Makalah LUPUS Pada Anak
Makalah LUPUS Pada Anak
Oleh
Dini Oktaviana
NIM 12330066
DOSEN :
1. Dra. Refdanita, M.Si.Apt.
2. Putu Rika Veryanti M.Farm-Klin., Apt.
DAFTAR ISI
II.H.
Penatalaksanaan ........................................................................... 28
II.H.1. Kortikosteroid .................................................................. 29
II.J.
Prognosis ...................................................................................... 37
II.K.
...................................................... 39
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
II.A. DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang
menyerang berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah lupus eritematosus
sistemik dapat diartikan secara bahasa sebagai gigitan serigala, mungkin istilah
ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu ruam pada wajah penderita SLE yang
perjalanan penyakitnya sudah lama dan belum mendapat terapi. Secara istilah,
SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik,
multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi
(ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded
DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena
sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit
seribu wajah (masquerader, The Great Imitators). 2,4,5
II.B. ETIOLOGI
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi
secara genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya
penyakit autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis rentan
terpapar satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan. SLE
berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a)
allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan
pada penderita SLE yang afro-amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-
II.C. EPIDEMIOLOGI
Lupus adalah penyakit langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang
pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja. SLE terjadi
pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17% orang dengan
SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5% diantaranya mulai
pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73%
didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan
sebagai penyakit pada usia remaja. SLE dapat muncul pada pria maupun wanita,
dari etnis manapun, berapapun usianya. Namun diagnosis SLE 4,3 kali lebih
sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Perbedaan ini tidak
nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian menunjukkan
perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja. Dalam
hal etnis, lupus lebih sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli
Amerika, Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia. 2,3,4
10
disebabkan
oleh
pembersihan
yang
kurang
optimal
dari
sistem
11
dapat
berinteraksi
dengan
substansi
antikoagulasi,
diantaranya
12
terlibat dalam deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen,
respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun
karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini
dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel.
Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di
daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan
membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian
CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B.
Terdapat perubahan fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin
cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang
terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam
pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada
SLE terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Terjadi pula persistensi sel
apoptosis akibat defek pembersihan. Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan
sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein
Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause,
diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk
menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat
13
mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan
risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan estrogen
merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai
kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone)
dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, terdapat
peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga
meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan
hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan
betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian
penderita jantan.
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor
predisposisi genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan
faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun
spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.
14
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis.
Ruam malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul
akibat
adanya
sensitifitas
yang
berlebihan
terhadap
cahaya
matahari
(photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress
emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada
lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak
tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut
dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat
berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis
seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi jari-jari
tangan atau kaki. 2,4,7
Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus
15
Manifestasi
klinis
lain
adalah
petekie
dan
perdarahan
karena
trombositopenia. Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan
biasanya didiagnosis sebagai Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP).
Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada sebagian anak. Umumnya gejala
berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini, khorea lebih umum
ditemukan sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada demam reumatik.
Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan. Fenomena Raynaud
sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan
krioglobulin. 2,4
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan
sakit lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak
didiagnosis dengan suspect infeksi virus sebelum akhirnya diagnosis lupus
ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari
seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya
dalam minggu pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan
seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis lain (misal:
Crohn disease, atau vaskulitis sistemik). 2
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)5
16
Keadaan umum
Mudah lelah
Demam dan malaise
Penurunan berat badan
Limfadenopati
Kulit
Muskuloskeletal
Sistem Pencernaan
Kardiovaskuler
Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Kelainan konduksi jantung
Miokarditis
Endokarditis Libman-Sacks
Accelerated coronary artery disease
Gangren perifer
Sistem Pernapasan
Sistem Persarafan
Migrain
Depresi / cemas
Psikosis organik
Kejang
17
Ginjal
Glomerulonefritis
Hipertensi
Gagal ginjal
Hematologi
Endokrin
Hipo / hipertiroidism
Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang
berat. Pada kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk
menegakkan diagnosis. American College of Rheumatology (ACR) membuat
kriteria untuk klasifikasi SLE.
Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk
Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik 2
Ruam malar (butterfly rash)
Ruam diskoid-lupus
Fotosensitif
Ulkus pada oral atau nasal
Arthritis non-erosif
Nefritis
Proteinuria >0,5 g/hari
Silinder selular
Ensefalopati
18
Kejang
Psikosis
Pleuritis atau perikarditis
Kelainan hematologi
Anemia hemolitik
Leukopenia
Limfopenia
Trombositopenia
Pemeriksaan imunoserologis positif
Antibodi terhadap dsDNA
Antibodi terhadap Smith nuclear antigen
Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:
Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin
Lupus antikoagulan
Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan
Tes antinuklear antibodi (ANA) positif
Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi
penyakit, diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas
96%.
19
II.F.1.
Nefritis Lupus
Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan
ginjal pada suatu masa dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien
lupus dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal dan diperiksa dengan mikroskop
imunofloresensi akan ditemukan kelainan pada hampir semua kasus
meskipun pada pemeriksaan urinalisisnya belum ada kelainan (silent NL). 5,8
Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena
kelainan patologi anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur
parenkim ginjal, yaitu glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari
tanpa kelainan pada urinalisis, atau hanya edema, proteinuria/hematuria
ringan sampai gambaran klinis yang berat yaitu sindrom nefrotik,
glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif, atau
hipertensi yang dapat disertai ensefalopati hipertensif. 1
Diagnosis1
Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya
SLE pada pasien. Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang
telah direvisi pada tahun 1997 seperti yang telah disampaikan diatas.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan
laboratorium pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE
reaksi (+), peninggian LED, penurunan kadar komplemen C3, C4, dan
komplemen total (CH50), peninggian kadar antibodi antinuklear dan adanya
antibodi terhadap DNA double-stranded (ds-DNA). Pada pemeriksaan
20
5. Kimia darah
- albumin, globulin, kolesterol
21
6. Pemeriksaan khusus
-
sel LE
Uji coombs
krioglobulin
7. Biopsi ginjal
Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin
(anti fosfolipid).
Gambaran Patologi Anatomi (PA)1
Gambaran PA pada NL sampai saat ini berdasarkan pada klasifikasi WHO.
Tabel 3. Klasifikasi Histopatologi NL Menurut WHO1
Tipe I
Normal
a. Normal pada semua pemeriksaan
b. Normal
dengan
pemeriksaan
mikroskop
cahaya,
tetapi
22
23
24
25
26
difus
(tipe
IV)
biasanya
menunjukkan
gambaran
PA
Lupus Diskoid
27
namun presentasi lupus diskoid pada anak yang cukup jarang harus
mendapatkan perhatian dari dokter yang merawat. Hasil pemeriksan
laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan
laboratoris lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk
memantau progresifitas penyakit ini menjadi SLE. 3,8
II.F.3. Sistem Saraf Pusat
Gejala SSP muncul pada 20 30% pada anak dan dewasa dengan
SLE, dan dapat melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak
seperti manifestasi penyakit lain, keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun
pertama penyakit pada 75-85% pasien yang akan berkembang menjadi
penyakit SSP. Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global
dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan
kehilangan memori. Gejala neuropsikiatrik ada pada 33 60% pasien SLE
dewasa dengan kelainan SSP. Resiko pada wanita delapan kali lebih besar
daripada pria, dan resiko tertinggi ada pada wanita kulit hitam. Diagnosa
lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk menyingkirkan ganguan
psikososial
reaktif,
infeksi,
dan
metabolik.
Disarankan
untuk
28
juga sering menjadi gelaja dari SLE namun penyebab nyeri kepala lain juga
tidak kalah banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan bukan berasal dari
kelainan intrakranial, biasanya disebabkan oleh trombosis vena serebralis
dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan
antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga,
konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan. 3,8
II.F.4.
Arthritis Lupus
29
Gangguan Darah
30
II.H. PENATALAKSANAAN
Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade
terakhir ini telah mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan
31
karena penggunaan obat kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan
cepat menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala
ekstra-renal ringan, tidak diperluka terapi kortikosteroid, cukup diberi obat
salisilat, anti malaria (hidroksi klorokuin), atau obat anti inflamasi non steroid. 1
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan
organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari
pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter
laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan
relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan
anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi
dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani
penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi
anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada
awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal.
Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan.
Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.2,3
II.H.1. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE.
Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini
dianggap terbaik untuk nefritis lupus dan SLE pada umumnya. Harus
dipertimbangkan, bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih
32
buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak
menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya. 1,2
Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi
segera
setelah
muncul
perbaikan
secara
klinis
dan
pemeriksaan
dengan
dosis
tinggi
intermitten
intravena
disertai
33
34
II.H.2. Hidroklorokuin
Hidroklorokuin diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus
derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang
berat. Ada beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala
dapat menurunkan resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga
memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko komplikasi
kadriovaksular.
Pemakaian
jangka
panjang.
Hidroklorokuin
dapat
35
Bila
timbul
efek
samping
pada
penggunaan
II.H.5. Plasmapharesis
36
37
minggu sekali saat mulai terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali ketika penyakit
sudah dapat dikontrol.
Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa
diantaranya adalah SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index
(LAI), the European Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM),
Systemic Lupus Activity Measure (SLAM) dan British Isles Lupus Assessment
Group (BILAG). Skor-skor ini sensitif pada perubahan perjalanan penyakit.2
II.I.1.
Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar
ultraviolet (terutama UV-A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan
ruam pada lupus dan juga gejala sistemik seperti nyeri sendi dan fatigue.
bisa juga menyebabkan serangan pertama. Jadi, untuk menghindari pajanan
yang terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien atau siapapun juga harus
menggunakan topi atau krim tabir surya. Pasien yang menggunakan krim
tabir surya secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar) memiliki resiko lebih
rendah untuk terkena lupus nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan
lebih sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak dengan SLE sebaiknya selalu
menggunakan krim tabir surya setiap hari pada seluruh kulitnya yang
terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada siang hari, karena
awan tidak dapat menghilangkan sinar UV. 2,4
38
II.I.2.
Imunisasi 2
Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan
virus. Pada anak-anak ini seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang
diwajibkan namun tidak boleh yang mengandung vaksin hidup.
- Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum
pernah terinfeksi virus varicella-zoster. Termasuk kedalam vaksin
hidup (live vaccine) sehingga harus diberikan sebelum terapi
dengan kortikosteroid dimulai.
- Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat
diagnosis
SLE
ditegakkan,
dan
setiap
tahun.
Infeksi
39
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.
II.J. PROGNOSIS 8
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan
diselingi oleh fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut
Sibley, bangkitan diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau
keluhan baru yang memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya
merupakan bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan predominan pada
sendi dan kulit. Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan bangkitan
aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet,
infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk
siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan
antikonvulsan, serta kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah
bervariasi dari bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi
viseral. Sebaliknya, bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di
bawah pengobatan.
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal,
hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi
belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara
40
41
42
kekurangan
zat
besi
karena
perdarahan
yang
bersifatkronik.
d. Anemia karena berkurangnya fungsi sumsum tulang.
Tanda dan gejala anemi 3 :
- Pucat.
- Lemah badan.
- Mudah lelah.
- Penglihatan berkunang-kunang.
- Jantung berdebar.
43
44
45
dari
20.000/mm3
dan
antara
20.000-50.000
dengan
perdarahan.14
Pengobatan yang dapat diberikan 14 :
- Steroid.
- Siklofosfamid.
- Mikofenolat mofetil.
c. Sindroma Evans
Merupakan kumpulan gejala yang disebabkan karena anemi hemolitik
imun dan berkurangnya trombosit. Pengobatan sama dengan
pengobatan anemi hemolitik imun dan purpura trombositopeni imun.14
d. Sindroma antifosfolipid
Sindroma antifosfolipid adalah sekumpulan gejala karakteristik adanya
penyumbatan pembuluh darah (pembuluh darah balik/vena dan
nadi/arteri) dan/atau gangguan kehamilan yang berhubungan dengan
tingginya zat anti terhadap plasma protein yang berikatan dengan
fosfolipid an ion (antibodi antifosfolipid). 15 Terdapat 3 jenis antibodi
antifosfolipid yaitu : lupus antikoagulan, antibodi antikardiolipin dan
46
Gejala klinik :
-
Pengobatan :
Pengobatan diberikan bila terjadi penyumbatan pembuluh darah
dan/atau gangguan pada kehamilan. Diberikan obat-obat untuk
mencegah pembekuan darah yaitu heparin, warfarin atau obat untuk
mencegah bergumpalnya trombosit yaitu aspirin.18
47
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
48
1.
Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
49
9.
Nelson, Waldo E, etc. 2000. NELSON Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15.
Jakarta: EGC
10.
Anonim.
2008.
Lupus
Eritematosus
Sistemik.
Available
on:
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
50