Anda di halaman 1dari 38

Dalam Perspektif Syar’i

Oleh
KH. M. SAID ABDURROCHIM
Pengasuh PP. MUS Sarang
Rembang Jawa Tengah
Mukaddimah

‫َ َ ح‬ ‫ح‬ َ َ َ َ َّ َ ُ َ َّ َ ‫ح‬
‫السال ُم َلَع َر ُس حول اﷲ َو َلَع اِل َو َصحبه َو َم حن َواَل ُه ا َّما َبع ُد‬ ‫ﷲ والصالة و‬ِ ‫اْلَ حم ُد‬
Saat ini, rakyat Indonesia dalam menghadapi Pilpres tahun 2024
sedang di ujung tanduk, dimana setiap suara dan pilihan kita akan
berpengaruh menentukan arah masa depan negara sepeninggal
pemerintahan yang meninggalkan beban masalah besar seperti
menegakkan hukum, pemberantasan korupsi, dan kepastian hukum
sebagai negara hukum bukan negara kekuasaan. Dalam pemilu kita
yang menganut prinsip demokrasi, pemenang yang akan memimpin
bangsa ini adalah paslon yang mendapatkan suara rakyat terbanyak.
Sebab itu, para paslon dan tim suksesnya melakukan kampanye
dengan berbagai cara. Dari berbagai baliho, promosi media online,
janji-janji manis dan kampanye darat masif dilakukan untuk mendekati
dan mencuri simpati para pemilih. Selain itu, para calon dan timses
juga menggandeng para tokoh publik, artis, dan kiai untuk
menguatkan elektabilitas dan menggaet suara massa pengikut
mereka. Kita juga tidak bisa tutup mata bahwa banyak juga serangan-
serangan negatif untuk menjatuhkan paslon rival.
Maka tidak heran, dengan kontestasi ini, banyak orang
terpengaruh trik-trik di atas dan tidak jarang dalam memilih presiden
mendasarkan pada perasaan kesukaan pribadi, kebencian pribadi,
atau perasaan dan kepentingan pribadi lainnya seperti dijanjikan
diusung menjadi calon gubernur, menteri dan lainnya. Padahal di
momen krusial ini, kita umat Islam dituntut untuk mengembalikan
prinsip dasar dan khittah dalam menentukan calon presiden sesuai
dengan nilai dan ajaran yang telah dicontohkan dan digariskan
tentang pemilihan imamul a’dzam (presiden) ini yaitu memilih paslon
yang lebih menetapi kriteria syarat syar’i serta kriteria yang bersifat
afdaliyah (utama) dan tidak boleh memakai money politic dan cara
kotor lainnya.
Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam as-Sulthoniyyah berkata,
“Apabila ahlul halli wal aqdi menerima pengajuan kandidat-kandidat
calon imam (presiden) maka supaya berkumpul untuk memilih salah
satu dari mereka dengan mencari rekam jejak para kandidat yang lebih
memenuhi syarat syar’i, kemudian mereka mendahulukan calon yang
paling banyak kriteria idealnya dan paling sempurna syarat syar’inya.”
Yang dimaksud ahlul halli wal aqdi adalah kiai dan tokoh masyarakat.
Seperti sekarang ini sudah diajukan tiga paslon, sekarang tugas
kiai dan tokoh masyarakat memilih salah satu di antara mereka yang
lebih memenuhi kriteria syar’i. Dalam tahapan ini, ada perbedaan
zaman dahulu dengan zaman sekarang. Kalau zaman dahulu, ahlul halli
wal aqdi ketika memilih salah satu calon secara otomatis calon
tersebut langsung jadi presiden, tetapi dengan sistem pemilihan
langsung ini, ahlul halli wal aqdi dituntut untuk kerja politik dengan
mensosialisasikan pilihannya kepada masyarakat awam agar memilih
sesuai pilihan ahlul halli wal aqdi karena kewajiban orang awam adalah
bertanya.
Allah berfirman,
َ َ ‫َ ُ َ ح َ ِّ ح ح ُ ح َ َ ح‬
‫ف حس َـل حْٓوا اهل اذلكر ان كنتُ حم َل تعل ُم حون‬
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui” (QS An-Nahl: 43)
‫ح‬ َ َ ‫َح‬ ُ‫َ َح‬
‫َوَل تقف َما لي َس لك بۦه علم‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Karena itu, orang awam harus mencari informasi rekam jejak para
calon yang akan dipilih sehingga tidak salah memilih yang tidak sesuai
pilihan ahlul halli wal aqdi dan diharapkan bisa memilih secara rasional
artinya perbandingan kecukupan dalam memenuhi syarat-syarat
syar’i dan kriteria ideal seorang presiden dari salah satu tiga pasangan
calon.
Lalu apakah cara seperti ini tidak merusak demokrasi? Pada
dasarnya, Islam tidak menutup rapat dalam menentukan calon
presiden. Karena itu, masyarakat masih diberi kebebasan untuk
memilih sesuai dengan hati nurani seperti memilih temannya sendiri,
saudaranya sendiri dan lain-lain asalkan kriteria syar’i harus tetap
diprioritaskan. Nabi bersabda,
ُ ‫َ ُ ح ُ َ َ ُ ُ ح َ َّ َ ُ ح َ َ َ ُ َ َ ً َ ح‬
‫َل يؤمن أحدكم حّت يكون هواه تبعا لما جئت به‬
“Tidak sempurna iman salah seorang kalian hingga keinginannya
ikut pada ajaran yang aku bawa” (HR. Imam Baihaqi)
Nabi bersabda dalam sebuah hadis,
َ ُ َ ُ َ ‫َ َ َ َ ُ َ ُ َ َ ُ ُ ح ُ ُ ح َ ُ ح َ ُ َ َّ َ ح ً َ ُ ح‬
‫ِل َكره حون‬ ‫ثالثة َل ُتاوز صالتهم رؤؤسه ُِم رجل أم قوما وهم‬
“Ada tiga orang yang salatnya tidak melewati kepalanya: pertama,
adalah seorang lelaki menjadi imamnya kaum padahal kaum itu benci
padanya.” (HR. Imam Baihaqi)
Hadis ini menerangkan bahwa imam salat sebaiknya dicintai oleh
para makmumnya. Namun juga dapat dipahami dari hadis ini bahwa
seorang pemimpin itu sebaiknya disenangi oleh rakyatnya. Karena itu,
sah-sah saja memilih presiden yang disenangi menurut hati nuraninya
tetapi tetap harus lebih memprioritaskan memilih presiden yang lebih
menetapi syarat syar’i.
Menghadapi pilpres yang penuh dengan kebid’ahan (model cara
baru yang tidak ada pada zaman nabi) ini, para kiai dan tokoh
masyarakat tidak boleh diam saja. Nabi bersabda,
ُ ‫َ َ ََ ح َ ُ ََ َ َ َ َ َ َح‬
‫العال ُم ف َعليحه لعنَة اﷲ‬ ‫إذا ظهر اْلدع وسكت‬
“Apabila bermunculan bid’ah dan ulama’ diam maka mereka
mendapat laknat Allah” (Minhajul Abidin)
Ironisnya, banyak kiai dan tokoh masyarakat justru ikut arus
dalam permainan kotor politik dan berorientasi transaksional seperti
diiming-imingi jabatan dan money politic. Kami pada waktu berjumpa
KH. Agoes Ali Masyhuri Sidoarjo di suatu acara, kami menanyakan
pada beliau, “Sinten capres ingkang paling kuat?”. Jawab beliau,
“Sekarang ini yang lebih kuat Paslon 02 karena banyak kiai diberi uang
untuk mendukung paslon ini”. Dan kami husnudzon (berbaik sangka)
saja bahwa uang yang diberikan itu sebagai salam tempel yang biasa
diberikan untuk kiai sebagai uang ikrom (hadiah penghormatan) dan
imbalan doa keselamatan, bukan sebagai uang dukung mendukung.
Semoga Allah melindungi kami dari segala godaan dan mara bahaya
yang ada di muka bumi ini.
ُ ‫اﷲ َون حع َم ال ح َوكيح ُل ن حع َم ال ح َم حو ََل َون حع َم انلَّص ح‬
‫ي‬ ُ ‫َح حسبُنَا‬

Amin.
Sarang, 8 Rojab 1445 H
20 Januari 2023 M

KH. M. Sa’id Abdurrochim


Pengasuh PP. MUS Sarang
Rembang Jawa Tengah
Merujuk Kiai Syariat bukan Kiai Thoriqah dan
Penceramah
Salah satu kewajiban umat Islam adalah hidup ber-jama’ah dengan
menunjuk salah satu dari mereka yang dianggap paling memenuhi
kriteria syar’i sebagai imam a’dzam (kepala negara) yang dalam sistem
demokrasi kita dipilih melalui pemilu.
Karena itu, seharusnya penentuan pilihan presiden ini dibahas
bersama dalam forum oleh para kiai dan tokoh masyarakat sebagai
ahlul halli wal aqdi sehingga bisa menjaga jama’ah umat Islam dan
forum ini betul-betul bisa menunjukkan integritasnya sebagai forum
yang bersih dari kepentingan materi dan kedudukan serta bisa
menghindari kebiasaan yang selama ini sering terjadi yaitu membuka
dasaran (menjual dukungan) baik untuk pribadi, lembaga maupun
organisasi. Selain itu, supaya membuat kontrak politik kepada paslon
dengan mengajukan program-program untuk kemaslahatan.
Dan ketika ahlul halli wal aqdi sudah menemukan calon yang
paling memenuhi kriteria syar’i, maka umat Islam harus bersatu padu
mendukung calon tersebut dan harus mengesampingkan perbedaan-
perbedaan paham dan aliran demi mewujudkan jama’ah yang
diperintahkan agama serta memperbanyak suara untuk
memenangkan pasangan capres dan cawapres yang paling memenuhi
kriteria syar’i tersebut. Untuk itu, kita harus terbuka berkoalisi
dengan partai mana pun, termasuk dengan PKS, terlebih selama ini
PKS dan PKB-NU selalu tidak akur dan permusuhannya sudah jelas
nyata sehingga harus ada upaya islah (mendamaikan) antara keduanya.
Kalau berselisihnya membawa-bawa organisasi maka islah-nya juga
lewat organisasi. Karena itu, terwujudnya koalisi antara PKB dan PKS
ini adalah bentuk nyata dari islah yang diperintahkan agama dan harus
kita dukung. Allah berfirman,
َ ُ َ ‫َّ َ ح ُ ح ُ ح َ ح َ َ َ ح ُ ح َ ح َ َ َ َ ح ُ ح َ َّ ُ ه َ َ َ َّ ُ ح ُ ح‬
‫َح حون‬‫ࣖ انما المؤمنون اخوة فاصلحوا بْي اخويكم واتقوا اّٰلل لعلكم تر‬
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat : 10)
Allah juga berfirman,
‫ْي انلَّاس‬َ ‫ىه حم ا ََّل َم حن ا َ َم َر ب َص َدقَة ا َ حو َم حع ُر حوف ا َ حو ا حص َال ٍح بَ ح‬
ُ ‫ِف َكث حي ِّم حن ََّّنح ٰو‬
‫ي ح‬َ ‫ََل َخ ح‬
ٍ ٍ ٍ
‫ه َ َ ُح َ ح‬ َ ‫ك ابحت َغ‬ َ ٰ ‫َ َ ح َّ ح َ ح‬
‫اء َم حر َضات اّٰلل ف َس حوف نؤتيحه اج ًرا َعظيح ًما‬ ‫ومن يفعل ذل‬
“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka,
kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang)
bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan
Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS An-
Nisa’ : 114)
Dalam ayat di atas, dipahami bahwa tidak ada baiknya organisasi
selalu rapat berembuk yang tidak membawa perdamaian di antara
sesama muslim, malah justru mengundang dan menebarkan
perpecahan dan kebencian. Karena itu, walaupun ada perbedaan
paham keagamaan, sesama organisasi Islam harus tetap ada kerja
sama dan hubungan baik dalam hal-hal yang telah kita sepakati karena
umat Islam harus mengamalkan kaidah
‫ح َح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح ح‬ ُ َ َََ
‫اون فيح َما اجتَ َمعنَا َويَعذ ُر َبع ُضنَا َبع ًضا فيح َما اختَلفنَا‬ ‫نتع‬
“Kita saling membantu dalam hal yang kita sepakati dan bertoleransi
dalam hal yang masih diperselisihkan.”
Dan di antara hal yang kita sepakati berdasarkan dalil-dalil syar’i
adalah bahwa calon presiden yang harus kita pilih adalah calon
presiden yang lebih menetapi kriteria syar’i. Lalu siapa yang berhak
menentukan calon yang paling lebih menetapi kriteria syar’i? Yang
berhak berbicara tentang kriteria tersebut adalah ulama syariat
karena kriteria presiden ini dibahas dalam kitab syariat. Karena itu,
ahlul halli wal aqdi yaitu para ulama dan tokoh masyarakat harus
merujuk kepada kitab syariat yang dikarang oleh para ulama syariat.
Bahkan sumber kitab rujukan pun supaya sesuai dengan babnya
dalam hal ini bab imamul a’dzam (kepala negara). Hal ini karena agama
Islam sangat menjunjung tinggi dan menghargai kedisiplinan bidang
ilmu atau spesialisasi ilmu. Allah berfirman,
َ ُ ِّ َ ُ َ َ
‫ك مثح ُل َخب ح‬
‫ي‬
ٍ ‫وَل ينبئ‬
“Dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu
sebagaimana yang diberikan oleh orang yang ahli dalam hal tersebut.”
(QS Al-Fatir: 14)
Allah juga berfirman,
ً ‫اسأَ حل به َخب ح‬
‫يا‬ ‫فَ ح‬

“Dan bertanyalah kepada orang yang ahli dalam hal tersebut.” (QS
Al-Furqan: 59)
Sebab untuk memperoleh pemahaman yang benar dalam suatu
masalah, kita harus mengambil dan merujuk ilmu dari orang yang
membidanginya, karena setiap bidang ilmu punya pakar spesialisnya
masing-masing.
Dengan demikian, karena pembahasan kriteria presiden adalah
bidang ilmu syariat, maka kita harus merujuk dalam pilpres ini kepada
para kiai syariat, bukan kiai-kiai yang alim di bidang lain, sehingga
keliru jika dalam masalah pilpres ini kita merujuk pada kiai thoriqah
bila pilihannya tidak sesuai dengan pilihan kiai syariat.
Sayyid Alawi bin Abdurrahman As-Saqqaf berkata dalam kitab al-
Fawaid al-Makkiyyah, mengutip dari Syaikh Muhammad Ahdal dalam
kitab Nasyr al-A’lam tentang kaidah yang disebutkan Syaikh Ahmad
Zarruq dalam kitab Qawaidut Tasawwuf
“Sesungguhnya setiap ilmu diambil dari para ahli di bidangnya. --
- Adapun ulama thariqah hanya dirujuk dalam permasalahan yang
terkait memperbaiki hati. Oleh karena itu, Syaikh Abu Muhammad al-
Mirjani memerintahkan para muridnya untuk merujuk pada ulama
syariat dalam permasalahan syariat walaupun beliau sendiri pandai
dalam ilmu tersebut.”
Begitu juga disebutkan Syaikh Ahmad Zarruq dalam kitab
tersebut,
“Hukum syariat itu berlaku umum kapan saja dan siapa saja
karena tujuan syariat adalah menegakkan bangunan agama,
meninggikan menaranya dan menampakkan agama. Sedangkan
hukum tasawuf berlaku dalam waktu tertentu dan orang tertentu
karena itu urusan personal antara seseorang dengan Tuhannya, tidak
lebih, Oleh karena itu, bagi ulama syariat dibenarkan ingkar kepada
ulama tasawuf dan ulama tasawuf tidak dibenarkan ingkar kepada
ulama syariat. Bahkan dalam tasawuf wajib mengembalikan hukum
kepada syariat, bukan tasawuf lantas meninggalkan syariat. Sehingga
seseorang bisa dan cukup ber-syariat tanpa bertasawuf namun tidak
cukup bahkan tidak sah bertasawuf tanpa bersyariat.” (Selesai)
Begitupun keliru jika merujuk pada kiai penceramah yang
pilihannya tidak sesuai dengan pilihan kiai syariat.
Syaikh Muhammad Anwar Syah bin Mu’adzzom Syah al-Kasymiri
al-Hindi ad-Deobandi berkata dalam kitab Faidl al-Bari Syarh Shahih
al-Bukhari Juz 1 Hal. 375:
“Ketahuilah bahwa ada dua orang dengan tugas berbeda.
Pertama, kiai wa’idz dan mudzakkir atau kiai ahli ceramah. Tugasnya
adalah memotivasi orang untuk beramal baik sehingga ia memilih
narasi-narasi yang paling dapat mendorong beramal. Ia tidak perlu
membahas sebuah permasalahan agama dengan detail seperti
menjelaskan semua syarat sah ibadah atau hal yang membatalkannya
tapi cukup menjelaskan adanya perintah dan larangan, lalu fadilah
yang didapat ketika mengerjakan, ancaman apabila mengabaikan,
menjelaskan motivasi untuk melakukan serta kerugian apabila
meninggalkan, dan bukan tugasnya untuk memerinci masalah.
Kedua, adalah kiai muallim dan faqih. Tugasnya adalah menuntun
ilmu dan menjelaskan permasalahan. Adapun tentang motivasi
pengamalan maka itu bukan bagiannya. Dia berfokus pada
menjelaskan masalah dengan akurat, detail, terperinci dalam semua
aspek fikihnya dll dengan memilih narasi yang tidak membuat
kesalahpahaman namun harus sangat jelas. Jadi dia sebaiknya tidak
berbicara bebas tapi menjelaskan dengan semua syarat fikihnya.”
(Selesai)
Alhamdulillah, mayoritas kiai syariat dan ulama sudah sepakat
bahwa paslon AMIN adalah paslon capres-cawapres yang terbaik
karena mempunyai kelebihan-kelebihan yaitu lebih menetapi kriteria
syar’i sebagai berikut :
Satu, lebih taat syariat. Salah satu bentuk lebih taat syariat adalah
beliau Pak Anies dikenal sebagai sosok yang punya integritas yang
bersih. Terbukti walaupun pernah menjadi menteri dan gubernur DKI,
tetapi rumahnya masih kredit dan sampai sekarang belum lunas.
Beliau juga menjadi rektor pertama yang menerapkan materi Anti
Korupsi di perguruan tinggi Paramadina dan pernah menjabat ketua
etik KPK. Karena itu, pasangan AMIN ini paling bisa diharapkan untuk
bisa memberantas korupsi karena sudah teruji amanah di mana negara
sekarang ini sangat membutuhkan presiden yang amanah karena
kebanyakan pembangunan dari hutang yang harus dibayar oleh
rakyat. Bisa-bisa negara akan bangkrut jika presidennya tidak amanah.
Kedua, lebih tahu dalam masalah agama. Pasangan AMIN ini
sudah terbukti pada kelebihan ini karena sering menjadi imam, khotib
dan penceramah agama. Penekanan syarat tahu ilmu agama ini
penting karena fungsi presiden adalah menjaga agama di samping
mampu dengan baik mengelola pembangunan, sebab presiden
mengangkat dan membawahi kementerian dan jabatan yang
mengurus keagamaan seperti pengadilan agama, naib, dan amil zakat.
Karena itu, seorang presiden harus mengetahui ilmu agama. Bahkan
Pak Anis juga pandai ilmu non-agama karena beliau salah satu dari
100 cendekiawan terkemuka di Indonesia.
Ketiga, visi misi AMIN yaitu “Adil Makmur untuk Semua” lebih
menekankan dan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan primer
bagi masyarakat yang lebih membutuhkan. Hal ini sesuai dengan tata
cara pengelolaan negara menurut syar’i yaitu taqdimul ahwaj fal ahwaj
(memprioritaskan yang paling membutuhkan).
Di samping itu, Pak Anies punya keunggulan-keunggulan lain
seperti nasionalis terbukti bisa diterima dengan baik oleh non muslim,
visioner, cerdas, terbuka untuk kritik, punya leadership yang paling
baik dan tidak dikendalikan oleh ketua partai dan hal ini sudah
terbukti tatkala beliau menjadi gubernur DKI Jakarta, mempunyai
keunggulan diplomasi internasional yang sangat dibutuhkan di era
globalisasi ini, pemberani, tegas, dan bagus dalam bersosialisasi
dengan masyarakat. Seorang calon presiden yang punya kemampuan
interaksi bagus dengan masyarakat maka nantinya ketika menjadi
presiden akan peduli dengan masyarakat bawah.
Dan jarang sekali kita menemukan calon presiden seperti pasangan
AMIN ini. Belum tentu 10 tahun atau 20 tahun ke depan bisa kita
temukan lagi. Karena itu, kesempatan ini jangan disia-siakan. Ada
ungkapan dalam bahasa Arab berbunyi,
َ ‫الف حوت بَطيحئَ ُة‬
‫الع حود‬
َ َُ‫ُح َ ُ َ ح‬
‫الفرصة َسيعة‬
“Kesempatan itu cepat hilangnya dan lambat kembalinya”
Dan pendapat memilih AMIN ini telah didukung oleh fatwa Ijtima’
Ulama, Halaqah Ijma’ Ulama Pantura Jateng dan Jatim, Ijtima’ Ulama
Kalimantan Selatan, Ijtima’ Ulama Mandailing Natal, ormas Matholi’ul
Anwar, dan Jam’iyah Thoriqah Syathiriyah. Begitu juga dukungan
kepada AMIN datang dari ajengan dan alim ulama kabupaten Garut
dan Tasikmalaya, kiai dan ulama Ponorogo, para masyayikh pengasuh
pondok pesantren besar seperti Lirboyo, Peloso, Blokagung,
Tegalrejo, Tebuireng, Kendal, Sidogiri dan mayoritas masyayikh
pondok pesantren se-Madura, dan lain-lain, serta ketika kita merujuk
kepada panduan fatwa MUI tentang pilpres sebagaimana berikut:
1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih
pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi
terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan
kepentingan bangsa.
2. Memilih pemimpin (nashbu al imam) dalam Islam adalah kewajiban
untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai
dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam
masyarakat.
4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq),
terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai
kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat
Islam hukumnya adalah wajib
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam butir 4 (empat) atau sengaja tidak memilih padahal
ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Maka, calon yang sesuai dengan kriteria MUI di atas adalah
paslon AMIN karena AMIN lebih bertakwa dan bisa tabligh dan
tentunya sebelum tabligh harus mengetahui masalah agama. Orang
Arab berkata:
‫َ ُح‬ َ‫ح‬
‫الفاق ُد َل يعط حي‬
“Orang yang tidak punya tidak bisa memberi”. Termasuk orang yang
tidak punya ilmu, dia tidak mungkin bisa tabligh (menyampaikan ilmu)
Dasar pijakan yang diambil oleh lembaga, para masyayikh dan kiai
yang tersebut di atas adalah manhaj metode yang benar dalam
mengambil keputusan syar’i tentang penentuan pilihan calon
presiden. Karena itu, pendapat yang berlawanan dengan pendapat
mayoritas kiai dan ulama tentang keharusan mendukung dan memilih
paslon AMIN dianggap memecah belah umat Islam. Pendapat seperti
ini disampaikan oleh KH. Thoifur Mawardi Purworejo Jateng dan kami
sepenuhnya mendukung pendapat ini.
Allah berfirman,
ُ ََ َ َ ‫ه‬ ‫َ ح‬
‫ِببحل اّٰلل َجيح ًعا َّوَل تف َّرق حوا‬
َ ‫اعتَص ُم حوا‬‫و‬
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Ali Imran: 103)
Allah juga berfirman,
ُ َ‫ح َ ح َ َ َ ُ ُ ح‬ َُ ‫ح‬ ُ َ َ َ َّ َ ُ ُ َ َ َ
‫اْليِّنَات‬ ‫ين تف َّرقوا َواختَلفوا من بعد ما جاءهم‬ ‫وَل تكونوا َكذل‬
“Dan janganlah kalian (umat Islam) seperti orang-orang yang
bercerai-berai setelah datang bagi mereka bukti-bukti yang nyata” (QS.
Ali Imran: 105)
Dengan semua hal di atas, kalau ada santri yang tidak mendukung
pasangan AMIN maka kebangeten, kebelacut dan aneh karena paslon
AMIN ini jelas-jelas lebih unggul menurut kriteria syar’i sesuai dengan
kitab-kitab fikih yang mereka pelajari di pondok pesantren di samping
punya banyak keunggulan lainnya yang tidak dimiliki oleh paslon lain
serta paslon AMIN berasal dari komunitas santri. Wong non-santri saja
banyak yang mendukung dan berjuang untuk memenangkannya
dengan alasan yang sangat ringan seperti pasangan AMIN bacaan al-
Qurannya bagus dan akhlaknya bagus, masak santri dalam memilih
presiden tidak mempertimbangkan hal seperti ini. Begitu pun, orang
NU yang tidak mendukung pasangan AMIN maka diragukan kadar ke-
NU-annya karena sebagai warga NU ia terikat ukhuwwah nahdliyyah
(saudara sesama NU) dan hilf (aliansi) yang kewajibannya saling
mendukung, membantu dan membela sebagai bentuk solider di
antara warga NU serta kemanfaatan pasangan AMIN bagi warga NU
ini jelas nyata bila memenangkan pilpres 2024 karena Pak Anies dan
Pak Muhaimin sesuai kesepakatan menjalankan negara sebagai dwi
tunggal dan mempunyai kekuatan di DPR.
Meski demikian, hal seperti ini mudah diucapkan tapi sulit
dilaksanakan karena masalah pribadi, sifat iri dan dengki ini justru
mudah timbul dan tersulut di antara orang dekat kita sendiri, seperti
keterangan dalam kitab Ihya’, dan hal ini dikaitkan dan dibawa dalam
masalah lain yang sebetulnya tidak ada kaitannya. Allah berfirman,
ُ ‫ى َ َّ َ ح‬ َ ُ ٰ َ ُ َّ ‫َ َ ح‬
‫َوَل َير َمنك حم شنَان ق حومٍ َلَع اَل تعدل حوا‬
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil”. (QS. Al-Maidah: 8)
Bahkan masih saja ada pihak-pihak yang tidak senang pasangan
AMIN ini kuat dengan menebar fitnah bahwa Pak Anis ini adalah
wahabi, padahal jauh sebelum menjadi calon presiden amalan ibadah
beliau sama dengan orang-orang NU seperti mengikuti maulid nabi,
ziarah kubur, dan menghadiri haul para masyayikh dan habaib. KH.
Syukron Makmun juga memberi kesaksian bahwa Pak Anis bukan
orang wahabi karena beliau aktif di pengajian kitab-kitab salaf yang
dibaca oleh kiai-kiai DKI Jakarta dan dekat dengan kiai dan ulama NU,
bahkan Pak Anies sempat hendak dijadikan pengurus wilayah NU DKI
sewaktu beliau menjadi gubernur DKI. Karena itu, pak Anis jelas-jelas
ahlussunnah wal jamaaah. Dalam kaidah disebutkan, “Kita menilai
seseorang sesuai dengan yang tampak di luar dan kita pasrahkan apa
yang ada di hatinya kepada Allah.” Kalau hanya membuat tuduhan,
semua orang pun bisa. Karena itu, orang yang menuduh berkewajiban
menunjukkan bukti-bukti. Selama tidak mampu menunjukkan bukti-
bukti maka tuduhannya tidak bisa diterima. Dalam kaidah bahtsi wal
munadzarah (kaidah menyampaikan kajian dan berdiskusi) disebutkan,
“Ketika kamu menuduh maka kewajiban kamu harus menyampaikan
dalil tuduhan tersebut.”
Kemudian ada yang mengaitkan Pak Anis dengan keluarganya
yang berlatar belakang ormas Al-Irsyad. Ini adalah tindakan yang tidak
islami karena mengaitkan seseorang dengan latar belakang
keluarganya. Kalau kita jujur, dalam Al-Irsyad pun ada yang moderat
dan ada yang garis keras. Sikap membeda-bedakan orang sehingga
mengesampingkannya dan mengatakan ia tidak boleh dipilih sebagai
presiden padahal ia paling menetapi kriteria syar’i dan keunggulan
lainnya seperti Pak Anies padahal yang membedakan hanya latar
belakang organisasi adalah bagian dari fanatik buta yang diharamkan
oleh agama. Karena itu, terlalu tendensius pihak yang mengatakan
bahaya mengusung pasangan AMIN.
Dan ada lagi yang mengatakan bahaya bila koalisi dengan PKS
karena PKS bagian dari kelompok garis keras yang ingin mendirikan
negara Islam. Pernyataan ini hanya halusinasi karena sekarang sudah
tidak mungkin lagi bisa mendirikan negara Islam karena
memperjuangkan hal ini di DPR jelas akan ditolak oleh mayoritas
anggota DPR. Begitu juga, masyarakat non muslim dan sekuler akan
menolak. Belum lagi, harus berhadapan dengan TNI dan Polri yang
punya kekuatan senjata yang tidak mungkin dikalahkan oleh sebagian
kecil masyarakat.
Santri harus berjuang untuk Islam lewat dakwah mengajar dan
membina masyarakat agar moral dan perilakunya baik sesuai dengan
ajaran agama. Di samping itu, santri juga berjuang semampunya di
politik. Dan seperti kita ketahui, politik tidak bisa lepas dari dua hal.
Pertama, politik sebagai sistem perencanaan dan kebijakan negara
yang tertuang dalam perundang-undangan. Kedua, jabatan publik
sebagai alat dan sarana untuk mengimplementasikan kebijakan
negara tersebut. Dalam politik yang kedua ini, yaitu politik jabatan
publik akan mendorong dan menentukan sosok-sosok pejabat publik
yang taat syariat dan memiliki pengetahuan agama sehingga dengan
sendirinya mereka bersifat adil, jujur, dan bertanggung jawab dalam
mengemban amanah, bersih dari korupsi dan lain-lain.
Dan kalau kita jujur, yang bisa kita maksimalkan untuk mencapai
politik syar’i walaupun membutuhkan usaha perjuangan yang tidak
ringan adalah politik syar’i yang kedua yaitu politik yang berusaha
menentukan jabatan publik. Kalau kita memperjuangkan politik syar’i
yang pertama yaitu memasukkan perundang-undangan yang islami di
negara ini akan mengalami kesulitan karena negara kita bukan negara
Islam.
Pada dasarnya, kiai dan ustadz yang sekarang terjun
memperjuangkan terpilihnya pejabat yang agamis tengah
melanjutkan perjuangan para ulama dan kiai zaman dahulu seperti
Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisyri Syamsuri, Kiai Yusuf Hasyim dan
lain-lain. Kiai Wahab Chasbullah mengatakan tujuan beliau di politik
supaya pejabat-pejabat yang di pemerintaah seperti presiden taat
syariat seperti sholat dan lain-lain. Karena itu, kita memilih dan
mendukung AMIN ini adalah meneruskan cita-cita dan harapan
almahrum Kiai Wahab Chasbullah supaya pejabat pemerintah apalagi
presiden bisa dijabat oleh orang-orang yang taat syariat. Mungkin
saja, dasar dan dalil almarhum Kiai Wahai Wahab Chasbullah adalah
ayat Al-Quran,
ِ ‫ٱلزك ََّٰوةَ َوأَ َم ُرواْ ِب ۡٱل َمعۡ ُر‬
‫وف‬ َّ ْ‫صلَ َّٰوةَ َو َءات َُوا‬ ِ ‫ٱلَّذِينَ ِإن َّم َّك َّٰنَّ ُه ۡم ِفي ٱ ۡۡل َ ۡر‬
َّ ‫ض أَقَا ُمواْ ٱل‬
‫ع ِن ۡٱل ُمنك ِۗ َِر‬ َ ْ‫َونَ َه ۡوا‬
“(Yaitu) orang-orang yang apabila Kami beri mereka kedudukan di
muka bumi mereka akan menegakkan sholat, menunaikan zakat,
memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar” (QS. Al-Hajj:
41)
Saat ini, perlu disayangkan ada ormas keagamaan yang
menghimpun para ulama sesuai dengan namanya, pengurus terasnya
menyampaikan pernyataan “Jangan ikut pilihan Ustadz Abu Bakar
Ba’asyir” yang mendukung pasangan AMIN. Narasi seperti ini
menyesatkan dan bermuatan politis serta ada kepentingan politis
padahal katanya ormas ini tidak berpolitik praktis dan dimana-mana
selalu mengatakan netral dan tidak mendukung salah satu paslon dan
memberi sanksi tegas mencopot pengurus di bawah yang dianggap
tidak netral. Lah kok sekarang melarang warga ormasnya mendukung
paslon tertentu. Pemimpin itu yang dipegang omongannya, tidak
boleh mencla-mencle. Semua kiai tahu bahwa pendapat dari siapapun
bisa kita terima bila tidak bertentangan dengan syar’i karena Nabi saja
bisa menerima dan mencontoh dari orang non muslim seperti sistem
perang parit, Nabi mencontoh dari orang Persia yang non muslim.
Begitupun, Umar juga mencontoh dari non muslim dalam hal
administrasi negara. Meniru kelompok non muslim saja boleh, apalagi
ini hanya kesamaan pilihan paslon sesama muslim. Orang NU dengan
kelompok Ustadz Abu Bakar Ba’asyir memang beda. NU itu moderat
sedangkan kelompok Ustadz Abu Bakar Ba’asyir cenderung keras. Tapi
itu pada zaman dulu. Sekarang ini, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sudah
menerima Pancasila dan NKRI karena itu tidak etis ngomong demikian
apalagi Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sudah menerima hukuman.
Janganlah kita membenturkan umat Islam satu dengan umat Islam lain
gara-gara ada kesamaan pilihan presiden. Toh, Ustadz Abu Bakar
Ba’asyir memilih AMIN ini meniru pendukung AMIN bukan
sebaliknya, karena dukungan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir ini
belakangan. Mestinya mereka bersyukur karena Ustadz Abu Bakar
Ba’asyir sudah mau mengikuti bagian sistem pemerintah yaitu pilpres
yang asalnya tidak mau mengikuti apapun sistem pemerintah
Indonesia. Karena dulunya bagi kelompok Ustadz Abu Bakar Ba’asyir,
pemerintah ini bagian dari toghut (pemerintahan setan). Dan supaya
adil dan seimbang, seharusnya juga mengatakan warga NU jangan
memilih paslon yang didukung oleh banyak koruptor dan
menggandeng pasangan yang pencalonannya cacat etika. Dan jangan
lah karena dijanjikan akan menjadi menteri, lalu ngomong seenaknya
untuk kepentingan pribadinya.
Dan ketika kita harus merujuk kiai syariat, lalu kiai syariat mana
yang harus diikuti? Yang harus diikuti adalah kiai syariat yang bisa
menunjukkan nash atau ibarot fikih tentang syarat-syarat seorang
presiden kemudian mengamati dari beberapa sumber terpercaya
tentang tindakan dan perilaku yang selama ini dikerjakan oleh tiga
paslon kemudian mengukurnya dan membandingkan lalu memilih
salah satunya setelah mengetahui rekam jejak masing-masing calon
presiden. Selama tidak melakukan hal ini dan hanya
mempertimbangkan keuntungan-keuntungan untuk pribadinya
sendiri, organisasi atau kelompoknya saja atau berpegangan pada
wahm (dugaan) yang tidak bisa dibuat dasarmaka tidak boleh dibuat
rujukan.
Dan lebih kuat lagi pilihan presiden ini dibahsul-masa’ilkan dan
dihadiri para mushohhih-mushohhih seperti yang dilakukan pendukung
pasangan AMIN karena hal ini sudah menjadi standar baku bagi santri
dan kiai dalam memutuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan
syariat seperti menentukan calon presiden yang harus dipilih.
Sayyidina Ali berkata,
َ ‫َ ح‬ ‫ح‬ ‫ح َ َح‬ ‫ح‬ ‫ح‬
‫الر َجال فتَهلك‬
ِّ ‫اْلَ َّق ب‬ ‫اعرف اْلَ َّق باْلَ ِّق َل تعرف‬
“Ketahuilah kebenaran dengan dalil yang benar. Jangan mengetahui
kebenaran diukur dari ketokohan seseorang saja maka kamu akan rusak”
Imam Malik berkata: “Sungguh saya hanya manusia biasa yang
dapat berpendapat benar dan salah. Oleh karena itu, periksa kembali
pendapat saya. Apabila pendapat saya sesuai dalil Al-Quran dan hadis
maka ambillah. Sebaliknya, apabila pendapat saya berlawanan dengan
Al-Quran dan hadis maka tinggalkanlah.” (selesai)
Sikap luar biasa dari Syaikh Muhammad Said an-Nursi tatkala
beliau melihat ada dari para muridnya yang menampakkan
kefanatikan kepada dirinya. Beliau menuliskan buku kecil kepada para
muridnya. Di antara isinya, “Janganlah kalian mengikat kebenaran
kepada pendapat syaikh tertentu. Tapi kalian harus ikat kebenaran itu
kepada sumber aslinya yaitu Al-Quran dan hadis. Ketahuilah bahwa
aku tidak lebih dari pedagang yang memasarkan ajaran-ajaran Allah.
Aku bukan orang maksum. Bisa saja aku melakukan dosa atau
penyimpangan sehingga jika berfanatik kalian akan menodai
kebenaran dan menyesatkan manusia.” (selesai)
Dan almarhum KH. R. As’ad Syamsul Arifin Situbondo berkata,
“Torok (ikuti) benarnya PBNU sesuai dengan kitab. Jangan torok salah
dan rusaknya.” Dawuh almarhum Kiai As’ad ini sesuai pesan para kiai
pondok pesantren Sarang sejak zaman dahulu. Beliau-beliau
mengatakan, “Santri yang berilmu tidak boleh mengatakan ‘hal ini
harus kita terima dan laksanakan karena sudah menjadi dawuh-nya
kiai A, kiai B atau kiai C dan seterusnya’ tapi harus mengetahui dalilnya
dulu sebelum melakukan.’”.
Lalu, bagaimana dengan sebagian kiai syariat yang tidak memilih
dan mendukung pasangan AMIN? Kami tidak bisa menilai karena
alasannya tidak jelas tapi yang kami dengar alasannya mendapatkan
keuntungan materi untuk kemaslahatan organisasi. Kalau alasannya
hanya demikian dan mengesampingkan keharusan memilih paslon
yang lebih menetapi kriteria syar’i, menurut kami tidak dibenarkan
karena ketentuan agama seperti kriteria presiden secara syar’i itu
sudah maslahat muhaqqaqah sehingga tidak boleh dikesampingkan.
Ada kaidah:
َ َ ‫ح َ َ ُ َ ُ َ ِّ ح‬
‫َب ُر ال َوسيحلة‬‫الغاية َل ت‬
“Tujuan pokok tidak bisa menjadikan baik perantara”
Artinya, walaupun tujuannya baik, seperti kemanfaatan untuk
organisasi bukan berarti boleh melakukan cara-cara yang tidak baik
seperti mendukung calon yang tidak paling menetapi kriteria syar’i.
Dan pendapat ini termasuk pendapat syadz (sendirian) yang tidak
boleh diikuti karena mengesampingkan kriteria calon presiden yang
lebih menetapi syarat syar’i demi untuk mencapai kemaslahatan
materi dan jabatan. Ulama berkata:
َ ُ َ ‫ ا ََّل خ َالف‬# ‫َبا‬
‫ِل َحظ م َن انلَّظر‬ َ ‫ك خ َال ٍف َج‬
َ َ َ‫اء ُم حعت‬ ‫ََح َ ُل‬
‫وليس‬
“Tidak semua perbedaan ulama dianggap sah melainkan hanya
pendapat yang memiliki pertimbangan dalil”
Lalu apakah kiai tersebut berdosa? Kami tidak bisa mengatakan
berdosa karena kami belum mendengarkan dalil mereka secara
menyeluruh, tetapi sejak zaman dahulu ulama-ulama hebat pun punya
pendapat dan pandangan yang dinilai oleh ulama setelahnya bahwa
pendapat tersebut salah dan pendapat syadz (sendirian) dan masuk
bagian dari ajaib wal ghora’ib (pendapat aneh-aneh) yang tidak boleh
diikuti dan hal itu tidak menjadi dosa selama pendapat itu murni hasil
ijtihad yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan materi dan jabatan.
Dan kita tetap menghormati dan memuliakan ulama tersebut karena
siapapun, termasuk ulama, tidak lepas dari kesalahan.
Syekh Ibnul Qayyim al-Jauzi menjelaskan tentang keharusan
meninggalkan pendapat yang syadz (sendirian) dari para ulama,
menjaga adab saat berbeda dengan ulama dan tidak bersikap fanatik
kepada mereka. “Harus diingat dua hal. Pertama, harus nasihah
(mengusahakan yang paling baik) untuk Allah dan rasul dengan
menjaga agama ini dari pendapat-pendapat keliru yang menyalahi
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Kedua, kemuliaan derajat
seorang ulama tidak mengharuskan kita untuk menerima semua
pendapatnya, sebab mereka berpendapat seperti itu sesuai apa yang
mereka ketahui. Dan hal ini tidak mengurangi kemuliaan mereka. Oleh
karena itu, jangan kita memperlakukan para ulama seperti orang Syiah
kepada Sayyidina Ali atau kepada Syaikhain (Sayyidina Abu Bakar dan
Sayyidina Umar), tapi seperti mereka memperlakukan sahabat lain
yaitu tidak mencela, tidak fanatik, dan tidak menerima semua
pendapat tapi tetap menghormati. Orang yang tidak memahami ini
berada di antara dua kemungkinan. Pertama, dia tidak paham
kemuliaan para ulama. Kedua, dia tidak paham hakikat dari syariat
Allah. Dan semua orang tahu bahwa apabila ada seseorang yang
keagamaannya sangat baik lalu dia berada di posisi yang
memungkinkannya melakukan kekeliruan maka dia dianggap udzur
bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya namun pendapat itu tidak
boleh diikuti dan dia tetap harus dijaga kehormatannya.” (Selesai)
Keterangan di atas menyikapi kesalahan ulama dalam
berpendapat setelah berijtihad dan berupaya pendapatnya itu tidak
menyalahi dalil-dalil agama tetapi apabila pendapatnya itu
pertimbangannya menyangkut hawa nafsu dan ada kepentingan
materi dan kemanfaatan yang kembali pada pribadi, lembaga atau
organisasi maka pendapat tersebut bisa mengurangi kredibiltas ulama
tersebut dan pendapatnya tidak boleh diikuti.
Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad berkata, “Dan waspadalah
bertanya tentang agama kepada ulama yang mencari duniawi dengan
ilmunya dan menjadikan ilmunya sebagai jaring untuk mengumpulkan
harta-harta dunia. Maka waspadalah dan larilah dari mereka seperti
engkau lari dari harimau. Karena bahaya yang ditimbulkan mereka
lebih banyak daripada kemanfaatannya. Sebab, orang yang tidak
menjaga agamanya bagaimana bisa dipercaya atas agama orang lain?
Pahamilah!” (Selesai)
Apa pertanda bahwa pendapat seorang ulama adalah hafwah
(kekeliruan)? Imam Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat mengatakan,
“Tandanya adalah pendapat tersebut sangat membingungkan dan
tidak ada irisan kebenaran dan kita merasa ingkar dan berkata,
“kenapa beliau berkata begitu?”. (Selesai)
Ada juga sebagian kiai yang berpendapat supaya dalam pilpres
setiap calon presiden mendapatkan dukungan dari kiai agar nantinya
terdapat kiai yang mendukung calon yang berhasil memenangkan
pemilihan. Dikhawatirkan jika dukungan semua kiai diberikan kepada
satu calon tertentu, dan calon tersebut akhirnya kalah, maka calon
yang menang tidak memiliki kiai yang mendukungnya yang dapat
memberikan arahan dan masukan. Pandangan seperti ini sah-sah saja
bila semua calon presiden seimbang dalam menetapi kriteria syar’i
atau semua calon imbang dalam tidak menetapi kriteria syar’i. Dan
yang salah ini jelas partai-partai yang mengusung paslon. Adapun
keadaan dalam pilpres sekarang ini yang sudah jelas ada paslon yang
lebih menetapi kriteria syar’i, maka semua orang termasuk kiai dan
ustadz harus memilih calon tersebut dan tidak boleh bersikap netral
atau golput karena hal itu akan menyebabkan kalahnya calon yang
lebih unggul menetapi kriteria syar’i. Dan mereka harus punya sikap
yang jelas dan tidak boleh seperti tipe kiai yang disinggung dalam
sebuah hadis. Nabi bersabda,
َ َ َ َ َ ‫ح‬ َّ ‫َ َ ُ ُ َّ َ ً َ ُ ُ َ ح َ ح َ َ َّ ُ َ ح‬
‫ َولك حن َو ِّطنُوا‬،‫ َوإن ظل ُموا ظل حمنَا‬،‫اس أح َسنا‬ ‫ إن أحسن انل‬:‫ تقولون‬،‫َل تكونوا إمعة‬
‫ح َ ُ ََ َح‬ ‫َ ح ُ َ ح ح ح َ ح َ َ َّ ُ َ ح ُ ح‬
‫ َوإن أ َساؤوا فال تظل ُموا‬،‫اس أن ُتسنُوا‬ ‫ إن أحسن انل‬،‫أنفسكم‬.
“Janganlah ada di antara kamu menjadi orang yang tidak mempunyai
pendirian, ia berkata: Saya ikut bersama-sama orang, kalau orang-orang
berbuat baik, saya juga berbuat baik, dan kalau orang-orang berbuat
jahat saya pun berbuat jahat. Akan tetapi teguhkanlah pendirianmu.
Apabila orang-orang berbuat kebajikan, hendaklah engkau juga berbuat
kebajikan, dan kalau mereka melakukan kejahatan, hendaknya engkau
menjauhi perbuatan jahat itu.” (HR. Imam Turmudzi).
Dan ulama tidak bagian dari struktur yang ada di pemerintahan,
yaitu wantimpres (dewan pertimbangan presiden) yang masukannya
pasti dipertimbangkan presiden. Karena itu, kemaslahatan kedekatan
pribadi sebagian ulama pada capres yang tidak menetapi kriteria syar’i
masih kemaslahatan yang mauhumah. Ada kaidah:
ُ ‫ح َ ح َ َ ُ ُ َ َّ َ ُ ُ َ َّ َ َ َ ح َ ح َ َ ح‬
‫حة ال َم حوه حو َمة‬ ‫المصلحة المحققة مقدمة لَع المصل‬
“Maslahat yang nyata didahulukan daripada maslahat yang belum
nyata.”
Justru ulama yang dekat dengan pejabat pemerintah akan sulit
terhindar dari menjilat dan mudahanah yaitu sikap membiarkan
kemungkaran terjadi demi menjaga hubungan pertemanan,
kekeluargaan dan lain-lain. Karena itu, banyak hadis yang melarang
dekat dengan pejabat pemerintah karena beratnya risiko dekat
dengan mereka yaitu harus sanggup amar makruf dan nahi mungkar
kepada mereka.
Kalau kita analogikan dengan politik luar negeri Indonesia, kiai
dan ulama harus bebas aktif dan tidak ngeblok atau non blok dan kiai
dan ulama posisinya sejajar tidak boleh posisinya merendahkan diri
kepada pejabat pemerintah. Karena itu, disayangkan ada kiai dan
tokoh masyarakat dimanfaatkan oleh pejabat pemerintah untuk nge-
blok yang jelas-jelas tujuannya untuk memperbanyak suara calon yang
didukung oleh penguasa status go yang gagal dan new orde baru yang
ada indikasi kuat sebagai wasit tidak jujur dalam menyelenggarakan
pesta demokrasi ini tapi tetap mau dimanfaatkan untuk mendukung
mereka demi keuntungan materi dan jabatan yang dijanjikan. Hal ini
jelas tidak sejalan dengan perjuangan para ulama dan kiai terdahulu
melawan kazaliman orde baru. Dan sekarang muncul new orde baru
yang memakai cara-cara orde baru.
Toh, ketika para kiai dan ulama yang kompak mendukung salah
satu calon tertentu, dan calon tersebut akhirnya kalah, lantas bukan
berarti para kiai tersebut tidak mendukung presiden yang terpilih.
Dalam kitab-kitab fikih dijelaskan, kita harus mendukung presiden
terpilih setelah dilantik walaupun tidak menetapi kriteria syar’i
sebagai presiden yang dloruroh bisy syaukah. Dan kekuatan kiai
dimanapun ketika bersatu justru akan lebih diperhitungkan, termasuk
untuk mendukung calon presiden yang terpilih yang sebelumnya tidak
didukung.

Status Hukum Pilpres


Dalam pandangan ulama salaf seperti diterangkan dalam kitab-
kitab fikih bahwa yang berhak mengangkat presiden adalah ahlul halli
wal aqdi, yaitu para segolongan ulama dan tokoh masyarakat. Namun,
untuk saat ini, di era demokrasi dimana banyak negara dunia yang
memilih pemimpinnya dengan pemilihan umum langsung dari seluruh
suara rakyatnya, banyak ulama sekarang seperti Syaikh Yusuf al-
Qaradlawi dalam kitab Fatawa-nya yang menganggap sistem pemilu
dapat sejalan dengan ajaran Islam. Dalam hal ini, memberikan suara
kepada seorang calon presiden semakna dengan kita memberikan
syahadah (kesaksian) secara syara’ bahwa calon tersebut paling layak
untuk menduduki jabatannya.
Oleh karena itu, kita tidak boleh mengecilkan dan meremehkan
pemberian suara dalam pemilu dengan memilih serampangan, tidak
cermat, atau dengan alasan-alasan tidak relevan seperti gemoy dll.
karena hal tersebut adalah kesaksian yang akan dipertanggung
jawabkan kelak di akhirat. Kesaksian ini tidak hanya berdampak
memenangkan orang yang disaksikan sehingga menerima
pembayaran denda atau menerima hukuman seperti hal-hal yang
membutuhkan kesaksian lainnya. Tetapi kesaksian dalam pilpres ini
adalah kesaksian yang muaranya setelah terpilih menyangkut
pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah untuk masa depan
seluruh rakyat.
Karena itu, dalam pilpres ini, kita harus memberi kesaksian
dengan sejujur-jujurnya. Apabila kita mengetahui ada calon presiden
yang dinilai paling layak memenuhi kriteria presiden menurut syariat
maka kita wajib memberikan kesaksian kita kepada calon tersebut
dengan mencoblosnya dan haram untuk menyembunyikan kesaksian
ini dengan golput.
Allah berfirman,
َ ُ ‫َح‬ ُ ‫كتُ حم َها فَإنَّ ُه أَثم قَلحبُ ُه َو‬
‫اﷲ ب َما تع َمل حون َعليحم‬
‫َ َ َ ح ُ ُ ح َّ َ َ َ َ َ ح َ ح‬
‫وَل تكتموا الشهادة ومن ي‬
"Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, dan barangsiapa
yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya hatinya berdosa. Allah
Maha Mengetahui akan apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah: 283)
Dan karena memberi suara dalam pilpres ini adalah kesaksian,
maka kita sebagai saksi harus memastikan bahwa apa yang kita
saksikan adalah benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada dan
fakta yang terjadi, bukan berdasarkan asumsi atau pengiringan opini
dari orang lain. Hal ini agar kesaksian tersebut dapat disampaikan
dengan cara menurut yang sebenarnya sebagaimana Allah berfirman,
ْٓ َ ‫َّ َ َ َ ٰ َ ح‬ ‫ح‬ ُ ‫ٰ َ َ ح ى َ ح َّ ح‬
‫ذلك ادٰٓن ان يأتوا بالشهادة لَع وجهها‬
"Dengan cara itu mereka lebih patut memberikan kesaksiannya
menurut yang sebenarnya." (QS. Al-Ma'idah: 108).
Dalam sebuah hadis, disebutkan:
‫َ ح‬ َ َ َ َ َ َّ َ َ َ َّ َ ُ َّ َّ َ َّ َّ َّ
‫ َلَع مثل َها‬: ‫ قال‬. ‫ ن َع حم‬: ‫ ت َرى الش حم َس ؟ قال‬:‫اّٰلل َعليحه َو َسل َم قال ل َر ُج ٍل‬ ‫أن انليب صَّل‬
‫َ ح ح َ َ ح‬
‫ أ حو دع‬،‫فاش َهد‬
“Nabi Muhammad SAW berkata kepada seorang lelaki, “Apakah
kamu melihat matahari itu?” Ia menjawab, “Iya”. Nabi bersabda,
“Bersaksilah sejelas matahari atau tinggalkanlah” (HR. Imam Hakim)
Karena itu, orang yang hendak memberikan kesaksian atas
keutamaan calon tertentu, maka ia harus mengenal karakternya
dengan cermat seperti harus mengetahui rekam jejaknya, masa
lalunya, keadaannya sekarang, tujuannya, dan cara-cara yang dia
gunakan. Begitu juga pemikirannya, akhlaknya, dan keterampilannya.
Ada cerita tentang seorang lelaki yang memberikan kesaksian
atas kesalehan seseorang di hadapan Sayyidina Umar bin Khattab.
Sayyidina Umar bertanya, "Apakah kamu tetangga dari orang ini
sehingga kamu mengetahui pintu masuk dan keluar rumahnya?"
Orang tersebut menjawab, "Tidak." Sayyidina Umar bertanya lagi,
"Apakah kamu pernah melakukan perjalanan bersamanya, yang dapat
memberikan petunjuk tentang akhlaknya?" Orang tersebut
menjawab, "Tidak." Sayyidina Umar terus bertanya, "Apakah kamu
berurusan dengannya dalam hal dinar dan dirham, yang dapat
menunjukkan kesucian seorang pria?" Orang tersebut menjawab,
"Tidak." Umar berkata, "Saya kira kamu melihatnya berdiri di masjid,
mengabdikan diri pada Al-Qur'an, kadang-kadang menundukkan
kepala, dan kadang-kadang mengangkatnya?" Orang tersebut
menjawab, "Ya." Umar berkata, "Pergilah, kamu tidak mengenalnya."
Dan salah satu petunjuk Islam dalam kesaksian adalah bahwa
kesaksian itu harus untuk Allah semata. Allah berfirman,
َ َ َّ َ
ِ ‫َوأقيح ُم حوا الش َهادة‬
‫ﷲ‬
"Dan tegakkanlah kesaksian untuk Allah." (QS. At-Talaq: 2).
Maksudnya, memberikan kesaksian yang sesuai dengan
kebenaran dan keadilan untuk mendapat ridla-Nya, bukan karena
hubungan darah, persahabatan, tetangga, atau hawa nafsu, suap, atau
keuntungan pribadi. Allah memerintahkan kita untuk memberikan
kesaksian yang adil sepenuhnya dan tidak dipengaruhi oleh perasaan
pribadi.
Allah berfirman,
َ ‫ك حم أَو ال ح َو‬
‫اِليحن‬
ُ ُ‫َ َ َح‬
‫ﷲ َول حو َلَع أنفس‬ َ ‫ْي بالحق حسط ُش َه َد‬
ِ ‫اء‬ َ ‫آمنُ حوا ُك حونُ حوا قَ َّوام ح‬ َ ‫يَا أَ لي َها َّاذل‬
َ ‫ين‬
َ‫ح‬
َ ‫القح َرب ح‬
‫ْي‬ ‫َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-
orang yang menegakkan keadilan, menjadi saksi bagi Allah, sekalipun
memberatkan dirimu sendiri atau kedua orang tua dan keluargamu." (QS.
An-Nisa: 135).
Dan Allah berfirman,
َ ُ َ َ َ َ ُ ‫َ ُح َ ح‬
‫َوإذا قلتُ حم فاعدلوا َول حو َكن ذا قرب‬
"Dan apabila kamu berbicara, maka berbicaralah adil, walaupun
berkenaan dengan kerabat." (َِQS. Al-An'am: 152).

Ada sebagian kiai thoriqah yang mengatakan kita tidak usah


mengurusi politik seperti menjadi relawan paslon dan tim sukses
karena itu masalah kedudukan dan jabatan yang harus kita hindari.
Apa yang dikatakan oleh kiai thoriqah ini pas dengan maqam-nya yaitu
thoriqah lebih mengkhususkan diri untuk selalu taqarrub kepada Allah
dan menjauh dari dunia, kedudukan dan jabatan. Karena itu, bagi
mereka, hal-hal yang berkaitan dengan pangkat seperti menjadi tim
sukses juga supaya dihindari.
Namun bagi kiai syariat, kedudukan itu sesuatu yang penting
bahkan kadang-kadang kedudukan harus dicari dan dikejar bagi orang
yang punya keunggulan-keunggulan lebih daripada calon lain. Begitu
pun, mengupayakan sosok yang demikian ini agar berhasil menduduki
jabatan dengan menjadi relawan dan tim suksesnya juga baik. Jadi,
hukum syar’i mencari jabatan itu sama dengan hukumnya mencari
harta. Mencari jabatan ada yang wajib, sunah dan mubah. Begitu juga,
mencari harta ada yang wajib, sunah dan mubah.

Sanksi Syar’i Bagi Yang Salah Memilih


Para ulama sekarang mengatakan bahwa mengikuti pemilu untuk
memilih pemimpin lewat mencoblos adalah bentuk pengakuan dan
penyaksian. Karena itu, apabila mencoblos sebagai bentuk kesaksian
kita kepada calon yang tidak paling memenuhi kriteria syar’i maka kita
sama saja melakukan kesaksian dusta di hadapan Allah dan umat
manusia. Cukuplah untuk menunjukkan bahwa kesaksian dusta ini
adalah dosa besar karena ia disandingkan dengan dosa syirik dalam
firman Allah,
‫َ ح َ ُ ح ِّ ح َ َ ح َ ح َ َ ح‬
‫اجتَنبُ حوا قَ حو َل ل‬
‫الز حور‬ ‫فاجتنبوا الرجس من الوثان و‬
"Hindarilah keji-kejian (perbuatan syirik) dari berhala dan hindarilah
ucapan dusta." (Al-Hajj: 30).
Dalam sebuah hadis sahih, Nabi Muhammad bersabda,
ُ ُ ُ ُ ‫ش‬ َ ‫َ َ ُ َ ِّ ُ ُ ح َ ح َ ح‬
َ ‫ حال ح‬:‫كبَائر ثَ َالثًا قَال ُ حوا بَ ََّل يَا َر ُس حو َل اﷲ قَ َال‬
‫اك باﷲ َوعق حوق‬ ‫أَل أنبئكم بأكَب ال‬
‫ أَ ََل َوقَ حو ُل ل‬:‫اِليحن َو َجلَ َس َو َك َن ُمتَّكئًا َف َق َال‬
‫الز حور‬ َ ‫ال ح َو‬

“Maukah kalian kuberi tahu dosa paling besar dari semua dosa
besar?". Nabi mengucapkannya hingga 3 kali. Para sahabat menjawab,
"Ya, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Syirik kepada Allah, durhaka
kepada orang tua." Sambil duduk, beliau berkata, "Ingatlah! Dan
memberikan kesaksian palsu." (HR. Imam Bukhori)
Dan Rasulullah sudah mengingatkan kepada umatnya untuk
memilih pemimpin yang paling pantas dan mengerti kitabullah dan
sunnah nabi dan beliau memberi ancaman sanksi pengkhianatan
kepada Allah, Rasul, dan umat Islam bila salah dalam memilih. Beliau
bersabda,
ُ‫ك منح ُه َوأَ حعلَم‬َ َ َ ‫َ ح َ ح َ َ َ ً َ ح ُ ح ح َ َ ُ َ َ ح َ ُ َ َّ ح ح َ ح‬
‫من استعمل َعمال من المسلمْي وهو يعلم أن فيهم أوَل بذل‬
‫ْي‬ ُ َ ‫اّٰلل َو َر ُس حو‬
َ ‫ِل َو ََجيح َع ال ح ُم حسلم‬ َ َ ‫َّ َ ُ َّ َ ِّ َ َ ح‬
َ َّ ‫ان‬ ‫بكتَاب اّٰلل وسنة نبيه فقد خ‬.
“Barang siapa memilih seseorang untuk dijadikan pimpinan pejabat
sedang dia mengetahui ada orang lain yang lebih pantas dan pandai
tentang Al-Quran dan hadis nabi maka dia telah berkhianat kepada Allah,
rasul-Nya dan orang-orang beriman” (HR. Imam Baihaqi)
Konsekuensi dari khianat ini seperti diterangkan dalam kitab
Subulus Salam adalah menanggung beban telah berbuat zalim kepada
seluruh rakyat Indonesia di hari kiamat dan harus meminta halal
kepada semua rakyat Indonesia yang sangat banyak.
Jika kita sudah memberikan kesaksian dengan data yang kita
ketahui, dan seandainya di kemudian hari orang yang kita beri
kesaksian baik itu ternyata setelah menduduki jabatannya ia
memperlihatkan hal yang sebaliknya, maka kita tidak dikenai dosa.
Allah berfirman:
َ ‫َو َما َشه حدنَا إ ََّل ب َما َعل حمنَا َو َما ُكنَّا للح َغيحب َحافظ ح‬
‫ْي‬
"Kami tidak memberikan kesaksian kecuali hanya berdasarkan apa
yang kami ketahui, dan kami tidak memahami yang tersembunyi." (QS.
Yusuf: 81).

Sanksi Money Politic


Hak suara memilih calon presiden berkaitan dengan hati nurani
yang diwarnai dengan nilai-nilai agama sehingga kita harus menjaga
kehormatan kita. Jangan sampai hati kita digadaikan untuk
mendapatkan materi. Karena itu, para ulama mengatakan, hak suara
memilih ini tidak boleh dibeli dan diperhitungkan dengan keuntungan
materi, meskipun imbalan materi tersebut untuk kepentingan yang
baik seperti untuk proyek membangun pondok pesantren atau
organisasi. Dalam undang-undang pemilu, terdapat aturan yang
melarang money politic berbunyi “menjanjikan atau memberikan uang
atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.”
Kita harus menempatkan masalah pilpres sebagai tanggung jawab
untuk melahirkan pemimpin yang bertakwa, amanah dan jujur di
samping mampu membangun bangsa dengan baik. Dan untuk
mewujudkan tujuan ini, tentunya dalam menentukan pilihan calon
presiden harus bersih dari kepentingan, salah satunya kepentingan
materi.
Jika memilih presiden ini diukur dan dipengaruhi dengan materi
niscaya negara ini akan rusak karena yang bisa menjadi presiden
hanya orang-orang berduit dan mereka yang telah mengeluarkan
uang ratusan triliun tentu akan berusaha mengembalikan modal dan
mencari tambahan modal lagi untuk pencalonan berikutnya dan cara
mengeruk uang yang paling mudah adalah dengan korupsi karena
mereka merasa aman saat berkuasa sebab penegak hukum di bawah
kendali mereka.
Karena itu, ada sebuah hadis yang menyebutkan ancaman bagi
orang yang hanya mau memilih calon presiden bila dia mendapatkan
imbalan uang dan bila tidak ada imbalan uang dia tidak memilih calon
presiden tadi. Nabi bersabda,
َ َ َ ِّ َ َ ُ ‫َ َ َ َ ُ َ ِّ ُ ُ ُ ُ َ ح َ ح َ َ َ َ ح‬
‫ إىل‬- ‫ َول ُه حم َعذاب أَلحم‬،‫ َوَل يُ َزكيحه حم‬،‫ َوَل ينظ ُر إَلحه حم‬،‫امة‬ ‫ثالثة َل يكلمهم اﷲ يوم القي‬
‫ح‬ ‫ح َ ُح‬ َ ‫ح‬ ‫َ َ ُ َ َ َ َ ً َ ُ ُ َّ ح َ ح َ ح‬
‫ َوإن ل حم يعطه من َها‬،‫اما؛ َل يبَاي ُعه إَل ُِلنيًا؛ فإن أع َط ُاه من َها َوَف‬ ‫ ورجل بايع إم‬- ‫أن قال‬
َ
‫ل حم يَف‬
“Tiga orang yang tidak akan diajak bicara dan dilihat Allah di hari
Kiamat dan tidak disucikan dan dia mendapat siksa pedih ---- ketiga yaitu
laki-laki yang memilih presiden hanya karena tujuan duniawi. Apabila dia
diberikan harta dunia dia akan memilih. Dan apabila tidak diberikan harta
dunia dia tidak akan memilih calon presiden itu.” (Muttafaq ‘Alayh)
Syaikh Ahmad Hasan Muslim dalam al-Fatawi asy-Syar’iyyah al-
Mu’ashirah, tatkala ditanya, apakah menyerahkan sejumlah uang
kepada para calon pemilih dengan motif untuk menarik simpati
(money politic) termasuk tindakan suap? Beliau menjawab,
“Menyerahkan sejumlah uang kepada calon pemilih dengan motif
menarik simpati masyarakat agar memberikan suaranya kepada calon
yang memberinya uang adalah tindakan kotor yang membahayakan
moral, kehidupan bernegara, pribadi pemilih, maupun calon yang
bersangkutan serta rakyatnya dalam penilaian/pandangan pihak luar.
(Selesai)
Dan kalau memang ingin mencari materi, ya cukup dengan
menerima uang lelah kerja politik dan mensosialisasikan paslon yang
didukung. Dan bila pemberian itu dari calon yang tidak lebih
memenuhi kriteria syar’i dengan tujuan supaya dipilih maka itu
termasuk kategori suap. Dalam hadis, Nabi bersabda:
َ َ ‫اش َوال ح ُم حرت‬
‫ش‬ ُ ‫لَ َع َن‬
َّ ‫اﷲ‬
َ ‫الر‬

“Allah melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR. Imam Ibnu
Majah) (Selesai)
Dalam kitab Bariqah Mahmudiyyah disebutkan, laknat menurut
istilah syara’ adalah dijauhkan dari rahmat Allah. Sedangkan suap
menurut istilah syara’ adalah sesuatu yang diberikan kepada hakim
atau selainnya untuk membuat keputusan yang menguntungkannya
atau melakukan hal untuk merusak kebenaran sesuai keinginan si
pemberi.
Sementara itu, Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani dalam
al-Fawaid al-Janiyyah mengatakan, “Hal ini (keharusan menyuap),
apabila menduduki jabatan sebagai qadli merupakan kewajiban
baginya.” Selanjutnya Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj
berkata, “Tindakan suap untuk mendapatkan jabatan yang wajib atau
sunah bagi seseorang untuk mendudukinya, tidak berimplikasi negatif
terhadap ke-’adalahan-nya (kredibilitas) dan keabsahan
pengangkatan. Konsekuensi logisnya, apabila jabatan tersebut tidak
wajib atau sunah, maka hukum menyuap tersebut adalah haram.”
(Selesai)
Bila diamati secara sepintas, teks yang kami ambil di atas
nampaknya berbenturan dengan hadis yang telah kami sebutkan
sebelumnya. Namun jika kita mengkajinya lebih dalam, ternyata
menyuap untuk mendapatkan hak dan mengelak dari penindasan
tidaklah termasuk dalam kategori menyuap. Artinya, istilah suap
hanya berlaku dalam kondisi normal sedangkan suap dalam kondisi di
atas lebih merupakan bentuk keterpaksaan, dan esensialnya bukanlah
suap yang diharamkan.
Demikian tulisan ini kami buat, sebagai hasil ijtihad politik yang
kami yakini kebenarannya. Jika tulisan ini benar, kebenaran adalah
milik Allah semata. Dan jika ada kekeliruan, maka itu dari pribadi kami
sendiri.
Allahumma arinal haqqa haqq warzuqnattiba’ah wa arinal batila
batila warzuqnajtinab.
Amin.

Anda mungkin juga menyukai