Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pembahasan mengenai Tauhid merupakan hal yang paling urgen dalam Agama
Islam, dimana Tauhid mengambil peranan penting dalam membentuk pribadi-
pribadi yang tangguh, selain juga sebagai inti atau akar daripada Aqidah
Islamiyah. Kalimat Tauhid atau lebih dikanal dengan kalimat Syahadat atau juga
disebut Kalimah Thayyibah (Laailaahaillallah) begitu masyhur di kalangan umat
Islam. Dalam kesehariannya, seorang muslim melafalkan kalimat tersebut dalam
setiap shalat wajibnya yang lima waktu.
Namun rupanya saat ini pembahasan masalah 'Aqidah menjadi sesuatu yang
terkesampingkan dalam kehidupan, kencenderungan masyarakat yang hedonis
dengan persaingan hidup yang begitu ketat, sehingga urusan-urusan dunia menjadi
suatu hal yang menyita perhatian manusia daripada hal-hal lainnya, termasuk
masalah keberagamaan, sehingga kita dapatkan banyak sekali penyimpangan demi
penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam, dengan keadaan yang
semakin hari semakin buruk ini rupanya lambat laun akan menyadarkan kita
semua akan pentingnya peran agama Islam sebagai agama paripurna yang tidak
mengatur urusan ukhrawi saja, namun juga dalam mengatur urusan-urusan
duniawi, yang menjadikan 'aqidah sebagai landasan berfikirnya.
Diharapkan dari penulisan makalah ini, selain pengetahuan yang lebih luas
tentang Tauhid sebagai intisari peradaban yang telah mengantarkan umat Islam
menuju kejayaan demi kejayaan yang tidak pernah tertandingi.
B.Rumusan Masalah
Dalam makalah ini rumusan makalah yang dapat kami paparkan adalah sbb:
1.Apa pengertian tauhid sebagai inti peradaban islam?
2.Bagaimana konsep ajaran tauhid ?
3.Bagaimana tauhid dipadang sebagai dimensi metodologis?
4.Apa saja dimensi isi tauhid?
C.Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas maka tujuan dari
penulisan makalah ini antara lain:
1. Memahami dan mempelajari pengertian tauhid.
2. Memahami dan mempelajari konsep-konsep ajaran tauhid
3. Memahami dan mempelajari dimensi metodologi tauhid

Ketika membicarakan metafisika, maka kita tidak dilepaskan dengan


pembicaraan mengenai alam semesta. Metafisika sebagai cabang
filsafat, mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia.
Metafisika juga mencoba menjawab beberapa pertanyaan filsafat seperti: Apakah
sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di alam
semesta? [1] Jadi pembahasan metafisika sangat erat kaitannya dengan alam
semesta.
Democritus[2] (salah satu pencetus paham materialisme) menyatakan
bahwasanya alam semesta dan manusia berasal dari materi. Dari idenya ini,
muncullah sebuah paham yang dikenal dengan materialisme. Paham
materialisme menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada
adalah materi. Dan pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua
fenomena adalah hasil interaksi material[3].
Berbeda dengan paham materialisme yang tidak mengakui adanya
pencipta, maka dalam Islam dikenal adanya konsep tauhid yang memandang alam
semesta berasal dari sang Pencipta yaitu Allah, kembali kepada-Nya, dan berpusat
di sekitar-Nya.[4]
Dan karena alam semesta memiliki pencipta, maka terdapat unsur teleologi
di dalamnya. Artinya, alam semesta memiliki nilai kebertujuan.
Di bawah ini diterangkan tentang pengertian tauhid, metafisika, dan
teleologi serta penjelasan mengenai tauhid dalam Islam sebagai prinsip metafisika
serta hubungannya dengan unsur teleologis dalam penciptaan alam semesta yang
berbeda dengan paham ataupun agama lain.

B. Makna Tauhid, Metafisika, dan Teleologis


Tauhid berasal dari kata wahhada sebagaimana dikatakan tsannaahu dan
tsallatsahu, dan makna secara umum adalah menjadikan sesuatu menjadi satu.
Seperti kata tauhiidul kalimah artinya menyatukan kata. Dan dikatakan tauhiidul
quwwah artinya menyatukan kekuatan[5].
Adapun secara istilah tauhid memiliki pengertian keyakinan mengesakan
Allah dengan rububiah-Nya, ikhlas beramal kepada-Nya, dan menetapkan nama-
nama dan sifat-Nya[6].
Tauhid juga bisa bermakna pandangan umum tentang realitas, kebenaran,
dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia dan takdir[7]
Adapun metafisika berasal dari bahasa Yunani (meta) = "setelah atau
di balik", dan (phsika) = "hal-hal di alam", adalah cabang filsafat yang
mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah
studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa
tempat manusia di dalam semesta?
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi
benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga
berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk
keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan
kemungkinan.
Namun penggunaan istilah "metafisika" telah berkembang untuk merujuk
pada "hal-hal yang di luar dunia fisik". "Toko buku metafisika", sebagai contoh,
bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku
mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya[8].
Sementara teleologi adalah studi filsafat tentang rancangan (penciptaan)
dan tujuan. Paham ini menyatakan bahwa segala sesuatu itu dirancang atau
diarahkan kepada hasil final bahwa ada tujuan inheren atau sebab terakhir bagi
semua ciptaan ada[9]. Atau secara sederhana teleologi bisa dipahami sebagai nilai
kebertujuan.
Pandangan teleologi ini pada perkembangannya selanjutnya banyak
digunakan oleh disiplin-disiplin lain seperti filsafat sejarah, sains, biologi,
ekonomi, fisika, dan lingkungan (ekologi)[10]. Selain itu, makna teleologi ini
sangat erat kaitannya dengan teologi, karena dalam teleologi ada pengakuan
terhadap Sang Perancang (the Designer) atau al-khaliq[11].

C. Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika


1. Tauhid sebagai cara pandang dalam Islam yang berbeda dengan
materialisme dan agama lain
Prinsip metafisika dalam Islam berbeda dengan agama lain. Dalam agama
Kristen misalnya, alam dianggap sebagai makhluk Tuhan yang pernah sempurna,
akan tetapi kemudian rusak dalam kejatuhan dan dengan demikian menjadi
jahat. Kejahatan penciptaan yang bersifat ontologis, esensial dan pervasif, menjadi
alasan penebusan dosa yang dilakukan Yesus dengan cara disalib.
Secara praktis, ajaran Kristen menganggap ciptaan telah jatuh, dan alam
dianggap sebagai kejahatan. Kebencian kepada materi yang menjadi ciri
gnostisisme[12] terwariskan kepada agama Kristen. Alam, dengan kemampuan
dan kecenderungan materialnya, adalah dunia setan.
Dalam agama ini, alam dipertentangkan dengan rahmat selama ribuan tahun.
Akan tetapi karena adanya dampak pemikiran Islam, renasains, skolastisisme, dan
pencerahan orang-orang Kristen kemudian membuka diri kepada kehidupan dan
juga penegasan dunia. Akan tetapi, sangkalan dan kutukan terhadap dunia tidak
pernah terhapus, hanya terbungkam saja. [13]
Adapun dalam agama Hindu, diyakini bahwa alam merupakan hasil dari
peristiwa yang terjadi atas dewa Brahma[14], Yang Mutlak. Ciptaan (yaitu setiap
makhluk individual) merupakan obyektivikasi dari-Nya (Yang Mutlak) yang
seharusnya tidak terjadi karena hal itu merupakan suatu kemerosotan dari
kemampuan-Nya sebagai Yang Mutlak. Oleh karena itulah segala sesuatu yang
ada di dalam alam dianggap sebagai penyimpangan, sebagai sesuatu yang
terkurung dalam bentuk makhluk, yang mendambakan untuk bebas dan kembali
kepada asalnya dalam dan sebagai Brahma. Sementara alam semesta masih
merupakan makhluk di dunia, ia tunduk pada hukum karma di mana ia
ditingkatkan, atau lebih diturunkan derajatnya. Sesuai dengan apakah ia mengakui
dan mengikuti prinsip kosmologi yang ada di agama Hindu, yaitu bahwa alam
merupakan kecelakaan ontologis dari Yang Mutlak.[15]
Adapun dalam Islam, alam dipandang sebagai ciptaan dan anugerah. Hal ini
lahir dari pandangan tauhid, di mana Allah yang merupakan satu-satu-Nya Tuhan
yang berhak disembah merupakan Pencipta alam raya ini. Sebagai ciptaan, ia
bersifat teleologis, sempurna dan teratur. Sebagai anugerah, alam merupakan
kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya
adalah memungkinkan manusia melakukan kebaikan dan mencapai
kebahagiaan[16].
2. Alam Semesta Teleologis
Alam dalam paham materialisme dianggap tidak memiliki unsur teolologis,
karena ia tidak memiliki pencipta dan oleh karena itu alam bersifat netral. Alam
dianggap ada dengan sendirinya tanpa ada yang membuat. Begitu juga adanya
makhluk hidup di bumi (termasuk manusia). Manusia dan makhluk hidup
lainnya dianggap bisa bertahan dan hidup di bumi karena terdapat seleksi alam,
yaitu yang dikenal dengan teori evolusi Charles Darwin (1809-1882). Adapun
kejadian-kejadian di alam terjadi karena adanya hubungan sebab akibat[17]. Jadi
kesimpulannya, alam dianggap tidak memiliki unsur teleologis karena alam ada
dengan sendirinya tanpa pencipta.
Hal di atas bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, tatanan alam bukanlah
semata-mata tatanan material seputar sebab-sebab dan akibat-akibat. Bukan pula
hanyalah tatanan yang oleh ruang dan waktu serta kategori-kategori teoritis lain
semacam itu membuat kejelasan pada pemahaman kita. Akan tetapi alam juga
merupakan lapangan tujuan-tujuan di mana segala sesuatu memenuhi suatu tujuan
dan dengan cara demikian memberikan sumbangan bagi kesejahteraan dan
keseimbangan segalanya.
Dari sebutir kerikil yang tak bernyawa di lembah, plankton yang paling kecil
pada permukaan laut, flagellata mikroba di dalam usus serangga, hingga
bimasakti-bimasakti dengan matahari-mataharinya, pohon-pohon redwood
raksasa, ikan paus dan gajah segala sesuatu yang ada, melalui kelahiran dan
pertumbuhannya, kehidupan dan kematiannya, memenuhi suatu tujuan yang telah
ditetapkan untuknya oleh Tuhan. Semua makhluk saling bergantung satu sama
lainnya dan berjalan lancar karena adanya keselarasan yang sempurna di antara
bagian-bagiannya[18].
Dalam hal ini Allah berfirman, Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami
ciptakan dengan ukuranMaka sekali-kali tidak akan kamu dapati penggantian
dalam sunnah Allah[19]. Inilah prinsip keseimbangan ekologi dalam Islam, di
mana manusia modern baru menyadarinya setelah terjadinya polusi alam di masa
sekarang ini, yang membawa serta berbagai bahaya itu. Umat muslim
sesungguhnya telah menyadarinya selama berabad-abad, dan telah melihat dirinya
berada di dalamnya.
Masig-masing unsur ciptaan saling menghidupi yang lainnya dan dihidupi
oleh pihak yang ketiga (Allah) jelas merupakan tujuan. Hal ini bisa dilihat pada
makhluk-makhluk yang lebih tinggi. Dominasi rangkaian yang sama di dunia
ganggang, mikroba maupun enzim lebih sulit diamati dan dibayangkan dalam
seluruh jangkauannya dikarenakan tak bisa dilihat oleh mata. Akan tetapi
dominasi tersebut tidaklah kurang nyatanya. Yang lebih sulit lagi untuk
ditemukan dibanding pola-pola siklus makanan dalam kehidupan nabati dan
hewani adalah rantai kesalingtergantungan dalam aktivitas seluruh makhluk.
Yaitu aktivitas-aktivitas selain dari pencarian makanan, baik yang berkaitan
dengannya atau tidak, dalam aksi dan reaksi yang berkesinambungan dari unsur-
unsur tersebut satu terhadap yang lain; baik di darat, di laut, di udara maupun di
antara benda-benda di luar angkasa. Pengetahuan kita tentang seluk-beluk ekologi
alam masih dalam tahap yang sangat dini. Ilmu-ilmu alam telah cukup
membukakan sebagian darinya untuk memungkinkan imajinasi kita mampu
menyusun tersebut secara keseluruhan[20].
Oleh karena itulah, alam sebagai manifestasi-Nya yang bersama-sama
manusia menjadi unsur pembentuk ekosistem dalam kosmos yang berperadaban
dan bersifat teleologis. Dalam hal ini Fazlur Rahman menegaskan bahwasanya
karena setiap segala sesuatu itu secara langsung berhubungan dengan Allah, maka
setiap sesuatu itu melalui dan berada di dalam hubungan dengan-Nya. Jadi kata
Fazlur Rahman, Allah adalah makna realitas, sebuah makna yang
dimanifestasikan, dijelaskan, dibawakan oleh alam, dan selanjutnya oleh
manusia[21].
Sebagai sebuah sistem teleologi, dunia menyuguhkan kepada kita suatu
tontonan yang agung. Ukuran dan keluasan makrokosmos, rincian yang sulit dari
mikrokosmos, serta sifat mekanisme keseimbangan yang sempurna dan tak
terbatas kerumitannya, menjadikan kita tercengang dan terpukau. Dan, orang yang
baik keimanannya dan (ulul Albab) akan mengucapkan kalimat pengangungan
kepada Allah dan menyadari bahwa Allah-lah sang Pencipta dan segala ciptaan-
Nya tidak ada yang sia-sia. Dalam hal ini Allah berfirman: Ulil Albab adalah
orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk atau sedang berbaring
dan memikirkan tentang penciptaan dan bumi seraya berkata, Wahai Tuhan
kami, Tidaklah sia-sia Engkau menciptakan semua ini. Mahasuci engkau,
peliharalah kami dari siksa api neraka[22].
Karena dunia sebagai ciptaan dari Yang Maha Kuasa adalah indah dan benar-
benar mulia dikarenakan teleologinya. Ungkapan kagum seorang penyair, Betapa
indahnya bunga mawar! Padanya Nampak wajah Tuhan! tidak mempunyai arti
lain kecuali bahwa bunga mawar itu memenuhi tujuan manusia dan serangga
melalui bau dan keindahannya bentuknya. Tujuan dan yang telah dikaruniakan
Tuhan (Allah) kepadanya dan yang dipenuhinya dengan sempurna, yang
mencerminkan, bagi mereka yang mampu melihatnya, efektifitas yang cemerlang
dan keterampilan yang sempurna dari Perancang dan Pencipta agung, yaitu Tuhan
(Allah)[23].

D. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Tauhid sebagai landasan


keimanan seorang muslim menjadi asas dalam prinsip metafisika. Hal ini
menjadikan pandangan seorang muslim terhadap metafisika berbeda dengan
pandangan-pandangan hidup selain Islam; seperti pandangan paham materialisme,
pandangan agama Kristen, ataupun pandangan agama Hindu.
Dalam pandangan Islam; alam semesta tidaklah seperti pandangan Kristen
yang menganggap alam adalah kejahatan, tidak seperti pandangan Hindu yang
menganggap alam merupakan kecelakaan ontologis dari Yang Mutlak, dan tidak
seperti paham materialisme yang menganggap alam semesta tidak memiliki unsur
teleologis.
Alam semesta dalam Islam bisa ada karena ada yang menciptakan, yaitu
Allah. Adanya ketergantungan pada masing-masing unsur ciptaan jelas dipandang
sebagai tujuan. Dan suatu tujuan memberikan sumbangan bagi kesejahteraan dan
keseimbangan dalam alam semesta. Maka dari itulah, seorang muslim yang baik
akan selalu melihat wajah Allah dalam segala sesuatu serta berbagai kejadian
yang terdapat di dalam alam.

Catatan kaki:

[1] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika


[2] Demokritos lahir di kota Abdera, Yunani Utara. Ia hidup sekitar tahun 460 SM
hingga 370 SM. Ia berasal dari keluarga kaya raya. Pada waktu ia masih muda, ia
menggunakan warisannya untuk pergi ke Mesir dan negeri-negeri Timur lainnya.
Selain menjadi murid Leukippos, Ia juga belajar kepada Anaxagoras dan
Philolaos.(lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Democritus)
[3] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Materialisme
[4] Mudhofir Abdullah, Al-Quran da Konservasi Lingkungan, (Jakarta: PT. Dian
Rakyat, 2010), p. 141-142
[5] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, cetakan ketiga, (Kairo: Daarul Hadits, 2003), p.
234
[6] Sholih bin Fauzan, Aqidah Tauhid, (kairo: Daarul Kautsar, 2008), P.15
[7] Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), p.10
[8] Lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/Metafisika
[9] Mudhofir Abdullah, Al-Quran dan Konservasi .,, p. 149
[10] Lihat http:/en.wikipedia.org/wiki/Teleology
[11] Bandingkan dengan Ismail Raji Al-Faruqi yang menyatakan bahwa kosmos
adalah teleologis, yaitu, memiliki tujuan dan mencerminkan tujuan Penciptanya.
Ismail Raji Al-Faruqi dan Lois Lamya, The Cultural Atlas of Islam (New York:
Macmillan Pub. Co., 1986), p.74
[12] Gnosticism (bahasa Yunani: gnsis, pengetahuan) merujuk pada
bermacam-macam gerakan keagamaan yang beraliran sinkretisme pada zaman
dahulu kala. Gerakan ini mencampurkan pelbagai ajaran agama, yang biasanya
pada intinya mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah jiwa yang
terperangkap di dalam alam semesta yang diciptakan oleh tuhan yang tidak
sempurna. Secara umum dapat dikatakan Gnostisisme adalah agama dualistik.
(lihat Lihat http:/id.wikipedia.org/wiki/ Gnostisisme)
[13] Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid,. p.50-51
[14] Menurut agama Hindu, Brahma adalah salah satu di antara Trimurti (Brahma,
Wisnu, Siwa). Dewa Brahma juga bergelar sebagai Dewa pengetahuan dan
kebijaksanaan. Beberapa orang bijaksana memberinya gelar sebagai Dewa api.
Dewa Brahma beristrikan Dewi Saraswati, yang menurunkan segala ilmu
pengetahuan ke dunia. Menurut mitologi Hindu, Dewa Brahma lahir dengan
sendirinya (tanpa Ibu) dari dalam bunga teratai yang tumbuh di dalam Dewa
Wisnu pada saat penciptaan alam semesta. Legenda lain mengatakan bahwa Dewa
Brahma lahir dari air. Di sana Brahman menaburkan benih yang menjadi telur
emas. Dari telur emas tersebut, lahirlah Dewa Brahma Sang pencipta. Material
telur emas yang lainnya menjadi Brahmanda, atau telur alam semesta. (lihat
http:/id.wikipedia.org/wiki/Metafisika)
[15] M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, (Otto Harrasso-witz,
Wiesbaden, 1963), Vol. One, Book I, p. 39-40 dalam Ismail Raji Al-Faruqi,
Tauhid,. p.50
[16] Ibid, p. 51
[17] Mudhofir Abdullah, Al-Quran dan Konservasi .,, p. 150

[18] Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid,. p.57

[19] QS. Al-Qamar:49 dan QS. Fathir: 43


[20] Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid,. p.57-58
[21] Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran (Minneapolis, Chicago:
Bibliotheca Islamica, 1980, p.7
[22] QS. Ali Imron: 191
[23] Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid,. p.58

Daftar Pustaka

- Abdullah, Mudhofir. 2010. Al-Quran da Konservasi Lingkungan. Jakarta: PT.


Dian Rakyat
- Al-Faruqi, Ismail Raji. 1988. Tauhid. Bandung: Pustaka
- Fauzan, Sholih bin. 2008. Aqidah Tauhid. kairo: Daarul Kautsar
- Lamya, Lois dan Ismail Raji Al-Faruqi. 1986. The Cultural Atlas of
Islam.New York: Macmillan Pub. Co.
- Mandzur, Ibnu. 2003 Lisanul Arab, cetakan ketiga. Kairo: Daarul Hadits
- Rahman, Fazlur. 1980. Major Themes of The Quran. Minneapolis, Chicago:
Bibliotheca Islamica
- Sharif, M.M. (ed.). 1963. A History of Muslim Philosophy, Vol. One, Book I.
Otto Harrasso-witz, Wiesbaden

Anda mungkin juga menyukai