Oleh:
Indaryati
G2A215009
G2A215010
Meiditya Paramitasari
G2A215011
Bayu Permana
G2A215012
Etika Putri
G2A215013
Agus Nuryanto
G2A215014
G2A215015
G2A215016
B. Etiologi
Menurut smaltzer (2002), penyebab trauma abdomen dapat terjadi karena
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian. Penyebab trauma yang lainnya sebagai berikut :
1.
Penyebab trauma penetrasi
a. Luka akibat terkena tembakan
b. Luka akibat tikaman benda tajam
c. Luka akibat tusukan
2.
Penyebab trauma non-penetrasi
a. Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
b. Hancur (tertabrak mobil)
c. Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
d. Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
C. Manifestasi Klinis
Menurut Nugroho, Putri, & Putri (2016) manifestasi klinis trauma abdomen
dibagi menjadi dua yaitu trauma penetrasi dan non-penetrasi :
Pada trauma penetrasi terdapat :
1. Terdapat luka robekan pada abdomen.
2. Luka tusuk sampai menembus abdomen.
3. Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan /
memperparah keadaan.
4. Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam abdomen.
Pada trauma non-penetrasi terdapat :
1. Jejas atau ruptur dibagian dalam abdomen.
leukositosis.
Biasanya
tanda-tanda
peritonitis
mungkin
belum
tampak.Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul.
Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus
dilakukan (Mansjoer, 2001)
E. Pathway
Trauma
(kecelakaan)
Motilitas usus
Kelemahan fisik
Hasil yang normal untuk kadar hemoglobin dan hematokrit tidak bisa
dijadikan acuan bahwa tidak terjadi perdarahan. Pasien pendarahan
mengeluarkan darah lengkap.Hingga volume darah tergantikan dengan
cairan kristaloid atau efek hormonal (seperti adrenocorticotropic hormone
[ACTH], aldosteron, antidiuretic hormone [ADH]) dan muncul pengisian
ulang transkapiler, anemia masih dapat meningkat. Jangan menahan
pemberian transfusi pada pasien dengan kadar hematokrit yang relatif
normal (>30%) tapi memiliki bukti klinis syok, cidera berat (seperti
fraktur pelvis terbuka), atau kehilangan darah yang signifikan.
Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan trombositopenia
berat (jumlah trombosit<50,000/mL) dan terjadi perdarahan. Beberapa
penelitian menunjukkan hubungan antara rendahnya kadar hematokrit
(<30%) dengan cidera berat. Peningkatan sel darah putih tidak spesifik
dan tidak dapat menunjukkan adanya cidera organ berongga.
b. Kimia serum
Banyak korban trauma kecelakaan lebih muda dari 40 tahun dan
jarang menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi elektrolit (seperti
diuretik, pengganti potassium). Jika pengukuran gas darah tidak
dilakukan, kimia serum dapat digunakan untuk mengukur serum glukosa
dan level karbon dioksida. Pemeriksaan cepat glukosa darah dengan
menggunakan alat stik pengukur penting pada pasien dengan perubahan
status mental.
c. Tes fungsi hati
Tes fungsi hati pada pasien dengan trauma tumpul abdomen penting
dilakukan, namun temuan peningkatan hasil bisa dipengaruhi oleh
beberapa alasan (contohnya penggunaan alkohol). Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa kadar aspartate aminotransferase (AST) atau alanine
aminotransferase (ALT) meningkat lebih dari 130 U pada koresponden
dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar Lactate Dehydrogenase
(LDH) dan bilirubin tidak spesifik menjadi indikator trauma hepar.
d. Pengukuran Amilase
Penentuan amylase awal pada beberapa penelitian menunjukkan tidak
sensitif dan tidak spesifik untuk cidera pankreas. Namun, peningkatan
abnormal kadar amylase 3-6 jam setelah trauma memiliki keakuratan yang
cukup besar. Meskipun beberapa cedera pankreas dapat terlewat dengan
pemeriksaan CT scan segera setelah trauma, semua dapat teridentifikasi
jika scan diulang 36-48 jam. Peningkatan amylase atau lipase dapat
terjadi akibat iskemik pancreas akibat hipotensi sistemik yang menyertai
syok.
e. Urinalisis
Indikasi untuk urinalisis termasuk trauma signifikan pada abdomen
dan atau panggul, gross hematuria, mikroskopik hematuria dengan
hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang signifikan. Gross hematuri
merupakan indikasi untuk dilakukannya cystografi dan IVP atau CT
scan abdomen dengan kontras.
f. Penilaian gas darah arteri (ABG)
Kadar ABG dapat menjadi informasi penting pada pasien dengan
trauma mayor.Informasi penting sekitar oksigenasi (PO2, SaO2) dan
ventilasi (PCO2) dapat digunakan untuk menilai pasien dengan kecurigaan
asidosis metabolic hasil dari asidosis laktat yang menyertai syok. Defisit
kadar basa sedang (>-5 mEq) merupakan indikasi untuk resusitasi dan
penentuan etiologi. Usaha untuk meningkatkan pengantaran oksigen
sistemik dengan memastikan SaO2 yang adekuat (>90%) dan pemberian
volume cairan resusitasi dengan cairan kristaloid, dan jika diindikasikan,
dengan darah.
g. Skrining obat dan alcohol
Pemeriksaan skrining obat dan alkohol pada pasien trauma dengan
perubahan tingkat kesadaran.Nafas dan tes darah dapat mengindentifikasi
tingkat penggunaan alkohol.
2. Pemeriksaan Lainnya
Menurut Nugroho, Putri, & Putri (2016) pemeriksaan diagnostic pada pasien
trauma abdominal adalah sebagai berikut :
a. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak.
b. Ultrasonografi dan Computed Tomography (CT) Scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi
dan disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.
c. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam
rongga perut.Hasilnya dapat amat membantu, tetapi DPL ini hanya alat
diagnostik.Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
1) Indikasi untuk melakukan DPL adalah :
a) Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
b) Trauma pada bagian bawah dari dada
c) Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
d) Pasien cidera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,
alcohol, cedera otak)
e) Pasien cedera abdominal dan cedera medulla spinalis (sumsum
tulang belakang)
f) Patah tulang pelvis
2) Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah :
a) Hamil
b) Pernah operasi abdominal
c) Operator tidak berpengalaman
d) Bila hasilnya tidak merubah penatalaksanaan
G. Penatalaksanaan
1. Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang
menunjukkan
trauma
diafragma, abdominal
intra-abdominal
free
(pemeriksaan
air, evisceration)
harus
peritoneal,
segera
injuri
dilakukan
pembedahan.
2. Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-operative
berdasarkan status klinik dan derajat luka yang terlihat di CT.
3. Pemberian obat analgetik sesuai indikasi.
4. Pemberian O2 sesuai indikasi.
ruptur
limpa
atau
hati).
Sabuk
keselamatan
kulit.
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria hasil :
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
2) Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
2) Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
dan pengajaran.
membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
B. Klasifikasi
Menurut Pangestu (2009) perdarahan saluran cerna dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Perdarahan saluran cerna atas (SCBA) adalah perdarahan saluran makanan
proksimal dari ligamentum Treitz.
bagian
atas,
I. Komplikasi
1. anemia
2. Dehidrasi
3. Nyeri dada (jika disertai penyakit jantung)
4. Kehilangan banyak darah
5. Syok
6. kematian
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primer
Pengkajian yang dilakukan menggunakan pendekatan Airway, Breathing,
Circulation, dan Diasability (ABCD).
a. Airway
Untuk mengkaji airway, maka yang dilakukan perawat adalah dengan
teknik look, listen and feel. Look yang dilakukan adalah melihat
kebersihan jalan nafas. Pada kasus perdarahan saluran pencernaan,
khususnya saluran cerna bagian atas biasanya terjadi muntah darah. Oleh
karena itu, perawat harus melakukan pengkajian terhadap risiko terjadinya
aspirasi pada saluran napas. Pada teknik listen, biasanya pada perdarahan
saluran cerna bagian atas terdapat suara napas gurgling karena adanya
cairan (darah) pada saluran pernapasan. Untuk feel, perawat merasakan
hembusan napas pasien. Pada kasus perdarahan saluran pencernaan bagian
atas, biasanya bisa terjadi sumbatan parsial atau total pada saluran napas
akibat menggumpalnya (clothing) darah.
b. Breathing
Pada breathing yang perlu dikaji oleh perawat adalah adanya perubahan
frekuensi napas pasien, adanya penggunaan otot-otot pernapasan. Pada
kejadian perdarahan saluran pencernaan, biasanya terjadi penurunan kadar
haemoglobin dalam darah, sehingga transportasi oksigen ke sel terganggu
akibat berkurangnya pengangkut oksigen (Hb) dan berdampak pada
peningkatan frekuensi napas dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan.
c. Circulation
Untuk mengevaluasi keparahan kehilangan darah dan untuk mencegah
atau memperbaiki penyimpangan klinis syok hipovolemik, perawat harus
lebih sering mengkaji pasien. Pada fase pertama perdarahan, kehilangan
darah kurang dari 800 ml, pasien mungkin hanya akan menunjukkan
tanda-tanda lemah, ansietas, dan berkeringat. Dengan perdarahan yang
berlebihan suhu tubuh meningkat sampai 38,4 0390 C sebagai respon
terhadap perdarahan, dan bising usus menjadi hiperaktif karena
sensitivitas usus besar terhadap darah.
Jika tingkat kehilangan darah berkisar antara sedang sampai berat
(kehilangan >800 ml), respon system saraf simpatis menyebabkan
pelepasan katekolamin, epinefrin, dan norepinefrin. Keadaan ini pada
awalnya menyebabkan peningkatan frekuensi jantung dan vasokonstriksi
vascular perifer dalam upaya untuk mempertahankan tekanan darah yang
adekuat. Dengan tingkat kehilangan darah sedang sampai berat, akan
timbul tanda-tanda dan gejala syok.
Sejalan dengan berkembanganya gejala-gejala syok, pelepasan
katekolamin akan memicu pembuluh darah pada kulit, paru-paru,
intestine, hepar, dan ginjal untuk berkontraksi, dengan demikian akan
meningkatkan aliran volume darah ke jantung dan otak. Karena penurunan
aliran darah pada kulit, maka kulit pasien akan sangat dingin saat disentuh.
cerna.
aliran darah
150 25
20
Glukogen/Ins
ulin
0.5
2.5 0.8
3.0 0.7
8 1.5
Selain itu perlu juga dikaji adanya rasa nyeri saat BAB. Bising usus juga
harus dimonitor terus untuk menentukan status peristaltik.
3.
Pemeriksaan diagnostic
Hitung hematokrit dan hemoglobin diperintahkan dengan hitung darah
lengkap. Adalah penting untuk menganggap bahwa hematokrit umumnya
tidak berubah pada jam-jam pertama setelah perdarahan gastrointestinal akut
karena mekanisme kompensasi. Cairan yang diberikan pada saat masuk juga
mempengaruhi hitung darah. Jumlah sel darah putih dan glukosa mungkin
meningkat, mencerminkan respon tubuh terhadap stress. Penurunan kalium
dan natrium kemungkinan terjadi karena disertai muntah. Tes fungsi hepar
biasa
digunakan
untuk
mengevaluasi
integritas
hematologi
pasien.
4.
Diagnosa
Defisit
volume
berhubungan
cairan
dengan
yang
kehilangan
darah akut.
Kriteria hasil / :
Tujuan-tujuan
pasien
Intervensi
Keperawatan
Diagnosa
Kerusakan
pertukaran
gas
yang
Tujuan-tujuan
pasien
1. Pantau
Intervensi
Keperawatan
SaO2
dengan
menggunakan
O2
sesuai
instruksi.
4. Pantau suhu tubuh.
5. Pantau adanya distensi abdomen.
6. Baringkan pasien pada bagian kepala
tempat tidur ditinggikan jika segalanya
memungkinkan.
7. Pertahankan fungsi dan patensi kateter
nasogastrik dengan tepat.
8. Atasi segera mual.
c.
Diagnosa
Kriteria hasil / :
Tujuan-tujuan
Pasien
tidak
akan
mengalami
i9nfeksi
pasien
nosokomial.
1. Pertahankan kestabilan selang intravena.
Intervensi
Keperawatan
Amankan
aplians
intravena
berikut
selangnya.
2. Ukur suhu tubuh setiap 4 jam.
3. Pantau system intravena terhadap patensi,
infiltrasi, dan tanda-tanda infeksi (nyeri
setempat, inflamasi, demam, sepsis).
4. Ganti letak intravena setiap 48-72 jam
dan prn.
5. Ganti larutan intravena sedikitnya setiap
24 jam.
6. Pantau letak insersi setiap penggantian
tugas.
7. Dokumentasikan
tentang
selang,
Diagnosa
pasien
diskusi
terbuka
untuk
persoalan-
persoalan emosional.
2. Gerakan system pendukung pasien dan
libatkan
sumber-sumber
kebutuhan.
3. Berikan waktu
pada
ini
pasien
sesuai
untuk
penjelasan
yang
perawat-keluarga
mengenai
masalah-masalah emosional.
7. Validasikan pengetahuan dasar pasien
dan keluarga tentang penyakit kritis.
8. Libatrkan system pendukung religious
sesuai kebutuhan
DAFTAR PUSTAKA
Ignativicus, Donna D ; Workman. 2006. Medical Surgical Nursing Critical Thinking
for Collaborative Care. USA : Elsevier Saunders
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.FKUI : Media
Aesculapius
Nugroho, T., Putri, B. T., & Putri, D. K. (2016).Teori asuhan keperawatan gawat
darurat.Yogyakarta : Nuha Medika
Catherino ,Jeffrey M.2003.Emergency Medicine Handbook.USA: Lipipincott
Williams
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC
Krisanty Paula, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama,
Jakarta, Trans Info Media
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Edisi 7.Jakarta : EGC
Pangestu. A. 2009. Dalam buku Ilmu Penyakit Dalam.Edisi kelima. Jakarta: PT
Interna Publishing.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. 2007. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms. USA: Merck
Research Laboratories