OLEH
RESKY APRILYA
Niss : 206085
Puji syukur kehadirat Allah SWT ,karena dengan rahmat dan karunianyalah Kami dapat
menyusun Makalah ini.
Banyak pihak yang telah membantu menyelesaikan Makalah ini baik secara langsung maupun tidak
langsung oleh karena itu, kami menyampaikan terima kasih banyak kepada :
1. Guru mata pelajaran SMA Negeri 6 Bulukumba
2. teman-teman kami semua yang telah turut membantu dalam menyelesaikan penulisan Makalah ini.
Kami berharap dengan terselesainya Makalah ini semoga siswa-siswi Di Di SMA Negeri 6
Bulukumba dapat Mengetahui isi makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih banyak kekurangan dan
dibawah kesempurnaan .oleh karena itu,kami mengharap kritik dan saran yang bermanfaat bagi
kami.semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik sosial selalu mengandung kompleksitas permasalahan. Karena itu berbagai pendekatan
dapat digunakan untuk menelaah konflik sosial guna mendapatkan berbagai alternatif pemecahan masalah.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menelaah konflik sosial adalah pendekatan
sosiologi komunikasi.
Pendekatan sosiologi komunikasi relevan digunakan untuk menelaah kasus Sampang karena dalam
pendekatan sosiologi komunikasi dipelajari tentang proses interaksi orang-orang dalam masyarakat
termasuk konten interaksi atau komunikasi yang dilakukan secara langsung maupun dengan
menggunakan media komunikasi serta semua konsekuensi yang terjadi dari seluruh proses komunikasi
tersebut.
Selain itu menurut Soerjono Soekanto, sosiologi komunikasi merupakan kekhususan sosiologi dalam
mempelajari interaksi sosial yaitu hubungan atau komunikasi yang menimbulkan proses saling pengaruh
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini yaitu :
1. Bagaimanakah Latar Belakang Konflik Syiah di Sampan?
2. Bagaimanakah Kronologi Konflik Syiah di Sampan?
3. Bagaimanakah Konflik sampang dari Telaah sosiologi Komunikasi ?
C. Tujuan Penelitian
BAB II
PEMBAHASAN
A. KAJIAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini, penulis merujuk pada karya skripsi sebelumnya yang telah ada, antara lain: 1.
Skripsi Novi Maria Ulfah dengan judul Analisis Wacana Mengenai Pemberitaan Aktivis Muslim di
Majalah Tempo Tahun 2003 Pasca Tragedi Bom J.W. Marriot. Dalam penelitian ini Novi
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan wacana. Skripsi ini meneliti
bagaimana majalah tempo menggambarkan aktifis muslim dalam pemberitaan pasca tragedi bom JW
Marriot sampai dengan tahun 2003 (Novi Maria Ulfah : 2004 ). Selain itu, mempertanyakan
bagaimana majalah tempo mengkontrusikan berita tentang aktifis muslim yang diduga sebagai
pelaku pengeboman tersebut. 12 Dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan, wartawan TEMPO
menggambarkan salah seorang aktifis di masa lalunya telah terlibat kekerasan. Menurutnya pelaku
bom J.W Marriot berhubungan dengan para pelaku bom Bali. Wartawan secara tidak langsung
menulis bahwa para aktifis itu adalah orang sangat berbahaya bagi pihak kepolisian. Menurut Novi
Maria Ulfah, pemberitaan terhadap aktifis muslim merupakan makna global dalam wacana yang
didukung oleh makna lokal dari suatu teks, yang tergantung pada peristiwa yang terjadi. Dalam
penelitiannya, majalah tempo cenderung memilih pernyataan dari pihak kepolisian sebagai nara
sumber. Sehingga tempo cenderung berpihak pada kepolisian dalam pemberitaan dan kepolisan
memanfaatkan wacana yang dilangsir untuk citra positif di hadapan masyarakat. Selain itu hasil
penting dari penelitian ini adalah wacana dari pihak kepolisian lebih mendominasi makna dalam
pemberitaan yang didukung melalui grafis dan pernyataan tersebut. Menurutnya ini dianggap wajar
karena memang wartawan akan lebih mudah mendapatkan akses informasi dari kepolisian ketimbang
langsung dari para aktifis muslim. Begitu juga sebaliknya, aparat kepolisian lebih memiliki akses dan
kuasa yang lebih besar terhadap media ketimbang para aktifis 13 muslim itu. Hingga secara tidak
langsung pihak kepolisian mempunyai wacana yang kuat untuk melakukan kontrol terhadap publik.
Baik atau buruknya para aktifis muslim di hadapan publik tergantung pihak kepolisian.
B. PEMBAHASAN
2011. 7
Bahkan para aktor dari konflik tersebut telah dikenakan sanksi hukum. Terhadap peristiwa yang terjadi
pada 29 Desember 2011. Dari peristiwa tersebut, polisi menetapkan Tajul Muluk sebagai tersangka atas
laporan Rois Al-Hukuma pada 6 Maret 2012. Polisi menjerat Tajul Muluk dengan Pasal Penistaan dan
Penodaan Agama. Ia divonis dua tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan penodaan agama.
Bukan hanya Tajul, terdakwa tunggal pembakaran Kompleks Pesantren Syiah, Muskirah, juga divonis 3
bulan 10 hari pada 10 April 2012.
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Hadiatmoko sempat mengeluarkan pernyataan
yang meminta agar semua pihak tidak lagi menyebut konflik di Sampang, Madura, Jawa Timur,
berlatarbelakang perbedaan keyakinan antara Sunni dan Syiah melainkan hanya karena persoalan asmara.
Menurutnya konflik berdarah yang disertai pembakaran puluhan rumah tersebut semata-mata karena
berawal dari konflik dua orang anak pasangan Choirul Ummah-Ma’mun Achmad, yakni Tajul Muluk dan
Rois Al Hukuma tahun 2005. Awalnya, kakak beradik itu sama-sama penganut Syiah. Ketika itu, Rois
ingin menikahi salah satu santrinya yang bernama Halimah. Namun, Halimah justru menikah dengan
tetangga Muluk. 8
Namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa penyebab dari terjadinya konflik di Sampang tidaklah
sesederhana itu. Salah satu faktor pencetus terbesar adalah kebencian yang disebarkan dengan mengatakan
Omben, Sampang), KH. Barizi Muhammad, (Sampang), KH.Ghazali Muhammad (Sampang), KH. Lutfillah
Moh. Ridhwan (Sampang), KH. Yahya Hamiduddin (Sampang) dan ulama lainnya telah menyampaikan
pernyataan sikap yang menghimbau kepada Pemerintah agar melarang aliran tersebut serta menghapus hingga
ke akar-akarnya.10
Jauh sebelum pecahnya konflik 26 Agustus 2012, pada tahun 2006 , lima puluh ulama se-Madura
diantaranya KH Ahmad Nawawi, (Karang Gayam Omben, Sampang), KH. Barizi Muhammad,
(Sampang), KH.Ghazali Muhammad (Sampang), KH. Lutfillah Moh. Ridhwan (Sampang), KH. Yahya
Hamiduddin (Sampang) dan ulama lainnya telah menyampaikan pernyataan sikap yang menghimbau
kepada Pemerintah agar melarang aliran tersebut serta menghapus hingga ke akar-akarnya.11
Tak hanya itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa konflik ini juga tidak dapat terlepas dari konflik
Sunni–Syiah dalam dunia internasional. Syiah merupakan kelompok minoritas karena diperkirakan
jumlah Syiah di dunia hanya mencapai 10 – 15 % dari keseluruhan jumlah umat muslim di dunia.
Bahkan Wakil Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi NU) Agus Sunyoto
menenggarai konflik Syiah di tanah air ini berhubungan dengan dengan petemuan KTT Non Blok di
Iran. Menurutnya, konflik utamanya berkaitan dengan kepentingan Amerika yang berharap sekretaris
(ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain13 .
Perkembangan pengikut syiah di pulau Madura merupakan fenomena tersendiri sebab mayoritas
masyarakat Madura yang berjumlah 3,62 juta jiwa berdasarkan data BPS 2010 hampir seluruhnya adalah
mayoritas Islam Sunni yang fanatik. Menurut penuturan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak
Kekerasan (Kontras) Jawa Timur, Andy Irfan kepada Tempo, berawal dari ketertarikan Kiai Makmun,
seorang ulama yang awalnya menganut aliran sunni di Nangkernang, Desa Karang Gayam, Sampang,
mendapat kabar dari sahabatnya di Iran tentang keberhasilan Ayatollah Ali Khomeini menumbangkan
Syah Iran Reza Pahlevi. Karena mayoritas ulama dan kaum muslim di wilayah Madura adalah pengikut
Islam Sunni yang fanatik, Makmun mempelajari Syiah secara diam-diam dengan membaca buku-buku yang
dikirim sahabatnya dari Iran. Ketertarikannya ini membuat Makmun mengirim tiga anak laki-lakinya,
yaitu Iklil al Milal yang saat ini berusia 42 tahun; Tajul Muluk (40); Roisul Hukama (36); dan putrinya,
Ummi Hani (32) ke Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Bangil, Pasuruan. YAPI dikenal sebagai
pesantren yang cenderung pada mazhab Syiah. Selepas lulus SMP YAPI, Tajul Muluk melanjutkan
belajar ke Pondok Pesantren Sayyid Muhammad Al-Maliki di Arab Saudi. Tahun 1999 Tajul Muluk
pulang dari Arab dan kembali menetap di Karang Gayam, Sampang. Tahun 2004 sejumlah warga desa yang
juga murid Kiai Makmun mewakafkan sebidang tanah untuk mengembangkan pesantren beraliran Syiah.
Pesantren kecil ini diberi nama Misbahul Huda. Pada tahun 2004 inilah mulai terjadi pertentangan
pada konflik terbuka dari tahun ke tahun diantaranya pada Desember 2010 beberapa warga melaporkan
aktivitas ustad Tajul Muluk dan jamaah syiahnya ke MUI. Para warga melaporkan ustad Tajul Muluk dengan
komunitas syiahnya karena dianggap telah meresahkan masyarakat, yang diikuti dengan peristiwa
pembubaran perayaraan Maulid Nabi pada 4 April 2011 hingga konflik terbuka yang terjadi terakhir pada 26
Agustus 2012 berupa pembakaran 37 rumah warga penganut kelompok syiah.
Tahapan proses masuknya syiah di Indonesia sebagaimana dynamic theory of ethno religious conflict yang
diungkap Jonathan Fox, agama dalam konflik ini telah menyediakan suatu sistem kepercayaan yang
bernilai dan memberikan pijakan tentang standar dan kriteria perilaku yang mendasarkan diri pada
sistem tersebut, dalam komunitas syiah diantaranya sebagaimana diungkap Raphael (1984) dalam Ahmad
Zainul Hamdi adalah berbagai ritual keagamaan seperti barzanji, shalawatan serta suroan.
Kelompok syiah di Indonesia mengorganisasikan ketaatan melalui intitusi sekaligus melegitimasi aktor,
aksi dan lembaga dengan mendirikan IJABI (Ikatan Jamaa’ah Ahlul Bait Indonesia). Sebagaimana
diungkapkan Wakhid Sugiyarto (2009) dalam Ahmad Zainul Hamdi (2012) IJABI didirikan oleh
Jalaluddin Rahmat pada tahun 2006. Institusionalisasi syiah dalam wajah modern seperti IJABI ini
adalah hasil masuknya syiah gelombang kedua yang terjadi pada tahun 1980-an beriringan dengan
keberhasilan revolusi Islam di Iran yang dipimpin Ayatollah Khomeini yang memiliki dua arus yaitu akademis
dan politis.15
Transformasi identitas meliputi perubahan psikologis dan sosiologis dalam hal kesadaran beragama yang terjadi
pada komunitas syiah di Sampang, Madura terjadi dalam serangkaian proses konversi. Konversi
sebagaimana diungkap James (2004: 208) dalam Atwar Bajari & Sahala Tua Saragih dimana pelaku
konversi dalam kasus ini adalah Ustad Tajul Muluk mengalami perubahan konsep diri karena kesadaran
serta motif yang ada pada dirinya mengalami perubahan.
Konsep diri Ustad Tajul Muluk sebagai seorang penganut syiah muncul karena adanya significant others
dan reference groups baru yang mempunyai nilai-nilai yang sama dan mengarahkan para pelakunya
kepada realitas syiah yaitu berawal dari ayahnya sendiri Kiai Makmun hingga Pesantren Islam (YAPI)
di Bangil, Pasuruan. YAPI dikenal sebagai pesantren yang cenderung pada mazhab Syiah dan Pondok
Pesantren Sayyid Muhammad Al-Maliki di Arab Saudi. Pertukaran makna (intersubjektivitas) terjadi
begitu baik karena
kontinuitas belajar Ustad Tajul Muluk mulai dari ayahnya sendiri hingga dalam proses belajar baik itu di
Pesantren Islam (YAPI) di Bangil, Pasuruan hingga Pondok Pesantren Sayyid Muhammad Al-Maliki di
Arab Saudi. sehingga menimbulkan transformasi identitas Ustad Tajul Muluk sebagai penganut
Syiah yang kuat.
Eden ? 16
Tentunya hal ini tidak dapat melegitimasi kelompok mayoritas untuk dapat melakukan kekerasan
terhadap penganut ajaran yang bersifat minoritas. Tindakan tegas harus langsung dilakukan pemerintah pusat
dalam menyikapi konflik yang berawal dari perbedaan keyakinan dalam beragaman agar jangan sampai setiap
ada konflik di masyarakat dengan latar belakang perbedaan agama, keyakinan, kelompok minoritas harus
terusir hanya karena perbedaan keyakinan.
Karena itu relokasi masyarakat dari kelompok syiah bukanlah sebuah alternative yang bijak dalam
menghadapi konflik terbuka yang berasal dari perbedaan keyakinan dan pemahaman dalam beragama ini.
Pada dasarnya negara wajib menjamin keselamatan setiap warga negara. Untuk itu kebijakan relokasi justru
dapat menjadi preseden buruk bahwa konflik terbuka yang bersifat agamis dapat menyebabkan warga
negara terusir dari tempat tinggal yang sah hanya karena beda keyakinan. Relokasi perlu direnungkan agar
tidak dijadikan model oleh siapapun yang ingin bangsa Indonesia terpecah belah.
Meskipun di lain sisi hak sebagai kelompok minoritas yang tetap harus mendapatkan perlindungan
hukum tidak pula serta merta dapat dijadikan legitimasi pembenaran terhadap sebuah keyakinan.
Pemerintah pusat dalam
koordinasi Departemen Agama hendaknya bersikap bijak dengan melakukan kajian yang komprehensif
dengan melibatkan para ulama yang terpercaya serta mendasarkan diri pada acuan induk dalam
beragama dalam hal ini adalah agama Islam untuk menentukan benar tidaknya tuduhan bahwa syiah
merupakan ajaran sesat.
Jika pada akhirnya pembahasan yang mendalam dan komprehensif yang melibatkan berbagai institusi
keagamaan yang kelembagaannya telah diakui secara konstitusional seperti MUI, Muhammadiyah, NU dan
sejumlah kelembagaan Islam lainnya, anggapan bahwa aliran syiah mengandung ajaran sesat dalam
pandangan Islam maka pemerintah harus tegas mengambil berbagai kebijakan pelaranggan sama halnya
seperti yang dilakukan terhadap aliran Ahmadiyah dan Eden serta melakukan serangkaian kebijakan
persuasif untuk melakukan penyadaran dan aparat keamanan di bawah koordinasi Badan Intelejen Negara
hendaknya berupaya untuk mengantisipasi perlawanan dari kelompok syiah mengingat jumlah penganut
kelompok syiah jauh lebih besar dari penganut Ahmadiyah dan Eden serta berupaya mengantisipasi
perlawanan yang dilakukan agen-agen dari kelompok syiah internasional.
Saling tuding antara sesama pemangku kebijakan di daerah sebagaimana diungkap Komisioner Komisi
Kepolisian Nasional, M. Nasser yang menyatakan, dalam tragedi Sampang, polisi sudah berusaha
menghindarkan bentrok, namun tak ada peran serta pemerintah daerah dalam mengupayakan perdamaian yang
17
menyebabkan konflik Sampang berulang hendaknya disikapi secara tegas oleh pemerintah pusat
dengan mengembalikan penyelesaian permasalahan koordinasi kepada UU No.7 Tahun 2012 tentang
Penangganan Konflik Sosial dan menegaskan kembali tentang peran dan tanggungjawab masing-masing
institusi dalam upaya melakukan tindakan pencegahan terjadinya konflik.
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 maka Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat
berkewajiban untuk melakukan pencegahan terjadinya konflik antara lain dengan cara memelihara kondisi
damai di masyarakat, mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi
norma-norma atau nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat Sampang yaitu antara kelompok sunni dan
syiah.
Proses akomodasi antara kedua kelompok ini bukan merupakan hal yang mudah, karenanya pemerintah
pusat baik itu Departemen Agama maupun institusi keagamaan tertinggi seperti MUI Pusat dan NU Pusat
maupun aparat keamanan baik itu intelejen maupun kepolisian serta pemerintah daerah harus
mengawal ketat proses ini. Pada tahapan awal proses akomodasi kerap kali membutuhkan coercion
(pemaksaan) yaitu bentuk akomodasi yang terjadi karena adanya paksaan atau kekerasan secara fisik atau
psikologis agar kedua kelompok yang bertikai baik itu kelompok sunni maupun syiah dapat melakukan
compromise (kompromi) yaitu akomodasi yang dicapai karena masing-masing pihak yang terlibat dalam
proses ini saling mengurangi tuntutannya agar tercapai penyelesaian oleh pihak ketiga atau badan yang
berkedudukan lebih tinggi dari pihak yang bertentangan yaitu pemerintah pusat.
Hal yang dikompromikan tentunya bukan terkait dengan berbagai pemahaman dan keyakinan sesuai
dengan ajaran yang dianut kedua kelompok, sebab sudah pasti masing-masing kelompok memiliki
keyakinan yang kuat karena proses transformasi keyakinan yang terjadi tidak terjadi dalam sekejab
mata melainkan terjadi dalam proses pembelajaran bertahun- tahun melainkan kompromi dalam kerangka
menciptakan perdamaian dan kemanusiaan dengan mengembalikan pemahaman kepada konsep-konsep
dasar beragama dalam acuan induk yaitu Al Quran.
Pemerintah pusat harus menjadi pihak ketiga yang netral dalam melakukan mediation atau mediasi yang
merupakan bentuk akomodasi yang dilakukan melalui penyelesaian oleh pihak ketiga yang netral yang
dilanjutkan dengan upaya untuk melakukan conciliation(konsiliasi) yaitu bentuk akomodasi yang terjadi
melalui usaha untuk mempertemukan keinginan – keinginan dari pihak yang berselisih.
Pada tahapan mediasi dan konsiliasi, pemerintah hendaknya pemerintah memperhatikan setiap keinginan
pihak-pihak yang berkonflik dan membahasnya dengan secara seksama dan komprehensif dengan para ulama
yang terpandang baik dari kalangan kelompok Sunni maupun Syi’i.
Beberapa keinginan pihak yang bertikai misalnya seperti yang diungkapkan Ketua MUI Sampang serta salah
seorang kyai NU, K.H. Bukhori Maksum sebagaimana dikutip oleh Ahmad Zainul Hamdi “Secara
konstitusional, paham syi’ah di Indonesia tidak dilarang, tetapi di kalangan warga NU, Syiah tidak bisa
Berbagai langkah nyata yang harus segera dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat adalah mengintensifkan dialog antara kedua kelompok. Selain itu pemerintah pusat dan
daerah dan masyarakat khususnya lembaga-lembaga penelitian di bidang sosial dan politik serta
keagamaan mengembangkan kerja sama guna melakukan penelitian secara komprehensif guna memetakan
wilayah potensi konflik keagamaan disertai latar belakang permasalahanannya serta alternatif
pemecahannya sebagai sistem pendeteksi dini.
Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah hendaknya segera membangun sistem informasi yang dapat
menyajikan data dan informasi yang akurat dan cepat tentang konflik yang terbangun dalam suatu sistem
yang melembaga,
Pemerintah pusat hendaknya melakukan fasilitasi kepada setiap pemerintah daerah agar dapat memahami
tanggungjawabnya dalam upaya pencegahan, penangganan konflik sosial termasuk diantaranya mekanisme
menyatakan suatu daerah dalam keadaan konflik serta membangun sistem mekanisme pelaporan
penangganan terjadinya konflik ke dalam satu sistem yang melembaga dan integral dalam tugas dan
fungsi yang melekat sesuai dengan setiap perangkat pemerintahan yang ada.
Pemerintah pusat hendaknya juga memfasilitasi serangkaian pendidikan dan pelatihan terhadap aparatur
pemerintahan daerah dalam hal upaya pencegahan, penangganan konflik sosial termasuk didalamnya
bagaimana mekanisme pembatasan dan penutupan kawasan konflik untuk sementara waktu, cara-cara
psikologis dan agamis dalam hal penangganan amuk masa, cara menanggani trauma psikologis dari korban
konflik sosial misalnya bagaimana menanggani anak-anak Sampang yang menjadi korban penyerangan
massa masih trauma serta berbagai pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan dalam upaya
penangganan konflik sosial lainnya.
Pemerintah pusat dengan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah hendaknya juga
mengupayakan terjadinya toleransi dengan cara masing-masing pihak menghindari diri dari pertikaian
maupun dilakukan dengan mengunakan instrument kemasyarakatan yang ada seperti para ulama yang
dipercaya yang melakukan pembahasan mendalam dengan para ulama dari kelompok-kelompok pengajian
yang bertikai yang kemudian meneruskan pemahaman yang dicapai kepada jamaahnya sehingga tercipta
suatu tahapan stalemate merupakan pencapaian akomodasi dimana pihak-pihak yang bertikai mempunyai
kekuatan yang sama untuk berhenti pada satu titik tertentu dan mereka menahan diri.
Kekhasan etnis Madura yang tunduk dan taat kepada empat figur utama dalam kehidupan mereka yaitu
buppa, babbu, guru dan rato (ayah, ibu, guru dan pemimpin pemerintahan) hendaknya dijadikan
modal utama dalam upaya penyelesaian konflik.
Kepatuhan pada figur guru yang dalam hal ini adalah kepatuhan mereka pada kyai dimana kyai di Madura
dipandang sebagai elit desa sehingga posisi kyai dalam kehidupan masyarakat Madura menjadi sangat
sentral perlu dijadikan landasan dalam upaya penyelesaian konflik dengan dimediasi oleh institusi
keagamaan di tingkat pusat seperti MUI Pusat dan NU Pusat sebab keIslaman masyarakat Madura bisa
dikatakan identik dengan NU sebab identitas ke-NU-an bagi masyarakat Madura termasuk Sampang
adalah sama dengan keIslaman itu sendiri. Terlebih konflik keagamaan yang terjadi di Sampang yang
melibatkan kelompok Ahlussunah pimpinan Kiai Ali Karar dan kommunitas syiah di Sampang Madura
berangkat dari perebutan otoritas kepeminpinan atas masyarakat yang dibalut dalam jargon-jargon
Abdul Malik, Bahram, Muklis, dan keterlibatan ormas Badan Silaturahmi Ulama Madura (Basra)
21
dibawah pimpinan K.H. Kholil Halim serta peran Ustad Tajul Muluk sendiri misalnya harus
dilakukan secara objektif dan intensif.
Selain itu pemerintah pusat hendaknya mengambil tindakan tegas terkait dengan pemberitaan yang bersifat
provokator dalam mengupas peristiwa Sampang. Pendekatan persuasif kepada kelompok-kelompok yang terlibat
konflik hendaknya dilakukan secara intensif guna mencegah terulangnya kembali konflik serupa.
Pemerintah pusat hendaknya juga mengkoordinasikan dilakukannya serangkaian kebijakan guna
menstimuli proses terjadinya transformasi pemahaman antara dua kelompok yang bertikai secara intensif dan
terus menerus sebab konflik sunni dan syiahbisa dikatakan terjadi berulang kali akibat dari rasa
permusuhan dan kebencian yang disebarkan secara terus menerus secara intensif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan terhadap kasus konflik Sampang adalah adanya ketidakpercayaan
kelompok sunni terhadap kelompok syiah merupakan faktor utama penyulut terjadinya konflik.
Secara konstitusional, paham syi’ah di Indonesia tidak dilarang, tetapi antara kelompok sunni dengan
syiah tidak bisa disatukan dalam satu wilayah karena ibarat air dan minyak kedua kelompok itu tidak
dapat berinteraksi dalam satu lingkungan sosial secara normal.
Karenaitupemerintahpusathendaknyajugamengkoordinasikandilakukannya serangkaian kebijakan
guna menstimuli proses terjadinya transformasi pemahaman antara dua kelompok yang bertikai secara intensif
dan terus menerus sebab konflik sunni dan syiahbisa dikatakan terjadi berulang kali akibat dari rasa
permusuhan dan kebencian yang disebarkan secara terus menerus secara intensif. Jika tidak maka
konflik serupa yang bermuara pada adanya keyakinan bahwa ajaran syiah sesat dapat terjadi daerah-
daerah lainnya.
B. Saran
Saran untuk Pihak Sekolah, Sekolah perlu mengambil sikap untuk memikirkan solusi terbaik
agar para siswa memanfaatkan perkembangan IPTEK dengan baik.Tindakan ini juga perlu
dilakukan agar para siswa tidak menyalahgunakan IPTEK untuk berbagai kegiatan negatif yang
memicu ketidakharmonisan dengan orang tua maupun masyarakat. Saran untuk Siswa,
Sebaiknya para siswa tidak ikut terpengaruh dalam pergaulan negatif. Selain itu, sebaiknya para
siswa lebih serius ketika mengikuti pembelajaran sosiologi.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Atwar Bajari & Sahala Tua Saragih, Komunikasi Konstektual, Teori dan Praktik Komunikasi
Kontemporer, Bandung : Rosda Karya, 2011
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma dan Diskursus Tehnologi Komunikasi di
Masyarakat, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009.
Ahmad Zainul Hamdi, “Klaim Religious Authority Dalam Konflik Sunni-Sui’I Sampang Madura,
Islamica, Vol.6, No.2, Maret 2012, Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2012