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain a
tau instansi/kantor/perusahaan secara tetap dengan menerima upah/gaji baik berupa uang
maupun barang.
e. Pekerja bebas di pertanian, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/majikan/ins
titusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir) di usaha pertanian
baik yang berupa usaha rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar bala
s jasa dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, baik denga
f. Pekerja bebas di nonpertanian, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/majikan
/institusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir), di usaha non p
ertanian dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, dan baik
g. Pekerja keluarga/tidak dibayar, adalah seseorang yang bekerja membantu orang lain y
ang bekerja dengan status berusaha (berusaha dibantu buruh tidak tetap dan berusaha dib
antu buruh tetap) baik ART atau bukan, dengan tidak mendapat upah/gaji, baik berupa ua
ng maupun barang.
2.1.7 Teori Ekonomi Ketenagakerjaan
Upah Reservasi
2.1.8 Usia
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan usia merupakan lama waktu
hidup sejak dilahirkan. Sedangkan BPS mendefinisikan secara lebih rinci sebagai informasi te
ntang tanggal, bulan, dan tahun dari waktu kelahiran menurut sistem kalender Masehi. Noerai
ni (2015) menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang akan meningkatkan parti
sipasi tenaga kerja untuk bekerja dalam sektor informal. Hal ini tercermin dari menurunnya k
emampuan dalam bersaing menyebabkan sektor informal lebih ramah untuk dimasuki.
Menurut Lasut (2017), usia individu mulai terhitung sejak dia dilahirkan sampai dia
berulang tahun. Semakin cukup usia seseorang maka tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan semakin matang khususnya dalam berpikir dan bekerja. Usia dari tenaga kerja
adalah usia produktif bagi setiap individu. Usia produktif dimana seseorang dinilai telah
sosial budaya. Perbedaan jenis kelamin ini mengacu pada unsur emosional dan kejiwaan,
mencatat bahwa partisipasi tenaga kerja laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. Hal in
i dikarenakan terdapat konvensi sosial yang berlaku pada masyarakat bahwa laki-laki cenderu
ng bekerja dalam memikul tanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarga sedangkan pe
rempuan tidak bekerja (Junaidi et al., 2017). Pembatasan perempuan dalam bekerja dikarenak
an keyakinan tentang karakteristik ibu yang baik mendominasi untuk mengurus keluarga dan
Penelitian Williams dan Windebank (2004) menemukan bahwa perempuan lebih ban
yak terlibat bekerja di sektor informal dibandingkan laki-laki. Peran perempuan bekerja pada
sektor informal disebabkan pekerjaan informal yang umum dilakukan perempuan berkaitan d
engan rumah tangga meliputi memasak, menjahit, pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan ru
mahan (Martin 1996; Miraftab 1996). Waktu bekerja lebih fleksibel menyebabkan perempuan
dapat mengatur waktu untuk mengurus urusan keluarga dan ikut terlibat dalam kegiatan ekon
jenjang pendidikan sebagai suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berd
asarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengaj
aran. Jenjang pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terbagi atas pendidikan das
ar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. BPS mengkategorikan tingkat pendidikan be
rdasarkan ijazah tertinggi yang dimiliki yang didapatkan dari sekolah negeri maupun swasta.
Liimatainen (2002) menemukan bahwa tenaga kerja di sektor informal memiliki pen
didikan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang bekerja di sektor formal. Penelitian ini
didukung oleh (Handayani et al.,2018), dimana tenaga kerja sektor informal yang berpendidik
an tinggi memilih untuk pindah ke sektor formal, sedangkan tenaga kerja sektor informal den
gan tingkat pendidikan rendah memilih untuk tetap bekerja di sektor informal. Sektor informa
l menjadi satu-satunya pilihan bagi tenaga kerja dengan pendidikan rendah dalam mempertah
ankan hidup karena sangat sulitnya memasuki sektor formal (Noeraini, 2015).
Status perkawinan merupakan status pribadi setiap individu yang erat kaitannya den
gan hukum perkawinan atau adat istiadat suatu negara. Status perkawinan dikategorikan seba
gai lajang atau belum pernah menikah, menikah, cerai mati dan belum menikah lagi, cerai hid
up dan tidak menikah lagi, serta menikah tetapi tinggal terpisah (UN, 2008). BPS mengkateg
orikan status perkawinan ke dalam empat kategori yaitu, belum menikah, kawin, cerai hidup,
ang untuk masuk dalam dunia kerja dibandingkan dengan melajang. Penelitian Budiati, dkk
(2022) menemukan individu berusia 50 tahun ke atas yang sudah menikah mempunyai peluan
g lebih besar untuk berpartisipasi bekerja salah satunya dalam sektor informal dibandingkan y
esaan dan perkotaan dikarenakan setiap negara memiliki definisi yang berbeda-beda antara
masing-masing negara lain. Perbedaan antara perkotaan dan pedesaan secara umum didasarka
n pada cara hidup, standar hidup, persentase penduduk yang aktif secara ekonomi, ketersedia
an listrik dan/atau air pipa di tempat, dan kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan, se
kolah, serta fasilitas rekreasi (UN, 2023). Reddy (2016) dan Kouadio (2020) menemukan bah
wa kecenderungan penduduk yang tinggal di perkotaan untuk bekerja pada sektor informal le
BPS mendefinisikan anggota rumah tangga merupakan semua orang yang biasanya
bertempat tinggal di suatu rumah tangga dan atau makan dari satu dapur, baik yang sedang be
rada di rumah pada waktu pendataan maupun yang sementara tidak berada di rumah. Anggota
rumah tangga ini termasuk ke dalam kepala rumah tangga (KRT), suami/istri, anak, menantu,
cucu, orang tua/mertua, asisten rumah tangga yang menginap, dan lainnya.
rpengaruh terhadap pendapatan karena semakin banyaknya jumlah tanggungan keluarga atau
jumlah anggota keluarga yang ikut makan maka secara tidak langsung akan memaksa tenaga
Pelatihan kerja didefinisikan oleh BPS sebagai kegiatan yang memberikan suatu ket
erampilan tertentu yang bersifat khusus pada batas waktu tertentu baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun swasta dan memperoleh sertifikat. Sari (2016) mengemukakan bah
wa pelatihan kerja dapat meningkatkan keahlian yang dimiliki seseorang sehingga meningkat
kan kesempatan untuk bekerja pada sektor formal. Bairagya (2012) menemukan bahwa peker
ja yang cenderung terserap dalam sektor formal adalah pekerja dengan kemampuan yang lebi
h baik, sehingga menyebabkan seseorang dengan kemampuan kerja yang kurang akan berakh
ir pada pekerjaan sektor informal. Manning & Pratomo (2013) dalam penelitiannya menjelas
kan bahwa pengalaman dan pelatihan kerja menjadi faktor yang mendukung tenaga kerja unt
yandang Disabilitas, yang dimaksud penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengal
ami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
ketika berinteraksi dengan lingkungan mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipa
si secara penuh dan efektif. Penekanan makna disabilitas dalam konsep BPS adalah adanya g
angguan atau keterbatasan fungsi yang berlangsung lama dan menyebabkan terbatasnya partis
ipasi di masyarakat. Berbagai bentuk gangguan fungsi antara lain melihat, mendengar, berbic
ara, memahami, hilang ingatan, gangguan jiwa, memahami pelajaran, berjalan, bergerak, men
gambil barang kecil menggunakan jari. BPS mengkategorikan tingkat kesulitan sebagai berik
ut:
a. Sama sekali tidak dapat beraktivitas, bila seseorang sama sekali tidak mampu melakukan
n.
Mete dkk., (2007) dan Gilfillan dkk., (2010) menyatakan bahwa kemampuan dalam
beraktivitas yang menurun dapat menjadi alasan seseorang tidak bisa bekerja, terutama bagi i
ndividu yang berusia lanjut. Penelitian Jamalludin (2020) menemukan bahwa lansia yang me
ngalami gangguan/kesulitan baik sedikit maupun sedang lebih cenderung untuk bekerja pada
berbasis komputer dan potensial untuk digunakan pada masalah keakurasian berdasarkan
simulasi data untuk keperluan inferensi statistik (Sungkono, 2013). Bootstrapping bertujuan
untuk menentukan nilai estimasi yang kuat berdasarkan standard error dan confidence
interval untuk mengestimasi nilai proporsi, rata-rata, median, odds ratio, koefisien korelasi
dan koefisien regresi (Widhiarso, 2012). Kegunaan metode Bootstrap membuat nilai eror
menurun secara signifikan apabila diterapkan pada data yang kecil (Ruparel, 2013). Metode
Bootstrap diawali dengan mengambil sampel dari sampel asli pada ukuran yang sama sesuai
Random sampel yaitu X1*, X2*, …. Xb* masing-masing memiliki nilai data yang
telah disampling secara acak dengan pengembalian dari sampel X, kemudian dilakukan hasil
evaluasi terhadap hasil resampling Bootstrap yang diperoleh pada masing-masing sampel.
Kemudian dilakukan estimasi standard error untuk sampel Bootstrap. Proses resampling
Bootstrap dilakukan dengan menggunakan program komputer, hal ini dikarenakan besarnya
jumlah resampling bisa mencapai ribuan kali sehingga tidak memungkinkan apabila
dilakukan perhitungan manual. Prosedur Bootstrap untuk standard error selalu sama untuk
1. Memilih sampel Bootstrap, yaitu sampel yang telah di resampling dari sampel asli
√{ }
B
∑ ( θ^ b−θ^ ¿ ) / ( B−1 )2
2
^s e B=
b=1
B
1
Dimana : θ^ = ∑ θ^
¿ b
B b=1
hasil yang berbeda, hal ini dikarenakan pendekatan Bootstrap merupakan suatu simulasi. Jika
dapat dilakukan menggunakan semua kemungkinan sampel yaitu nn maka akan diperoleh
2.1.16 SMOTE
Ketidakseimbangan data terjadi apabila jumlah dari objek pada kelas data lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah objek dari kelas lain. Kelas data dengan objek yang
lebih banyak disebut dengan kelas mayor, sedangkan kelas lainnya disebut sebagai kelas
minor. Penggunaan data yang tidak seimbang membuat model sangat besar pada hasil analisis
akan cenderung meliputi kelas mayor dibandingkan kelas minor (Chawla, 2004).
Metode SMOTE sebagai salah satu solusi untuk menangani permasalahan data yang
tidak seimbang, berbeda dengan metode oversampling yang menduplikat data secara random
(Chawla, 2004). Metode SMOTE dengan cara menambah jumlah data pada kelas minor agar
setara dengan kelas kelas mayor dengan cara membangkitkan data buatan. Data buatan
Pembangkitan data buatan dengan skala numerik memiliki perbedaan dengan data kategorik.
Data numerik dibangkitkan dengan mengukur jarak kedekatannya atau dengan jarak
Euclidean, sedangkan pada data kategorik lebih sederhana yaitu berdasarkan nilai modus.
1. Data Numerik
c. Menambahkan perbedaan tersebut ke dalam nilai utama pada vektor utama asal
tetangga terdekat pada nilai nominal. Apabila terdapat nilai yang sama maka
b. Menjadikan nilai tersebut sebagai data contoh untuk kelas buatan baru.
Analisis regresi merupakan analisis statistik yang berguna untuk menguji dan memo
delkan hubungan antara satu variabel dependen dan satu atau lebih variabel independen untuk
menelusuri pola hubungan dalam model sehingga dalam penerapannya lebih bersifat eksplora
tif (Agresti, 2007). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian adalah sektor pekerja
an utama lansia yang terdiri atas dua kategori, yaitu sektor informal dan sektor formal. Melal
ui variabel dependen tersebut, analisis yang digunakan adalah regresi logistik biner.
Menurut Hosmer dan Lemeshow (2013) regresi logistik biner merupakan metode ya
ng menghubungkan antara variabel dependen kategorik yang bersifat dikotomi (biner) dengan
buah karakteristik (kejadian sukses) dan bernilai 0 untuk menyatakan ketidakberadaan sebuah
umkan fungsi likelihood dan mensyaratkan bahwa data harus mengikuti suatu distrib
usi tertentu. Pada regresi logistik, setiap pengamatan mengikuti distribusi Bernoulli
msikan bahwa setiap pasangan pengamatan saling independen dengan pasangan pen
Dimana :
Fungsi model logistik terletak antara range 0 dan 1 yang diperoleh dengan men
( )
p
∑ βjX j
j=0
e 1
π ( x i )= =
(∑ ) (∑ )
p p
β X − β X
j j j j
j =0 j=0
1+e 1+ e (2.2)
Agar lebih mudah memaksimumkan dalam bentuk log l( β ) dan dinyatakan den
gan L( β )
L( β )=l( β )
n
L( β )=∏ π ( x i ) yi ( 1−π ( x i ) )1− yi
i=1
n
L( β )=∑ y i ln [ π (x i ) ] + ( 1− y i ) ln [ 1−π ( x i ) ]
i=1
( )
p
(∑ )
p n n ∑ βi xij
L( β )=∑ y i x ij β j −∑ ln 1+ e j=0
j=0 i=1 i=1
(2.4)
Nilai β maksimum didapatkan melalui turunan L( β ) terhadap β dan hasilnya ada
p
∂ L( β )
=∑ y x =x
∂ β j i=0 i ij ij
( )
p
n n
∑ β i x ij
∂ L( β ) e j =0
=∑ y i x ij −∑ x ij
∂ βj i=1 i=1
p
∑ βi x ij
1+e j =0
( )
p
n n
∑ β i x ij
e j=0
=∑ y i xij −∑ x ij ∂
i=1 i=1 ∂β p
∑ β i xij
1+ e j=0
n n
∑ yi x ij −∑ x ij π^ ( x i ) =0
i=1 i=1 (2.5)
Dengan j = 0,1,…,p
del regresi logistik. Metode Newton-Raphson memerlukan taksiran awal untuk nilai
fungsi maksimumnya, yang mana fungsi tersebut merupakan taksiran yang menggun
^
akan pendekatan polynomial berderajat dua dalam hal ini menentukan nilai β dan
^
erupakan bentuk evaluasi t, taksiran ke-t pada β . Pada langkah ke-t dalam proses
iterasi (t=0,1,2,..), g ( β ) merupakan bentuk orde kedua dari ekspansi deret taylor.
1
Qt ( β )=g ( βt )+ qt ( β−β t ) + ( β−β t ) H t ( β−β t )
2 (2.6)
Penyelesaian :
∂Q t
=q t +H t ( β−β t )=0
∂β
β t−1=β t −( H t )−1 q t
Dengan mengasumsikan H(t) sebagai matriks non singular, untuk setiap langka
∂ L( β )
q(jt )= |β t
∂βj
( )
p
n n
∑ β i x ij
e j=0
q(jt )= ∑ y i x ij −∑ x ij ∂∂ β p
i=1 i=1 ∑ βi x ij
1+ e j=0
n n
q(jt )=∑ y i x ij −∑ x ij π^ it
i=1 i=1
(∑ ∑ )
n n
q(jt )= yi− π^ ti x ij
i=1 i=1
(∑ )
n
q(jt )= y i −π^ ti x ij
i=1 (2.7)
[ ]
π^ t1 ( 1− π^ t1 ) 0 0 0
t t
0 π^ 2 ( 1− π^ 2 ) 0 0
H=
0 0 ⋱ 0
0 0 0 π^ 2 ( 1−π^ t2 )
t
(2.8)
∂2 L( β )
h ab= |t
∂ βa ∂ βb β
( )
n
h ab=∂ ∑ y i− π^ ti x ij
i=1
π^ ti ( 1− π^ ti )=0
(∑ )
k
β t X ij
j =0 j
et
π= i
(∑ )
k
β X
j=0 jt ij
1+ e
β t−1=β t −( H t )−1 q t
−1
{
β t+1 =β t − X T Diag [ π^ ti (1−π^ ti ) ] X } X T ( y− π^ ti )
(2.9)
Regresi logistik firth adalah sebuah pengembangan dari regresi logistik biner
yang dilakukan oleh Firth pada tahun 1993. Metode regresi logistik firth dipilih dika
renakan metode ini merupakan metode yang cocok digunakan baik pada sampel bes
ar maupun sampel kecil (Leitgob, 2013). Model regersi logistik firth dibuat dengan
n (MLE) yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kejadian sukses dan gagal yang
dikumpulkan dalam data. Sehingga, Firth (1993) membentuk suatu metode estimasi
yang fungsinya digunakan untuk mengatasi kelemahan dari MLE yaitu dengan men
ji, yaitu uji rasio likelihood dan uji Wald (Agresti, 2007).
rediksi yang didapat dari dua model. Pengujian serentak dilakukan untuk meme
H0 : β1=β2=…=βp=0
Statistic uji :
G=−2 ln
[ ( likelihood without the variabel )
( likelihood with the variabel ) ]
[ ( )( )
]
n1 n0
n1 n0
n n
G=−2 ln n
∏
i=1
π^ iyi ( 1−π^ iyi )1− yi
(2.10)
Atau
{ }
n
G=2 ∑ [ y i ln ( π^ i )+(1− y i )ln (1−π^ i )]− [ n1 ln( n1 )+ n0 ln (n0 )−n ln (n) ]
i=1
n n
n1 =∑ y 1 n 0=∑ (1− y 1 )
Dimana : i =1 i=1
n=n1 + n0
Keterangan :
n = jumlah pengamatan
Jika terdapat k kategori pada suatu variable predictor, maka kontribusi untu
k derajat bebas pada uji likelihood adalah sebesar k-1 (Hosmer & Lemeshow, 2
013).
H0 : βj=0
H1 : βj≠0 ; j = 1,2,3,..,p
Statistik uji :
β^ j
W=
SE( β^ j )
(2.11)
Statistic uji W disebut sebagai statistik uji Wald dengan
SE( β^ j ) adalah taks
iran standar eror parameter. Statistik uji W tersebut, yang juga disebut sebagai s
tatistic uji Wald, mengikuti distribusi normal. Berikut adalah statistic uji Wald ji
ka mengikuti distribusi chi square, dengan daerah kritis yaitu tolak H 0 jika
β^
2 j2
W =
SE ( β^ j )2
(2.12)
Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah model yang dihasilkan berdasar
kan regresi logistic multivariate atau serentak sudah layak. Pengujian ini menggunak
an statistic uji Hosmer dan Lemeshow (Hosmer & Lemeshow, 2013) dengan hipotes
H0 : Model sesuai (tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pengamata
H1 : Model tidak sesuai (terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pengamata
Statistik Uji :
g
(o k−n' k π̄ k )2
^ ∑
C=
k =1 n ' k π̄ k (1− π̄ k )
(2.13)
Selain menggunakan rumus tersebut statistic uji Hosmer dapat dihitung dengan
(2.14)
2
2 ( g−2) α
Daerah kritis untuk statistic uji diatas adalah Tolak H 0 jika χ > χ ; denga
n db = g-2
Keterangan :
Ck m j π^ j
π̄ k = rata-rata taksiran peluang; ∑ n 'k
j=1
jauh mana variable predictor dapat menjelaskan model yang terbentuk dengan nilai
R-sq. Kebaikan model pada regresi logistic dengan menggunakan nilai R-Square Co
x and Snell dan Nagelkerke, rumus untuk menghitung kedua nilai tersebut ditunjukk
an dengan benar atau tidak. Evaluasi prosedur klasifikasi adalah suatu evaluasi yang melihat
peluang kesalahan klasifikasi yang dilakukan oleh suatu fungsi klasifikasi. Semakin tinggi
akurasi klasifikasi maka performansi teknik klasifikasi juga semakin baik. Ketepatan
klasifikasi pada kelas dikotomus dapat dihitung menddunakan confusion matrix (klasifikasi
tabel). Berikut adalah tabel klasifikasi dapat dilihat pada Tabel 2.1.
klasifikasi yang sering digunakan yaitu akurasi total, sensitivitas dan spesifisitas. Akurasi
Sensitivitas merupakan proporsi dari kelas positif yang terprediksi secara benar. Sedangkan
spesifisitas merupakan proporsi dari kelas negatif yang terprediksi secara benar. Berikut
TP+ TN
Akurasi=
TN +TP+ FN + FP
(2.16)
TP
Sensitivitas=
TP+FN
(2.17)
TN
Spesifitas=
TN +FP
(2.18)
Pehitungan ketepatan klasifikasi pada data yang tidak seimbang atau imbalanced
mengukur performa secara keseluruhan (overall classification performance). Nilai ini akan
G−Mean= √ Sensitivitas×Spesifisitas
(2.19)
Estimasi koefisien dari variable predictor yang menyatakan slope atau nilai perubah
an variable respon untuk setiap perubahan satu unit variable predictor. Interpretasi koefisien p
arameter meliputi penentuan hubungan fungsional antara variable respon dan variable predict
or serta mendefinisikan unit perubahan variable respon yang disebabkan oleh variable predict
or. Rasio kecenderungan (odds ratio) merupakan suatu ukuran yang berupa angka kecenderu
ngan yang didefinisikan sebagai rasio antara jumlah individu yang mengalami kasus atau peri
stiwa tertentu dengan jumlah individu yang tidak mengalami kasus atau peristiwa tersebut, ba
ik di dalam sampel maupun populasi (Agresti, 2007). Berdasarkan model ada dua nilai π ( x ) d
i odds yang dihasilkan dengan x = 1 didefinisikan π (1)/ [ 1−π (1 ) ] . Demikian pula, nilai odds y
ang dihasilkan dengan x = 0 adalah π (0 )/ [ 1−π (0 ) ] . Odds ratio dinotasikan dengan symbol O
R atau ψ , didefinisikan odds rasio untuk x = 1 dan x = 0 dengan rumus sebagai berikut.
π ( 1 )/ [ 1−π (1) ]
OR (ψ )=
π ( 0 )/ [ 1−π (0 ) ]
(2.20)
( )( )
β0 + β 1
e 1
β 0+ β 1 β 0 +β 1
1+e 1+ e
ψ=
( )( )
β0
e 1
β0 β0
1+e 1+e
β 0 +β 1
e
ψ= β0
e
ψ=e(
β 0+ β 1) −β 0
( β 1)
ψ=e
Odds ratio adalah ukuran asosiasi yang dapat diartikan secara luas terutama epidemi
ologi. Dari persamaan diatas odds ratio merupakan rata-rata besarnya kecenderugan variable r
Pekerjaan informal dianggap sebagai salah satu pilihan pekerjaan bagi masyarakat
(yang terpaksa keluar dari pasar tenaga kerja formal) dengan berbagai jenjang usia yang tidak
memiliki pengalaman cukup memadai dalam memasuki pasar tenaga kerja formal sehingga m
enjadikan pasar tenaga kerja informal sebagai pilihan terakhir (Cano-Urbina, 2015; Maloney,
2003). Pernytaan tersebut didukung oleh hasil penelitian Noeraini (2015) yang menyatakan b
ahwa semakin bertambahnya usia seseorang maka akan meningkatkan partisipasi tenaga kerja
sering bekerja pada sektor informal dibandingkan dengan laki-laki. Peran perempuan pada se
ktor informal disebabkan karena perempuan sering kali berkaitan dengan rumah tangga (Mart
in 1996; Miraftab 1996). Dimana waktu bekerja lebih fleksibel sehingga perempuan dapat me
ngatur waktu untuk mengurus urusan keluarga dan ikut terlibat dalam kegiatan ekonomi (Perr
y, 2007).
Penelitian Günther & Launov (2012) menemukan bahwa tingkat pendidikan dan pen
galaman yang lebih tinggi pada seseorang yang bekerja di sektor formal dibandingkan sektor
informal. Liimatainen (2002) menyatakan bahwa tenaga kerja di sektor informal memiliki pe
ndidikan yang lebih rendah dibandingkan di sektor formal. Pernyataan ini didukung oleh Jam
alludin (2020), yaitu lansia dengan pendidikan rendah dan menengah cenderung lebih sering
n seseorang untuk masuk kedalam dunia kerja dibandingkan dengan seseorang yang belum
menikah. Penelitian Budiati, dkk (2022) menemukan bahwa individu yang berusia 50 tahun k
e atas dan sudah menikah memiliki peluang lebih besar dalam berpartisipasi kerja, salah satun
ng tinggal di perkotaan untuk bekerja pada sektor informal lebih rendah dibanding dengan pe
nduduk yang tinggal di pedesaan. Pang, Braw dan Rozella (2004) mengemukakan bahwa pen
duduk yang tinggal di pedesaan harus tetap bekerja sampai dengan usia yang relatif sangat tu
a, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk pensiun.
Neupane (2021) mengemukakan bahwa semakin banyak anggota rumah tangga, maka
semakin besar pula keterlibatan seseorang untuk bekerja di sektor informal. Hal ini dikarenak
an semakin banyak anggota keluarga, maka semakin tinggi pengeluaran yang dibutuhkan
oleh sebab itu diperlukan pendapatan yang banyak untuk menunjang kebutuhan tersebut. Men
urut Wirosuhardjo (1996), bahwa besarnya jumlah tanggungan keluarga akan berpengaruh ter
hadap pendapatan rumah tangga, hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah tanggungan kel
uarga atau jumlah anggota keluarga yang ikut makan maka secara tidak langsung akan mema
ksa tenaga kerja tersebut untuk mencari tambahan pendapatan dalam memenuhi
kebutuhannya.
Sari (2016) mengemukakan bahwa pelatihan kerja dapat meningkatkan keahlian yan
g dimiliki seseorang sehingga mampu meningkatkan kesempatan bekerja pada sektor formal.
Bairagya (2012) menemukan bahwa pekerja yang cenderung terserap kedalam sektor formal
adalah pekerja dengan kemampuan yang lebih baik. Sehingga seseorang dengan kemampuan
kerja yang kurang akan berakhir pada pekerjaan sektor informal. Manning & Pratomo (2013)
dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pengalaman dan pelatihan kerja menjadi faktor yang
Mete dkk., (2007) dan Gilfillan dkk., (2010) menyatakan bahwa kemampuan dalam
beraktivitas yang menurun menjadi salah satu alasan seseorang tidak bisa bekerja, terutama b
agi individu yang berusia lanjut. Penelitian Jamalludin (2020) menemukan bahwa lansia yang
mengalami gangguan atau kesulitan, baik sedikit maupun sedang lebih cenderung untuk beke
rja pada sektor informal dibandingkan lansia yang tidak mengalami gangguan atau kesulitan.
rdapat delapan variabel yang diduga dapat memengaruhi lansia bekerja pada sektor informal
di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Variabel usia diduga berpengaruh terhadap partisipasi pek
erja lansia pada sektor informal. Seiring dengan bertambahnya usia akan meningkatkan kecen
Penuaan penduduk pada suatu wilayah akan berdampak kepada penurunan kondisi
ekonomi yang diakibatkan pada penurunan produktivitas kinerja penduduk. Kondisi ini
menyebabkan lansia sering kali menjadi beban bagi keluarga dalam hal pemenuhan
kebutuhan hidup yang semakin tinggi akibat adanya biaya kesehatan. Dalam hal
memaksimalkan suplai tenaga kerja yang banyak, penduduk lansia dituntut agar memiliki
kemampuan yang memadai agar mampu bersaing pada pasar kerja sehingga memiliki
pekerjaan yang layak serta pendapatan yang diperoleh cukup dalam hal pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Sehingga sering kali ditemui bahwa pada sektor kerja informal,
mempengaruhi lansia untuk bekerja pada sektor informal agar dapat dijadikan sebagai bahan
referensi mengenai apa yang harus diperbaiki oleh pemerintah, sehingga dapat meningkatkan
Variabel jenis kelamin diduga berpengaruh terhadap partisipasi pekerja lansia pada s
ektor informal. Pekerja perempuan lebih banyak terjun dalam sektor informal dibandingkan l
aki-laki. Hal ini dikarenakan sektor informal memiliki waktu bekerja yang lebih fleksibel unt
pada sektor informal. Seseorang yang bekerja dalam sektor informal memiliki pendidikan yan
g lebih rendah dibandingkan dengan yang bekerja pada sektor formal. Sektor informal dinilai
menjadi pilihan terakhir bagi tenaga kerja yang berpendidikan rendah dalam mencari pendapa
ada sektor informal. Status perkawinan dapat menentukan keputusan seseorang untuk masuk
ke dalam dunia kerja. Tenaga kerja yang sudah menikah memiliki peluang lebih besar untuk
berpartisipasi bekerja, baik dalam sektor informal dibandingkan yang tidak menikah.
Variabel wilayah tempat tinggal diduga berpengaruh terhadap partisipasi pekerja lan
sia pada sektor informal. Tenaga kerja yang tinggal di perkotaan cenderung lebih rendah untu
Variabel jumlah anggota rumah tangga diduga berpengaruh terhadap partisipasi pek
erja lansia pada sektor informal. Semakin banyak jumlah anggota dalam suatu rumah tangga
menyebabkan semakin besar biaya untuk menghidupi keluarga. Hal ini yang membuat tenaga
kerja secara tidak langsung memaksakan diri untuk mencari pendapatan tambahan melalui se
ktor informal.
Variabel pelatihan kerja diduga berpengaruh terhadap partisipasi pekerja lansia pada
sektor informal. Pekerjaan sektor formal cenderung menyerap tenaga kerja dengan memiliki
kemampuan kerja lebih baik yang dapat dilihat melalui pengalaman dan keikutsertaan pelatih
an kerja. Tenaga kerja yang tidak mengikuti pelatihan kerja cenderung lebih tinggi untuk bek
pada sektor informal. Tenaga kerja yang memiliki gangguan/kesulitan sedikit maupun sedang
cenderung untuk bekerja pada sektor informal dibandingkan tenaga kerja yang tidak mengala
mi gangguan/kesulitan.
Usia
(X1)
Jenis Kelamin
(X2)
Tingkat Pendidikan
(X3)
Status Pernikahan
(X4) Partisipasi Pekerja
Lansia Pada Sektor
Informal (Y)
Wilayah Tempat
Tinggal (X5)
Jumlah Anggota
Keluarga (X6)
Pelatihan Kerja
(X7)
Gangguan/Kesulitan
(X8)
Berdasarkan kerangka pikir penelitian di atas, maka hipotesis yang akan digunakan
1. Diduga usia berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provinsi Nus
a Tenggara Timur. Lansia dengan kelompok usia yang lebih tua diduga akan
memiliki peluang yang lebih besar untuk memilih sektor informal dibandingkan
2. Jenis kelamin berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provinsi N
usa Tenggara Timur. Lansia perempuan diduga akan memiliki peluang yang lebih
3. Wilayah tempat tinggal berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di P
rovinsi Nusa Tenggara Timur. Lansia yang wilayah tempat tinggalnya di daerah
perdesaan diduga akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memilih sektor
4. Hubungan dengan anggota rumah tangga berpengaruh terhadap pekerja lansia pada se
ktor informal di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lansia yang berstatus sebagai
kepala rumah tangga cenderung memiliki peluang yang lebih besar untuk memilih
sektor informal dibandingkan lansia yang merupakan anggota rumah tangga biasa.
5. Status perkawinan berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provin
si Nusa Tenggara Timur. Lansia yang memiliki status perkawinan yaitu menikah
cenderung memiliki peluang yang lebih besar untuk memilih sektor informal
dibandingkan lansia yang tidak menikah atau cerai hidup atau cerai mati.
6. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provi
nsi Nusa Tenggara Timur. Lansia yang tidak berpendidikan diduga memiliki
peluang yang lebih besar untuk memilih sektor informal dibandingkan dengan lansia
7. Pelatihan kerja berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Lansia yang tidak pernah mengikuti pelatihan diduga
memiliki peluang lebih tinggi dalam memilih sektor informal dibandingkan dengan
i Nusa Tenggara Timur. Lansia dengan kesulitan tinggi diduga memiliki peluang
yang lebih besar untuk memilih sektor informal dibandingkan dengan lansia dengan
kesulitan rendah.