Anda di halaman 1dari 30

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1

Lerek (Phyrinium pubinerve Blume)


Klasifikasi Lerek

Gambar 1. Tanaman Lerek (Phyrinium pubinerve Blume)


Sumber: India Biodiversity
Kingdom
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus

: Plantae
: Magnoliophyta
: Liliopsida
: Zingiberales
: Marantaceae
: Phrynium

Spesies

: Phyrinium pubinerve
(Global Biodiversity Information Facility, 2011)
Secara luas spesies ini dapat ditemukan di sepanjang Asia Tenggara.

Tanaman ini dapat diidentifikasi dari bentuk morfologinya yang merupakan


kombinasi dari buah berwarna merah, bunga yang berbentuk menyerupai kepala
dengan keseluruhan daun, dan bunga-bunganya yang memiliki dua buah benag
sari steril di bagian luar.
2.1.2

Morfologi dan Habitat Lerek

Tanaman lerek (Phyrinium pubinerve Blume) merupakan tanaman herbal


yang berbentuk melingkar (rosulate/rosette), dengan tinggi 0,7-3,5 m. Daundaunnya tumbuh 2-3 helai dari masing-masing tunas, tepian daun (lamina) 23-82
x 9-30 cm, daunnya hanya berambut pada bagian tengah. Perbungaan ini
berkembang pada tunasnya, berdiri tegak, biasanya muncul dari tangkai daun dari
daun yang menyertainya, berbentuk bundar menyerupai kepala dengan diameter
4-8 cm, lapisan tipis (bract) menyelubungi perbungaan tersebut dengan cepat,
bunganya berpasangan 2-4. Bunga tanaman ini berwarna merah muda-putih,
dengan panjang 1,8 cm dan bagian sepal 10 mm. Buahnya berwarna merah terang,
berbentuk lonjong hingga menyerupai segitiga dengan luas permukaan 15 x 10
mm.
Tanaman ini secara luas terdistribusi di wilayah Asia Tenggara, dari India
hingga Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Semenanjung Malaysia,
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Filipina, dan Papua New Guinea/ Tanaman ini
dikenal dengan nama Onese dalam bahasa Suku Tolaki, Sulawesi (Kramadibrata,
2011)
Spesies ini dapat tumbuh secara liar di lahan basah, sekitar rawa/sungai, di
tepian jalan, atau bahkan di sekitar perkebunan karet tua (Wakur, 2013).
2.1.4

Tinjauan Zat Antioksidan dan Antibakteri Lerek


Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Ren Li et al, kandungan

senyawa kimia utama yang ada pada tanaman lerek dengan metode analisis Gas
Chromatography/Mass Spectrometry adalah (Z)-3-hexen-1-ol (17,31%), (E)-2hexenal (9,01%) dan 1-hexanol (8,61%). Tanaman ini telah sering digunakan oleh
warga pribumi sebagai tanaman pembungkus makanan yang memiliki efek
antioksidan tinggi serta antibakteri. Wilayah dengan temperatur yang tinggi
menyebabkan makanan cepat mengalami reaksi oksidasi, namun dengan teori
berbasis empiris masyarakat pribumi Asia Tenggara maupun Semenanjung
Malaysia menggunakan daun lerek (Phyrinium pubinerve Blume) sebagai
pembungkus makanan yang menurut penelitian mengandung Phytol, 2-Methoxy4-vinylphenol dan Eugenol sebagai antioksidan. Eugenol merupakan senyawa
kimia yang bersifat bakteriostatik terhadap fungi dan bakteri (Cowan, 1999).

Eugenol biasanya digunakan pada parfum, minyak esensial, dan bahan medis.
Eugenol dan isoeugenol merupakan turunan dari prekursor lignin; asam ferulat
atau alkohol koniferil (Rhodes, 2008). Selain itu, kandungan fenol pada tanaman
ini juga merupakan senyawa yang bersifat toksik terhadap bakteri.

2.2 Bakteri Staphylococcus aureus

Gambar 2. S. aureus
(Sumber: Jawetz, Melnick, & Adelbergs Medical Microbiology, 24th Edition)
Klasifikasi S. aureus
Kingdom
: Protozoa
Divisi
: Schyzomycetes
Kelas
: Schyzomycetes
Ordo
: Eubacterialos
Famili
: Micrococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Spesies
: Staphylococcus aureus (Salle, 1961)
2.2.1

Morfologi dan Karakteristik Staphylococcus aureus


Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat

(sferis) berdiameter 0,7-1,2 m, termasuk famili Micrococcaceae, memiliki


genom kromosom sirkuler sekitar 2800 kb (kilobasa), memiliki plasmid dan
transposon, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah
anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, tidak bergerak, dan telah
dikenal sejak abad ke-19 (Yuwono, 2010).

Kokus muda berwarna gram positif kuat dan pada proses penuaan bakteri
ini banyak sel menjadi gram negatif. Organisme ini mudah tumbuh pada banyak
jenis medium dan aktif secara metabolis, memfermentasi karbohidrat dan
menghasilkan pigmen yang bervariasi dari putih sampai kuning tua. Bakteri ini
tumbuh pada suhu optimum 37 C, tetapi membentuk pigmen paling baik pada
suhu kamar (20-25 C). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai
kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari
90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida
atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et al., 1995 ;
Novick et al., 2000).
Beberapa anggota dari genus Staphylococcus merupakan flora normal kulit
dan membran mukosa lainnya menyebabkan supurasi, pembentukan abses,
berbagai infeksi piogenik dan bahkan sepsis yang fatal. Stafilokok patogen sering
kali menghemolisis darah, menyebabkan koagulasi plasma, dan menghasilkan
berbagai toksin serta enzim ekstraseluler. Keracunan makanan yang paling umum
disebabkan secara global disebabkan oleh enterotoksin stafilokok yang stabil
terhadap suhu panas. Stafilokok dengan cepat menjadi resisten terhadap banyak
agen antimikroba dan menimbulkan persoalan terapi yang sulit.
Genus Stayphylococcus mempunyai paling sedikit empat puluh spesies.
Tiga spesies yang paling sering dijumpai yang mempunyai kepentingan klinis
adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus
saprophyticus. S. aureus bersifat koagulase positif yang merupakan enzim
penghancur jaringan dan yang membedakannya dari spesies yang lain. Enzim
koagulase yang dimiliki oleh bakteri patogen S. aureus bekerja sama dengan
faktor pembekuan darah menyebabkan koagulasi plasma. Koagulase berperan
dalam pembentukan dinding fibrin di sekeliling lesi stafilokokus yang membantu
bakteri ini tetap berada di dalam jaringan. Koagulase juga menyebabkan
penumpukan fibrin pada permukaan tiap stafilokok yang dapat membantu
melindungi bakteri dari fagositosis atau dari penghancuran di dalam sel fagosit.
Oleh karena itu, S. aureus seringkali disebut-sebut sebagai patogen utama
manusia. (Brooks dkk, 2013).

10

Stafilokok koagulase negatif merupakan flora normal manusia dan


kadang-kadang menyebabkan infeksi, sering berkaitan dengan alat implan seperti
protesis sendi, shunt, dan kateter intravaskular, terutama pasien-pasien yang
terlalu muda, tua, maupun immunocompromised.
Stafilokok tumbuh dengan mudah pada sebagian besar media bakteriologis
dengan kondisi aerob atau mikroaerofilik. Tumbuh paling cepat pada 37 C, tetapi
membentuk pigmen paling baik pada temperatur ruang (20-25 C). Koloni pada
media solid berbentuk bulat, halus, timbul dan mengilat. S. aureus biasanya
membentuk koloni berwarna abu-abu hingga putih pada isolasi primer; banyak
koloni menghasilkan pigmen hanya pada inkubasi yang berkepanjangan. Berbagai
tingkat hemolisis ditimbulkan oleh S. aureus dan kadang-kadang oleh spesies
lainnya, Peptostreptococcus dan Peptoniphilus sp., yang merupakan kokus
anaerob, secara morfologi sering menyerupai stafilokok. .
2.2.2

Patogenesis dan patologi Staphylococcus aureus


Sebagian bakteri Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran

pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga
ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat
invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan
manitol (Warsa, 1994).
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai
abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah
bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya
pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan
endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial,
keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994).
Staphylococcus aureus mampu menginvasi jaringan tubuh manusia dengan
menggunakan toksin dan enzim ekstraseluler yang dihasilkannya dan rendahnya
daya tahan tubuh menyebabkan infeksi mudah terjadi (Brooks dkk, 2013).
Patogenesis Staphylococcus aureus disebabkan oleh ekspresi dari faktor-faktor
virulensi yang dapat mengakibatkan lesi superfisial kulit, misalnya furunkel,

11

paronychia, dan styes, atau infeksi yang lebih serius, seperti pneumonia, mastitis,
infeksi saluran kemih, osteomielitis, endokarditis, meningitis dan sepsis. Infeksi
terjadi akibat inokulasi pada luka yang terbuka. Terkadang infeksi melalui saluran
pernapasan atas yang menyebabkan kerusakan mukosa dan menjadi predisposisi
infeksi pneumonia, biasanya terjadi satu minggu setelah onset infeksi influenza
(Liu, 2010).
Lesi oleh Staphylococcus sp menyebabkan nekrosis jaringan setempat
akibat perkembangbiakan kuman. Selanjutnya terjadi koagulasi fibrin di sekitar
lesi dan pembuluh getah bening sehingga terbentuk dinding yang membatasi
proses nekrosis. Kemudian disusul dengan serbukan sel radang, di pusat lesi akan
terjadi pencairan jaringan nekrotik, cairan abses ini akan mencari jalan keluar di
tempat yang paling kurang tahanannya. Pengeluaran cairan abses diikuti dengan
pembentukan jaringan granulasi. Sifat khas dari infeksi Staphylococcus sp. adalah
terjadinya peradangan setempat. Dari fokus ini kuman akan menyebar ke bagian
tubuh lain lewat pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga
peradangan dari vena dan thrombosis pun merupakan hal yang biasa (Brooks dkk,
2013).
2.2.3 Faktor Virulensi S. aureus
Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein,
termasuk enzim dan toksin, contohnya:

Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap
proses fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda genus
Staphylococcus dari Streptococcus. Stafilokok menghasilkan katalase yang
mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen (Ryan dkk, 1994;
Brooks dkk, 2013).

Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat,
karena adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan
enzim tersebut. Esterase yang dihaslkan dapat meningkatkan aktivitas

12

penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri


yang dapat menghambat fagositosis (Warsa, 1994).

Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona
hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa
hemolisin, beta hemolisisn, dan delta hemolisin. Alfa hemolisin adalah toksin
yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar
koloni S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan
nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang
terutama dihasilkan Stafilokok yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan
lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah
toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek
lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba (Warsa, 1994).

Eksotoksin
Toksin- adalah protein heterogen yang bekerja pada spektrum luas
membran sel eukariot. Toksin- merupakan hemolisis poten. Toksin-
mendegradasi sfingomielin dan karena itu bersifat toksik untuk banyak jenis
sel, termasuk sel darah merah manusia. Toksin- bersifat heterogen dan
mengalami disosiasi menjadi subunit-subunit di dalam detergen nonionik.
Toksin ini merusak membran biologi dan mungkin mempunyai peran pada
penyakit diare S. aureus. Hemolisin yang berinteraksi dengan dua protein
leukosidin panton-valentine mampu secara efisien melisis sel darah putih
dengan menimbulkan

pembentukan pori pada membran sel, yang

meningkatkan permeabilitas kation. Hal ini menyebabkan pelepasan masif


mediator inflamasi seperti IL-8, leukotrien, dan histamin yang bertanggung
jawab atas inflmasi berat dan nekrosis (Brooks dkk, 2013).

Leukosidin panton-valentine
Toksin S. aureus ini mempunyai dua komponen. Toksin ini dapat
membunuh sel darah putih manusia dan kelinci. Dua komponen yang dapat
disebut sebagai S dan F bekerja secara sinergis pada membran sel darah putih.

13

Toksin ini merupakan faktor virulensi penting dalam infeksi S. aureus yang
resisten terhadap metisilin yang berhubungan dengan komunitas (Brooks dkk,
2013).

Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks
mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepitelial
pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan
penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan
melepuhnya kulit (Warsa, 1994).

Toksin Sindrom Syok Toksik


Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok
toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toks in ini
menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ
dalam tubuh (Ryan dkk, 1994; Brooks dkk, 2013).

Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana
basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan
makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein
(Brooks dkk, 2013).

2.2.4

Pengobatan Staphylococcus aureus


Abses dan lesi supuratif diterapi dengan drainase yang merupakan

tindakan penting, dan terapi antimikroba. Banyak obat antimikroba mempunyai


beberapa efek terhadap stafilok in vitro. Namun. Stafilokok patogen sulit
dieradikasi dari orang yang terinfeksi, karena organisme ini secara cepat menjadi
resisten terhadap banyak obat antimikroba dan obat-obat tersebut tidak dapat
bekerja pada bagian nekrotik sentral lesi supuratif. Keadaan karier S. aureus juga
sulit dieradikasi. Agen alternatif untuk pengobatan bakteremia MRSA dan
endokarditis meliputi antimikroba yang lebih baru, seperti daptomisin, linezolid,
dan kuinupristin-dalfopristin. Jika infeksi didapati berkaitan dengan S. aureus

14

yang tidak memproduksi laktamase-, penisilin G adalah obat terpilih, tetapi galur
S. aureus seperti ini jarang dijumpai (Brooks dkk, 2013).
Untuk kasus di luar rumah sakit diberikan penisilin G. Pada infeksi yang
berat atau jika diduga resisten terhadap penisilin, dapat diberikan metisilin atau
derivat penisilin lain yang resisten penicilinase. Jika hasil tes telah ada, sebaiknya
diberikan obat yang sesuai dengan hasil tes kepekaan tersebut. Pada penderita
yang alergi penisilin, dapat diberikan sefalosporin, eritromisin, linkomisin atau
klindamisin. Pada infeksi oleh suatu jenis yang tahan terhadap metisilin, dapat
diberikan vankomisin; rimfapisin atau fusidic acid juga dapat diberikan, asal
dalam bentuk kombinasi dengan antibiotik lainnya. Kalau diberikan tersendiri
cepat terjadi resistensi. Jenis resisten metisilin biasanya juga resisten terhadap
oksasilin, kloksasilin dan sefalosporin (Jawetz, 2005).
Hingga kini belum ada terapi yang benar-benar efektif untuk strain resisten
seperti MRSA. Glikopeptida vankomisin yang merupakan drug of choice untuk
infeksi MRSA ternyata memiliki efek bakterisidal yang lambat dan sering
menimbulkan kegagalan terapi. Masalah menjadi semakin rumit dengan
ditemukannya galur MRSA yang menurun kepekaannya terhadap vankomisin dan
MRSA yang resisten vankomisin. Antimikroba lain seperti asam fusidat,
rifampisin, fosfomisin, quinolon dan trimetoprim-sulfametoksazol memiliki
kemanjuran yang lebih rendah dibandingkan dengan vankomisin. Juga telah
terbukti adanya galur MRSA yang resisten terhadap antimikroba tersebut.
Antimikroba baru sebagai alternatif terapi infeksi MRSA adalah streptogramin,
oksazolidinon, daptomisin, glisilsiklin, oritavansin dan peptida. Selain itu
direkomendasikan pula terapi infeksi MRSA dengan antimikroba kombinasi.
Glikopeptida vankomisin dan teikoplanin masih merupakan obat pilihan (drug of
choice) untuk terapi infeksi MRSA (Yuwono, 2010).
Glikopeptida vankomisin dan teikoplanin masih merupakan obat pilihan
(drug of choice) untuk terapi infeksi MRSA. Glikopptida adalah molekul
berukuran besar yang bekerja menghambat tahap akhir sintesa peptidoglikan dan
anyamannya (cross linked). Galur MRSA yang menurun kepekaannya terhadap
glikopeptida pertama kali dilaporkan di Jepang pada tahun 1996 dan kemudian

15

juga di negara-negara lain termasuk adanya galur MRSA resisten glikopeptida.


Secara umum diketahui bahwa glikopeptida mencegah reaksi transglikosilasi dan
transpeptidasi sehingga terjadi kegagalan sintesa dinding sel. Terdapat dua macam
target pengikatan pada dinding sel S. aureus yaitu residu D-alanil-D-alanin pada
lapisan peptidoglikan dan monomer murein pada membran sitoplasma yang
menjadi substrat untuk reaksi glikosiltransferase. Ikatan glikopeptida pada Dalanil-D-alanin tidak menghambat sintesa peptidoglikan tetapi hanya mengganggu
formasi cross bridge yang dimediasi PBP. Ikatan glikopeptida pada murein
menyebabkan hambatan total sintesa peptidoglikan sehingga sel menjadi ruptur
dan mati. Untuk dapat mencapai target murein tersebut, molekul glikopeptida
harus mampu menembus sekitar 20 lapis petidoglikan, jika terjebak pada target
pertama yaitu D-alanil-D-alanin maka obat ini tidak akan efektif (Yuwono, 2010).
Vankomisin adalah prototipe glikopeptida yang disisolasi pertama kali
pada tahun 1956 dari jamur golongan Actinoycetes yaitu Streptomyces orientalis
dari sampel tanah di Kalimantan. Zat ini mulai dipakai sebagai antimikroba pada
tahun 1958 dan terus meningkat penggunaannya setelah menyebarnya MRSA.
Secara in vitro, vankomisin aktif terhadap bakteri Gram positif aerob dan bakteri
anaerob seperti Staphylococcus, streptokokus, enterokokus, Clostridium spp dan
Corynebacterium spp. Menurut NCCLS, vankomisin dikatakan peka/aktif
terhadap Staphylococcus bila mampu mematikan pada konsentrasi 4g/mL,
intermediat antara 8-16 g/mL dan resisten pada konsentrasi 32 g/mL.
Vankomisin bersifat slow bactericidal terhadap S. aureus dan S. epidermidis.
Secara in vitro juga dilaporkan adanya efek sinergi pada campuran vankomisin
dengan aminoglikosida terhadap S. aureus. Sedangkan campuran vankomisin
dengan rifampin masih diragukan efektivitasnya karena beberapa studi
memperlihatkan hasil antagonistik. Vankomisin merupakan obat pilihan infeksi
MRSA seperti bakteriemia, endokarditis, pneumonia dan komplikasi pascabedah.

2.2.5

Resistensi Staphylococcus aureus

16

Staphylococcus aureus sudah lama dikenal sejak abad ke-19 sebagai


penyebab infeksi lokal maupun sistemik. Pada era tahun 1940-an, masalah infeksi
yang ditimbulkan oleh bakteri ini berhasil diatasi dengan pemberian antimikroba
golongan betalaktam yaitu penisilin. Antimikroba betalaktam mengikat Penicillin
Binding Protein (PBP) yaitu suatu enzim peptidase membran yang mengkatalisis
reaksi transpeptidasi pada proses sintesis dinding sel bakteri. Ikatan betalaktam
pada situs aktif sering mengakibatkan PBP tidak aktif, sintesis dinding sel gagal
dan bakteri mengalami lisis. Staphylococcus aureus memiliki 4 macam PBP yaitu
PBP 1 seberat 85 kDa, PBP 2 seberat 81 kDa, PBP 3 seberat 75 kDa dan PBP 4
seberat 45 kDa. PBP 1, 2 dan 3 memiliki aktivitas transpeptidase dan memiliki
afinitas sangat tinggi terhadap betalaktam, sehingga pemberian antimikroba
betalaktam akan menyebabkan letal Staphylococcus aureus (Yuwono, 2010).
Resistensi MRSA terhadap metisilin dan terhadap semua antimikroba
golongan betalaktam disebabkan perubahan pada protein binding penicillin (PBP)
yang normal yaitu PBP 2 menjadi PBP 2a. PBP 2a memiliki afinitas yang sangat
rendah terhadap beta laktam sehingga sekalipun bakteri ini dibiakan pada medium
mengandung konsentrasi tinggi beta laktam, MRSA tetap dapat hidup dan
mensintesa dinding sel (tumbuh). Eksplorasi pada struktur PBP 2a menunjukkan
adanya perubahan pada situs pengikatan (binding site) yang mengakibatkan
rendahnya afinitas. PBP 2a disandi oleh gen mecA yang merupakan bagian
staphylococcal cassette chromosome mec (SCCmec). SCCmec adalah sisipan
suatu elemen DNA berukuran besar antara 20-100 kb yang terintegrasi ke dalam
kromosom S. aureus pada regio di dekat origin of replication (ori) kromosom
(Yuwono, 2010).
Protein binding penicillin adalah sekelompok protein yang terlibat dalam
biosintesa peptidoglikan yaitu mengkatalisa reaksi transpeptidasi (pembentukan
anyaman peptida). Peptidoglikan Staphylococcus memiliki ciri khas berukuran
panjang, berupa struktur anyaman (cross linkage) dengan rantai samping
pentaglisin yang fleksibel. Peptidoglikan ini menjadi target antimikroba
betalaktam. Resistensi terjadi karena produksi enzim betalaktamase seperti pada
galur S. aureus producing betalactamases dan perubahan pada struktur PBP

17

seperti yang terjadi pada MRSA. PBP 1, 2 dan 3 memiliki aktifitas transpeptidase
primer sedangkan PBP 4 memiliki aktifitas transpeptidase sekunder. Reaksi lain
dalam pembentukan peptidoglikan adalah transglikosilasi yang tidak berhubungan
dengan penicillin binding activity (tidak berhubungan dengan reseptor penisilin).
PBP 2 memiliki aktifitas unik yaitu selain sebagai enzim transpeptidase ternyata
juga memiliki aktifitas transglikosilase. Afinitas PBP 2a yang sangat rendah
terhadap beta laktam mengakibatkan antimikroba ini tidak dapat mempengaruhi
reaksi transpeptidasi. Selain itu karena aktifitas transglikosilasi PBP 2a sama
sekali tidak terpengaruh oleh beta laktam maka diduga resistensi MRSA juga
ditentukan oleh keutuhan fungsi transglikosilasi dari PBP 2a ini (Yuwono, 2010).
Lebih dari 80% Staphylococcus aureus menghasilkan penicilinase (salah
satu bentuk betalaktamase), suatu enzim yang menyebabkan cincin beta-laktam
hancur sehingga antibiotik tidak akan lagi memiliki kemampuan untuk mengikat
PBP (Penisilin-mengikat protein) (Brown et al., 2005).
Metisilin mulai diperkenalkan untuk menanggulangi Staphylococcus
aureus yang resisten terhadap penisilin pada tahun tahun 1959. Cara kerjanya
sama dengan antibiotik betalaktam pada umumnya, hanya saja metisilin ini
resisten terhadap penicilinase dan mampu menghambat pembentukkan akhir
sintesis dinding sel bakteri peptidoglikan yang difasilitasi PBP. Antibiotik ini akan
berikatan dengan PBP2 sehingga menghambat peptidoglikan dan akhirnya lisis.
Satu tahun setelahnya, Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA),
galur Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik betalaktam,
termasuk penisilin dan turunannya (Metisilin, Oxacilin, dicloxacilin, Nafcilin dan
Sephalosporin) ditemukan di Inggris untuk pertama kalinya. MRSA terjadi karena
adanya perubahan PBP2 menjadi PBP2a yang dikode oleh gen mecA sehingga
afinitas Metisilin ini rendah yang menyebabkan bakteri tidak dapat berikatan
dengan PBP2a hingga pembentukkan tahap akhir peptidoglikan tidak terganggu
dan bakteri menjadi resisten (Fuda et al., 2005).
Sejak tahun 1990-an, vankomisin yang merupakan golongan glikopeptide
dipilih sebagai pengganti metisilin (Goodman and Gilman, 2004). Peningkatan
penggunaan

vankomisin

menyebabkan

terjadi

kecenderungan

penurunan

18

sensitivitas vankomisin terhadap Staphylococcus aureus. Tahun 1996 untuk


pertama kalinya dilaporkan bahwa telah terjadi penurunan sensitifitas vankomisin
terhadap Staphylococcus aureus di Jepang. Tahun 2002, seorang klinisi dari USA
untuk pertama kalinya mengisolasi Vancomycin Resistant Staphylococcus aureus
(VRSA), dan tidak lama kemudian di Brazil dilaporkan hal yang sama (Tiwari dan
Sen, 2006). Mekanisme resistensi terhadap vankomisin belum sepenuhnya
diketahui. Resistensi terhadap vankomisin diperantarai oleh gen van yang akan
mengakibatkan perubahan pada terminal dinding sel Staphylococcus aureus.
Pilihan

antibiotika

semakin

terbatas

dikarenakan

terjadinya

resistensi

Staphylococcus aureus terhadap beberapa antimikroba (Hiramatsu, 2001).


Tabel 1. Kronologi Infeksi Staphylococcus aureus dan Resistensinya
Tahun
1940
1942

Keterangan
Penicilin diperkenalkan
Muncul Staphylococcus aureus resisten terhadap
penisilin
1959
Metisilin diperkenalkan; sebagian besar strain
Staphylococcus aureus di rumah sakit dan masyarakat
resisten penisilin
1961
Muncul MRSA (Methicillin-resistant S aureus)
1963
Wabah pertama MRSA di rumah sakit
1968
Ditemukan strain MRSA pertama di rumah sakit
Amerika
1970-an
Penyebaran MRSA secara global, ditemukan kejadian
MRSA yang sangat tinggi di Eropa
1980-an &
Penurunan MRSA yang dramatis dengan adanya
awal 1990-an program search & destroy di Eropa utara
1996
VRSA (Vancomycin-resistant S aureus) pertama kali
dilaporkan di Jepang
1997
Kejadian MRSA di rumah sakit di Amerika hampir 25
%; penggunaan vancomycin meningkat; muncul VISA;
dilaporkan adanya infeksi CA-MRSA yang serius
2002
Terjadi VRSA yang pertama di Amerika
2003
Kejadian MRSA kembali meningkat; hampir 60 %
terjadi di ICU; wabah CA-MRSA dilaporkan terjadi di
banyak tempat dan berimplikasi pada wabah di rumah
sakit
2006
>50 % infeksi kulit Staphylococcal muncul di bagian

19

gawat darurat yang disebabkan CA-MRSA; HA-MRSA


terus meningkat; CA-MRSA secara epedemiologi
menjadi sangat sulit
2007
The Year of MRSA
Sumber : Sampathkumar, 2007
2.3

Antibiotik Vankomisin

2.3.1 Tinjauan Umum Vankomisin


Antibiotik adalah suatu antibakteri yang diperoleh dari mikroorganisme.
Antimikroba adalah antibakteri yang diperoleh dari sintesis atau yang berasal dari
senyawa non organik (Priyanto, 2008).
Beberapa mekanisme aksi dari antibiotik yaitu :
a. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel
b. Antibiotik yang merusak membrane plasma
c. Antibiotik yang menghambat sintesis protein
d. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA)
e. Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial (Pratiwi, 2008).
Vankomisin adalah suatu glikopeptida yang dihasilkan oleh Streptomyces
orientalis. Zat ini sukar diserap oleh usus. Vankomisin bersifat bakterisidal
terhadap stafilokokus, beberapa klostridia, dan beberapa basil. Vankomisin
menghambat tahap awal sintesis peptidoglikan dinding sel. Strain bakteri yang
resisten terhadap vankomisin tidak muncul dengan cepat. Dosis 0,5 gram tiap 612 jam yang diberikan secara intravena digunakan untuk infeksi stafilokokus
sistemik yang gawat, termasuk endokarditis, terutama bila resisten terhadap
nafsilin. Efek samping dari vankomisin adalah tromboflebitis, ruam kulit, dan tuli
saraf. Vankomisin yang digunakan secara gabungan dengan aminoglikosida dapat
menyebabkan kerusakan ginjal (Brooks et al., 2001).Vankomisin merupakan
alternatif pilihan pada pasien yang alergi terhadap penisilin (Vermeluen, 2000).
Vankomisin yang digunakan peroral dianggap kurang efektif karena absorbsi di
saluran GI jelek dan efek toksiknya besar (Priyanto, 2008).

20

Vankomisin adalah prototipe glikopeptida yang disisolasi pertama kali


pada tahun 1956 dari jamur golongan Actinoycetes yaitu Streptomyces orientalis
dari sampel tanah di Kalimantan. Zat ini mulai dipakai sebagai antimikroba pada
tahun 1958 dan terus meningkat penggunaannya setelah menyebarnya MRSA.
Secara in vitro, vankomisin aktif terhadap bakteri Gram positif aerob dan bakteri
anaerob seperti Staphylococcus, streptokokus, enterokokus, Clostridium spp dan
Corynebacterium spp. Menurut NCCLS, vankomisin dikatakan peka/aktif
terhadap Staphylococcus bila mampu mematikan pada konsentrasi 4g/mL,
intermediat antara 8-16 g/mL dan resisten pada konsentrasi 32 g/mL.
Vankomisin bersifat slow bactericidal terhadap S. aureus dan S. epidermidis.
Secara in vitro juga dilaporkan adanya efek sinergi pada campuran vankomisin
dengan aminoglikosida terhadap S. aureus. Sedangkan campuran vankomisin
dengan rifampin masih diragukan efektivitasnya karena beberapa studi
memperlihatkan hasil antagonistik. Vankomisin merupakan obat pilihan infeksi
MRSA seperti bakteriemia, endokarditis, pneumonia dan komplikasi pascabedah
(Yuwono,2010).

2.3.2 Farmakokinetik Vankomisin


Vankomisin hanya dapat diberikan secara intravena, tidak dapat diberikan
secara intramuskuler (IM) karena akan menimbulkan nyeri dan absorbsi yang
buruk, juga tidak dapat digunakan per oral karena sangat buruk absorbsinya pada
saluran pencernaan. Satu-satunya penggunaan oral adalah untuk terapi clostridial
enterocolitis. Vankomisin tidak mengalami modifikasi pada metabolisme hati dan
dikeluarkan melalui ginjal dalam bentuk aktif. Waktu paruhnya antara 6-8 jam
pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Vankomisin berada dalam konsentrasi
tinggi dan mencapai level terapi di darah, pleura, perikardial, sinovial dan cairan
asites tetapi tidak dapat mencapai kadar terapi di cairan serebrospinal dan di
vitreous serta aquous humor di mata. Sebagaimana beta laktam, aktivitas
antibakteri vankomisin bersifat time dependent oleh karena itu harus

21

dipertahankan konsentrasi di atas nilai MIC. Aktivitas vankomisin masih


berlangsung selama 2 jam setelah konsentrasi di bawah nilai MIC karena
pengaruh post antibiotic effect (Yuwono, 2010).

2.3.3 Farmakodinamik Vankomisin


Glikopeptida vankomisin dan teikoplanin masih merupakan obat pilihan
(drug of choice) untuk terapi infeksi MRSA. Glikopeptida adalah molekul
berukuran besar yang bekerja menghambat tahap akhir sintesa peptidoglikan dan
anyamannya (cross linked). Galur MRSA yang menurun kepekaannya terhadap
glikopeptida pertama kali dilaporkan di Jepang pada tahun 1996 dan kemudian
juga di negara- negara lain termasuk adanya galur MRSA resisten glikopeptida.
Secara umum diketahui bahwa glikopeptida mencegah reaksi transglikosilasi dan
transpeptidasi sehingga terjadi kegagalan sintesa dinding sel. Terdapat dua macam
target pengikatan pada dinding sel S. aureus yaitu residu D-alanil-D-alanin pada
lapisan peptidoglikan dan monomer murein pada membran sitoplasma yang
menjadi substrat untuk reaksi glikosiltransferase. Ikatan glikopeptida pada Dalanil-D-alanin tidak menghambat sintesa peptidoglikan tetapi hanya mengganggu
formasi cross bridge yang dimediasi PBP. Ikatan glikopeptida pada murein
menyebabkan hambatan total sintesa peptidoglikan sehingga sel menjadi ruptur
dan mati. Untuk dapat mencapai target murein tersebut, molekul glikopeptida
harus mampu menembus sekitar 20 lapis petidoglikan, jika terjebak pada target
pertama yaitu D-alanil-D-alanin maka obat ini tidak akan efektif (Yuwono, 2010)

2.3.4 Dosis
Dosis vankomisin pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal adalah 15 mg/kg
berat badan (BB) selama 12 jam atau 8 mg/ kgBB selama 6-8 jam. Pada fungsi
ginjal yang tidak normal, pada luka bakar, kelebihan cairan atau obesitas

22

penambahan/pengurangan dosis dapat dilakukan. Kadar puncak dan konsentrasi


dalam serum harus terus dipantau untuk mencapai dosis efektif dan untuk
menghindari ototoksisitas dan nefrotoksisitas. Umumnya kadar puncak sekitar 2040 g/mL dicapai 1 jam setelah infus selesai, kadar efektif di serum sekitar 5-10
g/mL. Untuk mengurangi toksisitas dilakukan pembuatan sediaan vankomisin
dengan high pressure liquid chromatograpy tetapi tetap tidak mengurangi efek
alergeniknya. Efek samping yang paling sering timbul adalah demam, menggigil,
dan plebitis pada tempat tempat infus yang sering dikenal dengan sebutan red man
karena lepasnya histamin. Efek ini berkurang bila infus diperlambat dengan
volume lebih besar. Obat yang digunakan pada tahun 1960-an sebelum
dimurnikan dengan kromatografi sering menimbulkan nefrotoksisitas dan
ototoksisitas tetapi saat ini dengan sedian baru kedua efek tersebut sangat jarang
terjadi. Kombinasi dengan aminoglikosida dapat meningkatkan toksisitas
vankomisin (Yuwono, 2010).

2.4

Ekstraksi

2.4.1

Definisi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair. Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Senyawa aktif yang terdapat
dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri,
alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000). Tujuan dilakukannya
ekstraksi ialah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat yang
memiliki khasiat pengobatan dari zat yang tidak berkhasiat agar lebih mudah
dipergunakan dan disimpan (Syamsuni, 2006).
Hasil dari proses ekstraksi disebut sebagai ekstrak, berupa sediaan kental
yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau
hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua

23

pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian
sehingga memenuhi baku yang telah ditentukan (Nurussakinah, 2010).
2.4.2

Prinsip Ekstraksi
Pada prinsipnya, ekstraksi adalah melarutkan dan menarik senyawa

dengan menggunakan pelarut yang tepat. Ada tiga tahapan proses pada waktu
ekstraksi yaitu:
1. Penetrasi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel
2. Disolusi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel
3. Difusi bahan yang terekstraksi ke luar sel
Pada proses di atas diharapkan terjadi kesetimbangan antara zat larut dan
pelarut. Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada
suhu, pH, ukuran, dan gerakan partikel. Prinsip yang utama adalah yang berkaitan
dengan kelarutan, yaitu senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan
senyawa nonpolar akan mudah larut dalam pelarut nonpolar (Emilan, 2011).
2.4.3

Metode Ekstraksi
Menurut Mc Cabe (1999) dalam Muhiedin (2008), ekstraksi dapat

dibedakan menjadi dua cara berdasarkan wujud bahannya yaitu:


1. Ekstraksi padat-cair, digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut dari
campurannya dengan zat padat yang tidak dapat larut.
2. Ekstraksi cair-cair, digunakan untuk memisahkan dua zat cair yang saling
bercampur, dengan menggunakan pelarut dapat melarutkan salah satu zat.
Ekstraksi padat cair secara umum terdiri dari maserasi, refluktasi,
sokhletasi, dan perkolasi. Metode yang digunakan tergantung dengan jenis
senyawa yang digunakan. Jika senyawa yang akan diekstraksi rentan terhadap
pemanasan maka metode maserasi dan perkolasi yang sebaiknya dilakukan.
Namun jika tahan terhadap pemanasan maka metode refluktasi dan sokletasi yang
digunakan (Hidayat, 2015).
Pada ekstraksi cair-cair, bahan yang menjadi analit berbentuk cair dengan
pemisahannya menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur sehingga
terjadi distribusi sampel di antara kedua pelarut tersebut. Pendistribusian sampel

24

dalam kedua pelarut tersebut dapat ditentukan dengan perhitungan KD/koefisien


distribusi (Hidayat, 2015).
1. Ekstraksi Padat-Cair
a. Cara Dingin
Dengan metode ini tidak ada proses pemanasan selama ekstraksi
berlangsung. Tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa karena
pemanasan. Jenis ekstraksi dengan cara dingin adalah:
1) Maserasi
Maserasi berasal dari kata macerare (bahasa Latin, artinya
merendam) merupakan salah satu cara ekstraksi, dimana sediaan cair yang
dibuat dari mengekstraksi bahan nabati direndam menggunakan pelarut
bukan air (pelarut nonpolar) atau setengah air, misalnya etanol encer,
selama periode waktu tertentu sesuai dengan aturan dalam buku resmi
kefarmasian. Prinsip maserasi adalah mengikat/melarutkan zat aktif
berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like).
Teorinya, ketika simplisia yang akan dimaserasi direndam dalam pelarut
yang dipilih, maka cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk
ke dalam sel yang penuh dengan zat aktif sehingga terjadi proses
pelarutan. Akibat adanya perbedaan konsentrasi zat aktif di dalam dan di
luar sel ini akan muncul gaya difusi, larutan yang terpekat akan didesak
menuju keluar untuk berusaha mencapai keseimbangan konsentrasi
(Hidayat, 2015).
Kelebihan cara ekstraksi dengan maserasi adalah peralatan dan
pengerjaannya sederhana, biaya operasional relatif rendah, dan prosesnya
relatif hemat penyari dan tanpa pemanasan. Adapun kelemahannya adalah
penyariannya tidak sempurna karena zat aktif hanya mampu terekstraksi
sebesar 50% saja dan prosesnya pengerjaan yang cukup lama (Hidayat,
2015).
Menurut Hidayat (2015), maserasi dapat dilakukan modifikasi
seperti:
a) Digesti

25

Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah,


yaitu pada suhu 4050C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan
untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan. Dengan
pemanasan diperoleh keuntungan antara lain: kekentalan pelarut
berkurang, daya melarutkan cairan penyari meningkat, kecepatan
difusi meningkat, dan jika cairan penyari mudah menguap pada suhu
yang digunakan maka bisa dilengkapi dengan pendingin balik,
sehingga cairan akan menguap kembali ke dalam bejana.
b) Maserasi dengan Mesin Pengaduk
Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus-menerus, waktu
proses maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam.
c) Remaserasi
Cairan penyari dibagi menjadi dua. Seluruh serbuk simplisia
dimaserasi dengan cairan penyari pertama. Selanjutnya diendapkan,
dituangkan dan diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari
yang kedua.
d) Maserasi Melingkar
Maserasi dapat diperbaiki dengan mengusahakan agar cairan penyari
selalu bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir
kembali secara berkesinambungan melalui sebuk simplisia dan
melarutkan zat aktifnya.
e) Maserasi Melingkar Bertingkat
Pada maserasi melingkar, penyarian tidak dapat dilaksanakan secara
sempurna karena pemindahan massa akan berhenti bila keseimbangan
telah terjadi. Masalah ini dapat diatasi dengan maserasi melingkar
bertingkat (M.M.B) sehingga bisa memberikan hasil penyarian yang
maksimal.
2) Perkolasi
Perkolasi merupakan suatu metode estraksi dengan mengalirkan
penyari melalui bahan yang telah dibasahi sehingga pelarut yang
digunakan selalu baru. Perkolasi banyak digunakan untuk mengekstraksi

26

komponen dari bahan tumbuhan. Pada proses perkolasi, terjadi partisi


komponen yang diekstraksi antara bahan dan pelarut. Kekuatan yang
berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat, kekentalan, daya larut,
tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi, daya kapiler dan daya geseran
(friksi).
Cara perkolasi lebih baik dibandingkan cara maserasi karena aliran
cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan dengan larutan
yang konsentrasinya lebih rendah sehingga meningkatkan derajat
perbedaan konsentrasi. Ruangan diantara butir-butir serbuk simplisia
membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari. Karena kecilnya
saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi
lapisan batas sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi.
Kelebihan dari metode perkolasi ini adalah tidak terjadi kejenuhan
dan difusinya meningkat karena pengaliran. Sedangkan kekurangannya
adalah cairan penyari jadi lebih banyak dan risiko cemaran mikroba untuk
penyari air karena dilakukan secara terbuka.
b. Cara Panas
Metode ini melibatkan panas dalam prosesnya dengan tujuan untuk
mempercepat proses penyarian. Jenis ekstraksi dengan cara panas adalah:
1) Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang dilakukan pada
titik didih pelarut tersebut selama waktu tertentu, sejumlah pelarut
tertentu, dan dengan adanya pendinginan balik (kondensor). Umumnya
dilakukan tiga sampai lima kali pengulangan proses pada residu pertama
agar proses ekstraksinya sempurna.
Keuntungannya adalah metode

ini

bisa

digunakan

untuk

mengekstraksi sampel-sampel yang memiliki tekstur kasar. Sedangkan


kerugiannya adalah metode ini membutuhkan volume total pelarut yang
besar dan sejumlah manipulasi operator.
2) Soxhletasi
Soxhletasi adalah suatu metode pemisahan suatu komponen yang
terdapat dalam sampel padat dengan cara penyarian berulangulang
dengan pelarut yang sama sehingga semua komponen yang diinginkan

27

dalam sampel tersebut dapat terisolasi dengan sempurna. Pelarut yang


digunakan ada dua jenis, yaitu heksana (C6H14) untuk sampel kering dan
metanol (CH3OH) untuk sampel basah. Jadi, pelarut yang digunakan
tergantung dari sampel alam yang akan diekstraksi.
Kelebihan dari metode ini adalah dapat digunakan untuk sampel
dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara
langsung, pelarut yang digunakan lebih sedikit, dan pemanasannya dapat
diatur. Sedangkan kekurangannya adalah dapat menyebabkan reaksi
peruraian oleh panas, bisa mengendap dalam wadah dan membutuhkan
volume pelarut yang lebih banyak untuk melarutkannya.
2. Ekstraksi Cair-Cair (Ekstraksi Pelarut)
Ekstraksi pelarut atau disebut juga ekstraksi air adalah metode
pemisahan yang paling baik dan populer karena dapat dilakukan baik dalam
tingkat makro ataupun mikro. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat
pelarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling
bercampur, seperti benzena, karbon tetraklorida atau kloroform. Batasannya
adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua fase
pelarut (Hidayat, 2015).
Ekstraksi pelarut terutama digunakan bila pemisahan campuran dengan
cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan aseotrop
atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Seperti
ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap,
yaitu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan pelarut, dan
pemisahan kedua fasa cair itu sesempurna mungkin (Hidayat, 2015).
2.4.4 Faktor-Faktor yang Harus Diperhatikan dalam Ekstraksi
Dalam proses ekstraksi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara
lain (Hidayat, 2015):
1. Ukuran partikel
Ukuran partikel mempengaruhi laju ekstraksi dalam beberapa hal.
Semakin kecil ukurannya, semakin besar luas permukaan antara padat dan cair
sehingga laju perpindahannya menjadi semakin besar.

28

2. Zat pelarut
Zat pelarut seharusnya merupakan pelarut pilihan terbaik dan
viskositasnya harus cukup rendah agar dapat bersikulasi dengan mudah.
Biasanya, zat pelarut murni akan digunakan pada awal proses ekstraksi dan
selanjutnya konsentrasi zat terlarut akan naik dan laju ekstraksinya turun
karena gradiennya berkurang dan zat terlarutnya menjadi lebih kental.
Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang
perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki
kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik/terlarut dengan pelarut yang
memiliki tingkat kepolaran yang sama. Berkaitan dengan polaritas dari pelarut,
terdapat tiga golongan pelarut yaitu:
o Pelarut polar
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi sehingga bisa mengekstrak
senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung
universal digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap dapat menyari
senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Salah satu
contoh pelarut polar adalah: air, metanol, etanol, asam asetat.
o Pelarut semipolar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan
senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah:
aseton, etil asetat, kloroform.
o Pelarut nonpolar
Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik untuk
mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut
polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh:
heksana, eter.
3. Temperatur
Dalam banyak hal, kelarutan zat terlarut (pada partikel yang
diekstraksi) di dalam pelarut akan naik bersamaan dengan kenaikan temperatur
untuk memberikan laju ekstraksi yang lebih tinggi.
4. Pengadukan fluida

29

Pengadukan zat pelarut penting untuk dilakukan karena akan


meningkatkan proses difusi sehingga menaikkan perpindahan material dari
permukaan partikel ke zat pelarut.
Menurut Hidayat (2015), pemilihan pelarut pada umumnya dipengaruhi
oleh faktor-faktor berikut ini :
1. Selektivitas
Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan
komponen-komponen lain dari bahan ekstraksi. Dalam praktek, terutama pada
ekstraksi bahan-bahan alami, sering juga bahan lain (misalnya lemak, resin)
ikut dibebaskan bersama-sama dengan ekstrak yang diinginkan. Dalam hal itu
larutan ekstrak tercemar yang diperoleh harus dibersihkan, salah satu caranya
adalah melakukan ekstraksi lagi dengan menggunakan pelarut kedua.
2. Kelarutan
Pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan melarutkan ekstrak
yang besar sehingga pelatur yang dibutuhkan tidak terlalu banyak..
3. Kemampuan tidak saling bercampur
Pada ekstraksi cair-cair pelarut tidak boleh (atau hanya secara terbatas)
larut dalam bahan ekstraksi.
4. Kerapatan
Terutama pada ekstraksi cair-cair, sedapat mungkin terdapat perbedaaan
kerapatan yaitu besar antara pelarut dan bahan ekstraksi. Hal ini dimaksudkan
agar kedua fasa dapat dengan mudah dipisahkan kembali setelah pencampuran
(pemisahan dengan gaya berat). Bila beda kerapatannya kecil, seringkali
pemisahan harus dilakukan dengan menggunakan gaya sentrifugal (misalnya
dalam ekstraktor sentrifugal).
5. Reaktifitas
Pada umumnya pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara
kimia pada komponen-komponen bahan ekstraksi. Sebaliknya dalam hal-hal
tertentu diperlukan adanya reaksi kimia (misalnya pembentukan garam) untuk
mendapatkan selektivitas yang tinggi. Seringkali ekstraksi juga disertai dengan

30

reaksi kimia. Dalam hal ini bahan yang akan dipisahkan mutlak harus berada
dalam bentuk larutan.
6. Titik didih
Ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara penguapan,
destilasi atau rektifikasi, maka titik didih kedua bahan itu tidak boleh terlalu
dekat, dan keduanya tidak membentuk aseotrop.
7. Kriteria yang lain
Pelarut sedapat mungkin harus murah, tersedia dalam jumlah besar,
tidak beracun, tidak dapat terbakar, tidak eksplosif bila bercampur dengan
udara, tidak korosif, tidak menyebabkan terbentuknya emulsi, memilliki
viskositas yang rendah, stabil secara kimia dan termis.
Karena hampir tidak ada pelarut yang memenuhi syarat di atas, maka
untuk setiap proses ekstraksi harus dicari pelarut yang paling sesuai. Beberapa
pelarut yang terpenting adalah: air, asam-asam organik dan anorganik,
hidrokarbon jenuh, toluen, karbon disulfit, eter, aseton, hidrokarbon yang
mengandung khlor, isopropanol, etanol.
2.5

Uji Aktivitas Antimikroba


Uji kepekaan terhadap obat antimikroba secara umum dapat dilakukan

melalui dua cara, yaitu:


1.

Metode Difusi
a. Metode disc diffusion (Metode Kirby Bauer) untuk menuntukan
aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba
diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme
yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
oleh agen antimikroba pada permukaan media agar (Pratiwi, 2008).
b. Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum),
yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini

31

digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari


kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan
media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan
dilakukan

pada

menunjukkan

area

kadar

jernih
agen

yang

ditimbulkannya

antimikroba

yang

yang

menghambat

pertumbuhan mikroorganisme pada media agar (Pratiwi, 2008).


c. Ditch plate technique. Pada metode ini sampel uji berupa agen
antimikroba yang diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara
memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah
secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam)
digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba (Pratiwi,
2008).
d. Cup-plate technique. Metode ini serupa dengan metode disc
diffusion, yaitu dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami
dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen
antimikroba yang diuji (Pratiwi, 2008).
e. Gradient-plate technique. Pada metode ini konsentrasi agen
antimikroba pada media agar secara teoritis bervariasi dari 0
hingga maksimal. Media agar dicairkan

dan larutan uji

ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan petri


dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya
dituang di atasnya dan diinkubasi selama 24 jam untuk
memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan permukaan media
mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada arah
mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan
sebagai panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum
yang mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil
goresan. Bila:
X = panjang total pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin
Y = panjang pertumbuhan aktual

32

C = konsentrasi final agen antimikroba pada total volume media


mg/ml atau g/ml,
Maka konsentrasi hambat adalah:
X.Y
C
Yang perlu diperhatikan adalah dari hasil perbandingan
yang didapat dari lingkungan padat dan cair, faktor difusi agen
antimikroba dapat mempengaruhi keseluruhan hasil pada media
padat (Pratiwi, 2008).
2. Metode dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Metode dilusi cair/broth dilution test (serial dilution).
Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration atau
Kadar

Hambat

Minimum)

dan

MBC

(Minimum

Bactericidal

Concentration atau Kadar Bunuh Minimum). Cara yang dilakukan


adalah dengan membuat seri pengeceran agen antimikroba pada
medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen
antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya
pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang
ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada
media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba,
dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih
setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).
b. Metode dilusi padat/solid dilution test.
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan
media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi
agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa
mikroba uji (Pratiwi, 2008).
2.6

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

33

KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) adalah konsentrasi minimal bahan


coba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi 24 jam
dan tidak tumbuh koloni bakteri yang diketahui dengan cara mengamati
kekeruhan pada media perbenihan dengan menggunakan metode dilusi.

2.7

Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)


KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum) adalah konsentrasi minimal bahan

coba yang dapat membunuh bakteri sebesar 99 % atau 100 % pada media agar.

2.8

Uji Kromatografi
Istilah kromatografi berasal dari kata latin chroma berarti warna dan

graphien berarti menulis. Kromatografi pertama kali diperkenalkan oleh Michael


Tsweet (1903) seorang ahli botani dari Rusia. Michael Tsweet dalam
percobaannya ia berhasil memisahkan klorofil dan pigmen-pigmen warna lain
dalam ekstrak tumbuhan dengan menggunakan serbuk kalsium karbonat yang
diisikan ke dalam kolom kaca dan petroleum eter sebagai pelarut. Proses
pemisahan itu diawali dengan menempatkan larutan cuplikan pada permukaan
atas kalsium karbonat, kemudian dialirkan pelarut petroleum eter. Hasilnya berupa
pita-pita berwarna yang terlihat sepanjang kolom sebagai hasil pemisahan
komponen-komponen dalam ekstrak tumbuhan (Alimin, 2007).
Ketepatan dalam memilih prosedur semuanya

tergantung pada

perbendaan distribusi berbagai komponen-komponen campuran di antara dua fasa,


yakni fasa bergerak dan fasa diam. Fasa bergerak dapat berupa cairan atau gas,
dan fasa diam dapat berupa padatan atau cairan. Melalui kombinasi komponen-

34

komponen tersebut maka diperoleh beberapa macam teknik kromatografi seperti


pada tabel berikut:
Tabel 2: Teknik Kromatografi (Firdaus. 2011).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara untuk memisahkan


campuran senyawa menjadi senyawa murni. Kromatografi menggunakan proses
analisis yang cepat dan memerlukan bahan yang sangat sedikit, baik penyerap
maupun ekstraknya. KLT dapat berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi
kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi
senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa murni skala kecil (Arista,
2010).
Pada proses pemisahan dengan kromatografi lapis tipis, terjadi hubungan
kesetimbangan antara fase diam dan fase gerak, dimana ada interaksi antara
permukaan fase diam dengan gugus fungsi senyawa organik yang akan
diidentifikasi yang telah berinteraksi dengan fasa geraknya. Kesetimbangan ini
dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : kepolaran fase diam, kepolaran fase gerak, serta
kepolaran dan ukuran molekul (Hidayat, 2015).
Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf (Retodansi factor) yang
berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat
dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan
sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang
ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu, bilangan Rf selalu lebih
kecil dari 1,0. Rumus faktor retensi adalah:

Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu.


Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa
dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai
kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa
diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam,
sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara

35

0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi
kepolaran eluen, dan sebaliknya (Hidayat, 2015).
2.9

Kerangka Teori

Fraksi daun gaharu


(Aquilaria malaccensis)

Mengandung senyawa antibakteri

Flavonoid

Menghambat
sintesis asam
nukleat
Menghambat
fungsi
membran
sitoplasma

Saponin

Tanin

Alkaloid

Mengganggu
tegangan permukaan
dinding sel

Mengganggu
komponen
penyususn
peptidoglikan

Lapisan dinding
sel tidak utuh

mendenaturasi
protein yang
terdapat pada
dinding sel

menghambat enzim
topoisomerase sel
bakteri

Menghambat
metabolisme
energi
Menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus

Anda mungkin juga menyukai