Anda di halaman 1dari 25

Islam, Umat Islam dan Globalisasi

Disusun oleh : Khuria Sandiana (1011080005) Maryati (1011080093) Nissa Putri Utami (1011080028) Rudi Ertanto (1011080041) Rohyan (1011080023) Satya Fattah Ibrahim (1011080008) BKI Kelas A, Semester 1

IAIN Raden Intan Lampung


Fakultas Tarbiyah Jurusan Bimbingan Konseling
2010/2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Sebagai umat Islam kita bersifat terbuka kepada Barat sesuai dengan anjuran agam. Hal yang mendorong kita untuk menilai sifat itu adalah : (1). Kita adalah pemiliki risalah Islamiyah (global) yang datang untuk seluruh manusia diseluruh penjuru dunia. Benar bahwa kita suci kita berbhasa Arab. Rasul kita seorang Arab, dan Islam tumbuh di dunia Timur (Arab), tetapi ini bukan berarti bahwa Islam di tujukan hanya untuk bangsa tertentu, melainkan untuk segenap penduduk bumi.

Beberapa tahun sebelumnya, istilah gloablisasi sudah menggema di seluruh dunia. Kala itu seakan menjadi buah bibir setiap insan yang berfikir dan membanyangkan terwujudnya kehidupan global di era sekarang ini. Kemajuan sains dan teknologi sudah mencapai perkembangan yang sanagt pesat termasuk di negara kita Indonesia. Kini pembangunan di negara kita telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, terlebih sejak bergulirnya era reformasi hingga saat sekarang ini.

Keadaan ini tidak lain adalah disebabkan karena minimnya sumber daya manusia (SDM) dari umat Islam. Sesungguhnya kita sebagai umat Islam memiliki kekayaan sumber daya manusia cukup, tetapi di lain pihak kita masih miskin dengan sumber daya manusia, bahkan sampai saat ini kita belum memiliki tenagatenaga yang profesional

1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan dari permasalah ini adalah : 1. Apakah Globalisasai itu ? 2. Bagaimana Islam di era globalisasi ? 3. Bagaimana dampak globalisasi terhadap umat Islam ? 4. Bagaimana sikap umat Islam dalam menghadapi tantangan globalisasi ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Globalisasi Dr. Jalal Amien, seorang pakar ilmu sosial dan ekonomi mengatakan, bahwa globalisasi adalah kata yang baru, namun fenomenanya sendiri sudah lama ada. Dia melanjutkan: kita memahami globalisasi ini sebagai satu peruntuhan yang maha cepat terhadap jarak yang memisahkan antara masyarakat manusia. Baik yang berupa transportasi barang-barang, modal, manusia, ilmu pengetahuan, pemikiran, dan nilai-nilai. Maka dalam pandangan kami, hal ini serupa dengan munculnya peradaban di masa lalu.1

Globalisasi adalah terjemahan dari bahasa Perancis monodialisation yang berarti menjadikan sesuatu pada level dunia, atau perubahan dari posisi yang terbatas dan terkontrol menjadi sesuatu yang tidak terbatas (borderless) dan tidak terkontrol. Yang dimaksud dengan terbatas adalah batas-batas Negara-negara secara geografis dengan pengawasan yang demikian ketat berupa bea cukai dalam masalah pemasukan dan pengeluaran barang. Di samping juga penjagaan yang demikian ketat terhadap masuknya unsur-unsur yang dianggap berbahaya yang berasal dari luar. Baik hal tesebut berhubungan dengan masalah ekonomi, politik atau-pun budaya. Sedangkan yang dimaksud dengan tanpa batas adalah alam semesta, atau globe (bola dunia) ini.2

Masalah globalisasi ini bukan saja menyangkut seruan kepada perkembangan kapitalisme modern, namun juga seruan untuk mambangun sebuah model dan gaya hidup tertentu. Maknanya ialah di samping sebagai sistem ekonomi, globalisasi juga adalah sebuah ideologi. Sebagian penulis juga menggandengkan

1 2

Yusuf Al-Qaradhawi, ISLAM ABAD 21, 2001, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Hal. 215 Ibid, hal 216

antara globalisasi dengan Amerikanisasi. Yakni mengglobalkan karakter-karakter yang serba Amerika.3

Globalisasi juga berarti pemaksaan dominasi cultural mereka yang berdasarkan falsafah materilialistik, pragmatism, kebebasan yang sampai pada tingkatan permisif. Amerika serikat menggiring penduduk dunia untuk setuju dengan apa yang mereka inginkan melalui lecutan ancaman ataupun janji-janji palsu. Ini bias kita lihat pada International Population Conference (Konferensi Kependudukan Internasional) yang diselenggarakan di Kairo pada musim panas tahun 1994. Dalam muktamar ini Amerika serikat menginginkan agar dikeluarkan satu resolusi yang menghalalkan aborsi secara mutlak, membolehkan adanya perkawinan sejenis (homoseksual atau lesbian), membebaskan anak-anak melakukan hubungan seksual, pengakuan sah terhadap hasil pernikahan di luar perkawinan yang legal dan lain-lain, yang semuanya berseberangan secara keseluruhan sebagaimana hal itu sangat bertentangan dengan apa yang ada di dalam masyarakat kita dan telah menjadi bagian dan darah daging kehidupan mereka. Oleh sebab itulah universitas Al-Azhar menyatakan penentangannya yang demikian keras terhadap usulan ini.4

Globalisasi dalam formatnya yang sekarang ini pada ujungnya hanya akan menguntungkan Negara-negara kuat dan merugikan Negara-negara lemah. Yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin kian merana. Serta untuk kepentingan Negara-negara Utara yang kaya dan kerugian bagi Negara-negara Selatan yang miskin.5

Globalisasi yang menekankan pada privatisasi, anti intervensi negara dalam ekonomi, dan kepercayaan absolut pada mekanisme pasar ini, muncul berbarengan dengan bangkitnya paham neo-liberalisme di Amerika Serikat pada masa Presiden Ronald Reagan dan di Inggris pada masa PM Margaret Thatcher.
3 4

Ibid, hal. 217 Ibid, hal. 219 5 Ibid, hal, 221

Secara paksa agenda globalisasi ini diimplementasikan atas negara-negara berkembang lewat badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan Bank Dunia.6 Apakah globalisasi berhasil mewujudkan kemakmuran? Jawabnya iya, jika yang dimaksud adalah kemakmuran untuk negara-negara Barat. Mereka memang menikmati kemakmuran yang luar biasa. Tapi, masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga tetap hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Menurut laporan UNDP tahun 1999, seperlima orang terkaya dari penduduk dunia mengkonsumsi 86 % barang dan jasa dunia. Sebaliknya seperlima penduduk termiskin hanya mendapatkan 1 persen lebih sedikit barang dan jasa dunia.7

Dari seluruh uraian di atas, terbukti bahwa modernisasi dan globalisasi hanyalah istilah-istilah kosong yang tidak memberi kontribusi apa pun bagi dunia, khususnya Dunia Islam, kecuali hanya memberi jalan bagi imperialisme itu sendiri untuk terus mencengkeram dan mengeksploitasi dunia demi nafsu serakahnya yang tidak pernah kenyang. Kenyataan ini semakin gamblang terlihat semenjak lahirnya dominasi tunggal Amerika Serikat pasca runtuhnya Uni Soviet tahun 1991 dan munculnya agenda anti terorisme yang digalang Amerika Serikat pasca Tragedi WTC 9/11 tahun 2001.

Globalisasi menurut pandangan sebagai orang adalah melenyapkan dinding atau jarak antara satu bangsa dengan bangsa lain, dan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Sehingga semuanya menjadi dekat dengan kebudayaan dunia, pasar dunia dan keluarga dunia.

Dr. Yusuf Al-Qardhawi , mengatakan bhawa adanya persamaan antara makna globalisasi yang dipahami dunia Barat dan globaliasi yang dimaksud dengan Islam.

Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru : Peran Negara dalam Pembangunan (Yogyakarta : Tajidu Press, 2004), hal. 95-98. 7 International Forum on Globalization. 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan (Does Globalization Help The Poor?), terjemahan oleh A. Widyasmara dan AB Widyanta, (Yogyakata : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 2003).

Akan tetapi sebenarnya

ada perbedaan yang besar antara keduanya, artinya

dipahami oleh Islam mengenai globalisasi adalah sesuatu yang berdsatkan nilainilai penghormatan dan persamaan kepada sekuruh dunia (Al-Isro : 70) bahwa setiap manusia memiliki hak dan tanggung jwab yang sama dihadapan Allah SWT. Berbeda dengan pemahaman Barat mengenai globalisasi yaitu sebagai suatu keharusan untuk menguasai politik, ekonomi, kebudayaan, sosial masyarakat.

2.2. Islam dan Globalisasi Islam adalah agama global dan universal. Tujuannya adalah menghadirkan risalah beradaban islam yang sempurna dan menyeluruh, baik secara spirit, akhlak maupun materi. Didalamnya ada aspek duniawi dan ukhrawi yang saling melengkapi. Keduanya ada;ah satu kesatuan yang utuh dan integral. Universal atau globalisasi Islam menyeru semua manusia, tanpa memandang bangsa, suku bangsa, warna kulit dan deferensiasi lainya. Hal ini di jelaskan Allah Swt dalam Al-Quran. Al Qur'aan itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta Alam (QS. At Takwir : 27) Semenjak abad ke 7, Nabi Muhammad SAW, sudah menerapkan globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya Ketika beliau mengerim utusaan

membawa suart-surat beliau kepada para raja dan para pemimipin di berbagai negara tetangga. Diantara para raja dan pemimpin itu adalah raja Romawi dan dan kisra persia.

Dengan demikian, ketika wafat maka seluruh bagsa arab sudah mampu meneruskan globalisasi yang telah dirintis oleh Beliu. Perlu dipahami bahwa blobalisasi Islam berangkat dari kesatuan antara tatarn konseptual dan tataran aktual dan ini merupakan salah satu keistimewaan Islam.

Menurut Fathi Yakan, globalisasi Isalm memiliki keistimewaan-keistimewaan yaitu : 1. Memiliki keseimbangan antara hak dan kewajiban 2. Membangun suatu masyarakat yang adil dan memiliki kekauatan 3. memiliki landasan atau konsep kesetaraan manusia tanpa deskriminasi, baik status, sosial, ernis, kekayaan, warna kulit dan sejenisnya 4. Menjadikan musyawarah sebagai landasan sistem politik 5. menjadikan Ilmu sebagai kewajiban bagi masyarakat untuk

mengemabangkan bakat-bakat kemanusiaan

Globalisasi Islam adalah proses mengglobalisasikan nilai-nilai universal seperti toleransi, kebersamaan, keadilan, kesatuan, musyawarah dan lain-lai. Islam

sebagai agama samawi yang turun dari Allah Swt dan bukan merupakan buah pikiran manusia semata, dengan demikian aturan-aturan Islam terperinci dengan jelas dalam Al-Quran dan Hadits. Seiring dengan perkembangan zaman, agama Islam semakin berkembang keseluruh penjuru dunia dengan cara perdagangan, perkawinan dan lain-lain.

Melihat strategi yang dicangkan Barat dalam isu Globalisasi sungguh amat busuk. Mereka mempunyai agenda terselubung dalam mengkikis habis ajaran Islam yang di anut bangsa Timur. Penyebaran itu mereka lakukan melalui penyebaran modern yang dapat mengirim informasi

informasi dengan sistem teknologi keseluruh penjuru dunia.

Melalui jalur ini mereka menguasai publik opini yang tidak jarang berisikan serangan, hinaan, pelecehan dan hujatan terhadap Islam dan mengesankan agam Islam sebagai teroris. Perang yang mereka lancarkan bukan hanya perang senjata namun juga perang agama. Mereka berusaha meracuni dan menodai kesucian Islam lewat Ediologi sekuler, politik, Ekonomi, sosial budaya, teknologi, komunikasi, keamanan dan sebgainya. Secara berlahan-lahan tapi pasti mereka menggerogoti Islam dari dalam dan tujuan akhirnya adalah melenyapkan Islam dari Muka bumi .

Di Indonesia, globalisasi dan liberalisasi makin jauh masuk utamanya melalui LOI (Letter of Intent) tahun 1998 yang ditandatangani bersama oleh Soeharto, presiden Indonesia ketika itu, dan Camdessus, mewakili IMF menyusul krisis moneter yang melanda Indonesia. Diantara butir LOI adalah penghapusan subsidi, privatisasi dan liberalisasi. Beberapa butir penting itu kini sudah dilaksanakan. Subsidi pupuk dihapus, begitu juga BBM yang membuat kedua komoditas strategis itu melambung terus harganya. Tentu saja rakyat sangat menderita karenanya. Bersama dengan liberalisasi sektor migas yang dilakukan melalui UU Migas tahun 2001 yang memuat pasal penghentian peran monopoli Pertamina mulai tahun 2005 ini, penghapusan subsidi itu ternyata berujung pada masuknya perusahaan asing di dalam bisnis migas di Indonesia. Artinya, melalui tangan IMF dan para kompradornya di dalam negeri Indonesia, kapitalis global bisa masuk dengan legal dan leluasa untuk menghisap kekayaan Indonesia. Apa yang akan kita katakan bila itu bukan merupakan penjajahan atau imperialisme ekonomi?

Contoh lain dari dari makin merasuknya paham neo liberal ke tubuh ekonomi Indonesia adalah UU No 7 Tentang Sumber Daya Air (SDA) tahun 2004. UU itu dalam banyak pasal membuka peluang terjadinya privatisasi sektor air, sekaligus memungkinkan pengalihan fungsi air secara fundamental dari fungsi publik yang bersifat sosial menjadi fungsi komoditas yang bersifat komersial. Maka, bersama dengan berbagai komponen umat Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) pada 29 April 2005 di Jakarta, HTI mengadakan diskusi publik dan demo besar bertema Menolak Liberalisasi Air dalam UU Sumber Daya Air. FUI sepakat bahwa UU tersebut harus ditolak dan diganti dengan pengaturan yang sesuai dengan syariah Islam yang mampu mempertahankan hak dasar rakyat atas air dan memungkinkan pengelolaan air secara adil.

Proses globalisasi ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan nilai-nilai agama. Realitas ini mendapat respon yang cukup beragam dari kalangan pemikir dan aktivis agama. Agama sebagai sebuah pandangan yang terdiri dari

berbagai doktrin dan nilai memberikan pengaruh yang besar bagi masyarakat. Hal ini diakui oleh para pemikir, antara lain Robert N. Bellah dan Jose Casanova, mereka mengakui pentingnya peran agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat dunia. Dalam konteks ini agama memainkan peranan yang penting di dalam proses globalisasi. Agama bukan hanya pelengkap tetapi menjadi salah satu komponen penting yang cukup berpengaruh di dalam berbagai proses globalisasi. Karena begitu pentingnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, maka perlu kiranya kita memahami sejauh mana posisi agama di dalam merespon berbagai persoalan kemasyarakatan.8

2.3. Dampak Globalisasi Terhadap Umat Islam Sebagaimana telah kita ketahui, era globalisasi ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, transportasi dan informasi yang sedemikian cepat. Kemajuan di bidang ini membuat segala kejadian di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain dapat kita ketahui saat itu juga, sementara jarak tempuh yang sedemikian jauh dapat dijangkau dalam waktu yang singkat sehingga dunia ini menjadi seperti sebuah kampung yang kecil, segala sesuatu yang terjadi bisa diketahui dan tempat tertentu bisa dicapai dalam waktu yang amat singkat.9 Dengan adanya globalisasi ini telah menimbulkan banyak sekali akibat yang sangat buruk dan tidak akan mungkin dapat dilupakan oleh sejarah umat manusia. Mulai dari penghisapan kekayaan alam negara-negara terjajah secara semenamena hingga tewasnya jutaan manusia yang tak berdosa akibat ulah negara-negara kapitalis penjajah biadab 8, termasuk tragedi kemanusiaan yang terjadi di Irak saat ini akibat invasi brutal Amerika Serikat bulan Maret 2003.10

Bachtiar Effendi, Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan, hal. 5 9 Yusuf al-Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, (terj.), Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, hal. 21-23 10 Suparman dan Sobirin Malian, Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika, Yogyakarta : UII Press, 2003, hal. X.

10

Pembangunan di negara kita juga telah mencapai kemajuan yang demikian pesat, terutama sejak bergulirnya era reformasi hingga sat ini, karena, seiring dengan itu Marilah kita umat Islam secara bersama-sama ikut ambil bagian dengan cara aktif, terutama dalam pembangunan mental spritual, agar umat Isalmv tidak sekedar maju dalam segi pisik saja, namun juga kokoh mentalnya, tidak mudah terjebak dalam pemikiran yang rusak.

Dalam abad teknologi modern sekarang ini, manusia telah diruntuhkan eksistensinya sampai ketingkat mesin akibat pengaruh globalisasi. Roh dan kemanusian manusia telah diremahkan bigitu rendah. Manusia adalah mesin yang dikendalikan oleh kepentingan pinacial untuk menuruti arus hidup yang materialistis dan sekuler. Globalisasi adalah merupkan gerakan yang telah dan sedang di lakukan oleh negara-negara Barat sekuler untuk secara sadar atau tidak, akan menggiring kita pada kehancuran peradaban. Sebagaimana telah kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara langsung maupun melalui media cetak dan elektronik, mulai dari perilaku, gaya hidup, norma pergaulan dan kehidupan yang dipraktikan oleh orang-orang Barat akhir-akhir ini semakin menjurus pada kemaksiatan. Apa yang mereka suguhkan snagt berpengaruh terhadap pola pikir umat Islam.

Tidak sedikit dari orang-orang Islam yang secara berlahan-lahan menjadi lupa akan tujuan hidupnya, yang senantiasa untuk ibadah, berbalik menjadi malas ibadah dan lupa akan Tuhan yang telah memberikannya kehidupan. Akkbat pengaruh modernisasi dan globalisasi banyak manusia khususnya umat Islam yang lupa bahwa sesungguhnya ia diciptakan bukan sekedar ad, namun ada tujuan mulia yaitu biribadah kepada Allah SWT. Di zaman sekarang ini, tidak sedikit dari umat slam yang lemah Iman, karena telah salah kepada dlam menyikapi isu globalisasi, mereka seakan-akan

kedatangan tamu istimewa, tamu pujaan hati yang telah lama di agung-agungkan.

11

Sehingga di dalam bayangan mereka, globalisasi adalah segala-galanya dan merupakan puncak dari modernisasi, pada hal ia sesungguhnya adalah tipu daya dari bangsa Barat belaka yang sengaja menjerat dan akan menjerumuskan umat Islam. Nasib Islam modern atau globalisasi ini sangat di tentukan oleh sejauh man kemampuan umat Islam merepon secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah terjadi di era ini (era globalisasi)11.

Umat manusia telah terbentuk sebagaimana produk industri itu sendiri tidak ada lagi ke unikan, yang ada hanyalah kekauan yang seragam sehingga secra sadar atau tidak sadar manusia berlangsun-angsur kehilangan asas kemerdekaanya, padahal itulah yang dijadikan tumpuan bagi ilmu pengetahuan dan teknologi12

Dengan adanya globalisasi ini membawa dampak positif

dan negatif bagi

kepentingan bangsa dan umat Islam. Dampak positif misalnya makin mudahnya memperoleh informasi dari luar sehingga dapat membantu menemukan alternatifalternatif baru dalam usaha memecahkan masalah yang dihadapi. Misalnya,

melalui internet kita dapat menakses informasi-informasi yang dibutuhkan. Dibidang ekonomi, perdagangan bebas antara negara beraarti makin terbukanya pasar dunia bagi produk-produk, baik berupa barang atau jasa.

Dalam kaitannya dengan umat Islam di Indonesia , dampak negatif yang paling nyata adalah terbentuknya nilai-nilai asing yang masuk lewat berbagai cara. Dengan nilai-nilai agama yang di anut oleh sebagian besar bangsa kita, mengingat agama Islam adalah agama yang berdasarkan hukum (syariah), maka pembenturan nilai itu akan sangat terasa di bidang syariah ini.

Globalisasi informasi telah membuat umat kita mengetahui praktik hukum (terutama hukum keluarga) di negeri lain, terutama di negri maju yang sebagian sama dan sebagia lagi berbeda dari hukum Islam
11 12

Kahmad Dadang, Sosiologi Agama, 2006, Bandung : PT. Remaja Rosadakarya, hal. 304 Ibid, hal. 96

12

2.4. Sikap Umat Islam dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi Menghadapi era globalisasi, sikap kaum muslim bisa dikatakan terbagi menjadi beberapa macam yaitu ; 1. Mengikuti secara mutlak, mereka meyakini bahwa apa yang ada di balik globalisasi dan semua hal yang berbau westernisasi adalah sebuah standar edial yang perlu untuk di tiru. Sikap seperti inilah yang akan menenggelamkan umat Islam dari peredarannya. 2. mereka yang menolak secara keseluruhan. Golongan ini lah yang diistilahkan oleh Prof. Dr Yusuf Qaedawi sebagai kelompok penakut. Mereka takut untuk berhdapan secara langsung dengan peradaban Barat. Hal ini dinlai tidak Fair karena dianggap lari dari kenyataan yang ada. Mereka menutup pintu rapat-rapat terhadap hembusan angin globalisasi karena takut terkena debu dan polusi peradaban padahal sejatinya mereka membutuhkan udara. 3. golongan moderat (berada di tengah-tengah). Golongan inilah yang menjadi cerminan sikap ideal seorang muslim. Mereka sadar bahwa menutup diri serta mengisolasi diri dari dunia luar hanyalah usaha yang sia-sia belaka dan tidak berguna. Mereka meyakini bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan kemajuan zaman.

Pertanyaan yang selanjutnya yang mengemukan adalah tentang masa depan umat Islam. Setidaknya ada dua prediksi yaitu : 1. pesimistik, sikap ini muncul karena melihat realita yang ada dalam tubuh umat Islam sekarang. Dimana untuk ukuran perkembangan sains dan teknologi umat Islam berada dalam posisi yang paling bawah. Permasalah umat Islam saat ini semakin kompleks. Terjadinya kesenjangan sosial, keterbelakangan HAM tealh begitu memperhatinkan 2. optimesme, sikap ini didasari pada pengamatan sejarah, dimana kita mengukir kejayaan dimasa lampau, dengan sikap ini, mereka meyakini

13

bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar dan bergantian diantara manusia.

Sebagai umat Islam, kita berkewajiban untuk berjuang dan menjunjung tinggi agama Islam Ada beberapa tawaran alternatif :
1. mengembalikan keadaan umat Islam yang selama ini tertidur 2. bersikap inklusif terhadap budaya luar, karena sikap mengisolasi diri

adalah sikap yang bertentangan dengan ajaran Islam. Al-Quran surat AlHujarat ayat 13 Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

3. Berpegang teguh pada ajaran Islam sebgai sumber isprirasi peradaban dan yang terpenting adalah merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari

Globalisasi bagi umat Islam tidak perlu diributkan, diterima ataupun di tolak, namun yang paling penting dari semua adalah seberapa besat peranan Islam dalam menata umat manusia menuju tatanan dunia baru yang lebih maju dan beradab. Bagi kita semua, ada atau tidaknya istilahglobalisasi tidak menjadi masalah yang penting ajaran Islam sudah benar-benar diterima secara globa, secara manusaiwi oleh segenap umat manusia, diterapkan dalam kehidupan masing-masing pribadi, dalam berkeluarga, bertetangga, bermasyrakat, berbangsa dan bernegara.

Sebagai umat Islam hendaknya nilai modern jangan kita ukur dari moderennya, pakaiannya, perhisan dan penampilannya namun modern bagi umat Islam adalah modern dari segi pemikiran, tingkah laku, pergaulan, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial budaya, politik dan ekinomi.

14

2.5. Berbagai Paradigma Islam dalam Menghadapi Globalisasi Pada mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus transendental yang didominasi kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiaptiap masyarakat pada masanya. Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi sosioekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan nonlinier ini kemudian membentuk beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk paradigma yang sekarang ada dalam umat Islam. Perspektif ini hampir berlaku pada setiap agama. Demikian pula dengan Islam yang berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya yaitu akidah, syariah dan akhlak. Dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya. 13 Sejalan dengan perubahan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini ada dua paradigma fundamental yang berkembang di kalangan umat Islam dalam menghadapi globalisasi yaitu : 1. Paradigma Konservatif Paradigma pertama ini adalah paradigma yang cenderung bersifat konservatif, yang memposisikan Islam sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasaannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai

13

Harun Nasution, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet. V, 1985, hal. 11-14

15

dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan. Demikian pula dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk dijadikan acuan hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Alquran dan hadis. Oleh karenanya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam. Dalam kategori sosiologis Islam seperti di atas, menurut Ali Syariati (1933-1977), Islam hanya menjadi kumpulankumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat kolektif suatu kelompoknya. Ia berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktikpraktik dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiasaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini sering pula disebut paradigma konservatif. Bagi orang-orang Islam berpaham konservatif ini, ketidakberubahan

(unchangingness) merupakan suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta merupakan suatu persepsi hakikat manusia dan lingkungannya. Ketidakberubahan merupakan asumsi berpengaruh luas yang mewarnai hampir seluruh aspek pemahaman kelompok ini. Doktrin ketidakberubahan, baik sebagai fakta maupun sebagai cita-cita, barangkali bermula dari pengalaman kehidupan nomadik bangsa Arab, yang mengakibatkan timbulnya paham bahwa keselamatan terletak pada upaya mengikuti jejak para leluhur. Bangsa nomad Arabia tentu saja menyadari perubahan. Suku-suku berhasil dan berkembang semakin meningkat, lalu mengalami nasib pahit, mundur dan terkadang lenyap sekaligus. Namun variasi perubahan seperti itu tidak berarti bahwa pada dasarnya kehidupan mengalami

16

perubahan. Dengan demikian, lebih baik melakukan apa-apa yang telah dilakukan nenek moyang sebab dalam banyak hal, cara itu membuahkan hasil yang memuaskan. Iklim Arabia itu tidak menentu dan tak teratur sehingga orang nomad tidak dapat menghindari bencana dengan membuat rencana-rencana cermat, tetapi terpaksa membiasakan diri menerima apa saja yang terjadi pada dirinya.14 Corak berpikir seperti itu mengakibatkan doktrin mengikuti jejak leluhur menjadi opini paling kuat. Segala yang baru pasti akan dicurigai. Dalam teologi Islam, kata yang lazim dipakai untuk hal baru ialah bidah. Berlandaskan corak pemikiran tersebut akhirnya kelompok Konservatif pun memandang bahwa globalisasi adalah unsur yang sangat mengancam bagi keberlangsungan nilai-nilai Islam. Bentuk pemahaman konservatif ini dapat dilihat melalui pemahaman kelompok ini di dalam memahami hubungan agama dengan negara. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut paham ini pada umumnya berpendirian bahwa : (1). Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. (2). Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi besar Muhammad dan oleh empat al-Khulafa al-Rasyidin.15 Melihat pemahaman tersebut dapat kita mengerti bahwa kelompok ini, sebagaimana telah penulis jabarkan di atas cenderung memposisikan Islam

14

William Montogomery Watt, Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet. I, 2003, hal. 11-15 15 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi kelima, 1993, hal. 1

17

sebagai agama yang serba lengkap, sehingga doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang ada tidak dapat bersentuhan dengan wacana keilmuan selain Islam. 2. Paradigma Liberal Paradigma kedua adalah paradigma yang bersifat antagonistik dengan paradigma konservatif. Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Unsur-unsur sosial selain Islam dalam hal ini menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat. Dalam dimensi teologi paradigma ini mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Paradigma ini berpendirian bahwa walaupun Islam memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama tapi harus dilakukan banyak dekonstruksi terhadap pemahaman doktrin tersebut melalui pengembangan wacana keilmuan yang dapat diperoleh pada sumber-sumber eksternal. Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, dimensi teologi yang mereka ajukan justru menginginkan konsistensi

menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Mereka lebih menekankan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, sehingga terkadang melampaui garis-garis larangan demi mewujudkan teologis humanisnya. Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum melalui pemahaman yang cenderung terlalu

kontekstual, sehingga terkadang mengabaikan tekstualitas dan latar belakang munculnya doktrin-doktrin agama. Mereka juga mengajukan berbagai wacana tentang perlunya tafsir ulang terhadap al-Quran dan hadis. Paradigma pemikiran yang cenderung sangat liberal ini sering diistilahkan dengan paradigma liberal.

18

Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa "mazhab" liberal ini sebenarnya berakar pada ide demokrasi. Pemikiran-pemikiran lain sebagai derivatnya akan terlihat sangat bertumpu di atas paham demokrasi ini; seperti gagasan pemisahan negara dengan agama, hak-hak wanita dalam kepemimpinan politik dan kekuasaan, kebebasan penafsiran teks-teks agama, kebebasan berpikir dan berpendapat, toleransi beragama, dialog dan keterbukaan antar agama, pluralisme, demokrasi religius, dan lain-lain. Pemikiran mengenai hubungan negara dengan agama (Islam) merupakan persoalan krusial yang paling banyak mendapat penolakan dan tantangan dari pengusung Islam liberal. Argumentasi yang sering dipakai: (1) Negara Islam tak pernah dikenal dalam sejarah; (2) Negara adalah kehidupan duniawi, berdimensi rasional, dan kolektif; sedangkan agama berdimensi spiritual dan pribadi; (3) Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari Islam; (4) Islam tidak mengenal konsep pemerintahan definitif, misal dalam suksesi kekuasaan; (5) Rasulullah Muhammad hanya menjadi penyampai risalah, tidak mengepalai suatu institusi politik; (6) Al-Quran dan Sunnah tidak pernah menyebut, "Dirikanlah negara Islam!" dan sebagainya. Penolakan gagasan ini, pada akhirnya mengantarkan pada penerimaan secara total atas ide demokrasi dalam urusan kekuasaan,politik, dan pemerintahan. Konsekuensi berikutnya, menolak

kebolehan seorang wanita terlibat dalam urusan kekuasaan adalah bertentangan dengan prinsip demokrasi. Menolak keterlibatan warga negara berdasarkan perbedaan prinsip agama adalah tidak sesuai dengan demokrasi. "Memasung" pikiran dan pendapat bertentangan dengan hak kebebasan dan demokrasi. Mengambil peraturan dan hukum-hukum kemasyarakatan dari satu agama saja (baca: Islam) merupakan diskriminasi atas agama lain, yang berarti sama saja dengan tidak demokratis. Kebebasan dan kebolehan beragamnya menafsirkan teks-teks agama (dalil-dalil) menjadi imbas dari gagasan liberalisasi dan kebebasan berpikir serta berpendapat. Demikianlah, semua pemikiran derivat ini akan berlindung di balik induknya: pemikiran "demokrasi."

19

Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini dalam memahami hubungan Islam dan negara berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Kelompok ini meyakini bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Berbagai penjelasan di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa di dalam pemahaman kelompok ini unsur-unsur sosial selain Islam dapat menjadi komponen yang diterima bahkan menjadi acuan penting di dalam merumuskan berbagai solusi terhadap persoalan kekinian yang dihadapi umat. Dua paradigma di atas sesungguhnya telah menjadi bagian internal Islam di Indonesia. Paradigma pertama biasanya mengakar pada kalangan kelas bawah yang belum sepenuhnya tersentuh oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di pesantren. Sementara paradigma liberal lahir dari rahim generasi muda yang cukup paham terhadap wacana Islam. Namun, juga tersentuh oleh tradisi positivisme dari barat serta memiliki motivasi kuat untuk perubahan sosial. Namun, apakah perkembangan paradigma Islam ini akan hanya berhenti di sini? Inilah sesungguhnya yang harus kita kaji secara mendalam. Yang harus diingat adalah bahwa perubahan kajian ijtihad tersebut berlandaskan aspek perubahan sosial dan mengembalikan semangat pembelaan Islam terhadap umat manusia. Oleh karena itu, pilihan baru harus segera diadakan sebab situasi kekinian telah mengubah transformasi sosial dengan adanya globalisasi. 3. Paradigma Alternatif Untuk mengintegrasikan dua kubu paradigma yang paradoks ini maka perlu kiranya dikembangkan satu paradigma alternatif, yang mungkin dapat mengkompromikan dua pandangan di atas. Sebab dengan mengkompromikan dua pandangan tersebut paling tidak kita berusaha menjembatani adanya titik temu sebagai salah satu upaya mencari konsepsi final yang paling ideal dalam Islam,

20

meski memang untuk mengejawantahkannya dalam tataran realitas bukanlah persoalan mudah. Paradigma alternatif yang coba penulis tawarkan adalah paradigma moderat yakni paradigma yang cenderung mencoba mengintegrasikan pandangan-pandangan yang antagonistik dalam melihat hubungan Islam dan persoalan kemasyarakatan. Di pihak lain, pandangan ini juga ingin melunakkan Paradigma Konservatif yang seringkali melakukan generalisasi bahwa Islam selalu mempunyai kaitan atau hubungan yang tak terpisahkan dengan masalahmasalah kemasyarakatan. Serta berusaha mengakomodasi dilakukannya

pembaruan wacana sesuai dengan diinginkan kalangan liberal dengan tetap memperhatikan nilai-nilai luhur dan keislaman. Dalam dimensi teologi paradigma ini selain mengedepankan aspek rasionalisme namun juga tidak melupakan aspek keimanan, sebab aspek keimanan ini merupakan salah satu faktor penting di dalam menyikapi berbagai persoalan kekinian. Teologi selain menjadi obyek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, tetapi juga sebagai pembimbing tindakan praksis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berbeda dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan dan kaum liberal yang terlalu humanis, paradigma ini selain berusaha memelihara nilai-nilai ketauhidan yang bersifat formalistik tetapi juga berusaha secara konsisten menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kultural dan struktural. Dalam arti nilai tauhid harus membumi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dimensi syariat, paradigma ini selain mengambil hukum-hukum Islam dari aspek nilai/substansi tetapi berusaha pula memahami secara tekstual kitab-kitab Islam lama yang dimapankan oleh kalangan konservatif. Alquran dan Hadis memang harus ditafsir ulang tetapi harus dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praksis sosialnya. Karena paradigma ini berusaha mengintegrasikan dua kubu paradigma yang antagonistik maka paradigma ini lebih cenderung penulis istilahkan dengan paradigma moderat. Karena istilah moderat cenderung pada pemahaman mencari

21

jalan tengah dari kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam sebagai agama Wasathan (moderat). Dalam melihat hubungan Islam dan negara paradigma moderat menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi kelompok ini juga menolak anggapan bahwa agama adalah dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Paradigma ini juga berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Paradigma ini tidak hanya ingin menonjolkan isu seputar konsep "Negara Islam" dan "Pemberlakuan syariat", tetapi yang paling penting bagaimana substansi dari nilai dan ajaran agama itu sendiri. Agama adalah sejumlah ajaran moral dan etika sosial, serta fungsinya mengontrol negara. Paradigma moderat berpandangan, keterlibatan agama secara praktis ke dalam negara jangan sampai memandulkan nilai luhur yang terkandung dalam agama karena agama akan menjadi ajang politisasi dan kontestasi. Di sisi lain, paradigma moderat mengampanyekan dimensi kelenturan, kesantunan, dan keadaban Islam. Islam sebagai agama penebar kasih, cinta dan sayang (rahmatan li al-alamien) harus

menjadi paradigma yang mengakar di tengah masyarakat. Hal ini penting guna meminimalisir pandangan keagamaan yang selalu berwajah sangar dan keras yang digunakan secara sistematis oleh beberapa kalangan Muslim. Hanya, yang menjadi tantangan paradigma moderat di masa datang adalah situasi global yang kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang

memungkinkan munculnya resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik nasional yang tidak memihak kaum lemah, seperti gejala penggusuran dan hilangnya pekerjaan bagi sejumlah buruh perusahaan dan pabrik. Hal-hal seperti ini akan turut menghambat kampanye paradigma moderat di tanah air. Wacana paradigma moderat akan selalu tampil ke permukaan dengan tradisi dan khazanah keagamaan yang dimilikinya. Paradigma akan kian sempurna bila mendapat "ruang publik" yang memungkinkan terwujudnya wawasan keagamaan

22

yang terbuka dan damai, yaitu kondisi obyektif yang dapat memayungi keadilan bagi tiap warga, kesetaraan bagi keragaman suku dan agama, serta kedamaian di antara pelbagai konflik horizontal yang menyelimuti masyarakat kita belakangan ini. Namun untuk merealisasikan bentuk paradigma alternatif tersebut, yang merupakan respon terhadap dua paradigma yang sudah cukup berkembang di Indonesia bukanlah persoalan mudah, tetapi memerlukan banyak upaya guna mengaktualisasikan ide tersebut. Dan juga yang harus kita sadari sepenuhnya, bahwa agama Islam telah lengkap dan komprehensif. Namun,

"kesempurnaan" Islam hanyalah sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran praksisnya -- terutama ketika era globalisasi bergerak -- Islam belumlah cukup memiliki konsepsi final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni kapitalisme. Untuk itulah kita harus senantiasa melakukan kajian mendalam dan intens guna mencari solusi dan jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat saat ini.

23

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan Dengan adanya Era Globalisasi ini kita umat Islam terutama harus bisa menghadapai dan memperkuat iman dan takwa. Kita harus menghadapi perubahan zaman yang telah kita jalani sekarang ini. Zaman moderen serba mesin yang mungkin memanjakan kita dalam setiap pekerjaan dan langkah kita.

Menurut kami kita sebagai

generasi umat Islam tidak boleh lengah dalam

menghadapi masalah modernisasi dan globalisasi, mari kita membentengi diri kita dengan ke imanan dan ketakwaan serta akhlatul karimah yang disertai dengan sumber daya yang kuat, terampil dan di dukung dengan semangat persatuan dan kebersamaan. Insyaallh kita akan di berikan kekuatan dan kemenangan oleh Allah Swt dalam membela dan mempertahankan kejayaan agama yang suci.

Kita menyadari bahwa globalisasi adalah tren sekaligus prodak sejarah yang sedang terjadi dan kita alami. Kita tidak mempunyai kekuatan untuk menolak apalagi lari dari kenyataan sejarah ini. Yang mesti kita lakukan adalah melakukan gerakan dinamis bersama arus ini yaitu dengan menjaga diri agar tidak kehilangan kendali serta jati diri.

24

DAFTAR PUSTAKA Ak-Qardhawi, Yusuf, Islam dan Globalisasi dunia, 2001. Jakarta: CV. Pustaka Al-Kausar Hakim Atang Abdul, dkk, Metodelogi Studi Islam, 1999. Bandung : PT. Remaja Rosdakaraya. Dadang, Kahmud, Sosiologi Agama, 2006, Bandung : PT. Remaja Rosadakarya Http: // baradikal. Multiply.com/ journal/item/3 Fakih Mansour, ulumul Quran, 1997. Nata, Abudin, Metode Studi Islam, 2009. Jakarta : Rajawali Pres. Rozak, Nasrudin, Dienul Islam, 1982. Bandung : PT-Al-Maarif Al-Qaradhawi, Yusuf. ISLAM ABAD 21, 2001, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Winarno, Budi. Globalisasi Wujud Imperialisme Baru : Peran Negara dalam Pembangunan, Yogyakarta : Tajidu Press, 2004. International Forum on Globalization. 2003. Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan (Does Globalization Help The Poor?), terjemahan oleh A. Widyasmara dan AB Widyanta, Yogyakata : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 2003. Effendi, Bachtiar. Masyarakat Agama dan Tantangan Globalisasi : Mempertimbangkan Konsep Deprivatisasi Agama, Makalah tidak diterbitkan. Suparman dan Sobirin Malian, Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika, Yogyakarta : UII Press, 2003. Mansour, Fakih dalam ulumul Quran, 1997. Nasution, Harun. Islam ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta : UI Press, Cet. V, 1985. Watt, William Montogomery. Fundamentalis dan Modernitas dalam Islam, terj. dari buku Islamic Fundamentalist and Modernity, Jakarta : CV. Pustaka Setia, Cet. I, 2003. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, Edisi kelima, 1993.

25

Anda mungkin juga menyukai