Anda di halaman 1dari 33

ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM

SYARIF HIDAYATULLAH, MA
MUTAZILAH
Aliran Mutazilah merupakan salah satu aliran yang tertua dalam sejarah perkembangan pemikiran
Islam.
Aliran ini juga disebut sebagai aliran pemikiran Islam pertama yang rasionalis.
Banyak menggunakan rasio atau akal dalam memahami dan memecahkan problema-problema teologis.
Karena itu mereka disebut kaum rasionalis Islam.
Meskipun kaum mutazilah lebih banyak menggunakan akal dalam pemikiran-pemikiran teologisnya dan
membawa persoalan teologi bersifat filosofis, namun tidak berarti mereka meninggalkan atau tidak
memperdulikan wahyu.
Mereka tetap berpegang pada wahyu, hanya dalam memberikan interpretasi terhadap wahyu dan
menyelesaikan problema-problema teologis, mereka lebih banyak menggunakan akal atau rasio.
Kelahiran dan kemunculannya
Menurut Ahmad Amin, Istilah Mutazilah sudah muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah. Istilah ini
digunakan untuk orang-orang (para sahabat) yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-
peristiwa politik yang terjadi setelah Usman bin Affan wafat. (Pertama, pertentangan atara Aisyah, Thalhah
dan Zubair dengan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang Jamal. Kedua, Perselisihan antara Muawiyah
dan Ali bin Abi Thalib sehingga pecah perang Shiffin).
Di antara sahabat yang bersikap demikian adalah Saad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad
bin Maslamah, Usamah bin Zaid, Suhaib bin Sinan dan Zaid bin Tsabit. Karena mereka memisahkan diri
dari kelompok-kelompok yang bertikai, mereka dinamakan mutazilah yang berarti orang yang
memisahkan diri.
Mutazilah yang terkenal dan kita bahas disini adalah Mutazilah lahir pada abad kedua hijriah dengan tokoh
utamanya Washil bin Atha.
Di dalam beberapa buku yang membicarakan tentang teologi Islam sering disebutkan bahwa Mutazilah
lahir pada abad kedua hijriah dengan tokoh utamanya Washil bin Atha. Hal ini menimbulkan pertanyaan,
apakah ada hubungan antara mutazilah yang muncul pada abad pertama dengan mutazilah yang muncul
pada abad kedua hijriah ini?
Kelahiran dan kemunculannya
Kalau diperhatikan keadaan masyarakat dan situasi politik serta latar belakang lahirnya kedua mutazilah
tersebut, nampaknya tidak ada hubungan antara mutazilah yang muncul di abad pertama hijriah dengan
yang dipelopori oleh Waashil bin Atha.Yang pertama lahir akibat kemelut politik, sedangkan yang kedua
lahir karena didorong oleh persoalan akidah atau keimanan.
Al-Syahrastani menceritakan bagaimana mutazilah kedua tersebut lahir. Katanya, pada suatu hari ada
seorang laki-laki datang menemui Hasan Al-Bashri (21-110 H/642-728 M) di majelis pengajiannya di
Bashrah, menanyakan status orang yang melakukan dosa besar, apakah mereka kafir atau tetap mukmin.
Ketika Hasan Al-Bashri masih merenung untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, Washil bin
Atha, salah seorang peserta dalam majelis tersebut, memberikan jawaban lebih dulu, Aku tidak
mengatakan orang yang berbuat dosa besar itu mukmin secara mutlak, dan tidak pula kafir secara mutlak.
Statusnya berada di antara mukmin dan kafir (al-manzilah bain al-manzilatain). Orang itu tidak mukmin,
tidak pula kafir.
Setelah memberikan jawaban itu, Washil berdiri dan berjalan menuju salah satu sudut masjid seraya
menjelaskan pendapatnya tersebut kepada teman-temannya. Melihat sikap Washil demikian, Hasan Al-
Bashri berkata, Itazala anna Washil bin Atha(Washil bin Atha telah memisahkan diri dari kita). Sejak
itulah Washil dan kawan-kawan serta pengikutnya dinamakan mutazilah, karena memisahkan atau
mengasingkan diri dari jamaah majelis gurunya dan mengadakan majelis sendiri di suatu sudut masjid
Basrah tersebut
Kelahiran dan kemunculannya
Mutazilah muncul pada masa kekuasaan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (101-125 H) dari Bani Umayyah.
Istilah Mutazilah pertama kali muncul / dalam bentuk pertama (adalah para sahabat yang memisahkan diri
atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik serelah Utsman bin Affan wafat), (yaitu pada abad
pertama hijriah), tidak berkembang dan bukan merupakan aliran teologi dalam Islam. Mutazilah yang
berkembang dan menjadi salah satu aliran teologi adalah mutazilah bentuk kedua, pimpinan Washil bin
Atha, (yang muncul pada masa kekuasaan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik).
Selain nama Mutazilah, aliran ini dikenal pula dengan sebutan ashhab al-adl wa al-tauhid atau ahl adl wa
al-tauhid, al-qadariah, al-adl, al-muattilah dan kaum rasionalis Islam.
Dinamakan ashhab al-adl wa al-tauhid karena golongan ini menitikberatkan pendapat mereka pada aspek
keadilan dan keesaan Allah, yang kedua aspek tersebut termasuk dalam lima prinsip pokok Mutazilah.
Disebut dekat dengan al-qadariah karena mereka menganut paham free will dan free act, yaitu makhluk
sendirilah yang mentukan dan mewujudkan perbuatannya.
Dinamakan al-muattilah sebab mereka menolak paham bahwa Tuhan memiliki sifat, dan disebut kaum
rasionalis Islam karena mereka memecahkan problema keagamaan khususnya masalah teologis secara
filosofis dan lebih banyak menggunakan rasio (akal). Dari beberapa nama yang diberikan kepada golongan
ini, yang paling mereka sukai adalah ashhab (ahl) al-adl wa al-tauhid.
Al-Ushul Al-Khomsah (Lima Prinsip Pokok Mutazilah)
Sekalipun firqah Mutazilah terpecah belah menjadi 22 aliran, namun aliran-aliran tersebut masih
mempunyai lima prinsip ajaran yang mereka sepakati, yaitu: (1) tauhid, (2) adil, (3) janji dan ancaman (4)
tempat diantara dua tempat dan (5) amar maruf nahi munkar.
Al-Khayyath, tokoh Mutazilah pada abad ke-3 H menegaskan:

Artinya: Seseorang tidak berhak dinamakan Mutazilah, sehingga bersatu padanya lima pokok ajaran.Yaitu:
tauhid, adil, janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat dan amar maruf nahi munkar. Apabila padanya
telah sempurna kelima ajaran ini, dinamakan Mutazilah.
Penjelasan kelima prinsip ajaran Mutazilah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tauhid
Tauhid adalah prinsip dan dasar pertama dalam akidah Islam. Jadi prinsip ini bukan hanya milik Mutazilah, melainkan
milik semua umat Islam.Akan tetapi, Mutazilah mempermasalahkannya lebih mendalam dan filosofis.
Mutazilah memiliki penafsiran yang khusus mengenai masalah ini dan mereka mempertahankannya, sehingga
mereka menamakan dirinya ahlul adli wat tauhid. Yang pertama mengajarkan ajaran ini adalah Washil bin Atha dan
Amr bin Ubaid.
Dari prinsip at-Tauhid, lahir beberapa pendapat Mutazilah, diantaranya :
a. Menafikan sifat-sifat Allah. Mutazilah tidak mengakui adanya sifat pada Allah. Apa yang dipandang orang sebagai
sifat, bagi Mutazilah tidak lain adalah zat Allah itu sendiri. Alasannya, menurut Mutazilah jika Tuhan mempunyai
sifat berarti ada dua yang qadim (Terdahulu), yaitu zat dan sifat. Sedangkan bagi Mutazilah, yang qadim itu hanya
satu, yaitu Allah. Menurut Mutazilah Laa qadima illa Allah (tidak ada yang qadim kecuali Allah).
b. Al-Quran adalah makhluk. Karena itu,Al-Quran diciptakan dan tidak qadim.
c. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat kelak. Yang dapat dilihat dengan mata kepala bukanlah
Tuhan.
d. Tuhan tidak sama dengan makhluk (tajassum). Oleh karena itu, setiap ada ayat Al-Quran yang menunjukkan
seolah-olah ada persamaan antara Tuhan dengan makhluk seperti mempunyai tangan, mata dan telinga, ayat itu
ditawilkan sehingga tidak ada lagi kesan bahwa Tuhan ada persamaan dengan makhluk-Nya.
2. Adil (Keadilan Tuhan)
Keadilan disini bermakna meletakkan tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatannya. Tuhan tidak
menghendaki keburukan bagi manusia, manusia sendirilah yang mengehendaki keburukan itu.
Manusia dengan kemampuan yang diberikan Tuhan pada dirinya dapat melakukan yang baik. Karena itu, jika ia
melakukan kejahatan berarti ia sendiri yang menghendaki hal tersebut.
Dari prinsip ini timbul ajaran Mutazilah yang dikenal dengan nama al-shalah wa al-ashlah, maksudnya Allah hanya
menghendaki yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemashlahatan manusia.
Dengan dasar keadilan ini, mereka menolak pendapat yang mengatakan bahwa Allah telah mentaqdirkan
seseorang berbuat maksiat, lalu dia diazab oleh Allah.

3. Janji dan Ancaman


Janji Allah yang akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menyiksa orang yang berbuat jahat
pasti akan dipenuhi oleh Allah. Karena Allah tidak akan mungkir terhadap janji-Nya.
Siapa yang berbuat baik maka dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya mereka yang berbuat kejahatan akan
dibalas dengan kejahatan pula.
Tidak ada ampunan terhadap dosa besar tanpa taubat, sebagaimana tidak mungkin ada orang yang berbuat baik
yang tidak menerima pahala.
Dengan prinsip ini, Mutazilah menolak adanya syafaat di hari kiamat, sebab syafaat (pertolongan di hari kiamat)
bertentangan dengan janji Allah
4. Tempat Diantara Dua Tempat (al-Manzilah bain al-Manzilatain)
Pendapat ini dimunculkan oleh Washil bin Atha, merupakan pendapat Mutazilah yang pertama muncul.
Menurut ajaran ini seorang Muslim yang melakukan dosa besar dan tidak bertaubat kepada Allah, tidaklah
mumin, tetapi tidak pula kafir.
Menurut ajaran Mutazilah ini, orang seperti ini berada pada posisi antara dua posisi (al-Manzilah bain al-
Manzilatain), ia tidak mumin karena melakukan dosa besar, dan tidak pula kafir karena masih percaya kepada Allah
dan berpegang kepada kalimat syahadat, Washil bin Atha menyebut orang semacam ini fasiq.
Kaum Mutazilah membagi maksiat kepada dua macam:
Pertama maksiat yang merusak dasar agama seperti syirk (menyekutukan Allah), orang yang melakukan maksiat
seperti ini digolongkan kafir.
Kedua maksiat yang tidak sampai merusak dasar agama, seperti perbuatan-perbuatan dosa besar. Jika seorang
muslim melakuakan maksiat jenis ini ia tidak dianggap kafir tetapi fasiq.

5. Amr Maruf Nahi Munkar


Masalah amr maruf nahi munkar banyak disebutkan dalam Al-Quran antara lain pada Ali Imran ayat 104 dan
Luqman ayat 17.
Kaum Mutazilah sangat gigih melaksanakan hal ini.
Kegigihan ini sempat menjadi kekerasan terhadap sesama Muslim, seperti pada masa Khalifah Al-Mamun (813-
833 H), yang dikenal dengan peristiwa minhah (ujian/pemeriksaan paham seseorang mengenai permasalahan
agama, terutama mengenai kemakhlukan Al-Quran. Namun peristiwa minhah ini justru menyebabakan turunnnya
popularitas Mutazilah dan masyarakat menjadi antipati kepada kelompok ini. Apalagi setelah naiknya Khalifah al-
Mutawakkil yang mencerai-beraikan kekuatan Mutazilah.
KHAWARIJ
Khawarij adalah aliran teologi pertama dalam Islam.
Aliran ini muncul bersamaan dengan aliran Syiah.
Pada mulanya aliran ini hanya bersifat aliran politis, yaitu orang-orang yang orang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib,
karena memandang Ali telah berbuat salah dengan menerima arbitrase (tahkim), karena itulah mereka disebut Khawarij
(kelompok/orang-orang yang keluar),
Persoalan politik ini akhirnya membawa khawarij kepada persoalan teologi, yaitu siapa yang kafir dan siapa yang tidak,
maksudnya siapa yang telah keluar dari Islam (murtad) dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Khawarij menyebut dirinya sendiri Syurah, yang berarti golongan yang mengorbankan diri karena Allah.
Mereka juga biasa disebut al-Haruriyah, dari kata Harura, yaitu tempat mereka berkumpul setelah kelura dari kelompok
Ali dan kemudian menjadi pusat kegiatan mereka.
Mereka juga biasa disebut al-Muhakkimah, karena mereka terkenal dengan semboyan mereka: Laa Hukma illa li Allah
(Tidak ada hukum kecuali hukum Allah).
Mereka juga disebut al-Mariqah oleh lawan-lawannya, al-Mariqah berasal dari kata maraqa, yaitu anak panah yang telah
keluar dari busurnya. Julukan ini diberikan karena mereka dianggap telah keluar dari agama atau telah keluar dari jalan
kebenaran.
Doktrin-Doktrin Khawarij
Khawarij terdiri dar orang-orang Arab Baduwi yang hidup di padang pasir yang tandus, mereka biasanya
bersifat sederhana, garang, keras hati, tidak takut mati, merdeka dan tidak tergantung pada orang lain.
Meskipun sudah masuk Islam, namun sikap kebaduwian mereka tidak berubah, mereka cenderung
memahami prinsip-prinsip keimanan secara sempit.
Mereka keluar dari golongan pendukung Ali karena mereka tidak setuju dengan arbitrase/Tahkim yang
digunakan Ali untuk menyelesaikan masalah dengan Muawiyah.
Menurut keyakinan mereka, semua masalah harus diselesaikan dengan merujuk kepada hukum-hukum
yang diturunkan oleh Allah SWT, sesuai dengan Al-Quran, Surah al-Maidah ayat 44:

...
Siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang kafir.
Menurut mereka, berdasarkan ayat ini, Ali, Muawiyah dan semua yang menyetujui tahkim/arbitrase
menurut mereka telah menjadi kafir, karena menetapkan hukum tidak berdasakan hukum Allah yang ada
dalam Al-Quran.
Selanjutnya mereka menyinggung soal iman dan kafir, menurut paham Khawarij, Iman tidak cukup dengan
pengakuan dengan hati dan lisan saja, tetapi juga harus disertai dengan amal shalih. Sedangkan yang
dimaksud kafir adalah pengingkaran terhadap Allah dan Rasul-Nya, juga berbuat dosa besar.
Doktrin-Doktrin Khawarij
Jadi setelah pada mulanya mereka hanya memandang kafir kepada orang yang mengingkari Allah dan Rasul-
Nya, ditambah orang-orang yang menyetujui arbitrase/tahkim, tapi kemudian mereka meluaskannya juga
kepada semua orang yang melakukan dosa besar.

Mengenai kekhalifahan, mereka memandang bahwa setiap Muslim meskipun non Quraisy, bahkan non Arab
bisa menjadi khalifah, selama ia memiliki kapasitas untuk memangku jabatan itu.

Menurut mereka seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syariat serta
jauh dari kesalahan dan penyelewengan, tetapi jika ia menyimpang maka wajib dijatuhkan dari jabatannya
atau dibunuh.
MURJIAH
Kata murjiah berasal dari Bahasa Arab, irja atau arjaa yang berarti penundaan, mengakhirkan dan
pengharapan, sedangkan kata murjiah sendiri berarti orang yang menunda atau orang yang memberikan
harapan.
Maka kelompok ini disebut Murjiah karena mereka adalah kelompok yang menunda keputusan mengenai
orang-orang yang berselisih dan berdosa besar (apakah ia tetap mumin atau sudah kafir) hingga ke hari
perhitungan dihadapan Allah pada hari kiamat.
Jadi mereka tidak mau memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah, juga tidak mau memutuskan
apakah pelaku dosa besar itu tetap mumin atau sudah kafir.
Kelompok ini pada mulanya muncul sebagai golongan yang ingin bersikap netral dan tidak mau ikut-ikutan
mengkafirkan seorang Muslim.
Doktrin-Doktrin Murjiah
Ajaran pokok Murjiah bersumber dari gagasan irja atau arjaa yang diaplikasikan pada banyak
permasalahan., baik polotik maupun teologis.
Maka kelompok ini biasa disebut sebagai the quietists (kelompok diam/bungkam,) karena mereka selalu
diam terhadap permasalahan-permaslahan politik.
Adapun dibidang teologi, doktrin irja dikembangkan ketika menanggapi persoalan-persoalan yang muncul
pada zamannya.
Misalnya mengenai orang yang berdosa besar, menurut mereka orang mumin yang melakukan dosa besar
tetap mumin, bukan kafir, selama ia tetap mengakui Allah sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai
rasul-Nya.
Kelompok ini berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman baru
kemudian amal shalih. Maka apabila seorang yang masih memiliki iman melakukan dosa besar maka ia
tetap mumin bukan kafir. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah pada Allah, apakah kelak ia akan
diampuni atau tidak.
JABARIYAH
Kata jabariyah berasal dari Bahasa Arab Jabara yang berarti memaksa.

Jabariyah disini berarti suatu kelompok atau aliran yang menafikan perbuatan secara hakiki dan
menyandarkannya pada Allah, maksudnya manusia tidak memiliki kehendak sendiri juga tidak mempunyai
pilihan, semuanya sudah ditentukan Tuhan,

Dengan kata lain menurut mereka manusia dalam setiap perbuatannya, manusia itu terpaksa, tanpa adanya
kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.

Menurut sebagian sejarawan, paham ini pertama kali disebarkan oleh orang Yahudi, sedangkan sebagian lagi
berpendapat bahwa aliran ini pertama kali dibuat oleh orang muslim sendiri yaitu Jad bin Dirham dan
disebarkan oleh Syuraih bin Haris.
Doktrin-Doktrin Jabariyah
Manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Manusia tidak memiliki daya, kehendak dan pilihan sendiri.
Surga dan neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Tuhan.
Iman adalah membenarkan dengan hati, dalam hal ini mereka mirip dengan konsep iman menurut Murjiah.
Kalamullah / Kalam Tuhan (Al-Quran) adalah makhluk. Allah Maha Suci dari keserupaan dengan makhluk
seperti berbicara, mendengar dan melihat.
Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat kelak.
Ayat-Ayat yang digunakan oleh Jabariyah untuk ajarannya:
... ...
niscaya mereka (juga) tidak akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki (al-Anam ayat 111)

... ...
dan bukan kamu yang melempar ketika melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (al-Anfal ayat 17)
...
padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu (al-Shaffat ayat 96)
...

...
tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak (pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (lauh al-mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya (al-Hadid ayat 22)
... ...
dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah (al-Insan ayat 30)
QADARIYAH
Kata qadariyah berasal dari Bahasa Arab qadara yang berarti kemampuan atau kekuatan.

Qadariyah disini berarti suatu aliran atau paham yang meyakini bahwa setiap perbuatan manusia itu adalah
kehendaknya sendiri tanpa adanya intervensi dari Tuhan, maksudnya adalah manusia dalam menentukan
kehidupannya adalah berdasarkan keinginan dan kekuatannya sendiri, dengan demikian manusia tidak
terpaksa tunduk kepada ketentuan Tuhan.

Menurut sebagian cendekiawan, aliran ini pertama kali disebarkan oleh Mabad al-Juhni dan Ghailan al-
Dimasyqi, sedangkan menurut sebagian lagi, aliran ini disebarkan oleh orang-orang Kristen yang
dipekerjakan di istana-istana Khalifah.
Doktrin-Doktrin Qadariyah
Manusia menentukan kehidupannya berdasarkan kieinginana dan kekuatannya sendiri (free act free will).

Maka jika seseorang berbuat baik dan diberikan ganjaran surga kelak, dan bila berbuat jahat diberi ganjaran
neraka, itu berdasarkan pilihan pribadinya, bukan karena takdir Tuhan.

Menurut qadariyah takdir bukan berarti nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, tetapi takdir
menurut mereka adalah ketentuan Allah yang telah diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta isinya, yaitu
sunnatullah.
Contohnya menurut mereka adalah: manusia tidak mempunyai sirip seperti ikan yang bisa berenang
dilautan lepas. Akan tetapi manusia memiliki manusia memiliki daya pikir kreatif dan anggota tubuh
yang dapat dilatih terampil, sehingga bisa meniru ikan dan berenang di lautan lepas.

Maka menurut mereka tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada
Tuhan.
Ayat-Ayat yang digunakan oleh Qadariyah untuk ajarannya:
... ...

maka siapa yang ingin beriman maka hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin (kafir), maka biarkanlah ia kafir (al-
Kahfi ayat 29)

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua
kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: Darimana (datangnya) kekalahan ini?
Katakanlah: Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri (Ali Imran ayat 165)
... ...

sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri (al-Rad ayat 11)
...

Siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri (al-Nisa
ayat 111)
AHLUSUNNAH WAL JAMAAH

Ahlussunnah wal Jamaah adalah istilah yang memiliki makna luas, sehingga banyak golongan yang mengklaim
dirinya adalah ahlusunnah wal jamaah.

Dalam makna luas Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan selain Syiah dan Khawarij.

Dalam makna sempit biasanya diidentikkan dengan al-Asy ariyah dan al-Maturidiyah. (Pada masa modern
muncul Wahabi yang juga mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jamaah).

Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah merupakan golongan mayoritas
ummat dan secara konsisten mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau.
AL-ASYARIYAH
Al-Asyariyah atau Al-Asyairah adalah pengikut dari ajaran Abu Hasan Al-Asyari. Ia lahir di Bashrah pada
260 H dan wafat di Baghdad pada tauhn 304 H.
Awalnya ia adalah pengikut aliran Mutazilah, merupakan murid dari tokoh Mutazilah yang terkenal, Ali al-
Jubbai, ia menganut aliran ini hingga umur 40 tahun.
Ada beberapa pendapat mengenai keluarnya Abu Hasan Al-Asyari dari aliran Mutazilah:
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa alasannya adalah Abu Hasan Al-Asyari bermimpi bahwa Nabi
Muhammad SAW berkata kepadanya agar meninggalkan aliran yang sedang dianutnya, yaitu Mutazilah
dan memegang pendirian sebagaimana orang-orang sebelumnya yang berpegang kepada sunnah beliau.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa alasannya adalah munculnya kegelisahan dalam diri Abu Hasan Al-
Asyari menegnai ajaran-ajaran Mutazilah dan ia pun sering mengadakan perdebatan dengan gurunya.
3. Pendapat ketiga mengatakan bahwa alasannya adalah Abu Hasan Al-Asyari merupakan pengikut mazhab
fiqh Syafii, sedangkan al-Syafii sendiri mempunyai paham bahwa Al-Quran adalah Kalamullah yang tidak
diciptakan (bukan makhluk), juga adanya Ruyatullah (melihat Allah) pada Hari Akhir (sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran surah al-Qiyamah ayat 22-23) sehingga bertentangan dengan ajaran
Mutazilah.
Pendapat Al-Asyariyah Seputar Ilmu Kalam
Ruyatullah (melihat Allah) pada Hari Akhir (sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surah al-Qiyamah
ayat 22-23), Al-Asyari berpendapat bahwa Allah bisa dilihat pada hari akhir, karena kondisi berbeda
dengan di dunia.

Mengenai Sifat Allah, Al-Asyari mengambil jalan pertengahan, ia berpendapat bahwa sifat Allah itu
semuanya ada dan diketahui melalui teks-teks syari (Al-Quran), akan tetapi sifat-sifat ini berbeda dengan
sifat pada makhluk, jadi pendengaran Allah berbeda dengan pendengaran makhluk, begitupula penglihatan-
Nya dan lain-lain,
berbeda dengan Mutazilah yang menafikan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan hanya
mensifati Allah dengan wujud, qidam, baqa dan wahdaniyah saja, juga berbeda dengan pendapat
hasyawiyah yang menyerupakannya dengan sifat hawadits / makhluk.

Mengenai Keadilan Allah, Al-Asyari berpendapat bahwa Allah berkuasa mutlak, keadilan-Nya tidak disertai
kewajiban atas-Nya, Allah bebas berbuat sekehendak-Nya.

Mengenai perbuatan manusia, Al-Asyari juga mengambil jalan pertengahan, ia berpendapat bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk memilih perbuatannya (baik dan buruk), akan tetapi kemampuan untuk
memilih ini diciptakan/diberikan oleh Allah.
AL-MATURIDIYAH

Al-Maturidiyah adalah kelompok pengikut dari Abu Manshur Al-Maturidi. Ia lahir pada abad ke-3 Hijriyah, di
maturidi, Samarkand dan wafat pada tahun 333 H. Ia adalah pengikut mazhab fiqh Hanafi, ia mempelajari
ilmu Kalam dari Nasr bin Yahya al-Balkhi (Wafat 268 H).

Al-Maturudi lebih luas penggunaan akal sebagai dalilnya dari Al-Asyari, tetapi sebagai tokoh Ahlussunnah,
Al-Maturidi juga menggunakan metode dan sikap tawasshuth / jalan tengah, yaitu antara tidak tidak berbuat
jika tidak terdapat nash dan larut tidak terkendali dalam menggunakan nalar.

Penyebaran ajaran Al-Maturidi tidak lepas dari keberadaan pengikut-pengikutnya, seperti Abu Al-Yusr
Muhammad Al-Bazdawi (421-493 H), yang dalam beberapa hal berbeda pendapat dengan Al-Maturidi
sendiri.
Maka aliran ini terbagi dua, yaitu Al-Maturidiyah Samarkand, yang merupakan pengikut-pengikut Abu
Mansur Al-Maturidi sendiri, dan Al-Maturidiyah Bukhara yang merupakan pengikut dari Al-Bazdawi.
Pendapat Al-Maturidiyah Seputar Ilmu Kalam
Mengenai permasalahan mengetahui Tuhan, Al-Maturidi berpendapat bahwa mengetahui adanya Tuhan
dimungkinkan kewajibannya menggunakan akal, dan jika manusia mau mengarahkan akalnya secara lurus
dan melepasnya dari hawa nafsu maka ia akan dapat mengetahui tentang adanya Tuhan, akan tetapi
mengetahui kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan (al-Ahkam Taklifiyah) tidak dapat diketahui dengan akal,
harus dengan wahyu.
Meskipun pendapat ini dekat dengan Mutazilah, namun masih terdapat perbedaan yaitu bila
Mutazilah menggunakan kata wajib bagi akal untuk mengetahui Tuhan, namun Al-Maturidi
menggunakan kata Mungkin.

Mengenai masalah kebaikan dan keburukan, Al-Maturidi berpendapat bahwa akal dapat mngetahui baik
dan buruknya suatu perbuatan, namun meskipun akal dapat mengetahuinya, kewajiban melakukan
perbuatan datangnya dari syara (berdasarkan wahyu).
Pendapat ini berbeda dengan Mutazilah yang mengatakan bahwa apa yang diketahui dengan akal,
maka wajib/harus dikerjakan berdasarkan akal, begitupula sebaliknya.
Sedangkan Al-Asyari berpendapat bahwa sesuatu itu tidak diketahui baik dan buruk melainkan
karena adanya perintah syara (berdasarkan wahyu) atau larangannya, atau dengan kata lain kebaikan
dan keburukan itu bergantung pada Tuhan.
GERAKAN / DAWAH SALAFIYAH / WAHABI
Salafiyah berasal dari kata salaf yang artinya telah berlalu atau yang terdahulu
Salaf secara istilah menurut para ulama adalah sahabat Rasulullah, tabiin (orang yang mengikuti sahabat),
dan tabi at-tabiin (orang yang mengikuti tabiin), tiga generasi ini dikenal dengan nama salafush shalih
(orang-orang terdahulu yang shalih).
Gerakan / Dawah salafiyah berarti gerakan untuk mengajak kembali kepada ajaran/mazhab para salafush
shalih.
Gerakan ini biasa dikenal dengan istilah Wahabi karena tokohnya sekaligus pendirinya bernama Abdul
Wahab Al-Masyrafi Al-Tamimi Al-Najdi (1115-1206 H / 1703 1791 M).
Kelompok Wahhabi menganggap kelompoknya sebagai bagian dari Ahlussunnah wal Jamaah.
Tujuan utama dari kelompok ini adalah untuk meluruskan atau memurnikan aqidah umat Islam dari syirk,
khurafat dan bidah, dengan kembali kepada ajaran para salafus shalih (Generasi pertama dan terbaik dari
umat Islam, yang terdiri dari para sahabat, tabiin, dan tabi at-tabiin), yang dianggap sebagai ahlus sunnah wal-
jamaah yang sejati.
Kelompok Wahhabi juga menolak filsafat dan tasawwuf, karena menurut mereka- filsafat banyak
berlandaskan khayalan, sedangkan tasawwuf banyak mengandung khurafat.
Pemikiran-Pemikiran Wahabi
Mengajak untuk membuka kembali pintu ijtihad.

Menekankan untuk selalu merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah, serta tidak menerima persoalan
apapun tentang aqidah yang tidak bersandar kepada dalil yang langsung dan jelas dari Al-Quran dan As-
Sunnah.

Mengajak untuk kembali dan berpegang teguh kepada manhaj/metode para salafus shalih (Generasi
pertama dan terbaik dari umat Islam, yang terdiri dari para sahabat, tabiin, dan tabi at-tabiin) dalam
memahami dalil dan berdasarkan kepadanya.

Menyeru kepada pemurnian tauhid, menuntut kepada umat Islam untuk mengembalikan tauhid sebagaiman
pada masa awal Islam, serta membersihkan aqidah umat Islam dari syirk, khurafat dan bidah.

Menetapkan asma (nama-nama) dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan-Nya untuk diri-Nya
sendiri atau ditetapkan melalui Rasul-Nya.
PERMASALAHAN-PERMASALAHAN YANG BIASA DIBAHAS
1. Masalah Iman dan Dosa Besar
Aliran Ilmu Kalam Unsur Iman I Unsur Iman II Unsur Iman III Orang yang Berdosa
Besar

Khawarij Tashdiq bi al-Qalb Iqrar bi al-Lisan Amal bi al-Arkan Menjadi Kafir


(Membenarkan Dengan (Ucapkan dengan (Melakukan dengan
Hati) Perkataan) Perbuatan)

Murjiah Tashdiq bi al-Qalb X X Tetap Mumin

Mutazilah Tashdiq bi al-Qalb Iqrar bi al-Lisan Amal bi al-Arkan Diantara Kafir dan
Mumin
al-Jabariyah Tashdiq bi al-Qalb X X Tetap Mumin

al-Asyariyah Tashdiq bi al-Qalb X X Tetap Mumin

al-Maturidiyah Tashdiq bi al-Qalb Iqrar bi al-Lisan Amal bi al-Arkan Tetap Mumin


Samarkand

al-Maturidiyah Bukhara Tashdiq bi al-Qalb Iqrar bi al-Lisan X Tetap Mumin


2. Masalah Kapasitas Akal dan Fungsi Wahyu
Aliran Ilmu Mengetahui Kewajiban Mengetahui Kewajiban Corak Ilmu
Kalam Tuhan Mengetahui Baik dan Buruk Mengetahui Kalam
Tuhan Baik dan Buruk

Mutazilah Akal Akal Akal Akal Rasional


al-Asyariyah Akal Wahyu Wahyu Wahyu Tradisional

al-Maturidiyah Akal Dimungkinkan Akal Wahyu Rasional


Samarkand kewajibannya dengan
Akal
al-Maturidiyah Akal Wahyu Akal Wahyu Tradisional
Bukhara
3. Masalah Perbuatan manusia ()

Aliran Ilmu kalam Kehendak Daya Perbuatan


al-Qadariyah Manusia Manusia Manusia
al-Jabariyah Tuhan Tuhan Tuhan
Mutazilah Manusia Manusia Manusia
al-Asyariyah Tuhan Manusia (al-Kasb) yang Manusia tetapi dengan ridha
sebenarnya diberikan oleh dari Tuhan
Tuhan
al-Maturidiyah Samarkand Manusia Manusia Manusia
al-Maturidiyah Bukhara Tuhan Manusia (al-Kasb) yang Manusia tetapi dengan ridha
sebenarnya diberikan oleh dari Tuhan
Tuhan
4. Masalah Kekuasaan Tuhan ( ) :

Aliran Ilmu kalam Kekuasaan Tuhan


Mutazilah Kekuasaan Tuhan Tidak Mutlak Lagi
al-Asyariyah Kekuasaan Tuhan Bersifat Mutlak

al-Maturidiyah Samarkand Kekuasaan Tuhan Tidak Mutlak Lagi

al-Maturidiyah Bukhara Kekuasaan Tuhan Bersifat Mutlak


5. Masalah Keadilan Tuhan
Aliran Ilmu Kalam Masalah Keadilan tuhan
Mutazilah Tuhan Berkewajiban Memberikan Hak-Hak Bagi Manusia
Sesuai dengan Kualitas Perbuatannya.
Perbuatan Baik dengan Pahala, Perbuatan Jahat dengan Siksa.

al-Asyariyah Memposisikan Tuhan yang Berkuasa Mutlak terhadap


Makhluk-Nya.
Tuhan Boleh berbuat Sekehendak-Nya terhadap Seluruh
makhluk-Nya
al-Maturidiyah Samarkand Tuhan Berkewajiban Memberikan Hak-Hak Bagi Manusia
Sesuai dengan Kualitas Perbuatannya.
Perbuatan Baik dengan Pahala, Perbuatan Jahat dengan Siksa.

al-Maturidiyah Bukhara Memposisikan Tuhan yang Berkuasa Mutlak terhadap


Makhluk-Nya.
Tuhan Boleh berbuat Sekehendak-Nya terhadap Seluruh
makhluk-Nya

Anda mungkin juga menyukai