Anda di halaman 1dari 50

DIAGNOSIS DAN PENGELOLAAN SISTEMIK LUPUS

ERITEMATOSUS (SLE) PADA ANAK

Oleh

Dini Oktaviana
NIM 12330066
DOSEN :
1. Dra. Refdanita, M.Si.Apt.
2. Putu Rika Veryanti M.Farm-Klin., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2016

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................ i


Daftar Isi ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
II.A. Definisi ........................................................................................... 3
II.B Etiologi ........................................................................................... 3
II.C Epidemiologi .................................................................................. 6
II.D Patogenesis ..................................................................................... 6
II.E Manifestasi Klinis ........................................................................ 11
II.F Bentuk-Bentuk Lupus
II.F.1. Nefritis Lupus ................................................................... 17
II.F.2. Lupus Diskoid .................................................................. 24
II.F.3. Sistem Saraf Pusat ............................................................ 25
II.F.4. Arthritis Lupus ................................................................. 26
II.F.5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis) ............................ 26
II.F.6. Fenomena Raynaud .......................................................... 27
II.F.7. Gangguan Darah ................................................................ 27
II.G.

Lupus Neonatus ............................................................................ 27

II.H.

Penatalaksanaan ........................................................................... 28
II.H.1. Kortikosteroid .................................................................. 29

II.H.2. Hidroklorokuin ................................................................. 32


II.H.3. Asam Asetilsalisilat dan Obat-Obat AINS ....................... 32
II.H.4. Obat-Obatan Imunosupresif ..............................................32
II.H.5. Plasmapharesis ................................................................. 34
II.H.6. Splenektomi ...................................................................... 34
II.H.7. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca .................34
II.I.

Memonitor Perajalanan Penyakit ................................................. 34


II.I.1. Proteksi Terhadap Matahari ............................................ 35
II.I.2. Imunisasi .......................................................................... 36
II.I.3. Diet dan Olahraga ........................................................... 36

II.J.

Prognosis ...................................................................................... 37

II.K.

Kelainan Darah Pada Lupus

...................................................... 39

II.K.1. Kelainan Sel Darah Merah (Eritrosit) .............................. 39


II.K.2 Kelainan Sel Darah Putih (Lekosit) ............................. 40
II.K.3 Kelainan Sel Pembeku Darah (Trombosit) ...................... 41
BAB III : KESIMPULAN ................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 46

BAB I
PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit


multiorgan yang berdasarkan kelainan imunologik. Organ yang sering terkena
yaitu sendi, kulit, ginjal, otak, hati, dan lesi dasar pada pada organ tersebut adalah
suatu vaskulitis yang terjadi oleh karena pembentukan dan pengendapan
kompleks antigen-antibodi. SLE ditandai dengan pembentukan bermacam-macam
antibodi yang ditujukan terhadap komponen inti sel, yaitu DNA, RNA, dan
nukleoprotein. Kadang-kadang awalnya hanya satu organ yang terkena selama
beberapa bulan atau tahun yang kemudian berkembang ke beberapa organ lain.1
SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa
anak dapat menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada
keterlibatan organ penting, sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit
berat serta ada keterlibatan beberapa organ.2
Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus,
dapat muncul gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot,
lelah, dan kehilangan berat badan yang nyata. Semua gejala ini tentunya tidak
spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendukung
maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis dini sangat penting dalam
menentukan terapi yang tepat untuk meminimalkan kemungkinan komplikasi
yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya lebih parah daripada pada orang
dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.2

Lupus adalah penyakit kronik yang tingkat penyebaran dan remisinya


tidak dapat diprediksi. Sekali anak didiagnosis dengan SLE maka ia
membutuhkan dukungan keluarganya dan penanganan multidisiplin ilmu dalam
menjalani kehidupan dengan penyakitnya tersebut. Walaupun beberapa literatur
mengatakan bahwa SLE tidak ada obatnya, namun hasil pengobatan jangka
panjang pada anak dengan SLE dapat memberi hasil yang baik apabila ditangani
oleh tim medis yang ahli dalam bidangnya masing-masing.2
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada
beberapa pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak dengan
SLE. Diantaranya keparahan penyakit, presentase penyakit, pemeriksaan lab yang
menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari pasien tersebut. Hal terpenting
dalam menangani anak dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik untuk pasien
dengan mempertimbangkan keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang
berkembang. Pasien harus diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya,
pengobatan dan efek-efek sampingnya, serta hasil pengobatan yang mungkin
terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan kepada pasien dan
keluarganya, tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan kemampuannya dalam
mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta kemampuan dalam
mengambil keputusan.3

BAB II
PEMBAHASAN

II.A. DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang
menyerang berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah lupus eritematosus
sistemik dapat diartikan secara bahasa sebagai gigitan serigala, mungkin istilah
ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu ruam pada wajah penderita SLE yang
perjalanan penyakitnya sudah lama dan belum mendapat terapi. Secara istilah,
SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik,
multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi
(ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded
DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena
sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit
seribu wajah (masquerader, The Great Imitators). 2,4,5

II.B. ETIOLOGI
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi
secara genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya
penyakit autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis rentan
terpapar satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan. SLE
berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a)
allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan
pada penderita SLE yang afro-amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-

masing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga maupun sanak saudara


memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang berhubungan dengan
disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal: imunodefisiensi primer, dan
keganasan limforetikuler), hipergammaglobulinemia, RF, ANA dan penyakit
autoimun lainnya.4
Sebenarnya, apa yang menyebabkan berbagai kelainan imunologi yang
ditemukan pada SLE yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi, pembentukan
kompleks imun, hipokomplementemia yang akhirnya menyebabkan kerusakan
jaringan sampai saat ini belum dapat dipastikan. Beberapa fakta telah ditemukan
tetapi belum merupakan suatu hipotesis yang mencakup semuanya. Agaknya
etiologi SLE merupakan multifaktor.1 Beberapa hal yang disepakati berperan pada
SLE adalah: 1,6,7
1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh beberapa fakta:
- SLE ditemukan pada 70% kembar identik
- Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat
- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga
meningkat
2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:
- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas
dan pasca pubertas
- Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita
SLE. Bila pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan

membaik. Sebaliknya pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE


bertambah jelek.
3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya
SLE adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan
obat-obatan. Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun,
lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat2
berikut: hydralazine (digunakan untuk hipertensi), quinidine dan
procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal), fenitoin
(digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan
untuk tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid
arthtritis). Obat-obatan ini diketahui menstimulasi sistem imun dan
menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat-obatan jarang
(kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika
obat-obat tersebut dihentikan
4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh
karena ditemukan struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai
agregat intrasel miksovirus. Tetapi ternyata kemudian dibantah dan
sampai sekarang masih tetap dianggap tidak ada bukti nyata virus sebagai
etiologi.

II.C. EPIDEMIOLOGI

Lupus adalah penyakit langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang
pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja. SLE terjadi
pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17% orang dengan
SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5% diantaranya mulai
pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73%
didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan
sebagai penyakit pada usia remaja. SLE dapat muncul pada pria maupun wanita,
dari etnis manapun, berapapun usianya. Namun diagnosis SLE 4,3 kali lebih
sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Perbedaan ini tidak
nyata sampai usia 9 tahun keatas, ketika beberapa penelitian menunjukkan
perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja. Dalam
hal etnis, lupus lebih sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli
Amerika, Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia. 2,3,4

II.D. PATOGENESIS 1,8


SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadangkadang, yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada
nefritis lupus, tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran
klinis yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai
macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah
terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double
stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA).

Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T


yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan
autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam
jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi
inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.
Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat
25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga
menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh
petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q,
C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip
HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE
bersifat multipel, kompleks dan interaktif.
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan
menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel
B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit.
Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang
merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG
anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan
oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh
faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi
antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi
autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi

10

jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada


bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang
respons pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap
peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik
terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan jenis idiotip yang
ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat
spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul
aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun
juga

disebabkan

oleh

pembersihan

yang

kurang

optimal

dari

sistem

retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem


retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi
dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi,
pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun
yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa autoantibodi
terhadap berbagai antigen. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling
sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi
terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya
titer anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu
bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan
mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai
reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai

11

sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan


karena

dapat

berinteraksi

dengan

substansi

antikoagulasi,

diantaranya

antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat


terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear
telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan
sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun
bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat
ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari
seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus
ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan
pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus
renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh
kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya
produk aktivasi komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen
dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung
pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade
komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit
dan makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor

12

terlibat dalam deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen,
respon autoantibodi yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun
karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini
dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel.
Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di
daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan
membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian
CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B.
Terdapat perubahan fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin
cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang
terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam
pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada
SLE terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Terjadi pula persistensi sel
apoptosis akibat defek pembersihan. Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan
sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein
Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause,
diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk
menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat

13

mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan
risiko terbesar untuk mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan estrogen
merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai
kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone)
dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, terdapat
peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga
meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan
hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan
betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian
penderita jantan.
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor
predisposisi genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan
faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun
spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.

II.E. MANIFESTASI KLINIS


Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti
demam, fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada
anak tidaklah sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anakanak biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan
berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang
lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. 2,6

14

Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis.
Ruam malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul
akibat

adanya

sensitifitas

yang

berlebihan

terhadap

cahaya

matahari

(photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress
emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada
lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak
tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut
dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat
berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis
seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi jari-jari
tangan atau kaki. 2,4,7

Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus

Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat


menyebabkan parut. Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit
pada lupus diskoid sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya
berwarna merah dan mempunyai tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit
dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen.
5%-10% pasien dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE. 7

15

Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid

Manifestasi

klinis

lain

adalah

petekie

dan

perdarahan

karena

trombositopenia. Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan
biasanya didiagnosis sebagai Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP).
Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada sebagian anak. Umumnya gejala
berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini, khorea lebih umum
ditemukan sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada demam reumatik.
Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan. Fenomena Raynaud
sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan
krioglobulin. 2,4
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan
sakit lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak
didiagnosis dengan suspect infeksi virus sebelum akhirnya diagnosis lupus
ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari
seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya
dalam minggu pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan
seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis lain (misal:
Crohn disease, atau vaskulitis sistemik). 2
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)5

16

Keadaan umum

Mudah lelah
Demam dan malaise
Penurunan berat badan
Limfadenopati

Kulit

Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas


Alopesia
Lesi diskoid
Lesi pada kuku
Lupus tumidus
Lupus kutaneus subakut
Purpura vaskulitis

Muskuloskeletal

Arthritis / arthralgia non-erosif


Tenosinovitis
Miopati
Nekrosis avaskular

Sistem Pencernaan

Ulserasi oral dan nasal


Anoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut
difus
Dismotilitas esofagus
Kolitis
Hepato-splenomegali
Pankreatitis
Protein losing enteropathy / sindrom malabsorbsi

Kardiovaskuler

Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Kelainan konduksi jantung
Miokarditis
Endokarditis Libman-Sacks
Accelerated coronary artery disease
Gangren perifer

Sistem Pernapasan

Pleuritis, efusi pleura


Subklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru)
Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasis
Perdarahan
Paru menyusut (disfungsi diafragma)
Pneumotoraks

Sistem Persarafan

Migrain
Depresi / cemas
Psikosis organik
Kejang

17

Neuropati saraf pusat dan saraf tepi


Khorea
Kelainan serebrovaskular
Sistem Penglihatan

Retinopati, cotton wool spots


Papiloedema

Ginjal

Glomerulonefritis
Hipertensi
Gagal ginjal

Hematologi

Anemia hemolitik dengan Coombs positif


Trombositopenia
Sindrom antifosfolipid

Endokrin

Hipo / hipertiroidism

Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang
berat. Pada kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk
menegakkan diagnosis. American College of Rheumatology (ACR) membuat
kriteria untuk klasifikasi SLE.
Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk
Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik 2
Ruam malar (butterfly rash)
Ruam diskoid-lupus
Fotosensitif
Ulkus pada oral atau nasal
Arthritis non-erosif
Nefritis
Proteinuria >0,5 g/hari
Silinder selular
Ensefalopati

18

Kejang
Psikosis
Pleuritis atau perikarditis
Kelainan hematologi
Anemia hemolitik
Leukopenia
Limfopenia
Trombositopenia
Pemeriksaan imunoserologis positif
Antibodi terhadap dsDNA
Antibodi terhadap Smith nuclear antigen
Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:
Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin
Lupus antikoagulan
Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan
Tes antinuklear antibodi (ANA) positif
Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi
penyakit, diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas
96%.

II.F. BENTUK-BENTUK LUPUS

19

II.F.1.

Nefritis Lupus

Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan
ginjal pada suatu masa dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien
lupus dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal dan diperiksa dengan mikroskop
imunofloresensi akan ditemukan kelainan pada hampir semua kasus
meskipun pada pemeriksaan urinalisisnya belum ada kelainan (silent NL). 5,8
Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena
kelainan patologi anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur
parenkim ginjal, yaitu glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari
tanpa kelainan pada urinalisis, atau hanya edema, proteinuria/hematuria
ringan sampai gambaran klinis yang berat yaitu sindrom nefrotik,
glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif, atau
hipertensi yang dapat disertai ensefalopati hipertensif. 1
Diagnosis1
Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya
SLE pada pasien. Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang
telah direvisi pada tahun 1997 seperti yang telah disampaikan diatas.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan
laboratorium pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE
reaksi (+), peninggian LED, penurunan kadar komplemen C3, C4, dan
komplemen total (CH50), peninggian kadar antibodi antinuklear dan adanya
antibodi terhadap DNA double-stranded (ds-DNA). Pada pemeriksaan

20

urinalisis dapat ditemukan hematuria, proteinuria, dan macam-macam


silinder, antara lain : torak, sel darah merah, dan sel darah putih. Derajat
proteinuria sering berkorelasi dengan beratnya penyakit dan dapat mencapai
kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu >40 mg/jam/m 2. Pemeriksaan
darah tepi juga bervariasi, yaitu dapat berupa leukositosis atau leukopenia,
dengan atau tanpa trombositopenia. Apabila ditemukan anemia, perlu
diperiksa uji coombs untuk melihat adanya anemia hemolitik autoimun. NL
dengan anemia dilaporkan mempunyai prognosis yang kurang baik dan
umumnya progresif. Pemeriksaan lain yang kadang-kadang positif yaitu uji
reumatoid dan serologi terhadap sifilis yang merupakan reaksi positif palsu.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada pasien NL ataupun
lupus eritematosus sistemik pada umumnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium pada NL / SLE1
1. Urinalisis
2. Darah tepi, termasuk LED
3. Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu
4. Pemeriksaan fungsi ginjal
-

darah ureum dan kreatinin

klirens ureumdan kreatinin

5. Kimia darah
- albumin, globulin, kolesterol

21

6. Pemeriksaan khusus
-

sel LE

komplemen darah (C3, C4, CH50)

C-reaktif protein (CRP)

Antibodi anti ds-DNA

Uji coombs

Uji serologi sifilis

Serum imunoglobulin, terutama IgG

krioglobulin

7. Biopsi ginjal
Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin
(anti fosfolipid).
Gambaran Patologi Anatomi (PA)1
Gambaran PA pada NL sampai saat ini berdasarkan pada klasifikasi WHO.
Tabel 3. Klasifikasi Histopatologi NL Menurut WHO1
Tipe I

Normal
a. Normal pada semua pemeriksaan
b. Normal

dengan

pemeriksaan

mikroskop

cahaya,

tetapi

ditemukan deposit pada pemeriksaan mikroskop imun


Tipe II Glomerulonefritis mesangial
a. Pelebaran daerah mesangium dengan/tanpa hiperselular ringan
b. Hiperselular sedang

22

Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental


a. Dengan lesi nekrosis aktif
b. Dengan lesi sklerosis aktif
c. Dengan lesi sklerosis
Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus
a. Tanpa lesi segmental
b. Dengan lesi nekrosis aktif
c. Dengan lesi sklerosis aktif
d. Dengan lesi sklerosis
Tipe V Glomerulonefritis membranosa
a. Murni
b. Disertai gambaran tipe II (a atau b)
Tipe VI Glomerulonefritis sklerosis kronik
Biopsi ginjal terindikasi pada semua pasien nefritis lupus, dengan kata
lain pada pasien SLE dengan kelainan urinalisis atau gejala NL yang lain
yaiu hipertensi, peningkatan kadar ureum/kreatinin darah. Klasifikasi
histopatologi ginjal diperlukan untuk: 1. Memastikan diagnosis NL, 2.
Menetapkan klasifikasi pasien NL, 3. Menetapkan jenis pengobatan, 4.
Menetapkan prognosis, 5. Menilai keberhasilan pengobatan (dengan biopsi
ulang).

23

Tipe I Glomerulus normal


Pengertian normal disini termasuk adanya penambahan sedikit matriks
dan sel mesangial pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Pada tipe I bila
dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi akan ditemukan deposit granular
IgG, C3, C4, Clq, kadar IgA dan IgM di mesangium. Juga pada mikroskop
elektron dapat ditemukan deposit elektron dense di mesangium. Gambaran
ini ditemukan pada 6% NL.
Tipe II Glomerulonefritis mesangeal
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan penambahan matriks
dan sel mesangial yang jelas. Pada pemeriksaan dengan mikroskop
imuofluoresensi dan elektron kelainan yang ditemukan sama dengan tipe I.
Tipe I ditemukan pada 20% NL.
Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel
mesangial dan endotel yang bersifat fokal dan segmental. Selain itu pada
beberapa tempat (fokal) dapat terlihat nekrosis fibrinoid, infiltrasi sel
neutrofil, dan penebalan membran basal. Pada pemeriksaan dengan
mikroskop imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq,
kadang-kadang IgM dan IgA di daerah mesangial dan beberapa dinding
kapiler. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, terlihat deposit electron
dense pada daerah mesangial dan di beberapa tempat subendotel dan
subepitel. Tipe III ditemukan pada 23% NL.

24

Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus


Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel difus
mesangial dan endotel pada semua glomerulus. Pada beberapa kasus
dijumpai proliferasi sel epitel glomerulus dan pembentukan kresen
fibroepitelial yang dapat mencapai lebih dari 50%. Juga dapat terlihat
nekrosis fibrinoid disertai infiltrasi sel neutrofil di glomerulus. Membran
basal glomerulus menebal dan menunjukkan gambaran lesi wire loop
eosinofilik. Hal ini disebabkan adanya deposit subendotel yang besar dan
difus. Kadang-kadang dapat terlihat arteritis pada arteri dan trombosis pada
kapiler glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop imunofloresensi akan
terlihat gambaran deposit granular di mesangium dan sepanjang dinding
kapiler terdiri atas IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang IgA dan IgM.
Kresen epitel memberi warna positif dengan fibrin. Pada pemeriksaan
dengan mikroskop elektron, dijumpai deposit electron dense di mesangium
dan daerah subendotel, kadang juga subepitel. Tipe IV dijumpai pada 40%
pasien NL.
Tipe V Glomerulonefritis membranosa
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya dijumpai gambaran seperti pada
nefropati membranosa idiopatik yaitu tidak adanya proliferasi sel dan
ditemukan penebalan membran basal. Pada pewarnaan perak dapat dijumpai
gambaran sisir (spike). Pada pemeriksaan imunofluoresensi ditemukan
deposit granular IgG, C3, C4, Clq, disepanjang dinding kapiler glomerulus.
Pada pemeriksaan mikroskop elektron, ditemukan deposit elektron dense di

25

daerah subepitel kapiler glomerulus dan kadang-kadang di daerah mesangial


dan subendotel. Tipe V ditemukan pada kurang dari 10%.
Tipe VI Glomerulosklerosis
Glomerulosklerosis adalah gambaran akhir dari kerusakan ginjal pada
NL yang bersifat ireversibel. Secara morfologik, akan terlihat gambaran
penambahan matriks mesangial, sklerosis glomerulus, atrofi tubulus,
sklerosis vaskular, dan fibrosis interstisial. Tipe VI ditemukan pada 0,7%.
Berbeda dengan gambaran patologi anatomi pada penyakit glomerulus
lainnya antara lain sindrom nefrotik idiopatik pada NL dapat terjadi
perubahan morfologi glomerulus dari tipe yang ringan menjadi yang berat
atau sebaliknya. Perubahan dari bentuk ringan tipe II dapat menjadi tipe IV
bila tidak diobati, sedangkan dengan terapi tipe IV proliferatif difus dapat
berubah menjadi tipe II mesangial atau tipe V membranosa yang lebih
ringan.
Biopsi kulit akhir-akhir ini mendapat perhatian baik pada NL maupun
SLE karena dapat dipakai dalam diagnosis banding dengan penyakut
reumatoid lain dan membedakan NL dengan granulopati idiopatik. Pada
lupus ditemukan deposit granuler pada pertemuan daerah dermis dan
epidermis. Deposit tersebut dengan teknik imunofluoresensi terdiri atas IgG,
C3, properdin dan antibodi DNA. Ada laporan terdapat korelasi antara
beratnya gambaran histolologi ginjal dan gambaran deposit di kulit, tetapi
ini belu dapat dikonfirmasi peneliti lain.

26

Korelasi antara gambaran patologi anatomi dan klinis1


Pada umumnya, terdapat korelasi yang kuat antara gambaran PA dan
klinis. Pasien dengan gambaran PA glomerulus normal (tipe I) dan
mesangeal (tipe II) menunjukkan presentasi klinis yang ringan yaitu
urinalisis normal atau minimal dan fungsi ginjal yang normal. Gambaran PA
proliferatif

difus

(tipe

IV)

biasanya

menunjukkan

gambaran

PA

glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik dengan hipertensi dan gagal


ginjal. Bila tipe IV ini disertai kresen yang > 50% akan disertai gagal ginjal
progresif (glomerulonefritis progresif cepat). Pasien dengan gambaran PA
tipe V GN membranosa menunjukkan gambaran klinis sindrom nefrotik
yang bersifat menahun, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal yang
perlahan-lahan (progresif lambat). Tipe V glomerulosklerosis merupakan
stadium lanjut NL yang diakhiri dengan gagal ginjal terminal.
II.F.2.

Lupus Diskoid

Sebesar 2 - 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi


kulit diskoid pada pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul
dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama
dapat terjadi parut atrofi dan banyak muncul pada kulit yang sering terkena
sinar matahari, sebagaimana halnya pada pasien dewasa. Lesi diskoid sering
menyebabkan timbulnya jaringan parut dan dapat kambuh kembali jika
pasien terpapar sinar ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan menjadi
SLE dalam waktu 5 tahun. Walaupun belum ada penelitian yang
menyebutkan lupus diskoid dapat berkembang menjadi SLE pada anak,

27

namun presentasi lupus diskoid pada anak yang cukup jarang harus
mendapatkan perhatian dari dokter yang merawat. Hasil pemeriksan
laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan
laboratoris lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk
memantau progresifitas penyakit ini menjadi SLE. 3,8
II.F.3. Sistem Saraf Pusat
Gejala SSP muncul pada 20 30% pada anak dan dewasa dengan
SLE, dan dapat melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak
seperti manifestasi penyakit lain, keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun
pertama penyakit pada 75-85% pasien yang akan berkembang menjadi
penyakit SSP. Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global
dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan
kehilangan memori. Gejala neuropsikiatrik ada pada 33 60% pasien SLE
dewasa dengan kelainan SSP. Resiko pada wanita delapan kali lebih besar
daripada pria, dan resiko tertinggi ada pada wanita kulit hitam. Diagnosa
lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk menyingkirkan ganguan
psikososial

reaktif,

infeksi,

dan

metabolik.

Disarankan

untuk

mengkonsultasikan hal ini dengan ahli psikiatri.


Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada
anak dan dewasa. Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome,
dan disfungsi kognitif. Gangguan motorik (khorea) lebih sering pada anak,
mungkin berhubungan dengan adanya antibodi anti-fosfolipid. Nyeri kepala

28

juga sering menjadi gelaja dari SLE namun penyebab nyeri kepala lain juga
tidak kalah banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan bukan berasal dari
kelainan intrakranial, biasanya disebabkan oleh trombosis vena serebralis
dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan
antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga,
konfirmasi dengan CT Scan perlu dilakukan. 3,8
II.F.4.

Arthritis Lupus

Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai


dengan nyeri, bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak,
seringkali muncul poliarthritis yang mengenai sendi-sendi besar maupun
kecil. Arthritis biasanya lebih mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan
kelainan organ lain pada SLE. Tidak seperti reumatoid arthritis, arthritis
SLE terasa sangat nyeri, dan nyeri yang dirasakan pasien tidak sebanding
dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan. Pemeriksaan radiologi pada
sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan pada
tulang sendi. Anak dengan RA sendi poliartikular beberapa tahun kemudian
dapat menjadi LES. 3
IIF.5.

Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)


Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat

efusi pleura pada pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada


pasien. Nyeri pleura adalah nyeri dada yang tajam, yang diperburuk oleh
batuk, menarik nafas dalam dan perubahan tertentu posisi tubuh. Atau dapat

29

pula muncul sebagai perikarditis, dibuktikan dengan EKG atau terdengar


pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan
fisik. 7,8
II.F.6. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan
kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium
pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.8
II.F.7.

Gangguan Darah

Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik


dengan retikulositosis, 2) Leukopenia < 4000/mm 3 pada > 1 pemeriksaan,
3) Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia <
100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat.8

II.G. LUPUS NEONATUS 6,9


Lupus neonatus, merupakan komplikasi kehamilan yang mengenai janin
pada ibu dengan SLE. Bayi-bayi yang terkena dapat menderita ruam,
trombositopenia atau blokade jantung kongenital, kelainan hepar dan berbagai
manifestasi sistemik lainnya Sindrom lupus neonatus dianggap disebabkan oleh
faktor-faktor maternal pada janin, tetapi patogenesis yang tepat belum pasti.
Untuk menegakkan diagnosis lupus neonatus, The Research Registry for
Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :

30

1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La


pada serum ibu.
2. Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus. Kelainan konduksi
jantung/blok jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran
hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La.
Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko
bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai
20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6%
dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita.
Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan
anti SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang
dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi
pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan
sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan
yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk
menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti pemberian kortiokosteroid,
gammaglobulin intravena atau plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok
jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat
penting untuk seorang ibu yang menderita SLE dan ingin hamil.7

II.H. PENATALAKSANAAN
Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade
terakhir ini telah mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan

31

karena penggunaan obat kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan
cepat menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala
ekstra-renal ringan, tidak diperluka terapi kortikosteroid, cukup diberi obat
salisilat, anti malaria (hidroksi klorokuin), atau obat anti inflamasi non steroid. 1
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis
gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan
organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari
pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter
laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan
relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan
anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi
dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani
penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi
anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada
awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal.
Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan.
Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.2,3
II.H.1. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE.
Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini
dianggap terbaik untuk nefritis lupus dan SLE pada umumnya. Harus
dipertimbangkan, bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih

32

buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak
menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya. 1,2
Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi
segera

setelah

muncul

perbaikan

secara

klinis

dan

pemeriksaan

laboratorium. Pada permulaan penyakit anak biasanya diberikan jadwal


minum obat prednison tiga kali sehari. Pada pertengahan, dosis diturunkan
namun tetap dilanjutkan. 2
Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2
mg/kgBB/hari atau 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan
secara bertahap; bila terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi
ginjal, normalisasi komplemen darah, dan penurunan titer anti ds-DNA.
Penurunan dosis berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis prednison
diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan
dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps, pemberian
steroid diuah manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila
timbul relaps, dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.1
Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama
adalah peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian
kortikosteroid

dengan

dosis

tinggi

intermitten

intravena

disertai

suplementasi vitamin D dan kalsium bisa mempertahankan densitas mineral


tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak SLE. Resiko fraktur bisa
dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang lebih baik.
Melalui program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa

33

dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti


tiroiditis dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis
avaskuler bisa terjadi pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid
dosis tinggi dan jangka panjang.8 Pada beberapa anak, pota tidur dapat
terganggu karena pengaruh kortikosteroid. Sebagian anak menjadi lebih
hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat diatasi dengan
memberikan kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak dengan
terapi kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi
BAK malam hari sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek
negatif seperti ini, dosis kortikosteroid dapat disesuaikan. Beberapa efek
samping kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid 2
Efek samping
Rekomendasi
Peningkatan nafsu makan dan berat Diet rendah garam dan lemak. Konsultasi gizi
badan, moon face
bila perlu
Acne
Gangguan mood
Pertumbuhan lebih lambat
Osteopenia
Avaskular nekrosis (AVN)
Mudah terkena infeksi
Tekanan darah meningkat
Katarak
Peningkatan resiko atherosklerosis

Krim anti-acne topikal


Diskusikan dengan anak dan angota keluarga
yang lain bahwa terkadang perubahan mood
ini sulit untuk dikontrol.
Beri pengertian tentang kearusan anak
mengejar ketinggalan dalam pertumbuhannya
Suplemen kalsium dan vitamin D
Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan
kepada dokter ahli ortopedi
Vaksinasi pneumonia dan varisella jika anak
tidak sedang menderita cacar
Monitor berkala, obat antihipertensi bila perlu
Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan.
Konsultasikan kepada dokter spesialis mata
Cek profil lipid sebelum terapi kortikosteroid
maupun hidroklorokuin.

34

II.H.2. Hidroklorokuin
Hidroklorokuin diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus
derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang
berat. Ada beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala
dapat menurunkan resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga
memiliki efek pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko komplikasi
kadriovaksular.

Pemakaian

jangka

panjang.

Hidroklorokuin

dapat

menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar diminimalisasi dengan


mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari. 2
II.H.3. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS
Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan
sebagai profilaksis episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak
dengan antibodi antifosfolipid yang tinggi dan/atau anak dengan lupus
antikoagulan.
Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda
pada muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak
dengan terapi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat
mengobati serositis. 2
II.H.4. Obat-obatan Imunosupresif
Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam
kombinasi dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah
siklofosfamid dan azatioprin. Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:

35

Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak


memuaskan untuk mengontrol penyakit

Bila

timbul

efek

samping

pada

penggunaan

kortikosteroid, misalnya hipertensi


-

Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal


diberikan kombinasi kortikosteroid dan sitostatik.

Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini


dilaporkan penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid
dengan cara pulse terapi yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1
gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada hari pemberian infus anak
dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya komplikasi sistitis
hemoragik.
Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse
siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan
fungsi ginjal pada NL proliferasi difus. Dosis yang dipakai adalah 500
mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m 2 pada bulan kedua dan selanjutnya 1
gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan fungsi
ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m 2. Bila jumlah leukosit
<2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis diturunkan
125 mg/m2.1

II.H.5. Plasmapharesis

36

Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang


ada manfaatnya terutama bila dikombinasi dengan kortikosteroid dosis tingi
dan siklofosfamid. Namun ini bukanlah terapi yang efektif.2
II.H.6. Splenektomi
Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan
terapi standar untuk idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya
menjadi efektif. Namun hal ini meningkatkan resiko terjadinya sepsis,
terutama dari kuman-kuman salmonella dan pneumokokus.2
II.H.7. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca
Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca secara autologous atau
alogenik lebih efektif pada pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi dengan pendekatan terapi semacam ini, sehingga ini
merupakan pilihan terakhir. 2

II.I. MEMONITOR PERJALANAN PENYAKIT


Memonitor SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang harus
diperatikan dan kesemuanya harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi
dilakukan. Pemeriksaan laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan
secara rutin. Pemeriksaan laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte
sedimentation rate), C3, C4, anti ds-DNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH,
albumin, kreatinin, dan urinalisis. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 2-4

37

minggu sekali saat mulai terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali ketika penyakit
sudah dapat dikontrol.
Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa
diantaranya adalah SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index
(LAI), the European Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM),
Systemic Lupus Activity Measure (SLAM) dan British Isles Lupus Assessment
Group (BILAG). Skor-skor ini sensitif pada perubahan perjalanan penyakit.2
II.I.1.

Proteksi Terhadap Matahari

Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar
ultraviolet (terutama UV-A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan
ruam pada lupus dan juga gejala sistemik seperti nyeri sendi dan fatigue.
bisa juga menyebabkan serangan pertama. Jadi, untuk menghindari pajanan
yang terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien atau siapapun juga harus
menggunakan topi atau krim tabir surya. Pasien yang menggunakan krim
tabir surya secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar) memiliki resiko lebih
rendah untuk terkena lupus nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan
lebih sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak dengan SLE sebaiknya selalu
menggunakan krim tabir surya setiap hari pada seluruh kulitnya yang
terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada siang hari, karena
awan tidak dapat menghilangkan sinar UV. 2,4

38

II.I.2.

Imunisasi 2

Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan
virus. Pada anak-anak ini seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang
diwajibkan namun tidak boleh yang mengandung vaksin hidup.
- Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum
pernah terinfeksi virus varicella-zoster. Termasuk kedalam vaksin
hidup (live vaccine) sehingga harus diberikan sebelum terapi
dengan kortikosteroid dimulai.
- Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat
diagnosis

SLE

ditegakkan,

dan

setiap

tahun.

Infeksi

pneumokokus yang invasif sering terjadi pada anak dengan SLE.


- Vaksin influenza. Anak SLE yang di imunisasi dengan vaksin
influenza memiliki respon antibodi yang protektif, walaupun
jumlahnya lebih sedikit dari anak yang normal.
- Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan
pada setiap anak dengan SLE.
II.I.3.

Diet dan Olahraga 2,10

Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak


ada diet khusus untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat
badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari
makanan junk food atau makanan mengandung tinggi sodium dan tinggi
garam untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih. Pasien lupus
sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk

39

mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh
berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.

II.J. PROGNOSIS 8
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan
diselingi oleh fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut
Sibley, bangkitan diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau
keluhan baru yang memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya
merupakan bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan predominan pada
sendi dan kulit. Beberapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan bangkitan
aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu pajanan sinar ultraviolet,
infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk
siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan
antikonvulsan, serta kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah
bervariasi dari bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi
viseral. Sebaliknya, bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di
bawah pengobatan.
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal,
hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi
belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara

40

pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti


hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,
misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden
vaskular serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker,
hemopati) akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi
imun akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena
harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.
Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan
hanya akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit
lupusnya itu sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan
pencegahan terhadap semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.
Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian
kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak
terkontrol, dan satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.
Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun
sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ
tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.

41

II.K Kelainan Darah Pada Lupus


Darah terdiri dari cairan darah dan komponen darah. Komponen darah
terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan pembeku darah. Sel darah putih
(lekosit) terdiri dari limfosit, netrofil batang, netrofil segmen dan monosit. Cairan
darah (plasma) terdiri dari protein dan faktor-faktor pembekuan. Ketidaknormalan
sel darah dan faktor-faktor pembekuan sering ditemukan pada penderita lupus
eritematosis sistemik. Manifestasi klinis yang utama adalah anemia (penurunan
hemoglobin), lekopenia (penurunan jumlah sel darah putih), trombositopenia
(penurunan jumlah sel pembeku darah) dan sindroma antifosfolipid. Faktor-faktor
yang berperan dalam terjadinya kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik
adalah 11 :
-

Adanya inflamasi/peradangan yang berlangsung terus-menerus (kronik).

Adanya proses imun (reaksi antibodi dengan sel-sel darah ).

Adanya perdarahan saluran cerna yang bersifat kronik karena efek


samping obatobatan yang digunakan.

II.K.1 Kelainan Sel Darah Merah (Eritrosit)


Pada 50% penderita lupus eritematosus sistemik, ditemukan adanya
anemia. Anemia adalah berkurangnya kadar hemoglobin (pada wanita, <
12gr %).2 Pada

lupus eritematosus sistemik, dapat ditemukan 3 jenis

anemia yaitu 11,12 :


a. Anemia karena perdarangan /penyakitkronis.

42

b. Anemia hemolitik imun : anemia karena penghancuran sel darah


merah yang berlebihan (ditemukan sebanyak 10% anemi pada
lupus).
c. Anemia

kekurangan

zat

besi

karena

perdarahan

yang

bersifatkronik.
d. Anemia karena berkurangnya fungsi sumsum tulang.
Tanda dan gejala anemi 3 :
- Pucat.
- Lemah badan.
- Mudah lelah.
- Penglihatan berkunang-kunang.
- Jantung berdebar.

II.K.2 Kelainan Sel Darah Putih (Lekosit)


Pada lupus eritematosus sistemik dapat terjadi :
a. Penurunan jumlah lekosit (lekopenia)
Lekopenia adalah penurunan jumlah lekosit di bawah 4500/mm 3.
Keadaan ini ditemukan pada kira-kira 50% penderita, terutama
pada keadaan penyakit aktif.11
b. Penurunan jumlah netrofil (netropenia)
Netropenia adalah jumlah netrofil batang dan segmen di bawah
2000/mm3. Netropenia dapat disebabkan karena proses imun, obat

43

obatan (siklofosfamid, azatioprin),gangguan fungsi sumsum


tulang).11
c. Penurunan jumlah limfosit (limfopenia)
Limfopenia adalah penurunan jumlah limfosit di bawah 1500/mm 3.
Keadaan ini ditemukan pada kira-kira 20-75% penderita , terutama
ditemukan pada keadaaan penyakit aktif.11
d. Peningkatan lekosit (lekositosis)
Peningkatan lekosit >10.000/mm3 pada lupus eritematosus dapat
disebabkan karena penggunaan steroid atau adanya infeksi.12
II.K.3 Kelainan Sel Pembeku Darah (Trombosit)
a. Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia)
Trombositopeni adalah penurunan trombosit <150.000/mm 3.
Trombositopeni ringan (trombosit antara 100.000 - 150.000/mm3)
ditemukan pada 25 - 50% penderita lupus. Pada 10% penderita
ditemukan trombosit 50.000/mm3.
Trombositopeni disebabkan karena menempelnya zat anti pada
permukaan trombosit sehingga terjadi penghancuran trombosit di
limpa.11
b. Peningkatan jumlah trombosit (trombositosis)
Trombositosis

adalah peningkatan trombosit >400.000/mm 3.

Keadaan ini ditemukan pada 3,7% penderita lupus. Trombositosis


dapat disebabkan karena peradangan atau perdarahan kronik.11

44

Tanda dan gejala penurunan jumlah trombosit 4 :


- Perdarahan hidung.
- Perdarahan gusi.
- Perdarahan kulit.
- Menstruasi yang banyak dan lama.
Penurunan sel darah merah, seldarah putih dan sel pembeku darah. Keadaan
ini disebut pansitopenia, disebabkan karena kegagalan fungsi sumsum
tulang.11
Berikut ini penjelasan secara singkat tentang kelainan-kelainan darah yang
sering didapatkan pada lupus eritematosus sestemik :
a. Anemi hemolitikimun
Anemihemolitik imun adalah anemi yang disebabkan adanya
peningkatan penghancuran sel darah merah karena adanya antibod
ipada permukaan sel darah mera h. Antibodi

ini dapat dideteksi

dengan pemeriksaan Coombs dari darah.14


Pengobatan 14 :
- Transfusi sel darah merah cuci (washed rell cell) bila terdapat
gejala kekurangan oksigen (sakit kepala, jantung berdebar, sesak
nafas).
- Steroid.
- Siklofosfamid.
- Mikofenolat mofetil.

45

b. ITP(Immune thrombocytopenic purpura)


ITP atau Purpura trombositopeni imun ad alah berkurangnya
jumlah trombosit (trombositopeni) dengan penyeb ab proses imun
(adanya zat anti terhadap trombosit).14
Pengobatan direkomendasikan pada penderita dengan trombosit
kurang

dari

20.000/mm3

dan

antara

20.000-50.000

dengan

perdarahan.14
Pengobatan yang dapat diberikan 14 :
- Steroid.
- Siklofosfamid.
- Mikofenolat mofetil.
c. Sindroma Evans
Merupakan kumpulan gejala yang disebabkan karena anemi hemolitik
imun dan berkurangnya trombosit. Pengobatan sama dengan
pengobatan anemi hemolitik imun dan purpura trombositopeni imun.14
d. Sindroma antifosfolipid
Sindroma antifosfolipid adalah sekumpulan gejala karakteristik adanya
penyumbatan pembuluh darah (pembuluh darah balik/vena dan
nadi/arteri) dan/atau gangguan kehamilan yang berhubungan dengan
tingginya zat anti terhadap plasma protein yang berikatan dengan
fosfolipid an ion (antibodi antifosfolipid). 15 Terdapat 3 jenis antibodi
antifosfolipid yaitu : lupus antikoagulan, antibodi antikardiolipin dan

46

antibodi 2-glikoprotein.15 Frekwensi antibodi antifosfolipid pada


penderita lupus adalah 16 :
-

Lupus antikoagulan pada 31% penderita.

Antibodi antikardiolipin pada 23 -47% penderita.

Antibodi 2-glikoprotein pada 20 % penderita.

Gejala klinik :
-

Penyumbatan pembuluh darah balik (vena) dan pembuluh nadi


(arteri) pada tungkai, perut, mata , otak.15

Penurunan trombosit (trombositopenia).15

Test antikardiolipin antibodipositif dalam 2 kali pemeriksaan


dengan jarak 12 minggu.17

Keguguran kehamilan, kelahiranprematur dan kematian bayi dalam


kandungan.15

Pengobatan :
Pengobatan diberikan bila terjadi penyumbatan pembuluh darah
dan/atau gangguan pada kehamilan. Diberikan obat-obat untuk
mencegah pembekuan darah yaitu heparin, warfarin atau obat untuk
mencegah bergumpalnya trombosit yaitu aspirin.18

47

BAB III
KESIMPULAN

Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu penyakit autoimun yang


dicirikan oleh adanya produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah, yaitu
antibodi terhadap double stranded DNA. SLE delapan kali lebih banyak pada
wanita daripada pria. Penyebab SLE tidak diketahui, namun, keturunan, virus,
sinar ultraviolet dan obat-obatan, semuanya dapat berperan.
Lebih dari 10% pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan menjadi
SLE. Sebelas kriteria dapat membantu dalam mendiagnosis SLE. Pengobatan SLE
secara langsung mengurangi peradangan dan/atau tingkat aktifitas autoimun.
Pasien dengan SLE dapat mencegah kekambuhan dengan menghindari
paparan cahaya matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba-tiba
serta memonitor kondisinya pada dokter.7

DAFTAR PUSTAKA

48

1.

Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2.

Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of


Systemic Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and
Child Health 18:2. Published by Elsevier Ltd.

3.

Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in


Childhood. From Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America.
Published by WBS.

4.

Rudolph, Abraham M, etc.1996. Rudolph Pediatrics. USA: Appleton &


Lange.

5.

Webb, Nicholas and Robert Postlethwaite. 2003. Clinical Paediatric


Nephrology 3rd Edition. USA: Oxford University.

6.

Kusuma, A.Agung Ngurah Jaya. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik pada


Kehamilan. Dari: Jurnal Penyakit Dalam vol 8 no. 2. Diterbitkan oleh: Divisi
Feto Maternal SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah,
Denpasar.

7.

Panca, Widianto. 2009. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Available


on:http://widiantopanca.blogdetik.com/systemic-lupuserythematosus.
Accessed at: January, 17th 2010.

8.

Judarwanto,W. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Available


on: http://childrenclinic.wordpress.com/sle-anak. Accessed at: January, 17th
2010.

49

9.

Nelson, Waldo E, etc. 2000. NELSON Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15.
Jakarta: EGC

10.

Anonim.

2008.

Lupus

Eritematosus

Sistemik.

Available

on:

http://www.klikdokter.com/sle. Accessed at: January, 17th 2010.


11.

Schur PH. Hematologic manifestations of systemic lupus erythematosus in


adults. Available from : www.uptodate.com

12.

Gottlieb BS, Ilowite NT. Systemic lupus erythematosus in children


and adolescents. Pediatrics in Review 2006;27:323-9.

13.

Fairbanks VF. The Anemia. In: Mazza JJ ed. Manual of clinical


hematology. 2nd ed. Boston: Littlte, Brown and Company;1995.p.23.

14.

Supandiman, I., Sumantri, S., Fadjari, TH., Fianza, PI., Oehadian, A.


Pedoman diagnosis dan terapi hematologionkologi medik. Bandung :
Qommunication ; 2003.p.10- 15, 107-109.

15.

Bermas B, Erkan D, Schur PH. Clinical manifestations and diagnosis


of anti phospholipid syndrome. Available from : www.uptodate.com

16.

Bermas BL, Schur PH. Pathogenesis of the anti phospholipid syndrome.


Available from : www.uptodate.com

17.

Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, Branch DW, Brey RL, Cervera


R, et al. International consensus statem ent on an uptodate of the clas
sification criteria for definite anti phospholipid syndrome (APS). Journal of
Thrombosis and Hemostasis 2006 ;4:295-306.

18.

Bermas, B.L., Schur, P.H., Treatment of the antiphospholipid syndrome.


Available from : www.uptodate.com

50

Anda mungkin juga menyukai