Anda di halaman 1dari 27

REFARAT

ANEMIA MIKROSITIK
(THALASEMIA, ANEMIA SIDEROBLASTIK DAN
KERACUNAN TIMBAL)

OLEH

NAMA : BULQIS SYAL DUHA


NIM : PO714203232009
KELAS : RPL TLM 2023

Dosen Pembimbing
Yaumil Fachni Tandjungbulu. S.ST., M. Kes

POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR


JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat-Nya sehingga refarat
ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis
tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yaumil Fachni Tandjungbulu. S.
ST., M. Kes sebagai dosen pembimbing Mata Kuliah Kapita Selekta Hematologi
dan dari berbagai pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materi dalam penyusunan refarat “Anemia Mikrositik
(Talasemia, Anemia Sideroblastik dan Keracunan Timbal)” ini.
Penulis sangat berharap semoga refarat ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca dan penulis sendiri.
Bagi saya sebagai penulis, merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan refarat ini, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis.
Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca demi kesempurnaan refarat ini.

Makassar, 20 September
2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................iii
DAFTAR TABEL..............................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG...................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................4
C. TUJUAN........................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. ANEMIA MIKROSITIK............................................................................5
1. Definisi Anemia Mikrositik.....................................................................5
2. Patofisiologi Anemia Mikrositik..............................................................6
3. Gambaran Hasil Laboratorium................................................................7
B. ANEMIA MIKROSITIK KARENA THALASEMIA..............................8
1. Definisi Thalasemia.................................................................................8
2. Patofisiologi Anemia Mikrositik Karena Thalasemia..............................9
3. Gambaran Hasil Laboratorium Thalasemia.............................................10
4. Jurnal Ilmiah Terkait Thalasemia............................................................11
C. ANEMIA MIKROSITIK KARENA ANEMIA SIDEROBLASTIK......13
1. Definisi Anemia Sideroblastik.................................................................13
2. Patofisiologi Anemia Mikrositik Karena Anemia Sideroblastik.............14
3. Gambaran Hasil Laboratorium Anemia Sideroblastik.............................16
4. Jurnal Ilmiah Terkait Anemia Sideroblastik............................................16
D. ANEMIA MIKROSITIK KARENA KERACUNAN TIMBAL..............17
1. Definisi Keracunan Timbal......................................................................17
2. Patofisiologi Anemia Mikrositik Karena Keracunan Timbal..................18
3. Gambaran Hasil Laboratorium Keracunan Timbal..................................19
4. Jurnal Ilmiah Terkait Keracunan Timbal.................................................19

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN..............................................................................................20
B. SARAN..........................................................................................................20

iii
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................21

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Variasi Ukuran Eritrosit...................................................................5


Gambar 2.2 Investigasi Anemia Hipokrom Mikrositik.......................................8
Gambar 2.3 Morfologi Sel Anemia Sideroblastik...............................................16
Gambar 2.4 Skema Efek Terjadinya Anemia Oleh Pb........................................18

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hasil Laboratorium Thalasemia...........................................................10


Tabel 2.2 Hasil Laboratorium Anemia Sideroblastik..........................................16
Tabel 2.3 Hasil Laboratorium Pada Kelainan Timbal.........................................19

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Anemia didefinisikan sebagai penurunan massa sel darah merah yang
bersirkulasi di bawah tingkat normal. Anemia adalah kondisi yang sangat
umum dan tersebar luas pada populasi manusia. Sel darah merah yang
bersirkulasi (sel darah merah) mengandung protein yang disebut hemoglobin,
protein tersebut memiliki empat rantai polipeptida dan satu cincin heme yang
mengandung zat besi dalam bentuk tereduksi. Besi adalah komponen utama
hemoglobin dan merupakan pembawa utama oksigen. Berkurangnya cadangan
zat besi dalam tubuh mempengaruhi produksi hemoglobin yang selanjutnya
menghambat pengangkutan oksigen ke sistem organ tubuh. Anemia
mengurangi kapasitas membawa oksigen darah dan menyebabkan hipoksia
jaringan. Biasanya, penyakit ini didiagnosis berdasarkan hematokrit (rasio sel
darah merah terhadap volume darah) dan konsentrasi hemoglobin. (Chaudhry,
Hammad S. et al, 2023).
Menurut data epidemiologi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 24,8%
populasi manusia saat ini menderita anemia dan sebagian besar disebabkan
oleh anemia defisiensi besi. Anemia mikrositik hipokromik lebih sering terjadi
pada wanita pramenopause karena mereka kehilangan darah setiap kali siklus
menstruasi. Di antara populasi wanita, hampir 41% dari seluruh wanita hamil
menderita anemia, sedangkan di antara wanita pra-menopause yang tidak
hamil, 30% wanita menderita anemia. Populasi pria biasanya resisten terhadap
anemia karena kadar testosteron yang bersirkulasi. Namun, 12,7% pria dewasa
di seluruh dunia juga menderita anemia. Setelah penduduk perempuan, anak-
anak usia prasekolah merupakan kelompok yang paling menderita anemia
karena kurangnya zat besi dalam makanan utama mereka. ASI mengandung

vi
0,3 mg/L zat besi yang tidak menyediakan cukup zat besi. (Chaudhry,
Hammad S. et al, 2023).
Anemia mikrositik, hipokromik, seperti namanya, adalah jenis anemia di
mana sel darah merah yang bersirkulasi lebih kecil dari ukuran sel darah
merah biasanya (mikrositik) dan warna merahnya berkurang
(hipokromik). Penyebab paling umum dari anemia jenis ini adalah
berkurangnya cadangan zat besi dalam tubuh yang mungkin disebabkan oleh
berbagai alasan. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan zat besi dalam
makanan, buruknya penyerapan zat besi dari usus, kehilangan darah akut dan
kronis, peningkatan kebutuhan zat besi dalam situasi tertentu seperti
kehamilan atau pemulihan dari trauma besar atau pembedahan. (Chaudhry,
Hammad S. et al, 2023).
Menurut Suryani, E. et al (2015) thalassemia merupakan penyakit
hemolitik atau kurangnya kadar hemoglobin yang disebabkan oleh defisiensi
pembentukan rantai globin Alpha atau Betha yang menyusun hemoglobin.
Berdasarkan defisiensi pembentukan rantai globin tersebut maka Thalasemia
dibedakan menjadi Thalasemia Alpha dan Thalasemia Betha. Berdasarkan
gejala klinis Thalasemia dikategorikan menjadi dua yaitu Thalasemia minor
dan Thalasemia Mayor. (Pinilih, Astri. et al, 2020).
Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7%
dari penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian
tertinggi sampai dengan 40%. kasusnya adalah di Asia. Prevalensi karier
thalasemia di Indonesia mencapai 3-8%. (Pinilih, Astri. et al, 2020).
Vehapoglu, A.et al (2014) menyatakan bahwa diagnosis diferensial
definitif antara β- Thalassemia dan anemia defisiensi besi didasarkan pada
hasil HbA₂ elektroforesis, kadar zat besi serum, dan perhitungan feritin.
Tujuan menggunakan indeks untuk membedakan dan mendeteksi subyek yang
memiliki probabilitas tinggi yang memerlukan tindak lanjut yang tepat dan
untuk mengurangi biaya investigasi yang tidak perlu. (Pinilih, Astri. et al,
2020).

vii
Menurut Kristiana, R.H. et al (2018) terdapat beberapa indikator yang
sering digunakan untuk membedakan penyebab tersering anemia mikrositik
hipokromik tersebut. Indikator-indikator tersebut dapat digunakan sebagai
alternatif untuk skrining β- Thalassemia dan anemia defisiensi besi, beberapa
di antaranya adalah indeks Mentzer, indeks Red Distribution Width dan
indeks Green & King. Indeks Green & King menggunakan formula MCV² x
RDW / (Hemoglobin x 100) untuk membedakan kedua penyebab terbanyak
anemia mikrositik hipokromik. Jika disebabkan karena defisiensi besi nilai
akan cenderung lebih dari 65, jika anemia disebabkan karena thalassemia beta
nilai akan cenderung kurang dari 65. (Pinilih, Astri. et al, 2020).
Anemia sideroblastik adalah jenis anemia yang disebabkan oleh
pemanfaatan zat besi yang tidak normal selama eritropoiesis. Ada berbagai
bentuk anemia sideroblastik, dan semua bentuk ditentukan oleh adanya cincin
sideroblas di sumsum tulang. Sideroblas cincin adalah prekursor eritroid yang
mengandung endapan besi non-heme di mitokondria yang membentuk
distribusi seperti cincin di sekitar nukleus. Cincin berbentuk besi menutupi
setidaknya sepertiga tepi inti. Anemia sideroblastik diketahui menyebabkan
anemia mikrositik dan makrositik tergantung pada jenis mutasi yang
menyebabkannya. Berbeda dengan anemia defisiensi besi, dimana terjadi
penipisan simpanan zat besi, pasien dengan anemia sideroblastik memiliki
kadar zat besi yang normal hingga tinggi. Anemia mikrositik lainnya termasuk
talasemia dan anemia penyakit kronis. (Ashorobi, Damilola. et al, 2023).
Menurut WHO (2009) dalam Marisa and Wahyuni (2019) konsentrasi
normal timbal dalam darah adalah 10-25 ul/dl. Jika kadar tersebut melewati
batas normal timbal maka akan terjadi keracunan yang dapat membahayakan
tubuh manusia Penggunaan bahan bakar seperti premium dan solar
melepaskan 95% emisi timbal yang dapat mencemari udara dan kemudian
dapat dihirup serta diserap oleh tubuh sehingga dapat menimbulkan gangguan
kesehatan seperti mual, pusing, penurunan kadar hemoglobin, gangguan
pencernaan dan pernafasan, hingga penurunan tingkat daya reaksi fisik
maupun mental. Nilai normal pemeriksaan hemoglobin Laki-Laki: 14-18 g/dl

viii
dan untuk perempuan 12-16 g/dl. Efek paparannya bersifat kronis sehingga
semakin lama seseorang terpapar maka akan terjadi peningkatan dosis yang
bertambah secara terus menerus dan menyebabkan hemoglobin menurun dari
nilai normal dan menyebabkan Anemia. Kadar timbal dalam darah yang tinggi
dapat mengganggu sistem hematologi karena mengganggu pembentukan sel
darah merah (eriropoesis) dengan menghambat sintesis protoporfirin dan
mengganggu penyerapan zat besi sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya anemia yang tinggi (Marisa and Wahyuni, 2019).
Untuk lebih mengetahui mengenai terjadinya anemia mikrositik yang
diakibatkan karena penyakit thalassemia, anemia sideroblastik dan keracunan
timbal, maka disusunlah Refarat yang berjudul “Anemia Mikrositik
(Thalasemia, Anemia Sideroblastik dan Keracunan Timbal)” ini dengan tujuan
sebagai media pembelajaran bagi penulis dan pihak lain serta sebagai hasil
dari penugasan mata kuliah Kapita Selekta Hematologi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan anemia mikrositik?
2. Bagaimana patofisiologi anemia mikrositik karena thalassemia?
3. Bagaimana patofisiologi anemia mikrositik karena anemia sideroblastik?
4. Bagaimana patofisiologi anemia mikrositik karena keracunan timbal?

C. TUJUAN
1. Mengetahui definisi anemia mikrositik
2. Mengetahui patofisiologi anemia mikrositik karena thalassemia
3. Mengetahui patofisiologi anemia mikrositik karena anemia sideroblastik
4. Bagaimanakah patofisiologi anemia mikrositik karena keracunan timbal

ix
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANEMIA MIKROSITIK
1. Definisi Anemia Mikrositik
Secara luas didefinisikan, ketika eritrosit tidak lagi dapat
menyuplai oksigen ke jaringan tubuh, individu menjadi anemia. Anemia
dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologinya atau morfologinya.
Klasifikasi anemia secara morfologi berdasarkan pada indeks eritrosit,
sedangkan klasifikasi secara fisiologis ditentukan berdasarkan gejala dan
respons sumsum tulang. Anemia mikrositik merupakan keadaan diameter
rata-rata eritrosit kurang dari 6,2 µm, dengan Mean Corpuscular Volume
(MCV) kurang dari 80 fL. Ditemukan pada kasus anemia defisiensi besi,
thalasemia minor, inflamasi kronis, keracunan timbal, hemoglobinopati,
dan anemia sideroblastik. Penyebab mikrositosis karena adanya penurunan
sintesis hemoglobin yang disebabkan oleh defisiensi besi, gangguan
sintesis globulin, atau kelainan mitokondria yang mempengaruhi sintesis
heme pada molekul hemoglobin. (Aliviameita, Andika. et al, 2019).

Gambar 2.1 Variasi Ukuran Eritrosit:


(a) Mikrosit, (b) Normosit, (c) Makrosit, (d) Polikromasia
(Aliviameita, Andika. et al, 2019).

x
2. Patofisiologi Anemia Mikrositik
Defisiensi besi merupakan penyebab anemia yang paling sering di
dunia. Defisiensi adalah penyebab terpenting dari anemia mikrositik
hipokrom. Hal ini disebabkan oleh defek sintesis hemoglobin. Kekurangan
besi terjadi karena tubuh memiliki kemampuan terbatas untuk absorpsi
besi dan seringkali mengalami kehilangan besi berlebihan akibat
perdarahan. (Aliviameita, Andika. et al, 2019).
Penyebab anemia defisiensi besi yang utama karena kehilangan
darah atau asupan zat besi yang tidak memadai. Mungkin juga kondisi
sekunder karena proses penyakit atau keadaan yang menghabiskan
simpanan zat besi, seperti perdarahan gastrointestinal atau kehamilan.
Dalam kedua kasus ini ADB akan memanifestasikan dirinya sebagai
proses mikrositik hipokromik, di mana eritrosit berukuran kecil dan
mengalami defisiensi hemoglobin. (Aliviameita, Andika. et al, 2019).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditandai dengan jumlah eritrosit,
hemoglobin, hematokrit, MCV, dan MCHC yang rendah. Proses anemia
defisiensi besi terdiri dari tiga tahap:
a. Tahap I: rangkaian kesatuan penipisan besi dari sumsum tulang
(dengan pewarnaan Prussian blue akan menunjukkan ketiadaan besi);
b. Tahap II: eritropoiesis yang kekurangan zat besi;
c. Tahap III: Akhirnya, kasus anemia defisiensi yang jelas dalam
sirkulasi perifer. (Aliviameita, Andika. et al, 2019).
Pada sebagian besar kasus, pasien tidak menunjukkan gejala yang
jelas sampai anemia berkembang (tahap III), namun serum feritin akan
menurun di setiap tahap. Tes laboratorium diagnostik seperti serum besi
dan serum feritin dapat digunakan untuk mendiagnosis pasien sebelum
anemia berkembang. Individu dalam kelompok berisiko tinggi harus
dimonitor secara berkala untuk status zat besi. (Aliviameita, Andika. et al,
2019).

xi
Ada banyak gejala yang menandai seseorang kekurangan zat besi.
Beberapa gejala khas untuk kekurangan zat besi dan beberapa adalah
gejala umum anemia. Secara klinis, pasien dengan anemia memiliki gejala:
a. Mudah lelah
b. Mudah lesu
c. Pucat
d. Vertigo
e. Sesak nafas
f. Intoleransi dingin
Selain itu, pasien ini mungkin mengalami masalah jantung seperti
jantung berdebar dan angina. Gejala khas pada pasien anemia defisiensi
besi adalah pica (keinginan yang tidak normal untuk zat-zat yang tidak
biasa seperti tanah, es, atau tanah liat), cheilitis (peradangan di sekitar
bibir), dan koilonychias yaitu kuku sendok, rapuh, bergaris-garis vertikal
dan menjadi cekung seperti sendok). Selain itu, bukti menunjukkan bahwa
kekurangan zat besi pada bayi dapat menyebabkan keterlambatan
perkembangan dan gangguan perilaku. Pada wanita hamil, defisiensi besi
pada dua trimester pertama dapat menyebabkan peningkatan kelahiran
prematur dan peningkatan melahirkan anak dengan berat badan lahir
rendah. Anemia mempengaruhi 3,5 juta orang di Amerika Serikat, dengan
sekitar 50% dari kasus ini adalah ADB. (Aliviameita, Andika. et al, 2019).

3. Gambaran Hasil Laboratorium


Nilai indeks eritrosit normal untuk MCV adalah 80-100 fL, MCH
27-31 pg, dan MCHC 32%-36%. Jika terjadi proses mikrositik, maka
sintesis hemoglobin terganggu dan MCV < 80 fL dan MCHC < 32%. Sel-
sel darah merah disebut mikrositik hipokromik, muncul sebagai eritrosit
berukuran kecil dan terjadi defisiensi hemoglobin. Hasil pemeriksaan
laboratorium dapat membantu mengenali proses anemia mikrositik yang
sedang terjadi, menentukan penyebabnya, dan memutuskan manajemen
pengobatan atau terapi. (Aliviameita, Andika. et al, 2019).

xii
Gambar 2.2 Investigasi Anemia Hipokromik Mikrositik
(Tachil, Jecko. et al 2017).

Adanya bintik basofilik dengan sel darah merah mikrositik


menunjukkan sifat thalassemia atau lebih jarang, keracunan timbal.
Lapisan darah dimorfik merupakan ciri khas anemia sideroblastik
kongenital tetapi lebih sering disebabkan oleh defisiensi zat besi yang
merespons pengobatan. (Tachil Jecko. et al 2017).

B. ANEMIA MIKROSITIK AKIBAT THALASEMIA


1. Definisi Thalasemia
Thalasemia berasal dari kata Yunani thalassa, yang artinya “dari
laut”. Relatif sedikit orang yang mengembangkan bentuk thalasemia yang
parah, namun bagi yang mengalaminya harus melakukan transfusi seumur
hidup dan manajemen medis untuk masalah multiorgan. Gen thalasemia

xiii
ada di mana-mana, namun paling banyak terjadi di daerah Mediterania dan
di Timur Tengah, Afrika Utara, India, Asia, dan populasi Karibia. Pasien
dengan kondisi thalassemia mengalami anemia mikrositik dan status zat
besi normal. Pasien Pasien dengan kondisi thalassemia mengalami anemia
mikrositik dan status zat besi normal. (Aliviameita, Andika. et al, 2019).

2. Patofisiologi Anemia Mikrositik Karena Thalasemia


Thalasemia tidak ada hubungannya dengan zat besi. Thalasemia
merupakan kelainan rantai globin yang berkaitan dengan kurangnya
produksi rantai alfa atau beta globin. Talasemia adalah kegagalan sintesis
hemoglobin. Kegagalan mensintesis rantai alfa atau beta merusak produksi
fisiologis normal hemoglobin dewasa, hemoglobin A (α2, β2), hemoglobin
A2 (α2, δ2), dan hemoglobin F (α2, δ2). (Aliviameita, Andika. et al,
2019).
Konstruksi setiap hemoglobin normal ini bergantung pada rantai
alfa dan beta yang disintesis sebagai bagian dari tetramer normal mereka.
Ketika sintesis ini terganggu, hemoglobin terbentuk sebagai hasil dari
produksi rantai yang tidak seimbang yang secara negatif mempengaruhi
rentang hidup eritrosit. Selain itu, ada komplikasi multiorgan,
pengembangan anemia mikrositik, dan apusan darah tepi dengan banyak
eritrosit dengan morfologi abnormal. (Aliviameita, Andika. et al, 2019).
Ada dua tipe utama thalasemia, yaitu: thalasemia alfa dan thalasemia beta.
Thalassemia alfa merupakan hasil dari kehilangan gen. Setiap individu
mewarisi empat gen alfa, dua dari ibu dan dua dari ayah. Thalasemia alfa
terjadi karena kehilangan satu atau lebih gen alfa. Sedangkan thalasemia
beta terjadi karena warisan gen beta yang rusak, baik dari satu orang tua
(heterozigot) atau dari kedua orang tua (homozigot). Pada tingkat
molekuler, kerusakan rantai beta merupakan hasil dari transkripsi RNA
messenger yang salah. (Aliviameita, Andika. et al, 2019).

xiv
3. Gambaran Hasil Laboratorium Thalasemia
Jenis Pemeriksaan Pembawa gen thalassemia (α atau β)
MCV Menurun, sangat rendah bila
MCH dibanding derajarat anemia
Besi Serum Normal
TIBC Normal
Reseptor transferrin serum Bervariasi
Ferritin serum Normal
Cadangan besi sumsung tulang Ada
Besi eritroblas Ada
Eritropoiesis hemoglobin HbA2 meningkat dalam bentuk β
Tabel 2.1 Hasil Laboratorium Thalasemia
(Aliviameita, Andika. et al, 2019).

Pada pasien yang dicurigai mengalami thalasemia alfa yang paling


parah, terutama pada kehamilan, maka perlu perlu dilakukan pengambilan
sampel cairan amniosentesis atau vili kronis untuk pemeriksaan
keberadaan gen alfa melalui prosedur diagnostik molekuler. Pada kasus
hidrops Barts fetalis, sebagian besar kehamilan ini dihentikan atau pasien
melahirkan janin dengan edema berat yang tidak dapat bertahan hidup.
Darah tali pusat biasanya diuji untuk elektroforesis hemoglobin, yang
biasanya menunjukkan persentase tinggi hemoglobin Barts. (Aliviameita,
Andika. et al, 2019).
Pada pasien dalam kelompok etnis yang berisiko tinggi, konseling
genetik sangat disarankan. Hemoglobin H dapat dicurigai jika darah
lengkap menunjukkan sedikit peningkatan jumlah eritrosit yang
dikombinasikan dengan MCV yang sangat rendah, kurang dari 60 fL, dan
hasil RDW yang sangat tinggi (nilai normal, 11-15%) menunjukkan
misshapened dan fragmen-fragmen eritrosit dibandingkan dengan
hipokromik mikrositik yang lebih homogen seperti pada anemia defisiensi
besi. Meskipun hemoglobin H mungkin ada pada 5-40%, kegagalan untuk
menunjukkan pita hemoglobin yang abnormal dengan elektroforesis tidak
boleh menghilangkan pasien sebagai suspect. Hemoglobin H, hemoglobin

xv
yang bergerak cepat pada elektroforesis alkali, mungkin terlewatkan
dengan metode tradisional. Dua kondisi terakhir yaitu thalassemia alfa trait
dan kondisi silent carrier mungkin tidak dikenali pada evaluasi HDT
karena gambaran hematologisnya tidak begitu abnormal. (Aliviameita,
Andika. et al, 2019).
Penderita thalasemia intermedia bukan bagian yang baik dari
penderita thalasemia mayor. Pada kelompok ini secara klinis terjadi
komplikasi penyakit di kemudian hari daripada pasien thalasemia mayor
dan kemungkinan tidak memerlukan transfusi. Pasien mengalami
pembesaran limpa, tetapi persyaratan transfusi lebih jarang, serta mungkin
terjadi perubahan tulang ringan. Pasien thalasemia intermedia memerlukan
terapi Desferal untuk menghilangkan kelebihan kadar zat besi dalam
tubuhnya, namun ini jauh lebih jarang daripada pasien thalassemia mayor.
(Andika Aliviameita. et al, 2019).
Sifat talasemia beta adalah kondisi heterozigot, di mana hanya satu
gen beta abnormal yang diturunkan dari orangtuanya. Kondisi ini mirip
anemia defisiensi besi (ADB) dengan pasien yang mengalami mikrositik
hipokromik dengan kadar hemoglobin dan hematokrit yang cukup rendah.
Hemoglobin A2 akan meningkat menjadi sekitar 5-10%, tetapi
pemeriksaan darah lengkap yang teliti akan menunjukkan peningkatan
jumlah eritrosit. Di atas semua nilai lain, pada kasus ini terjadi
peningkatan eritrosit secara signifikan karena ini menunjukkan bahwa
sumsum tulang mengkompensasi hanya memiliki satu setengah
komplemen rantai beta. Perubahan ini seringkali tidak dikenali, sehingga
banyak pasien beta thalassemia minor menggunakan terapi besi yang
merupakan terapi tidak tepat karena zat besi bukan masalah pada beta
thalassemia minor. (Aliviameita, Andika. et al, 2019).

4. Jurnal Ilmiah Terkait Thalasemia


Pada “Perbandingan Nilai Indeks Green dan King antara Anemia
Defisiensi Besi dengan Thalassemia” yang dilakukan oleh Pinilih, Astri. et

xvi
al (2020), Berdasarkan nilai rata-rata MCV pada anemia defisiensi besi
didapatkan 62,15 dengan nilai standar deviasi sebesar 5,732. Pada nilai
rata-rata MCV pada thalassemia didapatkan 58,27 dengan standar deviasi
6,390.
Jumlah nilai rata-rata MCV pada anemia defisiensi besi lebih
tinggi dibandingkan dengan thalassemia. Hal ini disebabkan anemia
defisiensi besi yang memiliki spektrum eritrosit dari volume normositik ke
mikrositik. Mengingat eritrosit umur rata-rata 120 hari, eritrosit masih
normositik pada usia dekat 120 hari sebelum anemia defisiensi besi terjadi
dan kemudian dicampur dengan eritrosit mikrositik yang sudah mengalami
anemia kekurangan zat besi. Pada thalassemia volume eritrosit cenderung
mikrositik stabil, sehingga MCV berarti tidak terpengaruh oleh volume
yang eritrosit normal seperti pada anemia defisiensi besi. Pada nilai rata-
rata RDW anemia defisiensi besi didapatkan 15,388 dengan nilai standar
deviasi 1,9989. Sedangkan pada nilai rata-rata RDW thalassemia 15,482
dengan standar deviasi 1,3777. Jumlah nilai rata-rata RDW pada
thalassemia lebih tinggi dibandingkan dengan anemia defisiensi besi.
(Pinilih, Astri. et al, 2020).
Rata-rata RDW dari thalassemia adalah lebih tinggi dari anemia
defisiensi besi. Pada thalassemia volume eritrosit cenderung mikrositik
stabil, sehingga MCV berarti tidak terpengaruh oleh volume yang eritrosit
normal seperti pada anemia defisiensi besi. Akibatnya, RDW pada
thalassemia lebih tinggi dibandingkan pada anemia defisiensi besi.
Berdasarkan nilai rata- rata Hb penelitian ini pada anemia defisiensi besi
didapatkan 7,568 dengan nilai standar deviasi 1,6823. Pada nilai rata-rata
Hb thalassemia didapatkan 8,301 dengan standar deviasi 2,4886. Pada
thalassemia lebih tinggi dibandingkan dengan anemia defisiensi besi. Hasil
penelitian Salim et al. bahwa rata-rata Hb dari thalassemia adalah lebih
tinggi dari anemia defisiensi besi. Ini karena spektrum klinis thalasemia
adalah dari asimtomatik ke intermedia, sedangkan anemia defisiensi besi
tergantung pada penyebab yang mendasari sehingga kadar Hb yang

xvii
diperoleh berasal dari anemia defisiensi besi ringan hingga berat. (Pinilih,
Astri. et al, 2020).
C. ANEMIA MIKROSITIK AKIBAT ANEMIA SIDEROBLASTIK
1. Definisi Anemia Sideroblastik
Anemia sideroblastik adalah jenis anemia yang disebabkan oleh
pemanfaatan zat besi yang tidak normal selama eritropoiesis. Ada berbagai
bentuk anemia sideroblastik dan semua bentuk ditentukan oleh adanya
cincin sideroblas di sumsum tulang. Sideroblas cincin adalah prekursor
eritroid yang mengandung endapan besi non-heme di mitokondria yang
membentuk distribusi seperti cincin di sekitar nukleus. Cincin berbentuk
besi menutupi setidaknya sepertiga tepi inti. Anemia sideroblastik
diketahui menyebabkan anemia mikrositik dan makrositik tergantung pada
jenis mutasi yang menyebabkannya. Berbeda dengan anemia defisiensi
besi, dimana terjadi penipisan simpanan zat besi, pasien dengan anemia
sideroblastik memiliki kadar zat besi yang normal hingga tinggi. Anemia
mikrositik lainnya termasuk talasemia dan anemia penyakit kronis.
(Ashorobi, Damilola. et al, 2023).
Anemia ini mempunyai gambaran sel hipokrom dalam HDT dan
meningkatnya kadar besi di sumsum tulang, serta banyak ditemukan
sideroblas cincin (ring sideroblast) yang patologis di sumsum tulang. Sel
ini merupakan eritroblas abnormal yang mengandung banyak granula besi.
Penderita didiagnosis anemia sideroblastik bila ditemukan 15% atau lebih
sideroblas cincin dalam sumsum tulang. Penyebab anemia sideroblastik
karena adanya defek dalam sintesis heme, dan diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu: herediter dan didapat (acquired). Herediter umumnya terjadi
pada pria, dibawa oleh wanita, dan jarang terjadi pada wanita. Pada
gambaran darah ditemukan sel hipokrom dan mikrositik. Secara herediter
juga disebabkan karena adanya defek mitokondria, responsif tiamin, dan
defek autosom lain. Sedangkan secara acquired digolongkan lagi menjadi
primer dan sekunder, yaitu:
a. Primer

xviii
Terjadi pada mielodisplasia (anemia refrakter dengan ring
sideroblast)
b. Sekunder
Terjadi pada penyakit keganasan sumsum tulang, seperti
mielofibrosis, leukemia myeloid, myeloma. Obat-obatan, seperti:
antituberkulosis (isoniazid, sikloserin, alkohol, timbal). Kondisi lain,
seperti: anemia hemolitik, anemia megaloblastik malabsorpsi,
rheumatoid arthritis. (Ashorobi, Damilola. et al, 2023).

2. Patofisiologi Anemia Mikrositik Karena Anemia Sideroblastik


Molekul hemoglobin mengandung protein penting yang disebut
heme. Secara struktural, heme mengandung empat cincin pirol yang
dihubungkan oleh empat jembatan metin pada posisi alfa dengan atom besi
di tengah cincin. Berkat molekul protein ini, hemoglobin dapat
menjalankan fungsinya membawa oksigen ke jaringan. Fungsi lain heme
selain pembentukan hemoglobin termasuk penginderaan gas, transduksi
sinyal, jam biologis, ritme sirkadian, dan pemrosesan mikro RNA.
(Ashorobi, Damilola. et al, 2023).
Anemia sideroblastik disebabkan oleh eritropoiesis abnormal
selama produksi heme. 85% heme diproduksi di sitoplasma dan
mitokondria sel eritroblas sedangkan sisanya diproduksi di
hepatosit. Dalam jalur Shemin, delapan enzim berbeda membantu
mengoordinasikan sintesis heme. Enzim-enzim tersebut antara lain asam
aminolevulinat sintase ALAS, porfobilinogen sintase, porfobilinogen
deaminase, uroporphyrinogen III sintase, uroporphyrinogen decarboxylase
(UROD), coproporphyrinogen oxidase (CPOX), protoporphyrinogen
oxidase (PPOX), dan ferrochelatase (FECH). Ada dua bentuk anemia
sideroblastik-keturunan dan didapat. (Ashorobi, Damilola. et al, 2023).
Anemia sideroblastik memiliki dua bentuk. Yang pertama, bersifat
herediter, disebabkan oleh mutasi pada gen yang terlibat dalam sintesis
heme, biogenesis gugus besi-belerang, atau metabolisme

xix
mitokondria. Untuk sintesis heme, cacat gen ada pada kromosom x,
membentuk mutasi pada enzim aminolevulinate synthase (ALAS2),
adenosine triphosphate-binding cassette B7 (ABCB7) atau glutaredoxin 5
(GRLX5). Penyebab lainnya termasuk mutasi pada transporter
mitokondria (SLC25A38), transporter tiamin SLC19A2, enzim
pemodifikasi RNA pseudouridine synthase (PUS1), tyrosyl-tRNA
synthase mitokondria (YARS2) dan penghapusan DNA
mitokondria. Namun, penyebab paling umum dari anemia sideroblastik
herediter adalah tipe terkait-X yang disebabkan oleh mutasi gen
pembentuk enzim ALAS2. Gen ALAS2, SLC25A38, GLRX5, HSPA9,
ABCB7 bila bermutasi menyebabkan anemia mikrositik sedangkan gen
mitokondria, SLC19A2, PUS1, YARS2, TRNT1 bila bermutasi
menyebabkan anemia makrositik. Mutasi terkait-x menyebabkan anemia
mikrositik, dan penghapusan DNA mitokondria menyebabkan anemia
makrositik. Anemia sideroblastik didapat mungkin timbul dari penyebab
primer atau sekunder. Penyebab utamanya termasuk kelainan hematologi
klonal yang meliputi sindrom myelodysplastic dengan ring sideroblast
(MDS-RS) dan anemia refrakter dengan ring sideroblast RARS. Yang
pertama disebabkan oleh mutasi pada gen splicing factor 3b subunit 1
(SF3B1) yang merupakan komponen penting dari kompleks
penyambungan RNA. Baru-baru ini RARS dengan ring sideroblast
sekarang diklasifikasikan dalam MDS-RS, dan RARS dengan
trombositosis sekarang diklasifikasikan sebagai neoplasma
myelodysplastic, myeloproliferative dengan RS dan trombositosis
(MDS/MPN-RS-T). (Ashorobi, Damilola. et al, 2023).
Penyebab sekundernya adalah karena obat-obatan, racun,
kekurangan tembaga, atau penyakit neoplastik kronis. Obat paling umum
yang diketahui menyebabkan anemia sideroblastik adalah antibiotik,
hormon, agen pengkelat tembaga, dan kemoterapi. Patnaik dkk. (2017)
menyebutkan bahwa penggunaan alkohol, toksisitas timbal, penggunaan

xx
isoniazid juga berkontribusi terhadap anemia sideroblastik. (Ashorobi,
Damilola. et al, 2023).

3. Gambaran Hasil Laboratorium Anemia Sideroblastik


Jenis Pemeriksaan Anemia Sideroblastik
MCV Umumnya rendah pada jenis
MCH kongenital, MCV sering
meningkat pada jenis acquired
Besi Serum Meningkat
TIBC Normal
Reseptor transferrin serum Normal
Ferritin serum Meningkat
Cadangan besi sumsung tulang Ada
Besi eritroblas Bentuk cincin
Eritropoiesis hemoglobin Normal
Tabel 2.2 Hasil Laboratorium Anemia Sideroblastik
(Aliviameita, Andika. et al, 2019).

Pewarnaan biru Prusia pada apusan tepi akan menunjukkan cincin


sideroblas yang khas jika dilihat di bawah mikroskop. Pewarnaan biru
Prusia ini disebut reaksi Perls, dan harus terdapat minimal 5 butiran yang
mengelilingi sepertiga diameter inti. (Ashorobi, Damilola. et al, 2023).

Gambar 2.3. Morfologi Sel Anemia Sideroblastik


(Ashorobi, Damilola. et al, 2023).

4. Jurnal Ilmiah Terkait Anemia Sideroblastik

xxi
Ashorobi, Damilola. et al (2023), anemia sideroblastik didiagnosis
dengan adanya cincin sideroblas di sumsum tulang. Sel darah merah yang
mengandung zat besi ini disebut siderosit. Pada hitung darah lengkap, rata-
rata volume sel darah pasien rendah dan menunjukkan mikrositosis. Rata-
rata hemoglobin sel darah rendah dan peningkatan lebar distribusi sel
darah merah. Ketika keberadaan cincin sideroblas dikonfirmasi
menggunakan reaksi Perl, sumsum tulang pasien harus diperiksa untuk
mengetahui adanya displasia dan SF. Jika ada, kemungkinan besar pasien
menderita kelainan hematologi klonal seperti sindrom mielodisplastik. Jika
tidak ada, pasien menderita anemia sideroblastik bawaan atau
sekunder. Kadang-kadang, pasien bahkan akan mengalami anemia
makrositik pada kasus RARS. Pengujian genetik juga harus
dipertimbangkan jika anemia sideroblastik didapat sekunder telah
disingkirkan dan penyebab anemia sideroblastik tidak diketahui.

D. ANEMIA MIKROSITIK AKIBAT KERACUNAN TIMBAL


1. Definisi Keracunan Timbal
Dalam Jurnal Ilmu Kesehatan, Ardillah (2016), Timbal merupakan
bahan kimia kelompok logam berat, logam berat tidak diperlukan oleh
tubuh karena jika masuk kedalam tubuh makhluk hidup dapat
mengakibatkan dampak negatif yang dapat merugikan tubuh. Paparan
timbal (Pb) yang berlangsung lama dapat mengakibatkan berbagai
gangguan organ antara lain yaitu gangguan pada sistem syaraf, gangguan
saluran cerna seperti diare dan mual, serta gangguan pada peredaran darah
yang menyebabkan turunnya sel darah merah. (Iffadah, Fifi Fela Shofa
Iffadah, 2022).
Konsentrasi timbal (Pb) dalam darah merupakan hal yang penting
dalam evaluasi pemaparan terhadap timbal (Pb). Hal tersebut dapat
membantu diagnosa keracunan dan dapat digunakan sebagai indeks
pemaparan untuk menilai tingkat bahaya, baik terhadap orang yang
terpapar melalui pekerjaan atau melalui masyarakat umum. Kadar timbal

xxii
dalam darah menunjukkan refleksi kesinambungan dinamis antara
pemaparan, absorbsi, distribusi dan ekskresi sehingga merupakan salah
satu indikator untuk mengetahui pemaparan yang sedang berlangsung.
Rata- rata kadar normal timbal (Pb) dalam darah orang dewasa adalah 10-
25 µg/100 ml darah. (Sinatra, Dhimas Pramayoga. et. al 2020).
Dalam (Santosa B, 2015), Hemoglobin disusun oleh molekul heme
dan globin. Molekul heme disusun oleh unsur besi dan porfirin yang
terjadi pada tahap akhir proses biosintesis heme. Proses biosintesis heme
dapat terhambat salah satunya karena pengaruh Pb yang masuk ke dalam
tubuh. Timbal yang masuk keparu-paru melalui pernafasan akan terserap
dan berikatan dengan darah yang kemudian diedarkan keseluruh jaringan
dan organ tubuh. lebih dari 90% timbal yang terserap oleh darah berikatan
dengan sel-sel darah merah, dan efek predominan dari timbal adalah
gangguan pada biosintesis heme dan hematopoiesis. (Risqoeni, Siti Atika,
2020).
2. Patofisiologi Anemia Mikrositik Karena Keracunan Timbal

Heme Sintetase

Protoporphirin IX Heme

Dihambat oleh Pb

Fragilitas sel darah merah


(sel darah merah mudah pecah)

1. Anemia Normositik hipokrom


2. Anemia Mikrositik hipokrom
Gambar 2.4. Skema Efek Terjadinya Anemia Oleh Pb
(Risqoeni, Siti Atika, 2020)

Dalam jurnal penelitian Santosa (2015), Logam berat Pb yang

xxiii
masuk kedalam tubuh melalui pernafasan akan langsung berinteraksi
dengan darah. Pb yang masuk dalam darah 90% akan berikatan dengan
eritrosit, yang dapat menimbulkan gangguan pada sistem hematopoietik.
Pb dapat menghambat biosintesis heme dengan cara menghambat enzim
ferokelatase sehingga produksi heme menjadi berkurang dan tidak bisa
berikatan dengan globin yang akhirnya menurunkan kadar hemoglobin.
(Risqoeni, Siti Atika, 2020).

3. Hasil Laboratorium Pada Keracunan Timbal


Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
Hematologi
Anemia Hemoglobin 9-11 g/dl
Retikulosit 2-7%
Rasio protoporfirin :eritrosit
5,5 µg/dl
Sumsung tulang Sideroblastik bercincin
Hiperplasia eritrosid
Kelainan Eritrosit Bintik-bontik basophil
Anisositosis, poikilositisis
sedang
Ketahanan osmotic berkurang
Urine Porfobilinoigen normal
Eksresi ALA >20 mg/L
Koproporfirin III >0,5 mg/L
Tabel 2.3 Hasil Laboratorium Pada Keracunan Timbal
(Risqoeni, Siti Atika, 2020)

4. Jurnal Ilmiah Terkait Keracunan Timbal


Menurut hasil yang di dapat pada penelitian yang dilakukan oleh
Kodariah, Liah. et. Al (2023) “Pengaruh Induksi Timbal (Pb) Pada Mencit
(Mus Musculus) Terhadap Kadar Hemoglobin”, menyimpulkan kadar
Hemoglobin darah pada mencit yang belum diinduksi timbal 12,82 g/dL,
hasil yang didapat masuk kedalam klasifikasi normal. Adapun kadar
Hemoglobin darah pada mencit yang diinduksi timbal selama 7 hari
sebesar 11,2 g/dL, diinduksi timbal selama 14 hari sebesar 10,078 g/dL,

xxiv
diinduksi timbal selama 21 hari sebesar 8,16 g/dL, dan yang terakhir
diinduksi timbal selama 28 hari sebesar 7,54 ±0,39 g/dL. Sehingga
terdapat pengaruh kadar yang signifikan dan menyebabkan turunnya kadar
hemoglobin darah pada mencit yang dipapar Pb asetat dengan variasi
waktu pemaparannya.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Anemia mikrositik merupakan keadaan diameter rata-rata eritrosit kurang
dari 6,2 µm, dengan Mean Corpuscular Volume (MCV) kurang dari 80 fL.
Ditemukan pada kasus anemia defisiensi besi, thalasemia minor, inflamasi
kronis, keracunan timbal, hemoglobinopati, dan anemia sideroblastik.
2. Talasemia adalah kegagalan sintesis hemoglobin. Ketika sintesis ini
terganggu, hemoglobin terbentuk sebagai hasil dari produksi rantai yang
tidak seimbang yang secara negatif mempengaruhi rentang hidup eritrosit.
Selain itu, ada komplikasi multiorgan, pengembangan anemia mikrositik,
dan apusan darah tepi dengan banyak eritrosit dengan morfologi abnormal.
3. Penyebab paling umum dari anemia sideroblastik herediter adalah tipe
terkait-X yang disebabkan oleh mutasi gen pembentuk enzim ALAS2. Gen
ALAS2, SLC25A38, GLRX5, HSPA9, ABCB7 bila bermutasi
menyebabkan anemia mikrositik sedangkan gen mitokondria, SLC19A2,
PUS1, YARS2, TRNT1 bila bermutasi menyebabkan anemia makrositik.
4. Timbal yang masuk keparu-paru melalui pernafasan akan terserap dan
berikatan dengan darah yang kemudian diedarkan keseluruh jaringan dan
organ tubuh. lebih dari 90% timbal yang terserap oleh darah berikatan
dengan sel-sel darah merah, dan efek predominan dari timbal adalah
gangguan pada biosintesis heme dan hematopoiesis.

xxv
B. SARAN
Anemia mikrositik dapat terjadi karena beberapa sebab diantaranya
karena penyakit thalasemia, anemia sideroblastik dan keracunan timbal.
Sehingga sangat perlu untuk menjaga pola hidup yang sehat dan mencukupi
kebutuhan makanan dan minuman yang bergizi seimbang, utamanya
pemenuhan kebutuhan zat besi sebagai salah satu pembentuk sel darah merah
(eritrosit) dalam tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

Aliviameita, Andika., & Puspitasari. 2019. Buku Ajar Mata Kuliah Hematologi
Umsida Press. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Pinilih, Astri., Syuhada., Zulhafis Mandala., Dianthy Novia. 2020. Perbandingan
Nilai Indeks Green dan King antara Anemia Defisiensi Besi dengan
Thalassemia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. Fakultas Kedokteran
Universitas Malahayati. Lampung.
Ashorobi, Damilola., & Anil Chhabra. 2023. Sideroblastic Anemia. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing.
Sinatra, Dhimas Pramayoga., Norma Farizah Fahmi., Faisal Amir. 2020. Paparan
Timbal (Pb) Terhadap Kadar Hemoglobin di dalam Darah. Program Studi
D3 Analis Kesehatan. Stikes Ngudia Husada Madura. Jawa Timur.
Iffadah, Fifi Fela Shofa. 2022. Gambaran Paparan Logam Berat Timbal (Pb) Pada
Darah Pekerja Bengkel Motor (Studi kasus di Desa Pulo Lor Kecamatan
Jombang). KTI. DIII Teknologi Laboratorium Medis Institut Teknologi
Sains Dan Kesehatan Insan Cendekia Medika. Jombang.
Chaudhry, Hammad S.., & Madhukar Reddy Kasarla. 2023. Microcytic
Hypochromic Anemia. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Tachil, Jecko., & Imelda Bates. 2017. Pendekatan Diagnosis dan Klasifikasi
Gangguan Sel Darah. Hematologi Praktis. Elsevier Ltd.
Kodariah, Liah., Baiq Isti., Hasanah Sanusiyah Harahap., Reyna Synthia. 2023.
Pengaruh Induksi Timbal (Pb) Pada Mencit (Mus musculus) Terhadap
Kadar Hemoglobin. Jurnal Kesehatan Rajawali.

xxvi
Marisa, M., & Wahyuni, Y. 2019. Gambaran Kadar Hemoglobin (HB) Petugas
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) PT. Tabing Raya Kota
Padang. Prosiding Seminar Kesehatan Perintis. Padang.
Risqoeni, Siti Atika. 2020. Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Penduduk Daerah
Tambak Lorok Kota Semarang. KTI. Program Studi D-III Analis Kesehatan
Fakultas Keperawatan dan Kesehatan. Universitas Muhammadiyah
Semarang.

xxvii

Anda mungkin juga menyukai