Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA

TRAUMA ABDOMEN DAN PERDARAHAN SALURAN CERNA


Disusun untuk memenuhi syarat Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
yang diampu oleh Ns. Akhmad Mustofa., M.Kep

Oleh:
Indaryati

G2A215009

Annisa Nur Aini

G2A215010

Meiditya Paramitasari

G2A215011

Bayu Permana

G2A215012

Etika Putri

G2A215013

Agus Nuryanto

G2A215014

Fitri Yanna Setyowati

G2A215015

Allan Maulana Azmi

G2A215016

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2015/2016

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN


PADA TRAUMA ABDOMEN
A. Definisi
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau
yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).Trauma abdomen didefinisikan
sebagai trauma yang melibatkan daerah antara diafragma atas dan panggul bawah
(Guilon, 2011).

B. Etiologi
Menurut smaltzer (2002), penyebab trauma abdomen dapat terjadi karena
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian. Penyebab trauma yang lainnya sebagai berikut :
1.
Penyebab trauma penetrasi
a. Luka akibat terkena tembakan
b. Luka akibat tikaman benda tajam
c. Luka akibat tusukan
2.
Penyebab trauma non-penetrasi
a. Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
b. Hancur (tertabrak mobil)
c. Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
d. Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
C. Manifestasi Klinis
Menurut Nugroho, Putri, & Putri (2016) manifestasi klinis trauma abdomen
dibagi menjadi dua yaitu trauma penetrasi dan non-penetrasi :
Pada trauma penetrasi terdapat :
1. Terdapat luka robekan pada abdomen.
2. Luka tusuk sampai menembus abdomen.
3. Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan /
memperparah keadaan.
4. Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam abdomen.
Pada trauma non-penetrasi terdapat :
1. Jejas atau ruptur dibagian dalam abdomen.

2. Terjadi perdarahan intra abdominal.


3. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus
tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala
mual, muntah, dan BAB hitam (melena).
4. Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah trauma.
5. Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding
abdomen.
Menurut Effendi, (2005) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :
1. Nyeri
Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat.Nyeri dapat
timbul di bagian yang luka atau tersebar.Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri
lepas.
2. Darah dan cairan
Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga peritonium yang disebabkan
oleh iritasi.
3. Cairan atau udara dibawah diafragma
Nyeri disebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limpa.Tanda ini ada
saat pasien dalam posisi rekumben.
4. Mual dan muntah.
5. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah).
6. Yang disebabkan oleh kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock
hemoragi.
D. Patofisiologi
Jika terjadi trauma penetrasi atau non-pnetrasi kemungkinan terjadi
pendarahan intra abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda
iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran
klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami perforasi, maka tandatanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritonium cepat tampak. Tanda-tanda dalam
trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri lepas dan
distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis umum.Bila syok
telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan peningkatan suhu tubuh, juga
terdapat

leukositosis.

Biasanya

tanda-tanda

peritonitis

mungkin

belum

tampak.Pada fase awal perforasi kecil hanya tanda-tanda tidak khas yang muncul.

Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk rongga abdomen, maka operasi harus
dilakukan (Mansjoer, 2001)
E. Pathway
Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen


(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih


Gangguan cairan
Nutrisi kurang dari
dan eloktrolit
kebutuhan tubuh

Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik


(Sumber : Mansjoer,2001)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Salomone & Salomone (2011), pemeriksaan laboratorium
yang direkomendasikan untuk korban trauma biasanya termasuk glukosa
serum, darah lengkap, kimia serum, amylase serum, urinalisis, pembekuan
darah, golongan darah, arterial blood gas (ABG), ethanol darah, dan tes
kehamilan (untuk wanita usia produktif).
a. Pemeriksaan darah lengkap

Hasil yang normal untuk kadar hemoglobin dan hematokrit tidak bisa
dijadikan acuan bahwa tidak terjadi perdarahan. Pasien pendarahan
mengeluarkan darah lengkap.Hingga volume darah tergantikan dengan
cairan kristaloid atau efek hormonal (seperti adrenocorticotropic hormone
[ACTH], aldosteron, antidiuretic hormone [ADH]) dan muncul pengisian
ulang transkapiler, anemia masih dapat meningkat. Jangan menahan
pemberian transfusi pada pasien dengan kadar hematokrit yang relatif
normal (>30%) tapi memiliki bukti klinis syok, cidera berat (seperti
fraktur pelvis terbuka), atau kehilangan darah yang signifikan.
Pemberian transfusi trombosit pada pasien dengan trombositopenia
berat (jumlah trombosit<50,000/mL) dan terjadi perdarahan. Beberapa
penelitian menunjukkan hubungan antara rendahnya kadar hematokrit
(<30%) dengan cidera berat. Peningkatan sel darah putih tidak spesifik
dan tidak dapat menunjukkan adanya cidera organ berongga.
b. Kimia serum
Banyak korban trauma kecelakaan lebih muda dari 40 tahun dan
jarang menggunakan obat-obatan yang mempengaruhi elektrolit (seperti
diuretik, pengganti potassium). Jika pengukuran gas darah tidak
dilakukan, kimia serum dapat digunakan untuk mengukur serum glukosa
dan level karbon dioksida. Pemeriksaan cepat glukosa darah dengan
menggunakan alat stik pengukur penting pada pasien dengan perubahan
status mental.
c. Tes fungsi hati
Tes fungsi hati pada pasien dengan trauma tumpul abdomen penting
dilakukan, namun temuan peningkatan hasil bisa dipengaruhi oleh
beberapa alasan (contohnya penggunaan alkohol). Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa kadar aspartate aminotransferase (AST) atau alanine
aminotransferase (ALT) meningkat lebih dari 130 U pada koresponden
dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar Lactate Dehydrogenase
(LDH) dan bilirubin tidak spesifik menjadi indikator trauma hepar.

d. Pengukuran Amilase
Penentuan amylase awal pada beberapa penelitian menunjukkan tidak
sensitif dan tidak spesifik untuk cidera pankreas. Namun, peningkatan
abnormal kadar amylase 3-6 jam setelah trauma memiliki keakuratan yang
cukup besar. Meskipun beberapa cedera pankreas dapat terlewat dengan
pemeriksaan CT scan segera setelah trauma, semua dapat teridentifikasi
jika scan diulang 36-48 jam. Peningkatan amylase atau lipase dapat
terjadi akibat iskemik pancreas akibat hipotensi sistemik yang menyertai
syok.
e. Urinalisis
Indikasi untuk urinalisis termasuk trauma signifikan pada abdomen
dan atau panggul, gross hematuria, mikroskopik hematuria dengan
hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang signifikan. Gross hematuri
merupakan indikasi untuk dilakukannya cystografi dan IVP atau CT
scan abdomen dengan kontras.
f. Penilaian gas darah arteri (ABG)
Kadar ABG dapat menjadi informasi penting pada pasien dengan
trauma mayor.Informasi penting sekitar oksigenasi (PO2, SaO2) dan
ventilasi (PCO2) dapat digunakan untuk menilai pasien dengan kecurigaan
asidosis metabolic hasil dari asidosis laktat yang menyertai syok. Defisit
kadar basa sedang (>-5 mEq) merupakan indikasi untuk resusitasi dan
penentuan etiologi. Usaha untuk meningkatkan pengantaran oksigen
sistemik dengan memastikan SaO2 yang adekuat (>90%) dan pemberian
volume cairan resusitasi dengan cairan kristaloid, dan jika diindikasikan,
dengan darah.
g. Skrining obat dan alcohol
Pemeriksaan skrining obat dan alkohol pada pasien trauma dengan
perubahan tingkat kesadaran.Nafas dan tes darah dapat mengindentifikasi
tingkat penggunaan alkohol.
2. Pemeriksaan Lainnya

Menurut Nugroho, Putri, & Putri (2016) pemeriksaan diagnostic pada pasien
trauma abdominal adalah sebagai berikut :
a. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak.
b. Ultrasonografi dan Computed Tomography (CT) Scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi
dan disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.
c. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam
rongga perut.Hasilnya dapat amat membantu, tetapi DPL ini hanya alat
diagnostik.Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
1) Indikasi untuk melakukan DPL adalah :
a) Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
b) Trauma pada bagian bawah dari dada
c) Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
d) Pasien cidera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,
alcohol, cedera otak)
e) Pasien cedera abdominal dan cedera medulla spinalis (sumsum
tulang belakang)
f) Patah tulang pelvis
2) Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah :
a) Hamil
b) Pernah operasi abdominal
c) Operator tidak berpengalaman
d) Bila hasilnya tidak merubah penatalaksanaan
G. Penatalaksanaan
1. Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang
menunjukkan

trauma

diafragma, abdominal

intra-abdominal
free

(pemeriksaan

air, evisceration)

harus

peritoneal,
segera

injuri

dilakukan

pembedahan.
2. Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-operative
berdasarkan status klinik dan derajat luka yang terlihat di CT.
3. Pemberian obat analgetik sesuai indikasi.
4. Pemberian O2 sesuai indikasi.

5. Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan.


6. Trauma penetrasi :
a. Dilakukan tindakan pembedahan di bawah indikasi tersebut di atas.
b. Kebanyakan GSW membutuhkan pembedahan tergantung kedalaman
penetrasi dan keterlibatan intraperitoneal.
c. Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di bawah kondisi
steril) untuk menunjukkan gangguan peritoneal ; jika peritoneum utuh,
pasien dapat dijahit dan dikeluarkan.
d. Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan pembedahan.
e. Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan atau dihilangkan dengan
pembedahan(Catherino, 2003).
H. Komplikasi
1. Trombosis Vena
2. Emboli Pulmonar
3. Stress Ulserasi dan perdarahan
4. Pneumonia
5. Tekanan ulserasi
6. Atelektasis
7. Sepsis
8. Pankreas : pankreatitis, pseudocyta formasi, fistula pancreas-duodenal, dan
perdarahan.
9. Limfa: perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin,
diaphoresis, dan syok.
10. Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok.
11. Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA) (Catherino, 2003).
I. Asuhan Keperawatan
Menurut krisanty, (2009) pengkajian dan diagnosa secara teoritis yaitu:
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer

Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam


nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat. Apabila sudah ditemukan luka
tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani,
penilaian awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi, jika korban
tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
1) Airway, dengan Kontrol Tulang Belakang, membuka jalan napas
menggunakan teknik head tilt chin lift atau menengadahkan kepala
dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat
mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah
atau benda asing lainnya.
2) Breathing, dengan ventilasi yang adekuat, memeriksa pernapasan
dengan menggunakan cara lihat-dengar-rasakan tidak lebih dari 10
detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak, selanjutnya
lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan
adekuat tidaknya pernapasan).
3) Circulation, dengan kontrol perdarahan hebat, jika pernapasan korban
tersengal-sengal dan tidak adekuat, makabantuan napas dapat
dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi
jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam
RJP adalah 15 : 2 (15 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas.
b. Pengkajian skunder
1) Pengkajian fisik
a) Inspeksi
Harus teliti, meteorismus, darm contour, darm steifung, adanya
tumor, dilatasi vena, benjolan di tempat terjadi hernia, dll.Sikap
penderita pada peritonitis : fleksi artic. coxae dan genue
sehingga melemaskan dinding perut dan rasa sakit
b) Palpasi

Diperhatikan adanya distensi perut, defans muskuler, sakit tekan


titik McBurney, iliopsoas sign, obturator sign, rovsing sign, rebound
tenderness.
Rectal toucher : untuk menduga kausa ileus mekanik, invaginasi,
tumor, appendikuler infiltrate.
Pemeriksaan vaginal
c) Perkusi
Penting untuk menilai adanya massa atau cairan intra abdominal
d) Auskultasi
Harus sabar dan teliti
Borboryghmi, metalic sound pada ileus mekanik
Silent abdomen pada peritonitis / ileus paralitik.
c. Pengkajian pada trauma abdomen
1) Trauma Tembus abdomen
a) Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ;
kekuatan tumpul (pukulan).
b) Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk,
memar, dan tempat keluarnya peluru.
c) Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga
perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal
keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium,
biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga
abdomen).
d) Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi,
nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus,
hipotensi dan syok.
e) Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen,
observasi cedera yang berkaitan.
f) Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.

2) Trauma tumpul abdomen


a) Metode cedera.
b) Waktu awitan gejala.
c) Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering
menderita

ruptur

limpa

atau

hati).

Sabuk

keselamatan

digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.


d) Waktu makan atau minum terakhir.
e) Kecenderungan perdarahan.
f) Penyakit danmedikasi terbaru.
g) Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
h) Alergi, lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk
mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien dengantraumaabdomen (Wilkinson,2006)
adalah :
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
b. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas

kulit.
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria hasil :
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
2) Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi dan Implementasi :


1) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.

R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam


melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.

R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah


intervensi.
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.

R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya


proses peradangan.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa

kering dan steril, gunakan plester kertas.


R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi.
5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas
pada area kulit normal lainnya.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi
parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
7) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen


pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
b. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan gangguan integritas

kulit.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil :
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
2) Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.

Intervensi dan Implementasi :


1) Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh
meningkat.
2) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.

R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.


3) Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter,
drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
4) Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah,
seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa
terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
5) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma/diskontinuitas jaringan.

Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.


Kriteria Hasil :
Nyeri berkurang atau hilang
Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
1. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
2. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
3. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang
nyeri
4. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
5. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi
untuk memblok stimulasi nyeri.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.


Kriteria hasil :
Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.

Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas


tanpa dibantu.
Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
Intervensi dan Implementasi :
1. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
R/ mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat
digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.
2. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
R/ tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara
perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi
dini.
3. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
R/ mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
4. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
R/ menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai
akibat dari latihan
e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,

terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.


Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
1) Penampilan yang seimbang..
2) Melakukan pergerakkan dan perpindahan.
3) Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan
karakteristik :
1 mandiri penuh
2 memerlukan alat Bantu.
3 memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan,
4
5

dan pengajaran.
membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.

Intervensi dan Implementasi :

1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan


peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
2) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah
karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
3) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
4) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
5) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan
mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma abdomen adalah :
a. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
b. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
c. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
d. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
e. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PERDARAHAN
SALURAN CERNA
A. Definisi
Perdarahan saluran cerna adalah saetiap perdarahan dari saluran cerna (dari
mulut sampai anus), yang dapat timbul sebagai hematemesis, melena, oerdarahan
rektal atau anemia.Hematemsis didefinisikan sebagai muntah darah dan biasanya
disebabkan oleh penyakit saluran cerna bagian atas. Melena adalah keluarnya
feses berwarna hitam per rektal yang mengandung campuran darah, biasanya
disebabkan perdarahan usus proksimal (Pangestu,2009)

B. Klasifikasi
Menurut Pangestu (2009) perdarahan saluran cerna dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Perdarahan saluran cerna atas (SCBA) adalah perdarahan saluran makanan
proksimal dari ligamentum Treitz.

2. Perdarahan saluran cerna bawah (SCBB) adalah perdarahan dari usus di


sebelah ligamentum Treitz
C. Etiologi
Etiologi dari saluran cerna menurut Pangestu (2009) dibagi menjadi :
1. saluran cerna bagian atas:
a. pecahnya varisies esofagus (tersering di Indonesia, lebih kurang 70-75%)
b. perdarahan tukak peptic
c. gastritis erosiva (terutama akibat OAINS)
d. gastropati hipertensi portal
e. esofagitis
f. tumor
g. angiodisplasia.
2. Saluran cerna bagian bawah:
a. kolitis (infeksi, radiasi, ikemik)
b. tumor
c. divertikulosis
d. inflamatory Bowel Diseae
e. hemoroid.
D. Manifestasi Klinis
1. Perdarahan Saluran Pencernaan Atas
a. Hematemesis : Muntah darah dan mengindikasikan adanya perdarahan
saluran cernaatas, yang berwarna coklat merah atau coffee ground
b. Melena : Kotoran ( feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan kotoran
bercampurasam lambung, biasanya mengindikasikan perdarahan saluran
cerna

bagian

atas,

atau perdarahan daripada usus-

usus ataupuncolon bagian kanan dapat juga menjadi sumberlainnya.


2. Perdarahan Saluran Pencernaan Bawah
a. Hematoskezia : perdarahan yang keluar dari anus dengan warna merah
segar.
b. Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah anemia, sinkope,
instabilitashemodinamik karena hipovolemik dan gambaran klinis dari
komorbid seperti penyakithati kronis, penyakit paru, penyakit jantung,
penyakit ginjal
(Porter, 2008)
E. Patofisiologi

1. Perdarahan saluran cerna bagian atas


a. Ulkus peptikum, perdarahan pada ulkus peptikum merupakan manifestasi
yang utama dari penyakit ini .
b. Gastritis erosive terjadi orang yang mengkonsumsi alkohol & obat-obat
antiinflamasi dpt menyebabkan terjadinya erosi lambung. Erosi lambung
juga terjadi pada orang yang mengalami trauma berat, pembedahan,
danpenyakit sistemik yang berat.
c. Varises dan gastropati hipertensi portal, terjadi secara mendadak
disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi sekunder akibat sirosis
hepar, kemudian akan menyebabkan perdarahan varises.
d. Ruptur mukosa esofagogastrika (Sindrom Mallory Weiss), perdarahan
disebabkan karena laserasi mukosa.
2. Perdarahan saluran cerna bagian bawah
a. Lesi pada anus dan rectum, perdarahan dapat terjadi karena feses yang
mengeras sehingga defekasi dilakukan dengan mengejan. Trauma rectum
& masuknya benda asing dalam rectum juga dapat menyebabkan
terjadinya hematochezia.
b. Lesi pada colon, perdarahan terjadi karena karsinoma maupun polip pada
colon. (Sudoyo, 2007)
F. Pathway
G. Pemeriksaan Penunjang
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan menurut Sudoyo (2007):
1. Elektrokardiagram (terutama pasien berusia > 40 tahun)
2. BUN, kreatinin serum
3. Elektrolit (Na, K, Cl)
4. Pemeriksaan lainnya :
a. Endoscopy
b. Angiography
Angiography dapat digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana
perdarahan berat, khususnya ketika penyebab perdarahan tidak dapat
ditentukan dengan menggunakan endoskopi atas maupun bawah
c. Conventional radiographic imaging
Conventional radiographic imaging biasanya tidak terlalu dibutuhkan
pada pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi adakalanya dapat

memberikan beberapa informasi penting. Misalnya pada CT scan; CT


Scan dapatmengidentifikasi adanya lesi massa, seperti tumor intraabdominal ataupun abnormalitas pada usus yang mungkin dapat menjadi
sumber perdarahan
H. Penatalaksanaan

I. Komplikasi
1. anemia
2. Dehidrasi
3. Nyeri dada (jika disertai penyakit jantung)
4. Kehilangan banyak darah
5. Syok
6. kematian
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primer
Pengkajian yang dilakukan menggunakan pendekatan Airway, Breathing,
Circulation, dan Diasability (ABCD).
a. Airway
Untuk mengkaji airway, maka yang dilakukan perawat adalah dengan
teknik look, listen and feel. Look yang dilakukan adalah melihat
kebersihan jalan nafas. Pada kasus perdarahan saluran pencernaan,
khususnya saluran cerna bagian atas biasanya terjadi muntah darah. Oleh
karena itu, perawat harus melakukan pengkajian terhadap risiko terjadinya
aspirasi pada saluran napas. Pada teknik listen, biasanya pada perdarahan
saluran cerna bagian atas terdapat suara napas gurgling karena adanya
cairan (darah) pada saluran pernapasan. Untuk feel, perawat merasakan
hembusan napas pasien. Pada kasus perdarahan saluran pencernaan bagian

atas, biasanya bisa terjadi sumbatan parsial atau total pada saluran napas
akibat menggumpalnya (clothing) darah.
b. Breathing
Pada breathing yang perlu dikaji oleh perawat adalah adanya perubahan
frekuensi napas pasien, adanya penggunaan otot-otot pernapasan. Pada
kejadian perdarahan saluran pencernaan, biasanya terjadi penurunan kadar
haemoglobin dalam darah, sehingga transportasi oksigen ke sel terganggu
akibat berkurangnya pengangkut oksigen (Hb) dan berdampak pada
peningkatan frekuensi napas dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan.
c. Circulation
Untuk mengevaluasi keparahan kehilangan darah dan untuk mencegah
atau memperbaiki penyimpangan klinis syok hipovolemik, perawat harus
lebih sering mengkaji pasien. Pada fase pertama perdarahan, kehilangan
darah kurang dari 800 ml, pasien mungkin hanya akan menunjukkan
tanda-tanda lemah, ansietas, dan berkeringat. Dengan perdarahan yang
berlebihan suhu tubuh meningkat sampai 38,4 0390 C sebagai respon
terhadap perdarahan, dan bising usus menjadi hiperaktif karena
sensitivitas usus besar terhadap darah.
Jika tingkat kehilangan darah berkisar antara sedang sampai berat
(kehilangan >800 ml), respon system saraf simpatis menyebabkan
pelepasan katekolamin, epinefrin, dan norepinefrin. Keadaan ini pada
awalnya menyebabkan peningkatan frekuensi jantung dan vasokonstriksi
vascular perifer dalam upaya untuk mempertahankan tekanan darah yang
adekuat. Dengan tingkat kehilangan darah sedang sampai berat, akan
timbul tanda-tanda dan gejala syok.
Sejalan dengan berkembanganya gejala-gejala syok, pelepasan
katekolamin akan memicu pembuluh darah pada kulit, paru-paru,
intestine, hepar, dan ginjal untuk berkontraksi, dengan demikian akan
meningkatkan aliran volume darah ke jantung dan otak. Karena penurunan
aliran darah pada kulit, maka kulit pasien akan sangat dingin saat disentuh.

Dengan berkurangnya aliran darah ke paru-paru, terjadi hiperventilasi


untuk mempertahankan pertukaran gas yang adekuat.
Seiring dengan penurunan aliran darah ke hepar, produk sisa
metabolisme akan menumpuk dalam darah. Produk sisa ini, ditambah
dengan absorbsi darah busuk dari traktus intestinal dan penurunan aliran
darah melalui ginjal, akan menyebabkan peningkatan dalam kadar urea
darah. Nitrogen urea darah (BUN) dapat digunakan untuk mengikuti
perjalanan perdarahan gastrointestinal. Nilai BUN di atas 40-dalam
lingkup perdarahan gastrointestinal dan kadar kreatinin normalmenandakan perdarahan major. BUN akan kembali normal kira-kira 12
jam setelah perdarahan berhenti.
Haluaran urin adalah pengukur yang paling sensitif dari volume
intravascular yang harus diukur setiap jam. Dengan menurunnya volume
intravascular, haluaran urin menurun, mengurangi reabsorbsi air oleh
ginjal sebagai respon oleh pelepasan hormon antidiuretik (ADH) oleh
lobus posterior kelenjar pituitary.
Perubahan tekanan darah yang lebih besar dari 10 mmHg, dengan
peningkatan frekuensi jantung 20 kali per menit baik dalam posisi berdiri
maupun duduk, menandakan kehilangan darah lebih besar dari 1000 ml.
respon pasien terhadap kehilangan darah tergantung dari jumlah dan
kecepatan kehilangan darah, usia, derajat kompensasi, dan kecepatan
perawat.
Pasien mungkin akan melaporkan rasa nyeri dengan perdarahan
gastrointestinal dan hal ini diduga peningkatan asam lambung yang
mengenai ulkus lambung. Nyeri tekan pada daerah epigastrium merupakan
tanda yang tidak umum terjadi. Abdomen dapat menjadi lembek atau
distensi. Hipertensi sering hiperaktif karena sensitivitas usus terhadap
darah.

Pemasangan IV line 2 jalur dengan menggunakan IV cath ukuran


besar diperlukan untuk mengantisipasi penambahan cairan dan tranfusi
darah.
d. Disability
Pada disability yang perlu dikaji perawat adalah tingkat kesadaran. Untuk
mengkaji tingkat kesadaran digunakan GCS (Glasgow Coma Scale).
Selain itu reaksi pupil dan juga reflek cahaya juga harus diperiksa.
e. Exposure
Pada exposure, yang dilakukan perawat adalah membuka seluruh pakaian
pasien dan melakukan pengkajian dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Perawat mengkaji adanya etiologi lain yang mungkin menyebabkan
gangguan pencernaan.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Penyakit
Yang perlu dikaji pada pengkajian primer ini antara lain penyakit yang
pernah diderita pasien, misalnya hepatitis, penyakit hepar kronis,
hemorrhoid, gastritis kronis, dan juga riwayat trauma.
b. Status Nutrisi
Yang perlu dikaji pada status nutrisi adalah menggunakan prinsip A, B, C,
D, yaitu :
1) Anthopometri
Yang bisa dikaji dari anthopometri antara lain : BB dan TB pasien
sebelum sakit.
2) Biochemical
Pada biochemical, pengkajian dengan mempertimbangkan nilai
laboratorium, diantaranya : nilai Hb, Albumin, globulin, protein total,
Ht, dan juga darah lengkap.
3) Clinical
Pada pengkajian clinical, perawat harus mempertimbangkan tandatanda klinis pada pasien, misalnya tanda anemis, lemah, rasa mual dan
muntah, turgor, kelembaban mukosa.
4) Diit

Pada diit, perawat bisa berkolaborasi dengan ahli gizi untuk


menentukan kebutuhan kalori pada pasien. Selain itu, komposisi
nutrisi pada pasien juga harus diperhatikan. Pemberian nutrisi enteral
dini lebih menguntungkan pada penderita perdarahan saluran cerna
karena pemberian nutrisi enteral dini dapat memperkecil permiabilitas
intestinal, menurunkan translokasi bakteri dan juga dapat mencegah
multi organ failure. Selain itu pemberian nutrisi enteral pada pasien
dengan perdarahan saluran cerna juga dapat meningkatkan aliran darah
pada gaster, mempertahankan aliran darah pada kolon. Selain itu,
pemberian nutrisi enteral dan ranitidine juga dapat menurunkan
insiden perdarahan gastrointestinal. Nutrisi enteral (karbohidrat,
lemak, dan protein), juga dapat memicu vasodilatasi lapisan mukosa
saluran

cerna.

Karbohidrat dapat meningkatkan

aliran darah

mesenterika 70%, lemak dapat meningkatkan aliran darah mesenterika


40%.
Perhitungan nutrisi pada pasien dapat dilakukan dengan
beberapa formulasi, namun pada makalah ini perhitungan nutrisi pada
pasien dilakukan dengan menggunakan formula Harris Benedict yang
menghitung dari kebutuhan kalori basal (KKB), yaitu:
Laki-laki
KKB = 66 + (13.7 x BB) + (5 x TB) (6.8 x U)
Wanita
KKB = 65.5 + (9.6 x BB) + (1.7 x TB) (4.7 x U)
Keterangan :
BB
: Berat Badan (kg) (ideal)
TB
: Tinggi Badan (cm)
U
: Umur (tahun)
Untuk Indonesia dapat menggunakan:
KKB = 40 x (TB 100).
Dengan faktor koreksi:
Stress ringan (1)
: 1.3 x KKB
Stress sedang (2)
: 1.5 x KKB
Stress berat (3)
: 2.0 x KKB
Berikut adalah gradasi stress :
0

150 25
20

Glukogen/Ins
ulin

0.5

2.5 0.8

3.0 0.7

8 1.5

Pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas yang bukan


karena varises dan tidak ada penyakit hati kronis, maka pasien tidak
perlu dipuasakan. Perawat atau ahli gizi harus memberikan diit secara
bertahap, mulai dari diit cair, saring, lunak, dan padat (normal).
Komposisi nutrisi dan kebutuhan kalori yang diberikan harus sesuai
dengan penyakit dasar pasien. Tetapi jika perdarahan saluran cerna
atas tersebut berasal dari varises esofagus, maka tidak ada anjuran
untuk dipuasakan, tetapi pemberian nutrisi enteral ditunda saat
perdarahan aktif. Nutrisi enteral dapat dilanjutkan tanpa menunggu
produk NGT jernih. Bila perlu, pemberian parenteral nutrisi sampai
perdarahan berhenti lalu dilanjutkan diit secara bertahap mulai diit
cair, saring, lunak dan normal lagi dengan komposisi nutrisi dan
kebutuhan kalori sesuai penyakit dasar.
Pada pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah,
terutama pada Chron disease nutrisi parenteral dapat meredakan
symptom selama acute attack dan kambuh ketika kembali ke nutrisi
oral. Prinsip pamberian nutrisi pada inflammatory bowel disease tidak
membebani bagian/segmen saluran cerna yang sedang sakit berat.
Pada pasien yang mengalami diare berat 10-20x/hari, maka pemberian
elektrolit dan cairan harus dilakukan untuk menggantikan kehilangan
cairan dan elektrolit.
c. Status Eliminasi
Yang harus dikaji pada status eliminasi pada pasien dengan perdarahan
saluran cerna, antara lain warna feses, konsistensi, serta bau dari feses.

Selain itu perlu juga dikaji adanya rasa nyeri saat BAB. Bising usus juga
harus dimonitor terus untuk menentukan status peristaltik.
3.

Pemeriksaan diagnostic
Hitung hematokrit dan hemoglobin diperintahkan dengan hitung darah
lengkap. Adalah penting untuk menganggap bahwa hematokrit umumnya
tidak berubah pada jam-jam pertama setelah perdarahan gastrointestinal akut
karena mekanisme kompensasi. Cairan yang diberikan pada saat masuk juga
mempengaruhi hitung darah. Jumlah sel darah putih dan glukosa mungkin
meningkat, mencerminkan respon tubuh terhadap stress. Penurunan kalium
dan natrium kemungkinan terjadi karena disertai muntah. Tes fungsi hepar
biasa

digunakan

untuk

mengevaluasi

integritas

hematologi

pasien.

Perpanjangan masa protombin dapat menandakan penyakit hepar atau terapi


bersamaan jangka panjangf anti koagulan. Alkalosis respiratori umumnya
terjadi karena adanya aktivasi dari system saraf simpatik terhadap kehilangan
darah. Jika kehilangan sebagian besar darah, maka akan terjadi asidosis
metabolik sebagai akibat dari metabolisme anaerobic. Hipoksemia mungkin
juga akan terjadi karena penurunan kadar hemoglobin yang bersirkulasi dan
dihasilkan kerusakan transport oksigen ke sel-sel.
Pemeriksaan PT/PTT diperlukan untuk mengetahui apakah ada
gangguan dalam hal waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah.
Pemeriksaan cross-match diperlukan juga sebelum dilaksanakan tranfusi
darah.
Endoskopi adalah prosedur pilihan untuk mendiagnosa ketepatan letak
dari perdarahan, karena inspeksi langsung mukosa adalah mungkin dengan
menggunakan skop serat optik. Endoskopi yang fleksibel memungkinkan tes
ini dilakukan di tempat tidur dan tes ini secara rutin dilakukan oleh dokter
setelah pasien secara hemodinamik stabil. Ketepatan diagnostik dari tes ini
berkisar antara 60% sampai 90%.

4.

Rencana Asuhan Keperawatan


a.

Diagnosa

Defisit

volume

berhubungan

cairan

dengan

yang

kehilangan

darah akut.
Kriteria hasil / :

Pasien akan tetap stabil secara hemodinamik

Tujuan-tujuan
pasien
Intervensi
Keperawatan

1. Pantau tanda-tanda vital setiap jam.


2. Pantau nilai-nilai hemodinamik (missal
SAP, DAP, TDKP, IJ, CJ, TVS).
3. Ukur haluaran urin setiap 1 jam.
4. Ukur masukan dan haluaran dan kaji
keseimbangan.
5. Berikan cairan pengganti dan produk
darah sesuai instruksi. Pantau adanya
reaksi-reaksi yang merugikan terhadap
komponen terapi (missal reaksi transfusi).
6. Tirah baring total, baringkan pasien pada
posisi terlentang dengan kaki ditinggikan
untuk meningkatkan preload pasien jika
pasien mengalami hipotensif. Jika terjadi
normotensif, tempatkan tinggi bagian
kepala tempat pada 45 dewrajat untuk
mencegah aspirasi lambung.
7. Perkecil jumlah darah yang diambil untuk
analisa laboratorium.
8. Pantau hemoglobin dan hematokrit.
9. Pantau elektrolit yang mungkin hilang
bersama cairan atau berubah karena

kehilangan atau perpindahan cairan.


10. Periksa feses terhadap darah untuk 72
jam setelah masa akut.
b.

Diagnosa

Kerusakan

pertukaran

gas

yang

berhubungan dengan penurunan kapasitas


angkut oksigen dan dengan faktor-faktor
risiko aspirasi.
Kriteria hasil / :

Pasien akan mempertahankan oksigenasi dan

Tujuan-tujuan

pertukaran gas yang adekuat.

pasien
1. Pantau
Intervensi

Keperawatan

SaO2

dengan

menggunakan

oksimetri atau ABGs.


2. Pantau bunyi nafas dan gejala-gejala
pulmonal.
3. Gunakan supplemental

O2

sesuai

instruksi.
4. Pantau suhu tubuh.
5. Pantau adanya distensi abdomen.
6. Baringkan pasien pada bagian kepala
tempat tidur ditinggikan jika segalanya
memungkinkan.
7. Pertahankan fungsi dan patensi kateter
nasogastrik dengan tepat.
8. Atasi segera mual.
c.

Diagnosa

Resiko tinggi terhadap infeksi : yang


berhubungan dengan aliran intravena.

Kriteria hasil / :
Tujuan-tujuan

Pasien

tidak

akan

mengalami

i9nfeksi

pasien

nosokomial.
1. Pertahankan kestabilan selang intravena.

Intervensi

Keperawatan

Amankan

aplians

intravena

berikut

selangnya.
2. Ukur suhu tubuh setiap 4 jam.
3. Pantau system intravena terhadap patensi,
infiltrasi, dan tanda-tanda infeksi (nyeri
setempat, inflamasi, demam, sepsis).
4. Ganti letak intravena setiap 48-72 jam
dan prn.
5. Ganti larutan intravena sedikitnya setiap
24 jam.
6. Pantau letak insersi setiap penggantian
tugas.
7. Dokumentasikan

tentang

selang,

penggantian balutan, dan keadaan letak


insersi.
8. Gunakan teknik aseptic saat mengganti
balutan dan selang. Pertahankan balutan
yang bersih, transparan, dan steril.
9. Ukur SDP terhadap kenaikan.
10. Lepaskan dan lakukan pemeriksaan
kultur bila terjadi tanda-tanda dan gejalagejala infeksi.
d.

Diagnosa

Ansietas : yang berhubungan dengan sakit


kritis, ketakutan akan kematian ataupun
kerusakan bentuk tubuh, perubahan peran
dalam lingkup sosial, atau ketidakmampuan
yang permanen.

1. Pasien akan mengekspresikan ansietasnya


Kriteria hasil / :
Tujuan-tujuan

pada nara sumber yang tepat.


2. Pasien akan mulai mengidentifikasi
sumber ansietasnya.

pasien

1. Berikan lingkungan yang mendorong


Intervensi
Keperawatan

diskusi

terbuka

untuk

persoalan-

persoalan emosional.
2. Gerakan system pendukung pasien dan
libatkan

sumber-sumber

kebutuhan.
3. Berikan waktu

pada

ini
pasien

sesuai
untuk

mengekspresikan diri. Dengarkan dengan


aktif.
4. Berikan-berikan

penjelasan

yang

sederhana untuk peristiwa-peristiwa dan


stimuli lingkungan.
5. Identifikasi sumber-sumber rumah sakit
yang memungkinkan untuk mendukung
pasien atau keluarganya.
6. Berikan dorongan komunikasi terbuka
antara

perawat-keluarga

mengenai

masalah-masalah emosional.
7. Validasikan pengetahuan dasar pasien
dan keluarga tentang penyakit kritis.
8. Libatrkan system pendukung religious
sesuai kebutuhan

DAFTAR PUSTAKA
Ignativicus, Donna D ; Workman. 2006. Medical Surgical Nursing Critical Thinking
for Collaborative Care. USA : Elsevier Saunders
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1.FKUI : Media
Aesculapius
Nugroho, T., Putri, B. T., & Putri, D. K. (2016).Teori asuhan keperawatan gawat
darurat.Yogyakarta : Nuha Medika
Catherino ,Jeffrey M.2003.Emergency Medicine Handbook.USA: Lipipincott
Williams
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC
Krisanty Paula, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama,
Jakarta, Trans Info Media
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Edisi 7.Jakarta : EGC
Pangestu. A. 2009. Dalam buku Ilmu Penyakit Dalam.Edisi kelima. Jakarta: PT
Interna Publishing.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. 2007. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms. USA: Merck
Research Laboratories

Anda mungkin juga menyukai