Kelompok 4
Riwayat:
K.U.
K.P. Sakit
Kencing keruh
• Kedua kelopak mata sembab tenggorokan 1
seperti air cucian
• Panas minggu yang
daging
• Nyeri dada kiri hilang timbul, durasi + 10 lalu
Onset: 2 hari
menit, tidak menjalar, seperti tertindih,
berkurang saat istirahat. Onset: + 9 hari
• Berdebar debar, lemas, keringat dingin,
cepat lelah, batuk sering pada malam hari,
RIWAYAT KELUARGA
07
25x25 m2 lingkungannya padat penduduk, rumah terbuat dari kayu,
beratapkan sirap. Jumlah kamar 2 kamar, jendela (+), ventilasi (+)
sinar matahari tidak masuk ke rumah, kamar mandi dan WC
berada di dalam rumah, sumber air dari air pompa listrik dan air
minum dari air sumur pompa listrik yang direbus sampai mendidih.
Sebelum dan sesudah makan jarang mencuci tangan
menggunakan sabun. Ayah seorang perokok dan di rumah sering
menggunakan obat nyamuk bakar.
PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan umum : tampak sakit berat, lemas, sesak.
• Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15
• Tanda Vital :
1.Tekanan darah : 90/60 mmHg
2.Nadi : 108 kali/menit, regular, tidak kuat angkat, isi kurang.
3.Suhu : 37,1°C
4.Pernapasan : 26 kali/ menit
• Kulit : warna kulit cokelat, sianosis (-), eritema marginatum (-), turgor
kembali cepat, kelembapan cukup, pucat (-), patekie (-)
KEPALA
PEMERIKSAAN FISIK KEPALA
Rambut
Rambut berwarna hitam, tipis, tidak mudah
tercabut, distribusi merata.
Kepala
Mesocepal
Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), diameter pupil 3 mm/
3 mm, isokor, refleks cahaya +/+ langsung
tidak langsung, mata cekung (-)
Telinga
Telinga simetris, sekret (-), serumen
minimal, nyeri pada telinga (-)
KEPALA
PEMERIKSAAN FISIK KEPALA
Hidung
Hidung normal, nafas cuping hidung (-),
epistaksis (-), sekret (-)
Mulut
Mulut normal, pucat, sianosis (-) mukosa bibir
kering (-) , tidak ada pembengkakan, gusi
berdarah (-) , lidah normal, tampak kotor, tidak
tremor, warna kemerahan pada sisi lidah kiri
maupun kanan, tonsil faring hiperemi (-)
Leher
Pembesaran KGB (-) , kaku kuduk (-) ,
massa (-) , peningkatan JVP (-)
Thoraks
PEMERIKSAAN FISIK THORAKS
PARU
• Inspeksi : simetris, retraksi (+) di in-
terkostal, bentuk simetris, inspirasi
dan ekspirasi tidak memanjang, tidak
ada ketinggalan gerak, jenis perna-
pasan torako-abdominal.
• Palpasi : fremitus taktil kanan kiri
sama, fremitus fokal kanan kiri sama
• Perkusi : sonor pada kedua lapang
paru
• Auskultasi : terdengar suara napas
vesikuler, tidak ada ronkhi, tidak ada
wheezing.
ABDOMEN
• Inspeksi : Datar, bising usus normal, hepar
dan lien tidak teraba, tidak ada teraba
massa lainnya, ascites (-), nyeri tekan (-)
• Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada
edema, capillary refill time < 2’’, hiperpig-
mentasi (-) ulserasi (-)
• Genitalia : Tidak ada kelainan
• Anus : Tidak ada kelainan
JANTUNG
• Inspeksi : iktus kordis terlihat ICS V
• Palpasi : Teraba pada ICS V linea mediana
• Perkusi : batas atas pada ICS II parasternalis
sinistra, batas kanan pada ICS IV parasternalis
dextra, batas kiri pada ICS V linea mediana.
• Auskultasi : S1-S2 tunggal, regular, tidak ada
gallop, murmur (+) sistolik, bising (+) di area
katup mitral, bising derajat 3-4, punctum mak-
simum di apek jantung.
Urinalisis
Warna : kuning tua keruh
Berat Jenis : 1020 ( N : 1.003-1.030)
pH :6
Albumin :-
Protein : + + (Proteinuria)
Hematologi
Hemoglobin : 11 g/dL
Eritrosit : 3,75 juta (N : 4-6,9 juta)
Leukosit : 19060 /uL
Hematokrit : 30,7 % ( N : L= 40-54%, P= 36-
47%)
Trombosit : 204.000 /uL
EKG
Faktor host→→ genetik marker gen HLA kelas II berpotensi dalam perkembangan
penyakit DR dan PJR
HLA kelas II terletak pada kromosom 6 dalam control imun respon→berperan pada reseptor sel
T akan memicu sistem imun.
HLA-DR7 berhubungan pada lesi valvular
Respon abnormalitas dari imun→→ 1. urutan asam amino yang identik, 2. urutan
asam amino yang homolog namun tidak identik, 3. epitop pada molekul yang
berbeda
Epitop berada di dinding sel, membran sel, dan protein M dari Streptococcus memiliki
struktur imunologi sama dengan myosin, tropomyosin, aktin, keratin, laminin pada
manusia
Laminin protein mirip myosin dan protein M yang ada pada endothelium jantung→aktivasi
sel T anti myosin dan anti protein M
Lesi valvular pada demam rematik
dimulai pembentukan verrucae yang
disusun fibrin dan sel darah terkumpul
di katup jantung→inflamasi mereda
terbentuk jaringan parut→serangan
berulang→kerusakan korda tendinea
Pemendekan dan penebalan korda
tendinea menyebabkan terjadinya
insufesiensi (kebocoran) katup mitral
Peningkatan volume yang masuk dan
inflamasi ventrikel kiri →atrium kiri
akan berdilatasi
Peningkatan tekanan atrium kiri→
kongesti paru
Kelainan lain regurgitas katup aorta akibat
sclerosis katup aorta menyebabkan
regurgitasi darah ke ventrikel kiri →dilatasi
dan hipertrofi ventrikel kiri
Stenosis (penyempitan) katup
mitral→fibrosis pada cincin mitral,
kontraktur daun katup, korda dan
m.papillaris
Stenosis → peningkatan tekanan dan
hipertrofi atrium kiri →dan hipertensi vena
pulmonal →kelainan jantung kanan
PATOFISIOLOGI
TANDA DAN GEJALA
Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit
kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan
pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit
perut dan muntah.
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah
kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian
seperti gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi
Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-5 minggu
sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan pernah mengalami
sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan, sakit
kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat.
Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit, peningkatan
iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan neuropsikiatri
autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever
sebelumnya.
b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria
ini membagi gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus betahemolyticus grup A hasilnya
positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A
c. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Reaktan Fase Akut
Rapid Test Antigen Streptococcus
Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kultur tenggorok
Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pemeriksaan Ekokardiografi
d. Dasar Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan Kriteria Jones (Revisi 1992). Ditegakkan bila
ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor, ditambah
dengan bukti infeksi streptokokus Grup A tenggorokan positif + peningkatan titer
antibodi streptokokus
Tatalaksana
Tatalaksana komprehensif pada pasien dengan demam rematik meliputi:
Pengobatan manifestasi akut, pencegahan kekambuhan dan pencegahan
endokarditis pada pasien dengan kelainan katup.
Pemeriksaan ASTO, CRP, LED, tenggorok dan darah tepi lengkap. Ekokardiografi
untuk evaluasi jantung.
Antibiotik: penisilin, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bagi pasien
dengan alergi penisilin.
Tirah baring bervariasi tergantung berat ringannya penyakit.
Anti inflamasi: dimulai setelah diagnosis ditegakkan:
Bila hanya ditemukan artritis diberikan asetosal 100 mg/kgBB/hari sampai 2 minggu,
kemudian diturunkan selama 2-3 minggu berikutnya.
Pada karditis ringan-sedang diberikan asetosal 90-100 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4-6
dosis selama 4-8 minggu bergantung pada respons klinis. Bila ada perbaikan, dosis
diturunkan bertahap selama 4-6 minggu berikutnya.
Pada karditis berat dengan gagal jantung ditambahkan prednison 2 mg/kgBB/hari
diberikan selama 2-6 minggu.
Tatalaksana
1. Terapi Antibiotik
A. Profilaksis Primer
B. Profilaksis Sekunder
2. Terapi Inflamasi
Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan
kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid.
Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik
dengan aspirin dan terus mengalami perburukan
Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari, setelah mencapai
konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi 60-70
mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin bisa
digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone
dengan dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu,
diberikan 1 kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan
20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang mengancam nyawa,
terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi
terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.
3. Terapi Gagal Jantung
4. Diet dan Aktivitas
5. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus
mengalami perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang
agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk
mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk
menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik, dengan
disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat,
juga memerlukan tindakan intervensi
Faktor Risiko
Penyakit Jantung Rematik
oPenyakit demam rematik (jaringan ikat, terutama sendi, kulit, jantung,
dan otak)
oAnak berusia 5-15 tahun
o Infeksi tenggorok yang tidak di obati atau penangaan yang lambat
oTingkat sosial ekonomi
oLingkungan yang padat
Komplikasi PJR
Gagal jantung
Emboli paru
Hipertensi pulmonal
Pencegahan PJR
Pencegahan primer menjaga kebersihan, makan makanan bergizi
seimbang, mencegah infeksi secara umum.
Pencegahan sekunder ada pasien PJR diberikan selama sekurang-kurangnya
10 tahun, karena pada periode inilah kemungkinan terjadi reaktivasi paling
besar. Profilaksis sekunder yang efektif mencegah serangan berulang
DR/PJR hingga dapat mencegah perburukan status jantung.
Sumber : Sari Pediatri, Vol. 14, No. 3, Oktober 2012
Pencegaha Primer : pencegahan infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup
A sehingga tercegah dari oenyakit demam reumatik.
Pencegahan sekunder : yaitu upaya mencagahan infeksi Streptokokus
hemolitik Grup A pada bekas pasien demam reumatik.
1. nephritis associated plasmin receptor (napℓr) napℓr dapat diisolasi dari streptokokus grup A
yang terikat dengan plasmin. Antigen nefritogenik ini dapat ditemukan pada jaringan hasil
biopsi ginjal pada fase dini penderita gnaps.ikatan dengan plasmin ini dapat meningkatkan
proses inflamasi yang pada gilirannya dapat merusak membran basalis glomerulus.
1. soluble antigen-antibody complex kompleks imun terjadi dalam sirkulasi napℓr sebagai
antigen dan antibodi anti napℓr larut dalam darah dan mengendap pada glomerulus..
2. insitu formation : kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena antigen
nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted antigen. teori insitu formation lebih berarti
secara klinik oleh karena makin banyak humps yang terjadi, makin lebih sering terjadi
proteinuria dengan prognosis buruk.
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wpcontent/uploads/2017/03/
Konsensus-Glomerulonefritis-Akut.pdf
patofisiologi GNAPS
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang
menyebabkan filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran
darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan
menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%.
Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus
proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan tubulus
distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na,
sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air.
Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan
air didukung oleh keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses
radang di glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin
intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na
dan air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek
proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema
lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan
ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik
hormon (ADH) tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi pada
GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat.
Diagnosis GNAPS
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada umumnya
kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
Gejala-gejala klinik :
1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown case
dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang merupakan
gejala-gejala khas GNAPS.
2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa adanya torak
eritrosit, hematuria & proteinuria.
3. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß hemolitikus grup
A.
4. Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin
(hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan penderita
GNAPS
SUMBER : IKATAN DOKTER ANAK Indonesia (JURNAL)
TANDA DAN GEJALA GNAPS
GEJALA KLINIK :
GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang
pada usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS
melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi)
dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada
pioderma.
Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui
ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar
31,6%.1
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai
gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk
simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui
bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang
disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.
GNAPS simtomatik
PERIODE LATEN
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode
1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan
periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di
bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka
harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari
glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein
atau Benign recurrent haematuria.
EDEMA
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna
(edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik.
HEMATURIA
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, sedangkan
hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian
multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%.
-Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau
berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu
pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai
beberapa minggu.
GEJALA KARDIOVASKULAR
seperti edema paru dan merupakan gejala paling sering terjadi akibat bendungan sirkulasi.
GEJALA LAIN
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia. Gejala pucat
mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik
yang berlangsung lama.
Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Umumnya terjadi dalam
minggu pertama.
SUMBER : IKATAN DOKTER ANAK Indonesia (JURNAL)
Tatalaksana
Bed Rest
Terutama pada fase akut (minggu pertama), minggu kedua
tidak dianjurkan (tetapi tidak boleh beraktivitas berat)
Lama perawatan disesuaikan kondisi medis. pada
proteinuria dan hematuria mikroskopik yang belum hilang,
dapat dipulangkan setelah 10 – 14 hari perawatan.
Dengan syarat tidak ada komplikasi lain
Bila masih ada kelainan lab urin, dapat dilakukan
pengamatan lanjut sewaktu berobat jalan
Istirahat yang terlalu lama dapat memberikan beban
psikologik dan sosial bagi anak
Terapi Antibiotik
Masih menjadi pro-kontra, berkaitan dengan ketersediaan
biakan dari apusan tenggorok yang dipengaruhi oleh
periode laten yang lama (> 3 minggu) dan penggunaan
antibiotik SMRS
Bila diberikan, pilihannya:
- amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10
hari
- jika ada alergi penisilin, berikan eritromisin 30
mg/kgbb/hari
Terapi Simptomatik
a. Hipertensi
Hiptertensi ringan istirahat yang cukup dan pembatasan cairan
Hipertensi berat dengan tanda-tanda serebral kaptopril 0,3 – 2mg/kgBB/hari
atau furosemid, atau kombinasi keduanya
Bila asupan oral baik, dapat jjuga diberikan nifedipin sublingual 0,25 – 0,5
mg/kgBB/hari, dapat diulang per 30 – 60 menit.
Pada hipertensi berat dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) klonidin
0,002 – 0,006 mg/kgBB, bisa diulang sampai 3 kali atau berikan diazoxide 5
mg/kgBB/hari per IV. Keduanya boleh digabung dengan furosemid (1 – 3
mg/KgBB)
Terapi Simptomatik lanjutan
b. Bendungan sirkulasi
pembatasan cairan, sesuaikan dengan pengeluaran.
Beri diuretik (e.g furosemid bila edema berat atau edema paru
akut), bila gagal dialisis peritoneal
https://saripediatri.org/index.php/saripediatri/article/download/
929/861
Prognosis
Bila dilakukan pengobatan dan tatalaksana yang cepat dan sesuai, prognosis pasien:
Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam : Bonam
Ad Sanationam : Bonam
Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pasien didiagnosis mengalami Penyakit Jantung Rematik
dan Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptokokus
Hipotesis diterima