Anda di halaman 1dari 36

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Penduduk

Penduduk didefinisikan sebagai semua orang yang menetap atau berdomisili di

wilayah dan telah menetap di wilayah tersebut dalam waktu enam bulan atau lebih serta

orang tersebut tinggal kurang dari enam bulan tetapi memiliki tujuan untuk menetap (BPS,

2021). Penduduk lebih identik yaitu warga yang menempati suatu wilayah tertentu dan telah

diakui keberadaannya di wilayah tersebut melalui bukti yang konkret yaitu kartu identitas.

Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang mengatur tentang Administrasi

Kependudukan pasal 1 ayat 2, penduduk didefinisikan sebagai warga negara Indonesia dan

orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Penjelasan mengenai penduduk cukup lekat hubungannya dengan berbagai aspek

keilmuan seperti sosiologi, geografi dan ekonomi. Pada sudut pandang ekonomi, penduduk

kerap kali dihubungkan dengan berbagai hal seperi pemasaran dan unit-unit ekonomi lainnya.

Selain dari segi ekonomi, permasalahan yang sering kali berkaitan dengan kependudukan dari

segi demografi yaitu mengenai jumlah penduduk, persebaran geografis serta berbagai hal

lainnya yang berhubungan dengan kependudukan.

2.1.2 Lanjut Usia

Lanjut usia di definisikan sebagai penurunan atau meningkatnya kerentanan orang

terhadap berbagai penyakit serta perubahan lingkungannya, termasuk hilangnya mobilitas dan

ketangkasan dan perubahan fisiologis yang terkait usia (Aru, 2009). Lanjut usia atau Lansia

sering kali dihubungkan dengan seseorang yang telah hidup dengan mencapai batasan umur

tertentu. ILO mendefinisikan batasan umur lansia yaitu seseorang yang berumur 65 tahun ke
atas (ILO, 2006). WHO menyatakan bahwa seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke

atas. United Nations mendefinisikan lansia sebagai seseorang yang berusia 60 tahun atau lebi

h (UN, 2019). Menurut Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lan

jut Usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas, di

mana mengacu pada. BPS mengelompokkan usia lansia ke dalam tiga kelompok usia yaitu la

nsia muda (kelompok usia 60-69 tahun), lansia madya (kelompok usia 70-79 tahun), dan lansi

a tua (kelompok usia 80 tahun ke atas).

Secara umum seseorang dinyatakan sebagai lansia apabila usianya lebih dari 65

tahun. Lansia bukan merupakan penyakit, namun merupakan tahapan lanjut dari proses

kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh dalam beradaptasi dengan

lingkungan. Lansia juga merupakan keadaan yang ditandai dengan kegagalan seseorang

untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalan ini

berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan

secara individual (Affandi, 2009).

BPS juga mengklasifikasikan lansia menjadi dua kategori berdasarkan kemampuan

bekerjanya, yaitu lansia usia produktif dan lansia usia tidak produktif. Usia Lansia produktif

merupakan lansia yang berusia 60 hingga 64 tahun dan dianggap mampu melakukan aktivitas

ekonomi yang menghasilkan barang dan/atau jasa. Sedangkan lansia tidak produktif merupak

an lansia yang berusia 65 tahun ke atas. Hal ini juga dikatakan dalam Undang-Undang Nomo

r 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut pasal 1, yang mengklasifikasikan lansia berdas

arkan kemampuan dalam menghasilkan barang/jasa, yaitu lansia potensial dan lansia tidak po

tensial. Lansia potensial merupakan lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau

kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa, sedangkan lansia tidak potensial adal

ah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan ora

ng lain.
2.1.3 Angkatan Kerja

Angkatan kerja merupakan penduduk yang berusia diatas 10 tahun yang telah

mampu terlibat dalam proses produksi. Konsep ketenagakerjaan yang digunakan BPS menga

cu pada konsep ILO, yaitu penduduk dikelompokkan menjadi penduduk usia kerja dan pendu

duk bukan usia kerja. Batasan usia kerja yang digunakan di Indonesia mengacu pada Peratura

n Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI tentang Metode Penghitungan Persediaan dan K

ebutuhan Tenaga Kerja Pasal 1, dimana Penduduk Usia Kerja adalah penduduk yang berumur

15 tahun dan lebih atau disebut tenaga kerja. Batasan usia tersebut berbeda dengan ILO yang

menetapkan bahwa batasan usia minimum untuk masuk dunia kerja adalah 18 tahun (ILO, 19

73).

Indonesia sendiri tidak menetapkan batasan usia maksimum untuk bekerja. Meskipu

n tidak terdapat batas usia maksimum penduduk usia kerja, BPS menentukan kondisi dimana

seseorang dianggap tidak lagi mampu untuk memenuhi kebutuhannya sehingga perlu bergant

ung pada orang lain, yaitu pada usia 65 tahun dan lebih, atau disebut penduduk kelompok usi

a tidak produktif. Sedangkan penduduk kelompok usia produktif adalah penduduk yang berus

ia 15 hingga 64 tahun yang dianggap mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu.

Penduduk usia kerja dikelompokkan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan ker

ja. Angkatan kerja terdiri dari penduduk usia kerja yang aktif bekerja dan penduduk usia kerj

a yang punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja. Sedangkan bukan angkatan kerja

adalah kelompok penduduk selama seminggu yang lalu masih mempunyai kegiatan yaitu

pertama, sekolah yaitu penduduk yang kegiatan utamanya sekolah. Kedua, mengurus rumah

tangga yaitu penduduk yang kegiatan utamanya mengurus rumah tangga tanpa memperoleh

upat. Ketiga, penerima pendapatan yaitu penduduk yang tidak melakukan kegiatan tetapi

tetap memperoleh penghasilan seperti pensiunan, bunga simpanan dan lainnya. Keempat,
yaitu penduduk yang sudah tidak mampu melakukan kegiatan seperti lanjut usia, cacat

jasmani dan sebagainnya.

2.1.4 Bekerja

Bekerja adalah melakukan kegiatan untuk memperoleh pendapatan/penghasilan yan

g dilakukan paling sedikit selama satu jam (secara kumulatif) dalam seminggu. Kegiatan

tersebut termasuk ke dalam kegiatan pekerja yang tak dibayar namun membantu usaha atau

kegiatan ekonomi. Konsep bekerja pada orang yang sementara tidak bekerja, yaitu mereka ya

ng mempunyai pekerjaan/usaha tetapi selama seminggu yang lalu tidak bekerja karena sesuat

u sebab seperti sakit, cuti, menunggu panen, tugas belajar, atau mogok kerja.

Bekerja adalah kegiatan yang dilakukan secara rutin atas dasar kewajiban dan

tanggung jawab bagi dirinya sendiri, orang lain dan juga perusahaan tanpa merugikan pihak

manapun (Irsyad, 2013). Motivasi manusia untuk bekerja salah satunya adalah memenuhi

kebutuhan hidup. Pada pekerjaan terdapat tiga aspek yang harus dipenuhi individu secara

logika yaitu aktifitas yang dilakukan karena adanya tanggung jawab, pekerjaan yang

dilakukan karena kesengajaan dan tersusun, dan pekerjaan dilakukan karena tujuan yang

luhur yaitu memberi makna terhadap dirinya.


Gambar 5. Diagram Ketenagakerjaan

Sumber : Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2022

2.1.5 Konsep Sektor Informal

Sektor informal merupakan sektor yang terdiri atas individu - individu yang bekerja

untuk dirinya sendiri (self employe). Motivasi pekerja untuk memperoleh pendapatan yang

cukup untuk sekedar mempertahankan hidup (survival). Konsep sektor informal, membagi

kegiatan ekonomi yang bersifat formal dan non formal. Konsep sektor informal pertama kali

diperkenalkan oleh Keith Hart (1973) melalui tulisannya yang berjudul “Informal Income Op

portunities and Urban Employment in Ghana”.

Sektor informal muncul ketika teori mengenai pembangunan mengalami krisis yang

diakibatkan dari berkembangnya kesadaran mengenai model pertumbuhan ekonomi yang

tidak berhasil dalam menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan di negara-

negara berkembang. Kondisi perekonomian mengakibatkan sektor formal lebih selektif dalam
menerima pasokan tenaga kerja, bahkan memiliki peluang besar dalam memutus hubungan

(PHK) tenaga kerjanya. Sehingga sektor informal yang menjadi tumpuan dan harapan bagi

pekerja di masa mendatang, selain itu sektor informal juga menjadi alternatif yang

komplementer terhadap sektor formal.

Adanya klasifikasi tidak sah pada sektor informal didasari oleh tingginya kriminalita

s dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan di Nima. Ditinjau dari kesempatan memperol

eh pendapatan, Hart mengklasifikasikan sektor informal menjadi dua, yaitu secara sah dan tid

ak sah.

1. Sah, terdiri dari :

a. Kegiatan primer dan sekunder yakni pertanian, perkebunan yang berorientasi pa

sar, kontraktor bangunan, dan lain-lain.

b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar yaitu perumahan, transportasi, us

aha-usaha untuk kepentingan umum dan lain-lain.

c. Distribusi kecil-kecilan seperti pedagang kaki lima, pedagang pasar, pedagang

kelontong, pedagang asongan, dan lain-lain.

d. Transaksi pribadi seperti pinjam-meminjam, pengemis.

e. Jasa yang lain seperti pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sa

mpah, dan lain-lain.

2. Tidak Sah, terdiri dari :

a. Jasa kegiatan dan perdagangan gelap terbagi atas penadah barang-barang curian,

perdagangan obat bius, penyelundupan, pelacuran, dan lain-lain.

b. Transaksi seperti pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar (perampokan b

ersenjata), pemalsuan uang, perjudian, dan lain-lain.

Konsep tersebut mulai terjadi beberapa kali revisi sehingga muncullah ILO (1972)

melalui laporan penelitian di Kenya mencirikan sektor informal sebagai berikut :


a. Akses masuk ke sektor informal yang mudah;

b. Ketergantungan pada sumber daya alam asli;

c. Kepemilikan usaha oleh keluarga;

d. Beroperasi dalam skala kecil;

e. Padat karya dan menggunakan teknologi yang disesuaikan;

f. Keterampilan yang dibutuhkan diperoleh dari luar pendidikan formal;

g. Pasar yang tidak diatur dan penuh persaingan.

Sejak konsep sektor informal yang disampaikan oleh ILO pada tahun 1972, dilakuka

n beberapa kali perubahan dalam pendefinisian konsep informal. Perubahan konsep sektor inf

ormal dilakukan agar dapat mencerminkan perkembangan keadaan ketenagakerjaan dan men

gurangi ambiguitas. Konsep sektor informal yang disampaikan ILO dalam International Conf

erence of Labour Statisticians (ICLS) ke-15 pada tahun 1993 menjadi konsep sektor informal

yang diterima dan disetujui secara internasional bercirikan berikut:

1. Terdiri dari unit-unit yang terlibat dalam produksi barang atau jasa dengan tujuan men

ciptakan lapangan kerja dan pendapatan. Unit-unit ini biasanya beroperasi pada orga

nisasi tingkat rendah, dengan sedikit atau tanpa pembagian antara tenaga kerja dan

modal sebagai faktor produksi dan berskala kecil. Sebagian besar hubungan tenaga k

erja bersifat tidak tetap, yang didasari kekerabatan atau hubungan pribadi dan sosial.

2. Unit produksi sektor informal mempunyai karakteristik usaha rumah tangga. Aset teta

p dan aset lain yang digunakan bukan milik unit produksi melainkan milik pemilikn

ya. Unit ini tidak dapat melakukan transaksi atau mengadakan perjanjian kontrak de

ngan unit lain, atau mendapatkan pinjaman atas nama mereka sendiri. Pemilik harus

mencari dana dengan risiko mereka sendiri dan secara pribadi bertanggung jawab, ta

npa adanya batasan atas hutang atau kewajiban yang timbul dalam proses produksi.

Pengeluaran untuk produksi seringkali tidak dapat dibedakan dengan pengeluaran ru


mah tangga. Demikian pula dengan barang modal seperti bangunan atau kendaraan

dapat digunakan secara terpisah untuk keperluan bisnis dan rumah tangga.

3. Kegiatan yang dilakukan oleh unit produksi di sektor informal belum tentu dilakukan

dengan sengaja untuk menghindari pembayaran pajak atau kontribusi jaminan sosial,

atau melanggar peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan atau ketentuan adm

inistratif ketenagakerjaan lainnya. Oleh karena itu, konsep kegiatan sektor informal

harus dibedakan dari konsep kegiatan ekonomi tersembunyi atau ilegal.

Dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997 mendefinisikan usaha sektor informa

l adalah kegiatan orang perseorangan atau keluarga, atau beberapa orang yang melaksanakan

usaha bersama untuk melakukan kegiatan ekonomi atas dasar kepercayaan dan kesepakatan,

dan tidak berbadan hukum. Sedangkan pekerja sektor informal adalah tenaga kerja yang beke

rja dalam hubungan kerja sektor informal dengan menerima upah dan/atau imbalan.

Sektor informal juga sebagai pengaman bagi perkembangan ketenagakerjaan di

Indonesia, hal ini dikarenakan kemampuan sektor ini dalam menyerap tenaga kerja yang

tidak dapat terserap di sektor formal. Kegiatan ekonomi di sektor informal tidak hanya

sebagai pelengkap dari kegiatan ekonomi sektor formal, namun juga berperan sebagai

penyambung rangkaian kegiatan ekonomi yang tidak dapat dicapai oleh sektor formal.

2.1.6 Status Pekerjaan Utama

Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997, dalam penentuan sektor informal

oleh BPS dilakukan berdasarkan sisi pekerja, yaitu berdasarkan status pekerjaan utama. BPS

mendefinisikan status pekerjaan merupakan jenis kedudukan seseorang dalam melakukan pek

erjaan di suatu unit usaha atau kegiatan. Status pekerjaan diklasifikasikan menjadi tujuh kateg

ori, yaitu:

a. Berusaha sendiri, adalah kegiatan bekerja atau berusaha dengan menanggung risiko sec

ara ekonomis, di antaranya dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah dikelua
rkan dalam rangka menjalankan usahanya tersebut, tidak menggunakan pekerja dibayar

maupun pekerja tak dibayar, serta termasuk yang sifatnya memerlukan teknologi atau ke

ahlian khusus.

b. Berusaha dibantu buruh tidak tetap/pekerja keluarga/tidak dibaya, adalah bekerja a

tau berusaha atas risiko sendiri dengan mempekerjakan buruh tidak tetap/pekerja keluarg

a/pekerja tidak dibayar.

c. Berusaha dibantu buruh tetap dan dibayar, adalah berusaha atas risiko sendiri dan me

mpekerjakan paling sedikit satu orang buruh/karyawan/pegawai tetap dan dibayar.

d. Buruh/karyawan/pegawai tidak tetap, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain a

tau instansi/kantor/perusahaan secara tetap dengan menerima upah/gaji baik berupa uang

maupun barang.

e. Pekerja bebas di pertanian, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/majikan/ins

titusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir) di usaha pertanian

baik yang berupa usaha rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar bala

s jasa dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, baik denga

n sistem pembayaran harian maupun borongan.

f. Pekerja bebas di nonpertanian, adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/majikan

/institusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir), di usaha non p

ertanian dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, dan baik

dengan sistem pembayaran harian maupun borongan.

g. Pekerja keluarga/tidak dibayar, adalah seseorang yang bekerja membantu orang lain y

ang bekerja dengan status berusaha (berusaha dibantu buruh tidak tetap dan berusaha dib

antu buruh tetap) baik ART atau bukan, dengan tidak mendapat upah/gaji, baik berupa ua

ng maupun barang.
2.1.7 Teori Ekonomi Ketenagakerjaan

Neoclassical Model of Labor-Leisure Choice

Utilitas dan Indifference Curves

The Budget Constraint

Upah Reservasi

Konsep Menua dengan Aktif (Active Ageing)

2.1.8 Usia

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan usia merupakan lama waktu

hidup sejak dilahirkan. Sedangkan BPS mendefinisikan secara lebih rinci sebagai informasi te

ntang tanggal, bulan, dan tahun dari waktu kelahiran menurut sistem kalender Masehi. Noerai

ni (2015) menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang akan meningkatkan parti

sipasi tenaga kerja untuk bekerja dalam sektor informal. Hal ini tercermin dari menurunnya k

emampuan dalam bersaing menyebabkan sektor informal lebih ramah untuk dimasuki.

Menurut Lasut (2017), usia individu mulai terhitung sejak dia dilahirkan sampai dia

berulang tahun. Semakin cukup usia seseorang maka tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan semakin matang khususnya dalam berpikir dan bekerja. Usia dari tenaga kerja

adalah usia produktif bagi setiap individu. Usia produktif dimana seseorang dinilai telah

mampu memberikan jasa bagi individu lain.

2.1.9 Jenis Kelamin

Jenis kelamin menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara

sosial budaya. Perbedaan jenis kelamin ini mengacu pada unsur emosional dan kejiwaan,

yang merupakan karakteristik sosial dimana hubungan laki-laki dan perempuan


dikosntruksikan sehingga terdapat perbedaan antara tempat dan waktu. United Nations (2012)

mencatat bahwa partisipasi tenaga kerja laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. Hal in

i dikarenakan terdapat konvensi sosial yang berlaku pada masyarakat bahwa laki-laki cenderu

ng bekerja dalam memikul tanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarga sedangkan pe

rempuan tidak bekerja (Junaidi et al., 2017). Pembatasan perempuan dalam bekerja dikarenak

an keyakinan tentang karakteristik ibu yang baik mendominasi untuk mengurus keluarga dan

kebutuhan sehari-hari di rumah (Williams dkk. 2016).

Penelitian Williams dan Windebank (2004) menemukan bahwa perempuan lebih ban

yak terlibat bekerja di sektor informal dibandingkan laki-laki. Peran perempuan bekerja pada

sektor informal disebabkan pekerjaan informal yang umum dilakukan perempuan berkaitan d

engan rumah tangga meliputi memasak, menjahit, pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan ru

mahan (Martin 1996; Miraftab 1996). Waktu bekerja lebih fleksibel menyebabkan perempuan

dapat mengatur waktu untuk mengurus urusan keluarga dan ikut terlibat dalam kegiatan ekon

omi (Perry, 2007).

2.1.10 Tingkat Pendidikan

Undang-Undang 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan

jenjang pendidikan sebagai suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berd

asarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengaj

aran. Jenjang pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terbagi atas pendidikan das

ar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. BPS mengkategorikan tingkat pendidikan be

rdasarkan ijazah tertinggi yang dimiliki yang didapatkan dari sekolah negeri maupun swasta.

Liimatainen (2002) menemukan bahwa tenaga kerja di sektor informal memiliki pen

didikan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang bekerja di sektor formal. Penelitian ini

didukung oleh (Handayani et al.,2018), dimana tenaga kerja sektor informal yang berpendidik

an tinggi memilih untuk pindah ke sektor formal, sedangkan tenaga kerja sektor informal den
gan tingkat pendidikan rendah memilih untuk tetap bekerja di sektor informal. Sektor informa

l menjadi satu-satunya pilihan bagi tenaga kerja dengan pendidikan rendah dalam mempertah

ankan hidup karena sangat sulitnya memasuki sektor formal (Noeraini, 2015).

2.1.11 Status Perkawinan

Status perkawinan merupakan status pribadi setiap individu yang erat kaitannya den

gan hukum perkawinan atau adat istiadat suatu negara. Status perkawinan dikategorikan seba

gai lajang atau belum pernah menikah, menikah, cerai mati dan belum menikah lagi, cerai hid

up dan tidak menikah lagi, serta menikah tetapi tinggal terpisah (UN, 2008). BPS mengkateg

orikan status perkawinan ke dalam empat kategori yaitu, belum menikah, kawin, cerai hidup,

dan cerai mati.

Favreault (1999) menegaskan status perkawinan dapat menentukan keputusan seseor

ang untuk masuk dalam dunia kerja dibandingkan dengan melajang. Penelitian Budiati, dkk

(2022) menemukan individu berusia 50 tahun ke atas yang sudah menikah mempunyai peluan

g lebih besar untuk berpartisipasi bekerja salah satunya dalam sektor informal dibandingkan y

ang tidak menikah.

2.1.12 Wilayah Tempat Tinggal

Tidak terdapat ketetapan secara internasional dalam mengklasifikasikan daerah perd

esaan dan perkotaan dikarenakan setiap negara memiliki definisi yang berbeda-beda antara

masing-masing negara lain. Perbedaan antara perkotaan dan pedesaan secara umum didasarka

n pada cara hidup, standar hidup, persentase penduduk yang aktif secara ekonomi, ketersedia

an listrik dan/atau air pipa di tempat, dan kemudahan akses terhadap pelayanan kesehatan, se

kolah, serta fasilitas rekreasi (UN, 2023). Reddy (2016) dan Kouadio (2020) menemukan bah

wa kecenderungan penduduk yang tinggal di perkotaan untuk bekerja pada sektor informal le

bih rendah dibanding dengan penduduk yang tinggal di pedesaan.


2.1.13 Jumlah Anggota Rumah Tangga

BPS mendefinisikan anggota rumah tangga merupakan semua orang yang biasanya

bertempat tinggal di suatu rumah tangga dan atau makan dari satu dapur, baik yang sedang be

rada di rumah pada waktu pendataan maupun yang sementara tidak berada di rumah. Anggota

rumah tangga ini termasuk ke dalam kepala rumah tangga (KRT), suami/istri, anak, menantu,

cucu, orang tua/mertua, asisten rumah tangga yang menginap, dan lainnya.

Menurut Wirosuhardjo (1996), bahwa besarnya jumlah tanggungan keluarga akan be

rpengaruh terhadap pendapatan karena semakin banyaknya jumlah tanggungan keluarga atau

jumlah anggota keluarga yang ikut makan maka secara tidak langsung akan memaksa tenaga

kerja tersebut untuk mencari tambahan pendapatan.

2.1.14 Pelatihan Kerja

Pelatihan kerja didefinisikan oleh BPS sebagai kegiatan yang memberikan suatu ket

erampilan tertentu yang bersifat khusus pada batas waktu tertentu baik yang diselenggarakan

oleh pemerintah maupun swasta dan memperoleh sertifikat. Sari (2016) mengemukakan bah

wa pelatihan kerja dapat meningkatkan keahlian yang dimiliki seseorang sehingga meningkat

kan kesempatan untuk bekerja pada sektor formal. Bairagya (2012) menemukan bahwa peker

ja yang cenderung terserap dalam sektor formal adalah pekerja dengan kemampuan yang lebi

h baik, sehingga menyebabkan seseorang dengan kemampuan kerja yang kurang akan berakh

ir pada pekerjaan sektor informal. Manning & Pratomo (2013) dalam penelitiannya menjelas

kan bahwa pengalaman dan pelatihan kerja menjadi faktor yang mendukung tenaga kerja unt

uk memasuki sektor formal.

2.1.14 Gangguan atau Kesulitan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pen

yandang Disabilitas, yang dimaksud penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengal

ami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
ketika berinteraksi dengan lingkungan mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipa

si secara penuh dan efektif. Penekanan makna disabilitas dalam konsep BPS adalah adanya g

angguan atau keterbatasan fungsi yang berlangsung lama dan menyebabkan terbatasnya partis

ipasi di masyarakat. Berbagai bentuk gangguan fungsi antara lain melihat, mendengar, berbic

ara, memahami, hilang ingatan, gangguan jiwa, memahami pelajaran, berjalan, bergerak, men

gambil barang kecil menggunakan jari. BPS mengkategorikan tingkat kesulitan sebagai berik

ut:

a. Sama sekali tidak dapat beraktivitas, bila seseorang sama sekali tidak mampu melakukan

aktivitas sehari-hari walaupun bergantung terhadap orang lain.

b. Banyak mengalami kesulitan/gangguan, bila seseorang tidak mampu melakukan aktivitas

sehari-hari dan tergantung penuh terhadap orang lain.

c. Sedikit kesulitan/gangguan, bila seseorang mengalami gangguan fungsi/keterbatasan na

mun masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari.

d. Tidak mengalami kesulitan, bila seseorang tidak mengalami kesulitan fungsi/keterbatasa

n.

Mete dkk., (2007) dan Gilfillan dkk., (2010) menyatakan bahwa kemampuan dalam

beraktivitas yang menurun dapat menjadi alasan seseorang tidak bisa bekerja, terutama bagi i

ndividu yang berusia lanjut. Penelitian Jamalludin (2020) menemukan bahwa lansia yang me

ngalami gangguan/kesulitan baik sedikit maupun sedang lebih cenderung untuk bekerja pada

sektor informal dibandingkan lansia yang tidak mengalami gangguan/kesulitan.

2.1.15 Teknik Resampling Bootstrap

Bootstrap merupakan salah satu metode teknik Resampling nonparametrik yang

berbasis komputer dan potensial untuk digunakan pada masalah keakurasian berdasarkan

simulasi data untuk keperluan inferensi statistik (Sungkono, 2013). Bootstrapping bertujuan

untuk menentukan nilai estimasi yang kuat berdasarkan standard error dan confidence
interval untuk mengestimasi nilai proporsi, rata-rata, median, odds ratio, koefisien korelasi

dan koefisien regresi (Widhiarso, 2012). Kegunaan metode Bootstrap membuat nilai eror

menurun secara signifikan apabila diterapkan pada data yang kecil (Ruparel, 2013). Metode

Bootstrap diawali dengan mengambil sampel dari sampel asli pada ukuran yang sama sesuai

dengan ukuran data asli dan dilakukan dengan pengembalian.

Random sampel yaitu X1*, X2*, …. Xb* masing-masing memiliki nilai data yang

telah disampling secara acak dengan pengembalian dari sampel X, kemudian dilakukan hasil

evaluasi terhadap hasil resampling Bootstrap yang diperoleh pada masing-masing sampel.

Kemudian dilakukan estimasi standard error untuk sampel Bootstrap. Proses resampling

Bootstrap dilakukan dengan menggunakan program komputer, hal ini dikarenakan besarnya

jumlah resampling bisa mencapai ribuan kali sehingga tidak memungkinkan apabila

dilakukan perhitungan manual. Prosedur Bootstrap untuk standard error selalu sama untuk

semua distribusi data. Berikut adalah langkah-langkah prosedur Bootstrap yaitu :

1. Memilih sampel Bootstrap, yaitu sampel yang telah di resampling dari sampel asli

sebanyak B. Dinotasikan dengan X1*, X2*,…,XB*, masing-masing berisikan nilai data

yang telah di sampling secara acak dengan pengembalian dari sampel X

2. Evaluasi hasil Bootstrap yang telah diperoleh pada masing-masing sampel

Bootstrap θ^ =S ¿ ), dimana nilai b = 1,2,..,B


b

3. Estimasi nilai standard error untuk sampel Bootstrap

√{ }
B

∑ ( θ^ b−θ^ ¿ ) / ( B−1 )2
2
^s e B=
b=1

B
1
Dimana : θ^ = ∑ θ^
¿ b
B b=1

4. Mengulangi langkah 1 hingga ke 3 sampai B kali, sehingga diperoleh ^


se1 , s^
e 2 ... , ^
se B
Pendekatan Bootstrap apabila diulang lebih dari satu kali maka akan memberikan

hasil yang berbeda, hal ini dikarenakan pendekatan Bootstrap merupakan suatu simulasi. Jika

dapat dilakukan menggunakan semua kemungkinan sampel yaitu nn maka akan diperoleh

hasil yang sama (Sungkono, 2013).

2.1.16 SMOTE

Ketidakseimbangan data terjadi apabila jumlah dari objek pada kelas data lebih

banyak dibandingkan dengan jumlah objek dari kelas lain. Kelas data dengan objek yang

lebih banyak disebut dengan kelas mayor, sedangkan kelas lainnya disebut sebagai kelas

minor. Penggunaan data yang tidak seimbang membuat model sangat besar pada hasil analisis

yang diperoleh. Pengolahan algoritma yang tidak menghiraukan ketidakseimbangan data

akan cenderung meliputi kelas mayor dibandingkan kelas minor (Chawla, 2004).

Metode SMOTE sebagai salah satu solusi untuk menangani permasalahan data yang

tidak seimbang, berbeda dengan metode oversampling yang menduplikat data secara random

(Chawla, 2004). Metode SMOTE dengan cara menambah jumlah data pada kelas minor agar

setara dengan kelas kelas mayor dengan cara membangkitkan data buatan. Data buatan

tersebut dibangkitkan dengan landasarn k-tetangga terdekat atau (k-nearest neighbor).

Pembangkitan data buatan dengan skala numerik memiliki perbedaan dengan data kategorik.

Data numerik dibangkitkan dengan mengukur jarak kedekatannya atau dengan jarak

Euclidean, sedangkan pada data kategorik lebih sederhana yaitu berdasarkan nilai modus.

Prosedur pembangkitan data buatan yaitu:

1. Data Numerik

a. Menghitung antara vektor utama dengan k-tetangga terdekat

b. Mengkalikan perbedaan pada angka yang diacak antara 0 hingga 1

c. Menambahkan perbedaan tersebut ke dalam nilai utama pada vektor utama asal

sehingga akan diperoleh vektor utama baru


2. Data Kategorik

a. Memilih mayoritas antara vektor utama yang dipertimbangkan sebagai k-

tetangga terdekat pada nilai nominal. Apabila terdapat nilai yang sama maka

akan dipilih secara acak

b. Menjadikan nilai tersebut sebagai data contoh untuk kelas buatan baru.

2.1.17 Analisis Regresi Logistik Biner

Analisis regresi merupakan analisis statistik yang berguna untuk menguji dan memo

delkan hubungan antara satu variabel dependen dan satu atau lebih variabel independen untuk

menelusuri pola hubungan dalam model sehingga dalam penerapannya lebih bersifat eksplora

tif (Agresti, 2007). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian adalah sektor pekerja

an utama lansia yang terdiri atas dua kategori, yaitu sektor informal dan sektor formal. Melal

ui variabel dependen tersebut, analisis yang digunakan adalah regresi logistik biner.

Menurut Hosmer dan Lemeshow (2013) regresi logistik biner merupakan metode ya

ng menghubungkan antara variabel dependen kategorik yang bersifat dikotomi (biner) dengan

variabel independen. Variabel dependennya yang bernilai 1 untuk menyatakan keberadaan se

buah karakteristik (kejadian sukses) dan bernilai 0 untuk menyatakan ketidakberadaan sebuah

karakteristik (kejadian gagal), sesuai dengan distribusi Bernoulli (Agresti, 2007).

A. Estimasi Parameter Model Regresi Logistik

Estimasi parameter dalam regresi logistic dilakukan dengan metode maximum li

kelihood (MLE). Metode tersebut mengestimasi parameter β dengan cara memaksim

umkan fungsi likelihood dan mensyaratkan bahwa data harus mengikuti suatu distrib

usi tertentu. Pada regresi logistik, setiap pengamatan mengikuti distribusi Bernoulli

sehingga dapat ditentukan fungsi likelihood-nya.


Jika xi dan yi adalah variable bebas dan terikat pada pengamatan ke-i dan diasu

msikan bahwa setiap pasangan pengamatan saling independen dengan pasangan pen

gamatan lainnya, i = 1,2,…,n maka fungsi probabilitas adalah


yi 1− yi
f ( yi)=π i ( 1−π i ) , y i=0 , 1 (2.1)

Dimana :

π i : Probabilitas kejadian ke-i dan peubah acak ke-i

Jika Yi =0 maka f(Yi) =


1−π i dan jika Yi =1 maka f(Yi) = π i .

Fungsi model logistik terletak antara range 0 dan 1 yang diperoleh dengan men

ggunakan fungsi logistik.

( )
p
∑ βjX j
j=0
e 1
π ( x i )= =
(∑ ) (∑ )
p p
β X − β X
j j j j
j =0 j=0
1+e 1+ e (2.2)

Setiap pasangan pengamatan diasumsikan independen sehingga fungsi likelihoo

dnya merupakan gabungan dari fungsi distribusi masing-masing-masing pasangan y

aitu sebagai berikut.


n n
l( β )=∏ f ( xi )= ∏ π (x i ) yi ( 1−π ( x i ) )1− yi
i=1 i=1 (2.3)

Agar lebih mudah memaksimumkan dalam bentuk log l( β ) dan dinyatakan den

gan L( β )

L( β )=l( β )
n
L( β )=∏ π ( x i ) yi ( 1−π ( x i ) )1− yi
i=1
n
L( β )=∑ y i ln [ π (x i ) ] + ( 1− y i ) ln [ 1−π ( x i ) ]
i=1

( )
p

(∑ )
p n n ∑ βi xij
L( β )=∑ y i x ij β j −∑ ln 1+ e j=0
j=0 i=1 i=1
(2.4)
Nilai β maksimum didapatkan melalui turunan L( β ) terhadap β dan hasilnya ada

lah sama dengan nol.

p
∂ L( β )
=∑ y x =x
∂ β j i=0 i ij ij

( )
p

n n
∑ β i x ij
∂ L( β ) e j =0
=∑ y i x ij −∑ x ij
∂ βj i=1 i=1
p
∑ βi x ij
1+e j =0

( )
p

n n
∑ β i x ij
e j=0
=∑ y i xij −∑ x ij ∂
i=1 i=1 ∂β p
∑ β i xij
1+ e j=0
n n
∑ yi x ij −∑ x ij π^ ( x i ) =0
i=1 i=1 (2.5)

Dengan j = 0,1,…,p

Turunan pertama dari fungsi ln likelihood terhadap setiap parameter memberik

an penyelesaian yang implisit, sehingga digunakan iterasi Newton Raphson dalam p

enaksiran parameternya. Metode Newton-Raphson merupakan metode untuk menyel

esaikan persamaan nonlinier seperti menyelesaikan persamaan likelihood dalam mo

del regresi logistik. Metode Newton-Raphson memerlukan taksiran awal untuk nilai

fungsi maksimumnya, yang mana fungsi tersebut merupakan taksiran yang menggun

^
akan pendekatan polynomial berderajat dua dalam hal ini menentukan nilai β dan 

yang merupakan fungsi maksimum dari g ( β ) . jika


qt=
( ∂ L( β ) ∂ L( β )
∂ β0
,
∂ β1
, .. . ,
∂ L (β )
∂ βk )
∂2 L( β )
h ab=
dan H dinotasikan sebagai matriks yang mempunyai anggota ∂ β j , yang m

^
erupakan bentuk evaluasi  t, taksiran ke-t pada β . Pada langkah ke-t dalam proses

iterasi (t=0,1,2,..), g ( β ) merupakan bentuk orde kedua dari ekspansi deret taylor.
1
Qt ( β )=g ( βt )+ qt ( β−β t ) + ( β−β t ) H t ( β−β t )
2 (2.6)

Penyelesaian :

∂Q t
=q t +H t ( β−β t )=0
∂β
β t−1=β t −( H t )−1 q t

Dengan mengasumsikan H(t) sebagai matriks non singular, untuk setiap langka

h iterasi ke-t berlaku sebagai berikut.

∂ L( β )
q(jt )= |β t
∂βj

( )
p

n n
∑ β i x ij
e j=0
q(jt )= ∑ y i x ij −∑ x ij ∂∂ β p
i=1 i=1 ∑ βi x ij
1+ e j=0
n n
q(jt )=∑ y i x ij −∑ x ij π^ it
i=1 i=1

(∑ ∑ )
n n
q(jt )= yi− π^ ti x ij
i=1 i=1

(∑ )
n
q(jt )= y i −π^ ti x ij
i=1 (2.7)

Matriks Hessian adalah matriks diagonal dengan off-diagonal elements sama de

ngan 0, serta elemen diagonal merupakan turunan kedua dari L( β ) .

[ ]
π^ t1 ( 1− π^ t1 ) 0 0 0
t t
0 π^ 2 ( 1− π^ 2 ) 0 0
H=
0 0 ⋱ 0
0 0 0 π^ 2 ( 1−π^ t2 )
t
(2.8)
∂2 L( β )
h ab= |t
∂ βa ∂ βb β

( )
n
h ab=∂ ∑ y i− π^ ti x ij
i=1

h ab=−∑ x ia xib π^ it (1−π^ it )

π^ ti ( 1− π^ ti )=0

(∑ )
k
β t X ij
j =0 j
et
π= i
(∑ )
k
β X
j=0 jt ij
1+ e

Maka matriks H dapat ditulis seperti berikut : −X ( diag { π^ ¿ ¿ i (1− π^ i )) X


T t t

Maka estimasi parameter model regresi logistik adalah.

β t−1=β t −( H t )−1 q t
−1
{
β t+1 =β t − X T Diag [ π^ ti (1−π^ ti ) ] X } X T ( y− π^ ti )
(2.9)

2.1.18 Analisis Regresi Logistik Firth

Regresi logistik firth adalah sebuah pengembangan dari regresi logistik biner

yang dilakukan oleh Firth pada tahun 1993. Metode regresi logistik firth dipilih dika

renakan metode ini merupakan metode yang cocok digunakan baik pada sampel bes

ar maupun sampel kecil (Leitgob, 2013). Model regersi logistik firth dibuat dengan

mempertimbangkan bias pada estimasi menggunakan maximum likelihood estimatio

n (MLE) yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kejadian sukses dan gagal yang

dikumpulkan dalam data. Sehingga, Firth (1993) membentuk suatu metode estimasi

yang fungsinya digunakan untuk mengatasi kelemahan dari MLE yaitu dengan men

ggunakan penalized maximum likelihood estimation (PLME).

Estimasi Parameter Model Regresi Logistik Firth


2.1.19 Pengujian Paramater

Untuk menguji signifikansi dari parameter-parameter tersebut digunakan dua u

ji, yaitu uji rasio likelihood dan uji Wald (Agresti, 2007).

A. Pengujian Parameter secara Simultan

Pengujian simultan dilakukan untuk mengetahui minimal terdapat satu vari

abel independen yang berpengaruh terdapat variabel dependen. Uji simultan pa

da regresi logistik dilakukan dengan membandingkan nilai observasi dan nilai p

rediksi yang didapat dari dua model. Pengujian serentak dilakukan untuk meme

riksa signifikansi koefisien β secara serentak (overall) (Hosmer & Lemeshow, 2

013) dengan hipotesis sebagai berikut.

H0 : β1=β2=…=βp=0

H1 : Minimal ada satu βj≠0 ; j = 1,2,3,..,p


2
( p,α)
Daerah kritis : Tolak H0 jika G > χ

Statistic uji :

G=−2 ln
[ ( likelihood without the variabel )
( likelihood with the variabel ) ]

[ ( )( )
]
n1 n0
n1 n0
n n
G=−2 ln n


i=1
π^ iyi ( 1−π^ iyi )1− yi

(2.10)

Atau
{ }
n
G=2 ∑ [ y i ln ( π^ i )+(1− y i )ln (1−π^ i )]− [ n1 ln( n1 )+ n0 ln (n0 )−n ln (n) ]
i=1

n n
n1 =∑ y 1 n 0=∑ (1− y 1 )
Dimana : i =1 i=1
n=n1 + n0

Keterangan :

n0 = jumlah pengamatan dengan kategori y=0

n1 = jumlah pengamatan dengan kategori y=1

n = jumlah pengamatan

p = banyaknya parameter dalam model tanpa β0

Jika terdapat k kategori pada suatu variable predictor, maka kontribusi untu

k derajat bebas pada uji likelihood adalah sebesar k-1 (Hosmer & Lemeshow, 2

013).

B. Pengujian Parameter secara Parsial

Pengujian parsial dilakukan untuk mengetahui signifikansi setiap paramete

r terhadap variable respon. Pengujian signifikansi parameter menggunakan uji

Wald dengan hipotesis sebagai berikut.

H0 : βj=0

H1 : βj≠0 ; j = 1,2,3,..,p

Daerah kritis : Tolak H0 jika


|W|>Z α /2

Statistik uji :

β^ j
W=
SE( β^ j )
(2.11)
Statistic uji W disebut sebagai statistik uji Wald dengan
SE( β^ j ) adalah taks

iran standar eror parameter. Statistik uji W tersebut, yang juga disebut sebagai s

tatistic uji Wald, mengikuti distribusi normal. Berikut adalah statistic uji Wald ji

ka mengikuti distribusi chi square, dengan daerah kritis yaitu tolak H 0 jika

W 2 > χ 2p (α ) . P adalah banyaknya variable.

β^
2 j2
W =
SE ( β^ j )2

(2.12)

2.1.20 Uji Kesesuaian Model

Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah model yang dihasilkan berdasar

kan regresi logistic multivariate atau serentak sudah layak. Pengujian ini menggunak

an statistic uji Hosmer dan Lemeshow (Hosmer & Lemeshow, 2013) dengan hipotes

is yang digunakan sebagai berikut.

H0 : Model sesuai (tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pengamata

n dengan kemungkinan hasil prediksi model)

H1 : Model tidak sesuai (terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pengamata

n dengan kemungkinan hasil prediksi model)


2
Daerah Kritis : Tolak H0 jika C^ > χ
( g−2) α
; dengan db = g-2

Statistik Uji :

g
(o k−n' k π̄ k )2
^ ∑
C=
k =1 n ' k π̄ k (1− π̄ k )

(2.13)

Selain menggunakan rumus tersebut statistic uji Hosmer dapat dihitung dengan

rumus sebagai berikut.


( ( O1 g −E1 g )2 ( O0 g −E 0 g ) 2
)
G
χ =∑
2
+
g=1 E1 g E0 g

(2.14)

2
2 ( g−2) α
Daerah kritis untuk statistic uji diatas adalah Tolak H 0 jika χ > χ ; denga

n db = g-2

Keterangan :

Ok = observasi pada grup ke-k

Ck m j π^ j
π̄ k = rata-rata taksiran peluang; ∑ n 'k
j=1

g = jumlah grup (kombinasi kategori dalam model serentak)

n ' k = banyaknya observasi pada grup ke-k

Kebaikan model yang didaptkan dalam analisis digunakan untuk mengetahui se

jauh mana variable predictor dapat menjelaskan model yang terbentuk dengan nilai

R-sq. Kebaikan model pada regresi logistic dengan menggunakan nilai R-Square Co

x and Snell dan Nagelkerke, rumus untuk menghitung kedua nilai tersebut ditunjukk

an pada rumus dibawah ini.

R2Cox∧Snell =1 , 0−exp ( 2 ln( L full )−2 ln( Lint ercept )


N )
R2Cox∧Snell
R2Nagel=
1 , 0−exp ( −2 ln( Lint ercept )
N )
(2.15)
2.1.21 Ketepatan Klasifikasi

Ketepatan klasifikasi model digunakan untuk mengetahui apakah data diklasifikasik

an dengan benar atau tidak. Evaluasi prosedur klasifikasi adalah suatu evaluasi yang melihat

peluang kesalahan klasifikasi yang dilakukan oleh suatu fungsi klasifikasi. Semakin tinggi

akurasi klasifikasi maka performansi teknik klasifikasi juga semakin baik. Ketepatan

klasifikasi pada kelas dikotomus dapat dihitung menddunakan confusion matrix (klasifikasi

tabel). Berikut adalah tabel klasifikasi dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Tabel Klasifikasi


Nilai Prediksi
Hasil Observasi
Positif Negatif
Positif TP FN
Negatif FP TN
Keterangan :

TP = True Positive, data asli positif dan tepat diklasifikasikan positif

FP = False Positive, data asli negatif namun diklasifikasikan positif

FN = False Negative, data asli positif namun diklasifikasikan negatif

TN = True Negative, data asli negatif dan tepat diklasifikasikan negatif

Berdasarkan tabel klasifikasi diatas, dapat dilakukan perhitungan kriteria performa

klasifikasi yang sering digunakan yaitu akurasi total, sensitivitas dan spesifisitas. Akurasi

menunjukkan nilai keakurasian sistem dalam mengklasifikasikan data secara akurat.

Sensitivitas merupakan proporsi dari kelas positif yang terprediksi secara benar. Sedangkan

spesifisitas merupakan proporsi dari kelas negatif yang terprediksi secara benar. Berikut

merupakan rumus perhitungan akurasi, sensitivitas dan spesifisitas.

TP+ TN
Akurasi=
TN +TP+ FN + FP
(2.16)
TP
Sensitivitas=
TP+FN
(2.17)

TN
Spesifitas=
TN +FP
(2.18)

Pehitungan ketepatan klasifikasi pada data yang tidak seimbang atau imbalanced

bisa menggunakan pengukuran Geometric Mean (G-Mean). G-Mean digunakan untuk

mengukur performa secara keseluruhan (overall classification performance). Nilai ini akan

memaksimalkan keakuratan pada masing-masing kelas dengan keseimbangan yang baik

(Barandela et al, 2003). Berikut adalah rumus untuk menghitung G-Mean.

G−Mean= √ Sensitivitas×Spesifisitas
(2.19)

2.1.22 Odds Ratio (Rasio Kecenderungan)

Estimasi koefisien dari variable predictor yang menyatakan slope atau nilai perubah

an variable respon untuk setiap perubahan satu unit variable predictor. Interpretasi koefisien p

arameter meliputi penentuan hubungan fungsional antara variable respon dan variable predict

or serta mendefinisikan unit perubahan variable respon yang disebabkan oleh variable predict

or. Rasio kecenderungan (odds ratio) merupakan suatu ukuran yang berupa angka kecenderu

ngan yang didefinisikan sebagai rasio antara jumlah individu yang mengalami kasus atau peri

stiwa tertentu dengan jumlah individu yang tidak mengalami kasus atau peristiwa tersebut, ba

ik di dalam sampel maupun populasi (Agresti, 2007). Berdasarkan model ada dua nilai π ( x ) d

an dua nilai 1−π ( x ) yang dinyatakan seperti pada Tabel 2.2


Tabel 2.2. Nilai Model Regresi Logistik
Variabel Prediktor (X)
Variabel Respon (Y)
X =1 X =0
β 0 +β 1 β0
e e 1
Y =1 π ( 1)= β +β π ( 0 )= β0
1+e 0 1
1+ e
1 1
Y =0 1−π (1 )= β 0 +β 1
1−π ( 0 )= β0
1+ e 1+e
Sumber : Hosmer dan Lemeshow, 2013

Untuk menginterpretasikan koefisien parameter digunakan nilai odds ratio ( ψ ). Nila

i odds yang dihasilkan dengan x = 1 didefinisikan π (1)/ [ 1−π (1 ) ] . Demikian pula, nilai odds y

ang dihasilkan dengan x = 0 adalah π (0 )/ [ 1−π (0 ) ] . Odds ratio dinotasikan dengan symbol O

R atau ψ , didefinisikan odds rasio untuk x = 1 dan x = 0 dengan rumus sebagai berikut.

π ( 1 )/ [ 1−π (1) ]
OR (ψ )=
π ( 0 )/ [ 1−π (0 ) ]
(2.20)

Berdasarkan Tabel 2.2 nilai odds rasio adalah.

( )( )
β0 + β 1
e 1
β 0+ β 1 β 0 +β 1
1+e 1+ e
ψ=

( )( )
β0
e 1
β0 β0
1+e 1+e
β 0 +β 1
e
ψ= β0
e
ψ=e(
β 0+ β 1) −β 0

( β 1)
ψ=e

Odds ratio adalah ukuran asosiasi yang dapat diartikan secara luas terutama epidemi

ologi. Dari persamaan diatas odds ratio merupakan rata-rata besarnya kecenderugan variable r

espon bernilai tertentu jika x = 1 dibandingkan x = 0.

2.2 Penelitian Terkait

Pekerjaan informal dianggap sebagai salah satu pilihan pekerjaan bagi masyarakat

(yang terpaksa keluar dari pasar tenaga kerja formal) dengan berbagai jenjang usia yang tidak
memiliki pengalaman cukup memadai dalam memasuki pasar tenaga kerja formal sehingga m

enjadikan pasar tenaga kerja informal sebagai pilihan terakhir (Cano-Urbina, 2015; Maloney,

2003). Pernytaan tersebut didukung oleh hasil penelitian Noeraini (2015) yang menyatakan b

ahwa semakin bertambahnya usia seseorang maka akan meningkatkan partisipasi tenaga kerja

dalam sektor informal.

Penelitian Williams dan Windebank (2004) menyatakan bahwa perempuan lebih

sering bekerja pada sektor informal dibandingkan dengan laki-laki. Peran perempuan pada se

ktor informal disebabkan karena perempuan sering kali berkaitan dengan rumah tangga (Mart

in 1996; Miraftab 1996). Dimana waktu bekerja lebih fleksibel sehingga perempuan dapat me

ngatur waktu untuk mengurus urusan keluarga dan ikut terlibat dalam kegiatan ekonomi (Perr

y, 2007).

Penelitian Günther & Launov (2012) menemukan bahwa tingkat pendidikan dan pen

galaman yang lebih tinggi pada seseorang yang bekerja di sektor formal dibandingkan sektor

informal. Liimatainen (2002) menyatakan bahwa tenaga kerja di sektor informal memiliki pe

ndidikan yang lebih rendah dibandingkan di sektor formal. Pernyataan ini didukung oleh Jam

alludin (2020), yaitu lansia dengan pendidikan rendah dan menengah cenderung lebih sering

bekerja pada sektor informal dibandingkan lansia yang berpendidikan tinggi.

Favreault (1999) menegaskan bahwa status perkawinan dapat menentukan keputusa

n seseorang untuk masuk kedalam dunia kerja dibandingkan dengan seseorang yang belum

menikah. Penelitian Budiati, dkk (2022) menemukan bahwa individu yang berusia 50 tahun k

e atas dan sudah menikah memiliki peluang lebih besar dalam berpartisipasi kerja, salah satun

ya pada sektor informal dibandingkan yang tidak menikah.

Reddy (2016) dan Kouadio (2020) menemukan bahwa kecenderungan penduduk ya

ng tinggal di perkotaan untuk bekerja pada sektor informal lebih rendah dibanding dengan pe

nduduk yang tinggal di pedesaan. Pang, Braw dan Rozella (2004) mengemukakan bahwa pen
duduk yang tinggal di pedesaan harus tetap bekerja sampai dengan usia yang relatif sangat tu

a, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk pensiun.

Neupane (2021) mengemukakan bahwa semakin banyak anggota rumah tangga, maka

semakin besar pula keterlibatan seseorang untuk bekerja di sektor informal. Hal ini dikarenak

an semakin banyak anggota keluarga, maka semakin tinggi pengeluaran yang dibutuhkan

oleh sebab itu diperlukan pendapatan yang banyak untuk menunjang kebutuhan tersebut. Men

urut Wirosuhardjo (1996), bahwa besarnya jumlah tanggungan keluarga akan berpengaruh ter

hadap pendapatan rumah tangga, hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah tanggungan kel

uarga atau jumlah anggota keluarga yang ikut makan maka secara tidak langsung akan mema

ksa tenaga kerja tersebut untuk mencari tambahan pendapatan dalam memenuhi

kebutuhannya.

Sari (2016) mengemukakan bahwa pelatihan kerja dapat meningkatkan keahlian yan

g dimiliki seseorang sehingga mampu meningkatkan kesempatan bekerja pada sektor formal.

Bairagya (2012) menemukan bahwa pekerja yang cenderung terserap kedalam sektor formal

adalah pekerja dengan kemampuan yang lebih baik. Sehingga seseorang dengan kemampuan

kerja yang kurang akan berakhir pada pekerjaan sektor informal. Manning & Pratomo (2013)

dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pengalaman dan pelatihan kerja menjadi faktor yang

mendukung tenaga kerja untuk memasuki sektor formal.

Mete dkk., (2007) dan Gilfillan dkk., (2010) menyatakan bahwa kemampuan dalam

beraktivitas yang menurun menjadi salah satu alasan seseorang tidak bisa bekerja, terutama b

agi individu yang berusia lanjut. Penelitian Jamalludin (2020) menemukan bahwa lansia yang

mengalami gangguan atau kesulitan, baik sedikit maupun sedang lebih cenderung untuk beke

rja pada sektor informal dibandingkan lansia yang tidak mengalami gangguan atau kesulitan.

2.3 Kerangka Pikir


Berdasarkan landasan teori dan penelitian-penelitian terkait yang telah dijelaskan, te

rdapat delapan variabel yang diduga dapat memengaruhi lansia bekerja pada sektor informal

di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Variabel usia diduga berpengaruh terhadap partisipasi pek

erja lansia pada sektor informal. Seiring dengan bertambahnya usia akan meningkatkan kecen

derungan seseorang untuk bekerja di sektor informal.

Penuaan penduduk pada suatu wilayah akan berdampak kepada penurunan kondisi

ekonomi yang diakibatkan pada penurunan produktivitas kinerja penduduk. Kondisi ini

menyebabkan lansia sering kali menjadi beban bagi keluarga dalam hal pemenuhan

kebutuhan hidup yang semakin tinggi akibat adanya biaya kesehatan. Dalam hal

memaksimalkan suplai tenaga kerja yang banyak, penduduk lansia dituntut agar memiliki

kemampuan yang memadai agar mampu bersaing pada pasar kerja sehingga memiliki

pekerjaan yang layak serta pendapatan yang diperoleh cukup dalam hal pemenuhan

kebutuhan hidupnya. Sehingga sering kali ditemui bahwa pada sektor kerja informal,

mayoritas pekerjannya adalah lansia.

Penting untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang secara signifikan

mempengaruhi lansia untuk bekerja pada sektor informal agar dapat dijadikan sebagai bahan

referensi mengenai apa yang harus diperbaiki oleh pemerintah, sehingga dapat meningkatkan

produktivitas lansia. Berdasarkan penjabaran diatas, berikut adalah penjelasan sekaligus

skema mengenai kerangka pikir.

Variabel jenis kelamin diduga berpengaruh terhadap partisipasi pekerja lansia pada s

ektor informal. Pekerja perempuan lebih banyak terjun dalam sektor informal dibandingkan l

aki-laki. Hal ini dikarenakan sektor informal memiliki waktu bekerja yang lebih fleksibel unt

uk menyesuaikan perempuan dalam bekerja dan mengurus keluarga.

Variabel tingkat pendidikan diduga berpengaruh terhadap partisipasi pekerja lansia

pada sektor informal. Seseorang yang bekerja dalam sektor informal memiliki pendidikan yan
g lebih rendah dibandingkan dengan yang bekerja pada sektor formal. Sektor informal dinilai

menjadi pilihan terakhir bagi tenaga kerja yang berpendidikan rendah dalam mencari pendapa

tan dikarenakan tingginya syarat untuk memasuki sektor formal.

Variabel status perkawinan diduga berpengaruh terhadap partisipasi pekerja lansia p

ada sektor informal. Status perkawinan dapat menentukan keputusan seseorang untuk masuk

ke dalam dunia kerja. Tenaga kerja yang sudah menikah memiliki peluang lebih besar untuk

berpartisipasi bekerja, baik dalam sektor informal dibandingkan yang tidak menikah.

Variabel wilayah tempat tinggal diduga berpengaruh terhadap partisipasi pekerja lan

sia pada sektor informal. Tenaga kerja yang tinggal di perkotaan cenderung lebih rendah untu

k bekerja pada sektor informal dibandingkan penduduk yang tinggal di pedesaan.

Variabel jumlah anggota rumah tangga diduga berpengaruh terhadap partisipasi pek

erja lansia pada sektor informal. Semakin banyak jumlah anggota dalam suatu rumah tangga

menyebabkan semakin besar biaya untuk menghidupi keluarga. Hal ini yang membuat tenaga

kerja secara tidak langsung memaksakan diri untuk mencari pendapatan tambahan melalui se

ktor informal.

Variabel pelatihan kerja diduga berpengaruh terhadap partisipasi pekerja lansia pada

sektor informal. Pekerjaan sektor formal cenderung menyerap tenaga kerja dengan memiliki

kemampuan kerja lebih baik yang dapat dilihat melalui pengalaman dan keikutsertaan pelatih

an kerja. Tenaga kerja yang tidak mengikuti pelatihan kerja cenderung lebih tinggi untuk bek

erja di sektor informal.

Variabel gangguan/kesulitan diduga berpengaruh terhadap partisipasi pekerja lansia

pada sektor informal. Tenaga kerja yang memiliki gangguan/kesulitan sedikit maupun sedang

cenderung untuk bekerja pada sektor informal dibandingkan tenaga kerja yang tidak mengala

mi gangguan/kesulitan.
Usia
(X1)

Jenis Kelamin
(X2)

Tingkat Pendidikan
(X3)

Status Pernikahan
(X4) Partisipasi Pekerja
Lansia Pada Sektor
Informal (Y)
Wilayah Tempat
Tinggal (X5)

Jumlah Anggota
Keluarga (X6)

Pelatihan Kerja
(X7)

Gangguan/Kesulitan
(X8)

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir penelitian di atas, maka hipotesis yang akan digunakan

dalam penelitian adalah sebagai berikut.

1. Diduga usia berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provinsi Nus

a Tenggara Timur. Lansia dengan kelompok usia yang lebih tua diduga akan
memiliki peluang yang lebih besar untuk memilih sektor informal dibandingkan

kelompok usia yang lebih muda.

2. Jenis kelamin berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provinsi N

usa Tenggara Timur. Lansia perempuan diduga akan memiliki peluang yang lebih

besar untuk memilih sektor informal dibandingkan lansia laki-laki.

3. Wilayah tempat tinggal berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di P

rovinsi Nusa Tenggara Timur. Lansia yang wilayah tempat tinggalnya di daerah

perdesaan diduga akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memilih sektor

informal dibandingkan lansia yang wilayah tempat tinggalnya di daerah perkotaan.

4. Hubungan dengan anggota rumah tangga berpengaruh terhadap pekerja lansia pada se

ktor informal di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lansia yang berstatus sebagai

kepala rumah tangga cenderung memiliki peluang yang lebih besar untuk memilih

sektor informal dibandingkan lansia yang merupakan anggota rumah tangga biasa.

5. Status perkawinan berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provin

si Nusa Tenggara Timur. Lansia yang memiliki status perkawinan yaitu menikah

cenderung memiliki peluang yang lebih besar untuk memilih sektor informal

dibandingkan lansia yang tidak menikah atau cerai hidup atau cerai mati.

6. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provi

nsi Nusa Tenggara Timur. Lansia yang tidak berpendidikan diduga memiliki

peluang yang lebih besar untuk memilih sektor informal dibandingkan dengan lansia

yang berpendidikan minimal tamatan dari sekolah dasar.

7. Pelatihan kerja berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provinsi

Nusa Tenggara Timur. Lansia yang tidak pernah mengikuti pelatihan diduga

memiliki peluang lebih tinggi dalam memilih sektor informal dibandingkan dengan

lansia yang pernah mengikuti pelatihan.


8. Tingkat kesulitan berpengaruh terhadap pekerja lansia pada sektor informal di Provins

i Nusa Tenggara Timur. Lansia dengan kesulitan tinggi diduga memiliki peluang

yang lebih besar untuk memilih sektor informal dibandingkan dengan lansia dengan

kesulitan rendah.

Anda mungkin juga menyukai