Makalah Prospek Pengadilan Agama Atau Mahkamah Syariah
Makalah Prospek Pengadilan Agama Atau Mahkamah Syariah
Dosen Pengampu
Akhmad Fauzan S.H, M.H
Disusun Oleh:
Kelompok 14
Muhammad Rizqy NIM. 2022110884
Salahuddin NIM. 2021110874
Segala puji dan rasa syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Yang
Maha Esa yang telah melimpahkan segenap karunia-Nya. Salawat serta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta ahlul bait,
para sahabatnya dan semoga kita termasuk umat beliau yang mendapat syafaat
kelak dihari kiamat.
Makalah yang berjudul “PROSPEK PENGADILAN AGAMA /
MAHKAMAH SYARIAH” ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Peradilan
Agama di Indonesia yang diajarkan oleh Bapak Dosen Akhmad Fauzan S.H, M.H.
Penulis banyak mendapat masukan dan arahan dalam penulisan makalah
ini dan kami mengucapkan terimakasi kepada semua pihak yang sudah membantu
baik secara moril maupun non moril sehingga makalah ini bisa selesai dengan
tepat waktu.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menjadi salah satu sumber
rujukan bahan bacaan dan bisa menambah khazanah wawasan kita mengenai
pengadilan agama khususnya pengadilan agama di Indonesia.
Kelompok 14
ii
DAFTAR ISI
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang di ubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009.
Pengadilan Agama Bangko selaku pengadilan tingkat pertama mempunyai tugas
pokok dan fungsi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang- orang yang beragama islam di bidang : perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Era reformasi yang mewarnai kehidupan bernegara di Indonesia telah
banyak membawa berbagai perubahan, tidak terkecuali reformasi dan perubahan
di bidang Kekuasaan Kehakiman. Arus reformasi, keinginan, dan desakan untuk
melakukan perubahan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan di bidang
Kekuasaan Kehakiman dan amandemen terhadap Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah banyak membawa perubahan dalam pelaksanaan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
Makalah ini akan membahas mengenai Peradilan Agama / Mahkamah
Syariah pada masa reformasi beserta dengan peluang dan tantangannya dalam
mewujudkan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah Sebagai Institusi
Terhormat.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari pengadilan agama / mahkamah syariah?
2. Bagaimana kedudukan dan eksistensi pengadilan agama / mahkamah
syariah pada era reformasi?
3. Apa saja peluang dan tantangan pengadilan agama / mahkamah syariah
pada upaya-upaya konkrit menjadikan pengadilan agama / mahkamah
syariah sebagai institusi terhormat?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami pengertian pengadilan agama / mahkamah
syariah
2. Mengetahui dan memahami kedudukan dan eksistensi pengadilan agama /
mahkamah syariah pada era reformasi
3. Mengetahui dan memahami peluang dan tantangan pengadilan agama /
mahkamah syariah pada upaya-upaya konkrit menjadikan pengadilan
agama / mahkamah syariah sebagai institusi terhormat
2
BAB II
PEMBAHASAN
4
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), h.17.
4
Era Reformasi di Indonesia ditandai dengan adanya kondisi krisis multi
dimensi di era tersebut yang menuntut pemerintah segera mereformasi
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat menuntut agar
pemerintah mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis dan mempercepat
terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sejak itu, berbagai perubahan penting terjadi
sebagai tonggak dimulainya era Reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi dan
birokrasi. Fase ini juga dikenal sebagai reformasi gelombang pertama. Salah satu
agenda reformasi adalah reformasi birokrasi.
Khusus tentang reformasi kekuasaan kehakiman disini perubahannya pada
pelaksanaan reformasi di berbagai bidang yang termasuk di dalamnya adalah
reformasi birokrasi di lingkungan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman di Indonesia, selain Mahkamah Konstitusi .5
Latar belakang Reformasi Birokrasi tidak lain karena krisis multi dimensi
yang dialami Indonesia tahun 1997-1998
Dengan amandemen undang-undang tersebut di atas, maka MA merupakan
salah satu puncak kekuasaan kehakiman serta peradilan negara tertinggi. MA
sebagai peradilan tertinggi bagi peradilan yang berada di bawahnya mempunyai
posisi dan peran strategis di bidang kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan
MA tidak hanya membawahi empat lingkungan peradilan, tetapi juga sebagai
puncak manajemen di bidang administrasi, personil dan finansial, serta sarana dan
prasarana keempat lembaga peradilan (UU No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 21 jo. UU No. 4 Tahun 2004, Pasal 13 ayat (1) jo.
UU No. 35 Tahun 1999, Pasal 11).
5
Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan. Kehakiman di
Indonesia, (Jakarta: Tatanusa, 2013), h. 247
5
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung RI dan Undang Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun hal terjadi lagi perubahan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004
diganti dengan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
kehakiman sementara itu Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 diubah menjadi
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Demikian pula dikeluarkannya dan berlakunya Undang Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dengan tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan
bangsa, Negara dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur dan berkeadilan.
Bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan dibawah Mahkamah
Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, namun hal
ini terjadi perubahan kembali yaitu dikeluarkannya Undang Undang Nomor 3
Tahun 2006 masih perlu disempurnakan kembali yaitu dengan mengadakan
perubahan kedua yakni Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Demikian juga terdapat penambahan pasal 52a yaitu tentang Pengadilan
Agama memberikan itsbat kesaksian ru’yat hilal penentuan awal bulan pada tahun
Hijriah yakni kewenangan baru peradilan agama. Dengan bersumber pada Undang
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
6
Ibid.
7
Pengadilan Agama merupakan simbol hukum Islam sesuai dengan ruang
lingkup dan kewenangannya. Diperluasnya kekuasaan Pengadilan Agama melalui
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 berarti sebuah pengakuan yuridis dari negara
terhadap berlakunya hukum Islam tersebut. Hal ini merupakan sebuah kebanggaan
dan peluang bagi para hakim untuk mengembangkan pengabdiannya.7
Untuk mengembangkan pengabdian tersebut, diperlukan ilmu dan keahlian
(keterampilan yang memadai). Pada umumnya para hakim di Pengadilan Agama
disamping memiliki potensi akademik yang standar, juga memiliki kemampuan
yang kuat untuk meningkatkan diri dengan belajar dan berlatih. Potensi mereka
pada umumnya kuat untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan tenaga
professional.
Peluang lain yang juga terbuka dan berpotensi merubah ciri Pengadilan
Agama yang selama ini dianggap peradilan orang Islam yaitu terkait dengan
hukum keluarga, pada akhirnya citra ini akan mengalami pergeseran dengan
memberlakukan asas personalitas dan asas penundukan diri : “setiap orang yang
melakukan tindakan atau akad ekonomi syariah, maka secara sukarela telah
menundukkan diri kepada ketentuan syariah.8
Begitu besarnya peluang bagi Pengadilan Agama, maka sudah seharusnya
peluang tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan cara memfungsikan
Peradilan Agama sesuai tugas dan kewenangannya secara optimal.
7
A. Mukti Arto, “Peluang dan Tantangan Praktisi Hukum Terhadap Perluasan
Kewenangan Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1989” ,
Makalah Seminar Nasional Jurusan Muamalat Fakultas Syariah UIN Sunan Kaligaja Yogyakarta,
20 Mei 2006, h. 7.
8
Nur A. Fadhil Lubis, “Peluang dan Tantangan Peradilan Agama dalam Menyelesaikan
Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006”, Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, kerjasama Fakultas Syariah IAIN
Sumatera Utara dengan MA. RI, Medan, 27 Oktober 2007, h. 12
8
1. Pertama, substansi hukum, melingkupi adanya aturan perundang-undangan
baik formal maupun material, yang jelas, tegas, lengkap dan sistematik.
2. Kedua, struktur hukum, melingkupi tersedianya sumber daya manusia,
lembaga, sarana dan prasarana yang mendukung berjalannya dengan baik
seluruh proses yudisial.
3. Ketiga, kultur hukum adalah eksis dan berkembangnya budaya hukum
yang kondusif bagi tegaknya sistem yudisial yang ideal.9
9
berbagai kepentingan lain yang pada gilirannya akan berusaha mempengaruhi
kemandirian hakim.
Tantangan besar lainnya yang dihadapi oleh jajaran Peradilan Agama dalam
mengemban wewenang baru adalah tantangan yang terkait dengan penerapan
ekonomi syariah pada umumnya di negeri-negeri Muslim kontemporer, termasuk
Indonesia. Bukan saja aspek-aspek non ekonomis, seperti politik, sosial, budaya,
hukum, pemerintah, pertahanan, dan keamanan yang tidak selamanya mendukung,
bahkan justru menghadang terlaksananya idealism ekonomi tersebut, akan tetapi
juga apa yang dikatakan ekonomi Islam (syariah) hanya memainkan peran
“minor” , sehingga dimungkinkan dalam dataran hipotesis, bahwa bank-bank
yang berdasarkan syariah itu bangkrut, bukan karena kesalahan konsep
syariahnya, tetapi karena dilumpuhkan oleh sistem ekonomi “mainstream” yang
dominan. Namun demikian, tetap saja bank-bank syariah yang dipersalahkan dan
mendapat predikat gagal. Jika hal ini terjadi, Peradilan Agama kemungkinan besar
juga terkena dampaknya.11
Tantangan lain yang juga harus dihadapi oleh Peradilan Agama terkait
dengan ketentuan penjelasan pasal 49 UUPA yang selain memberikan peluang
begitu luas terhadap Peradilan Agama, namun ketentuan ini ternyata juga
menyisakan banyak pertanyaan. Di antara pertanyaan tersebut adalah adanya
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa yang selama ini dipahami bahwa
pengadilan yang menangani perkara ekonomi (Islam/Syariah) adalah pengadilan
di lingkungan peradilan umum, termasuk yang menerima lembar putusan arbitse
dan eksekusinya jika diminta para pihak.
11
Nur A. Fadhil Lubis, op.cit, h. 14
10
ekonomi syariah, termasuk ketersediaan hukum materil syariah, seperti halnya
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang sudah diterbitkan, merupakan
payung hukum dan pedoman bagi para hakim dalam memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
Keberadaan Peraadilan Agama sudah ada sebelum kedatangan para penjajah
Belanda. Peradilan Agama mengalami pengalaman dinamika yang berbeda
dengan peradilan lainnya, dimana Peradilan Agama membutuhkan proses yang
panjang untuk memperkuat eksistensinya di Negara Indonesia, khususnya pada
masa orde lama yang melahirkan UU No. 14 Tahun 1970 yang memperkuat
wewenang Peradilan Agama, dimana kedudukannya sama seperti 3 peradilan
yang lain, yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara.
Pada era reformasi, Peradilan Agama harus menundukkan diri kepada
Undang-Undang satu atap yaitu Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung dan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, juga terdapat penambahan pasal 52a yaitu pengadillan agama
memberikan itsbat kesaksian ru’yat hilal. Dalam pembahasan Rancangan Undang
Undang tentang perbank-an syari’ah yang kemudian ditetapkan menjadi Undang
Undang Nomor 21 Tahun 2008 telah terjadi hubungan kerja yang intens antara
Mahkamah Agung c.q. Ditjen Badan Peradilan Agama dengan Departemen
Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Beberapa peluang yang dimiliki oleh Pengadilan Agama masa sekarang
diantaranya adalah diperluasnya kewenangan Pengadilan Agama.
Adapun tantangannya terbagi menjadi:
1. Tantangan yang bersifat intern, yaitu yang berasal dari individu hakim
berupa profesionalitas dalam menangani berbagai perkara ekonomi syariah
yang timbul.
2. Tantangan yang bersifat ekstern, yaitu yang datang dari luar diri hakim
misalnya virus mafia peradilan.
3. Hal-hal yang berkaitan dengan penerapan ekonomi syariah pada
umumnya di negeri-negeri Muslim kontemporer, termasuk Indonesia dan
masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pengadilan yang
menangani perkara ekonomi (Islam/Syariah) adalah pengadilan di
lingkungan peradilan umum
12
B. Saran
1. Dengan semakin luasnya ruang lingkup kewenangan peradilan agama,
khususnya dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi seluruh bidang
perdata, maka Mahkamah Agung khususnya, perlu segera mungkin untuk
melakukan berbagai upaya guna meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan para hakim di peradilan agama mengenai perkara-perkara
bidang ekonomi syariah.
2. Dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat dalam
proses dan prosedur penyelesaian ekonomi syariah perlu dioptimalkan
pelaksanaan kegiatan sosialisasi peraturan-peraturan hukum materiil
ekonomi syariah.
DAFTAR PUSTAKA
13
Tahun 1989” , Makalah Seminar Nasional Jurusan Muamalat Fakultas
Syariah UIN Sunan Kaligaja Yogyakarta, 20 Mei 2006.
14