Anda di halaman 1dari 16

Skenario

Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan demam selama seminggu, selera
makan kurang dan disertai sakit kepala. Sepuluh hari yang lalu penderita baru datang dari Papua.

Pertanyaan
1. Definisi demam dan pembagiaannya!
2. Kriteria kurve suhu demam remitten, demam intermitten, demam kontinyu, demam tertian, demam kuartana,
septic, hektik, demam balik-balik!
3. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan demam pada daerah tropis dan etiologinya!
4. Patomekanisme setiap gejala pada scenario!
5. Langkah-langkah diagnose!
6. Differential diagnostic!
7. Hubungan gejala dengan baru pulang dari Papua sepuluh hari yang lalu!

Jawaban
1. Defenisi demam
Demam diartikan suatu keadaan dimana suhu tubuh di atas normal 98,6ᵒ F atau 37,3 ᵒ C.
Pembagian demam
Menurut derajatnya :
1.Subfebril : 37,3-38°C
2.Febril : 38-40°C
3.Hipertermi : > 41,1°C
4.Hipertermi maligna : 39-42°C
Menurut Jenisnya:
1. Demam septik
2. Demam remiten
3. Demam intermiten
4. Demam kontinyu
5. Demam siklik
2. Kriteria kurve suhu demam remitten, demam intermitten, demam kontinyu, demam tertiana, demam
kuartana, septic, hektik, demam balik-balik
Demam Remitten
Suhu badan dapat turun setiap hari, akan tetapi tidak dapat mencapai suhu badan normal. Biasanya pada TB,
infeksi bakteri dan virus.
Demam Intermitten
Pada tipe ini, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Misalnya pada
malaria.
Demam Kontinyu  Variasi suhu sepanjang hari tidak lebih beda dari I derajat.
Demam Tertiana  Demam 48 jam yaitu hari pertama dan ke tiga.
Demam Kuartana  Hari pertama demam, hari ke dua tidak demam kemudian hari ke tiga demam.
Demam Septik
Pada keadaan ini, suhu badan berangsur naik ke tinggkat yng tinggi sekali pada malam hari dan turun
kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat.
Demam Hektik
Demam Balik-Balik
Demam timbul kembali secara interval/regular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama.

3. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan demam pada daerah tropis dan etiologinya
DBD, Demam kuning, Influenza, Sars, Tifoid, Leptospirosis, malaria, Diare akut, HIV/AIDS
4. Patomekanisme setiap gejala pada skenario
Patomekanisme demam
Proses perubahan suhu yang terjadi saat dubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin yang
masuk kedalam tubuh, umumnya keadaan sakit terjadi karna adanya proses peradangan didalam tubuh.
Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya
serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh, proses peradangan diawali dengan masuknya zat toksin
(mikroorganisme) kedalam tubuh, mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh umumnya memiliki zat
toksin yang dikenal sebagai pirogen eksogen, dengan masuknya mikroorganisme tersebut tubuh akan
berusaha melawan dan mencegahnya dengan memerintahkan tentara pertahanan tubuh antara lain berupa
leukosit, makrofag dan limfosit untuk memakanya(fagosi). Dengan adanya proses fagositosis ini tentara-
tentara tubuh itu akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen
(khususnya il 1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar selanjutnya akan
merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk mengeluarkan substansi yakni asam arakhidonat. Asam
arakhidonat dapat keluar dengan bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh
hipotalamus akan memacu pengeluaran prostaglandin. Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim
siklooksigenase. Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai
kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh(diatas normal), adanya
peningkatan titik patokan ini dikarenakan termostat tubuh merasa bahwa suhu tubuh sedang berada dibawah
batas normal.dan terjadilah demam.
Patomekanisme nafsu makan kurang
IL1-IL8,TNF, serotonin

aktifasi monosit makrofag


infeksi

Nukleus lateralis hipotalami


anoreksia

Patomekanisme sakit kepala


histamin
aktifasi monosit makrofag
infeksi

Gangguan tekanan intracranial


Vasodilatasi, permeabilitas

5. Langkah-langkah diagnose
Anamnesis  Sejak kapan, Berapa lama, Sifat demam, Gejala lain yang menyertai, Riwayat yang endemis,
Keadaan lingkungan dan tempat tinggal, Riwayat penyakit sebelumnya
Pemeriksaan fisik
Inspeksi  Mata : pucat, kemerahan; Kulit : bintik kemerahan,keringat; Ekspresi : malaise, tampak gelisah
Palpasi  Suhu, nadi, nyeri tekan
Perkusi  Pembesaran organ
Auskultasi  Pernapasan, gerakan peristaltic
Pemeriksaan penunjang
Darah / hematologi  Darah rutin: morfologi, jumlah apusan darah
Mikrobiologi
Parasitologi
Serologi
Radiologi
6. Differential diagnostic
Kata kunci Malaria Tifoid DBD
Laki-laki, 22 tahun + + +
Demam selama seminngu + + +
Selera makan kurang + + +
Sait kepala + + +
Sepuluh hari yang lalu penderita baru pulang dari papua + +/- +/-

Gejala Malaria
Secara klinis, gejala dari penyakit malaria terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval
tertentu yang diselingi oleh suatu periode dimana penderita bebas sama sekali dari demam.Gejala klinis malaria
antara lain sebagai berikut.
a. Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat.
b. Nafsu makan menurun.
c. Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
d. Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi dengan plasmodium Falciparum.
e. Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran limpa.
f. Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan penurunan.
g. Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi yang menonjol adalah mencret (diare) dan
pusat karena kekurangan darah (anemia) serta adanya riwayat kunjungan ke atau berasal dari daerah malaria.

Malaria menunjukkan gejala-gejala yang khas, yaitu:


a. Demam berulang yang terdiri dari tiga stadium: stadium kedinginan, stadium panas, dan stadium berkeringat
b. Splenomegali (pembengkakan limpa)
c. Anemi yang disertai malaise

2. Determinan Malaria
Dalam epidemiologi selalu ada 3 faktor yang diselidiki : Host (umumnya manusia), Agent (penyebab
penyakit) dan Environment (lingkungan).
a. Faktor Host
Penyakit malaria mempunyai keunikan karena ada 2 macam host yakni manusia sebagai host intermediate
(dimana siklus aseksual parasit terjadi) dan nyamuk anopheles betina sebagai host definitive (tempat siklus
seksual parasit berlangsung).
1. Manusia (Host Intermediate)
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Setiap orang rentan
terhadap penularan kecuali pada mereka yang mempunyai galur genetika spesifik. Toleransi atau daya tahan
terhadap munculnya gejala klinis ditemukan pada penduduk dewasa yang tinggal di daerah endemis dimana
gigitan nyamuk anopheles berlangsung bertahun-tahun.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada manusia ialah:


a. Kekebalan / Imunitas
Kekebalan pada penyakit malaria dapat didefinisikan sebagai adanya kemampuan tubuh manusia untuk
menghancurkan plasmodium yang masuk atau membatasi perkembangbiakannya. Ada dua macam kekebalan,
yaitu kekebalan alamiah dan kekebalan yang didapat. Kekebalan alamiah timbul tanpa memerlukan infeksi lebih
dahulu. Kekebalan yang didapat ada yang merupakan kekebalan aktif sebagai akibat dari infeksi sebelumnya
atau vaksinasi, dan ada juga kekebalan pasif didapat melalui pemindahan antibodi dari ibu kepada anak atau
pemberian serum dari seseorang yang kebal penyakit.
Penelitian Karunaweera dkk tahun 1998 di Srilanka, penderita malaria di daerah endemis memiliki
densitas parasit yang lebih rendah (mean=0,06%) daripada yang tidak di daerah endemis (mean=0.12%).
Faktor imunitas berperan penting menentukan beratnya infeksi. Hal tersebut dibuktikan pada penduduk
di daerah endemis. Pada penduduk di daerah endemis ditemukan parasitemia berat namun asimtomatik,
sebaliknya pasien non-imun dari daerah non-endemis lebih mudah mengalami malaria berat. Hal ini mungkin
dikarenakan pada individu di daerah endemis imun sudah terbentuk antibody protektif yang dapat membunuh
parasit atau menetralkan toksin parasit.

b. Umur dan Jenis Kelamin


Perbedaan angka kesakitan malaria pada laki-laki dan wanita atau pada berbagai kelompok umur
sebenarnya disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti pekerjaan, pendidikan, perumahan, migrasi penduduk,
kekebalan dan lain-lain.
Penelitian Askling, dkk tahun 1997-2003 di Swedia dengan desain penelitian kasus kontrol
menunjukkan bahwa wisatawan penderita malaria kemungkinan 1,7 dan 4,8 kali adalah pria dan anak-anak
umur <1-6 tahun dibandingkan dengan wisatawan yang tidak menderita malaria dengan nilai OR 1,7 (95%
CI:1,3–2,3) dan OR 4,8 (95% CI:1,5–14,8).

c. Status Gizi
Faktor nutrisi mungkin berperan terhadap malaria berat. Menurut Nugroho dalam Harijanto, dkk
(2009), malaria berat sangat jarang di temukan pada anak-anak malnutrisi.
Penelitian Nyakeriga tahun 2004 di Kenya dengan desain penelitan kohort, diketahui bahwa insidens
malaria klinis secara signifikan lebih rendah pada anak-anak yang menderita defisiensi zat besi dengan Relative
Risk (RR) 0,7 (95% CI:0,51–0,99). Defisiensi besi, riboflavin, para-amino-benzoic acid (PABA) mungkin
mempunyai efek protektif terhadap malaria berat, karena menghambat pertumbuhan parasit.
Penelitian dengan desain kasus kontrol oleh Siswanto dan Sidia di RSU Sumbawa tahun 1997 tentang
gambaran klinik penderita malaria yang dirawat di bagian anak RSU Sumbawa, dari 106 penderita, 66%
termasuk kategori gizi baik. Dari 24 penderita malaria berat, 70,8% termasuk gizi baik, 25,0% gizi kurang dan
4,2% termasuk gizi buruk.

2. Nyamuk (Host Definitive)


Penelitian Friaraiyatini, dkk tahun 2005, spesies nyamuk yang diidentifikasi berperan dalam penularan
malaria di Kabupaten Barito Selatan adalah Anopheles latifer (56,9 %) mulai menggigit manusia mulai jam
18.00, Anopheles maculatus (32,8 %) mulai menggigit manusia mulai jam 19.00, dan Anopheles balabacensis
(10,3 %) mulai menggigit manusia jam 20.00 waktu setempat. Puncak aktivitas gigitan nyamuk terjadi pada jam
22.00 waktu setempat.

a. Perilaku nyamuk
Beberapa perilaku nyamuk yang penting, yaitu tempat hinggap atau istirahat (di luar atau dalam
rumah), tempat menggigit (di luar atau dalam rumah), objek yang digigit (manusia atau manusia). Nyamuk
anopheles hanya mengigit satu orang setiap kali mengisap darah, berbeda dengan nyamuk aedes yang bisa
menggigit banyak orang saat mengisap darah.
b. Umur nyamuk (longevity)
Diperlukan waktu untuk perkembangbiakan gametosit dalam tubuh nyamuk menjadi sporozoit yakni
bentuk parasit yang siap menginfeksi manusia sehat. Apabila umur nyamuk lebih pendek dari proses sporogoni,
yakni replikasi parasit dalam tubuh nyamuk (sekitar 5 hingga 10 hari), maka dapat dipastikan nyamuk tersebut
tidak dapat menjadi vektor.
c. Kerentanan nyamuk terhadap infeksi gametosit
Nyamuk yang terlalu banyak parasit dalam perutnya tentu bisa melebihi kapasitas perut nyamuk itu
sendiri. Perut bisa meletus dan mati karenanya.
d. Frekuensi menggigit manusia
Semakin sering seekor nyamuk yang membawa sporozoit dalam kelenjar ludahnya, semakin besar
kemungkinan nyamuk berperan sebagai vektor penular penyakit malaria.
e. Siklus gonotrofik
Waktu yang diperlukan untuk matangnya telur sebagai indikator untuk mengukur interval menggigit
nyamuk pada objek yang digigit (manusia).
b. Faktor Agent
Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia family plasmodiidae dan ordo coccidiidae. Sampai
saat ini di Indonesia dikenal 4 macam parasit malaria yaitu:
b.1. Plasmodium vivax
b.2. Plasmodium malariae
b.3. Plasmodium ovale
b.4. Plasmodium falciparum.6

Penelitian Yasinzai dan Kakarsulemankhel tahun 2004-2006 di Barkhan dan Kohlu Pakistan dari 3340
kasus suspek malaria, 1095 (32.78%) ditemukan positif parasit malaria pada sediaan darah. Dari kasus positif,
579 (52.87%) didentifikasi sebagai infeksi P. falciparum dan 516 (47.12%) kasus P. vivax. Tidak ditemukan
kasus infeksi P. malariae dan P. ovale.

c. Faktor Environment
Penelitian Suwito, dkk, tahun 2005 di Puskesmas Benteng Bangka Belitung dengan desain penelitian
kasus kontrol, diperoleh bahwa adanya rawa-rawa di sekitar lingkungan rumah juga merupakan faktor risiko
kejadian malaria. Hasil analisis diperoleh nilai OR 2,6 (95% CI: 1,08-6,14). Artinya responden yang menderita
malaria 2,6 kali kemungkinan di sekitar rumahnya terdapat rawa-rawa dibandingkan dengan responden yang
tidak menderita malaria.
Penelitian Sunarsih, dkk dengan desain kasus kontrol tahun 2004-2007 di wilayah Puskesmas
Pangkalbalam Kota Pangkalpinang , faktor lingkungan yang mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian
malaria adalah keberadaan genangan air di sekitar rumah dengan OR 3,267 (95% CI:1,600 – 6,671). Kuatnya
asosiasi ini didukung hasil uji multivariat dengan nilai OR 3,445 (95% CI:1,550 – 7,661). Artinya, responden
yang menderita malaria kemungkinan 3,445 kali memiliki genangan air di sekitar rumah dibandingkan yang
tidak menderita malaria.
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan dimana manusia dan nyamuk berada, lingkungan
tersebut terbagi atas lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan biologik dan lingkungan sosial budaya.

1. Lingkungan fisik meliputi :


a. Suhu udara, sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau masa inkubasi ekstrinsik. Makin
tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik.
b. Kelembaban udara, kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk.
c. Hujan, hujan yang diselingi oleh panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiakan anopheles.
d. Angin, jarak terbang nyamuk dapat diperpendek arau diperpanjang tergantung kepada arah angin.
e. Sinar matahari, pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda.
f. Arus air, An. barbirostris menyukai tempat perindukan denga air yang statsi atau mengalir sedikit, sedangkan
An. minimus menyukai aliran air cukup deras.

2. Lingkungan kimiawi, dari lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat
perindukan.
3. Lingkungan biologik, tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan lain dapat
mempengaruhi kehidupan larva nyamuk karena dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau melindungi
dari serangan makhluk hidup lain. c.4. Lingkungan sosial budaya, kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai
larut malam, di mana vektornya lebih bersifat eksofilik (lebih suka hinggap/ istirahat di luar rumah) dan
eksofagik (lebih suka menggigit di luar rumah) akan memperbesar jumlah gigitan nyamuk, penggunaan
kelambu, kawat kasa dan repellent akan mempengaruhi angka kesakitan malaria dan pembukaan lahan dapat
menimbulkan tempat perindukan buatan manusia sendiri (man made breeding places).

Pencegahan Malaria
1. Pencegahan Primer
a. Tindakan terhadap manusia
a.1. Edukasi adalah faktor terpenting pencegahan malaria yang harus diberikan kepada setiap pelancong atau
petugas yang akan bekerja di daerah endemis. Materi utama edukasi adalah mengajarkan tentang cara penularan
malaria, risiko terkena malaria, dan yang terpenting pengenalan tentang gejala dan tanda malaria, pengobatan
malaria, pengetahuan tentang upaya menghilangkan tempat perindukan.
a.2. Melakukan kegiatan sistem kewaspadaan dini, dengan memberikan penyuluhan pada masyarakat tentang
cara pencegahan malaria.
a.3. Proteksi pribadi, seseorang seharusnya menghindari dari gigtan nyamuk dengan menggunakan pakaian
lengkap, tidur menggunakan kelambu, memakai obat penolak nyamuk, dan menghindari untuk mengunjungi
lokasi yang rawan malaria.
a.4. Modifikasi perilaku berupa mengurangi aktivitas di luar rumah mulai senja sampai subuh di saat nyamuk
anopheles umumnya mengigit.

b. Kemoprofilaksis (Tindakan terhadap Plasmodium sp)


Upaya pencegahan malaria telah dilakuakan bertahun-tahun dengan cara pencegahan dari dalam yaitu
dengan obat-obatan maupun pencegahan dari luar yaitu dengan menggunakan kelambu dan sebagainya. Upaya
pencegahan malaria dengan menggunakan obat-obatan umumnya dengan menggunakan jenis obat yang sama
dengan jenis obat yang digunakan untuk mengobati malaria, bahkan obat-obatan ini bekerja dengan lebih baik
sebagai pencegah karena akan langsung dapat membunuh parasit yang masih sensitif pada saat baru memasuki
sistem tubuh manusia.

Obat Klorokuin sangat efektif untuk mencegah parasit plasmodium falciparum untuk masuk lebih lanjut ke
dalam sistem tubuh manusia. Obat ini digunakan satu kali seminggu selama dua minggu sebelum tiba di daerah
dengan intensitas malaria tinggi, yang kemudian dilanjutkan dengan pemakaian selama 4 minggu setelah
meninggalkan daerah tersebut.

Berikut adalah daftar obat yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit malaria.
1. Atovaquone/Proguanil (Malarone)
Alasan yang membuat anda mungkin memilih obat ini :
· Obat ini dapat digunakan 1-2 hari sebelum melakukan perjalanan ke daerah epidemi malaria (dibanding
dengan obat lain yang harus digunakan dalam jangka waktu yang lebih panjang)
· Pilihan terbaik untuk waktu perjalanan yang lebih singkat ke daerah epidemi malaria karena obat ini hanya
digunakan dalam waktu 7 hari setelah perjalanan ke daerah epidemi, dibandingkan dengan obat lain yang harus
digunakan 4 minggu sepulangnya dari daerah epidemi malaria.
· Efek samping yang sangat rendah (hampir tidak ada efek samping)
· Mudah untuk dibeli di apotek.
Alasan yang membuat anda mungkin tidak memilih obat ini :
· Tidak dianjurkan digunakan oleh wanita hamil.
· Tidak dapat digunakan oleh orang dengan gangguan ginjal berat.
· Harga yang lebih mahal.
2. Klorokuin
Alasan yang membuat anda mungkin memilih obat ini :
· Pilihan yang baik untuk perjalanan yang panjang ke daerah epidemi malaria karena obat ini digunakan
mingguan (satu minggu sekali)
· Dapat digunakan oleh wanita hamil.
· Beberapa orang lebih suka mengambil dosis mingguan.
Alasan yang membuat anda mungkin tidak memilih obat ini :
· Tidak dapat digunakan pada daerah dimana plasmodium telah mengembangkan kekebalan pada obat ini.
· Obat digunakan dalam jangka yang cukup panjang yaitu 4 minggu setelah pulang dari daerah epidemi, dan
haru digunakan 2 minggu sebelum berangkat ke daerah epidemi malaria.
3. Doxycycline
Alasan yang membuat anda mungkin memilih obat ini :
· Obat ini dapat diambil 1-2 hari sebelum tiba di tempat epidemi malaria.
· Obat malaria yang paling murah di pasaran saat ini.
· Obat ini juga melindungi dari beberapa infeksi lain seperti Rickettsiae and leptospirosis.
Alasan yang membuat anda mungkin tidak memilih obat ini :
· Obat ini bernahaya bagi ibu hamil dan anak-anak.
· Obat ini harus digunakan selama 4 minggu setiap hari setelah pulang dari tempat epidemi malaria.
· Obat ini dapat meningkatkan rasa sensitif terhadap sinar matahari.
· Beberapa orang dapat mengalami gangguan perut dalam penggunaan obat ini.
4. Mefloquine
Alasan yang membuat anda mungkin memilih obat ini :
· Sangat cocok untuk perjalanan panjang dan lama ke tempat epidemi malaria karena obat ini hanya digunakan
seminggu sekali.
· Dapat digunakan oleh wanita hamil.
Alasan yang membuat anda mungkin tidak memilih obat ini :
· Tidak dapat digunakan di daerah yang mana plasmodium malaria telang mengembangkan kekebalan terhadap
obat ini.
· Tidak dapat digunakan pada pasien dengan kasus psikologi tertentu.
· Tidak dianjurkan untuk pasien sakit jantung
· Tidak dapat digunakan pada pasien yang mengalami kejang.
· Obat ini harus digunakan 2 minggu sebelum ke tempat epidemi malaria.
· Obat ini haru terus digunakan selama 4 minggu setelah kembali dari daerah epidemi malaria.
5. Primakuin
Alasan yang membuat anda mungkin memilih obat ini :
· Obat ini sangat efektif menangkal plasmodium vivax sehingga sangat cocok digunakan di daerah epidemi
malaria vivax.
· Obat hanya perlu digunakan 7 hari setelah meninggalkan tempat epidemi.
· Obat digunakan 1-2 hari sebelum ke tempat epidemi malaria.
Alasan yang membuat anda mungkin tidak memilih obat ini :
· Tidak dapat digunakan oleh ibu hamil.
· Dapat menyebabkan gangguan perut pada orang tertentu.

Pencegahan malaria dapat pula dilakukan dengan memasang kelambu untuk menangkal gigitan nyamuk
pada saat tidur. Selain itu pemakaian obat nyamuk bakar maupun semprot dapat mengusir nyamuk dari dalam
ruangan, walaupun mempunyai efek jangka panjang yang kurang baik bagi kesehatan. Pencegahan dengan cara
menyingkirkan genangan air dan membersihkan tempat-tempat yang menjadi tempat nyamuk berkembang biak
lebih disarankan daripada penggunaan bahan kimia berbahaya.

c. Tindakan terhadap vektor

c.1. Pengendalian secara mekanis Dengan cara ini, sarang atau tempat berkembang biak serangga dimusnahkan,
misalnya dengan mengeringkan genangan air yang menjadi sarang nyamuk. Termasuk dalam pengendalian ini
adalah mengurangi kontak nyamuk dengan manusia, misalnya memberi kawat nyamuk pada jendela dan jalan
angin lainnya.
c.2. Pengendalian secara biologis Pengendalian secara biologis dilakukan dengan menggunakan makhluk hidup
yang bersifat parasitik terhadap nyamuk atau penggunaan hewan predator atau pemangsa serangga. Dengan
pengendalian secara biologis ini, penurunan populasi nyamuk terjadi secara alami tanpa menimbulkan gangguan
keseimbangan ekologi. Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk, melakukan radiasi terhadap nyamuk jantan
sehingga steril dan tidak mampu membuahi nyamuk betina. Pada saat ini sudah dapat dibiakkan dan diproduksi
secara komersial berbagai mikroorganisme yang merupakan parasit nyamuk. Bacillus thuringiensis merupakan
salah satu bakteri yang banyak digunakan, sedangkan Heterorhabditis termasuk golongan cacing nematode yang
mampu memeberantas serangga.
Pengendalian nyamuk dewasa dapat dilakukan oleh masyarakat yang memiliki temak lembu, kerbau,
babi. Karena nyamuk An. aconitus adalah nyamuk yang senangi menyukai darah binatang (ternak) sebagai
sumber mendapatkan darah, untuk itu ternak dapat digunakan sebagai tameng untuk melindungi orang dari
serangan An. aconitus yaitu dengan menempatkan kandang ternak diluar rumah (bukan dibawah kolong dekat
dengan rumah).

c.3. Pengendalian secara kimiawi Pengendalaian secara kimiawi adalah pengendalian serangga mengunakan
insektisida. Dengan ditemukannya berbagai jenis bahan kimiayang bersifat sebagai pembunuh serangga yang
dapat diproduksi secara besar-besaran, maka pengendalian serangga secara kimiawi berkembang pesat.

2. Pencegahan Sekunder
a. Pencarian penderita malaria
Pencarian secara aktif melalui skrining yaitu dengan penemuan dini penderita malaria dengan
dilakukan pengambilan slide darah dan konfirmasi diagnosis (mikroskopis dan /atau RDT (Rapid Diagnosis
Test)) dan secara pasif dengan cara malakukan pencatatan dan pelaporan kunjungan kasus malaria.
b. Diagnosa dini
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan sediaan darah tetes tebal dan darah tetes tipis dengan metode standard pewarnaan giemsa.
b. Tes Diagnostik Cepat (RDT, Rapid Diagnostic Test)

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi umum penderita, meliputi pemeriksaan kadar
hemoglobin, hematokrit, jumlah leukosit, eritrosit dan trombosit. Bisa juga dilakukan pemeriksaan kimia darah,
pemeriksaan foto toraks, EKG (Electrokardiograff), dan pemeriksaan lainnya.

3. Pencegahan Tertier
a. Penanganan akibat lanjut dari komplikasi malaria

Kematian pada malaria pada umumnya disebabkan oleh malaria berat karena infeksi P. falciparum. Manifestasi
malaria berat dapat bervariasi dari kelainan kesadaran sampai gangguan fungsi organ tertentu dan gangguan
metabolisme.

Prinsip penanganan malaria berat:


a.1. Pemberian obat malaria yang efektif sedini mungkin
a.2. Penanganan kegagalan organ seperti tindakan dialisis terhadap gangguan fungsi ginjal,
pemasangan ventilator pada gagal napas.
a.3. Tindakan suportif berupa pemberian cairan serta pemantauan tanda vital untuk mencegcah
memburuknya fungsi organ vital.
b. Rehabilitasi mental/ psikologis

Pemulihan kondisi penderita malaria,memberikan dukungan moril kepada penderita dan keluarga di dalam
pemulihan dari penyakit malaria, melaksanakan rujukan pada penderita yang memerlukan pelayanan tingkat
lanjut.

Penatalaksaan
Penatalaksaan malaria meliputi :
1. Istrahat, agar tidak semakin memberatkan kondisi hipermetabolik
2. Dukungan nutrisi makronutrien dan mikronutrien serta obat-obatan simptomatis guna memenuhi kebutuhan
nutrisi pokok dan menghindari progresivitas penyakit
3. Pemberian antimikroba, antimalaria
4. Penatalaksanaan penyulit

Pengobatan malaria tanpa penyulit penderita dewasa


1. Pengobatan malaria falciparum tanpa penyulit
Lini pertama : tablet artesunat + tablet amodiakuin + tablet primakuain
Hari pertama : artesunat 4 tablet, amodiakuin 4 tablet, primakuin 2-3 tablet (artesunat 4 mg/kgBB dosis
tunggal/hari/oral, amodiakuin 10 mg basa/kgBB/hari/oral, Primakuin 0,75 mg basa/kgBB/oral).
Hari kedua : artesunat 4 tablet, amodiakuin 4 tablet
Hari ketiga : artesunat 4 tablet, amodiakuin 4 tablet
Lini kedua : tablet kina + tablet tetrasiklin/doksisiklin + tablet primakuin
Hari pertama : kina 3x2 tablet, tetrasiklin 4x500 mg, primakuin 2-3 tablet
Hari kedua-ketujuh : kina 3x2 tablet, tetrasiklin 4x500 mg

Bila gagal pengobatan lini pertama dapat digunakan pengobatan lini kedua berdasarkan kriteria :
· Penderita sudah menyelesaikan pengobatan lini pertama (3 hari)
· Pada waktu periksa ulang hari keempat atau kelima sampai kedua puluh delapan belum sembuh atau
kambuh.
Dikatakan tidak sembuh :
· Bila penderita tetap demam, gejala klinis tidak membaik disertai parasitemia aseksual. Penderita tidak
demam tetapi ditemukan parasitemia aseksual.
· Bila dalam pengobatan lini pertama dijumpai : tidak dapat makan/minum, tidak sadar, kejang,
muntah berulang, sangat lemah.

PROGNOSIS
· Malaria non falciparum umumnya baik karena memberikan respon terapi cukup baik.
· Malaria falciparum prognosisnya kurang baik, karena dapat memicu kerusakan multiorgan, memicu
morbiditas dan mortalitas sehingga kematian terjadi cepat melalui gangguan mikrovaskuler dan hipoksemia

KOMPLIKASI
· Malaria serebral
· Anemia berat
· Hipoglikemia
· Edema paru
· Gagal ginjal akut
· Distress pernapasan

b. Tifoid
Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella typhi.
Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan
dilepaskan ke aliran darah. (Darmowandowo, 2006).

Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu Salmonella typhi, Salmonella paratyphi
A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh Salmonella
typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yang lain. (Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak
berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas,
tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh
secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan
pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat
hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-
minggu dalam sampah, bahan makannan kering. (Ashkenazi et al, 2002) Salmonella memiliki antigen somatik O
dan antigen flagella HH. Antigen O
adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein
labil panas. (Ashkenazi et al, 2002)

Patogenesis
Salmonella typhi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. (mansjoer, 2000) Setelah mencapai
usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah
berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II (Darmowandowo, 2006).
Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator lokal (patch of payer) terjadi
hiperplasia, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah,
depresi sumsum tulang dan lain sebagainya. (Darmowandowo, 2006) Imunulogi Humoral lokal, di usus
diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral
sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi
untuk membunuh Salmonalla intraseluler (Darmowandowo, 2006)

Gejala Klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit
berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa
demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan susunan saraf pusat. 1. Panas lebih dari 7 hari,
biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus
menerus terutama pada malam hari. 2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan
kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi. 3. Gejalah saraf sentral berupa delirium,
apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma. (Darmowandowo, 2006)

Diagnosa
1. Amanesis
2. Tanda klinik
3. Laboratorik
1. Leukopenia, anesonofilia
2. Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air kemih
minggu III
3. Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium rekonvalescen titer makin
meninggi
4. Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typphi dengan Tubex TF cukup akurat dengan
5. Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M

Penatalaksanaan
Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif meliputi istirahat
dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah
komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien. (Mansjoer, 2001)
Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring, kemudian bubur
kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan
serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan
umum pasien. (Mansjoer, 2001)
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi
parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat
dipertimbangkan. Kortikosteroid perlu diberikan pada renjatan septik. Kortikosteroid khusus untuk penderita
yang sangat toksik (panas tinggi tidak turun-turun, kesadaran menurun dan gelisah/sepsis):
• Hari ke 1: Kortison 3 X 100 mg im atau Prednison 3 X 10 mg oral • Hari ke 2: Kortison 2 X 100 mg im atau
Prednison 2 X 10 mg oral • Hari ke 3: Kortison 3 X 50 mg im atau Prednison 3 X 5 mg oral • Hari ke 4:
Kortison 2 X 50 mg im atau Prednison 2 X 5 mg oral • Hari ke 5: Kortison 1 X 50 mg im atau Prednison 1 X 5
mg oral
(Mansjoer, 2001)

Medikamentosa
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua
adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
• Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau
intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diberi
• ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat
minum obat, selama 21 hari, atau
• amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari
• kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2 kali sehari
atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5- 7 hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR,
maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon. (Darmowandowo, 2006)

Pada Anak :
• Klorampenikol : 50-100 mg/kg BB/dibagi dalam 4 dosis sampai 3 hari bebas panas / minimal 14 hari. Pada
bayi < 2 minggu : 25 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis. Bila dalam 4 hari panas tidak turun obat dapat diganti
dengan antibiotika lain (lihat di bawah)
• Kotrimoksasol : 8-20 mg/kg BB/hari dalam 2 dosis sampai 5 hari bebas panas / minimal 10 hari
• Bila terjadi ikterus dan hepatomegali : selain Kloramfenikol diterapi dengan Ampisilin 100 mg/ kg BB/hari
selama 14 hari dibagi dalam 4 dosis • Bila dengan upaya-upaya tersebut panas tidak turun juga, rujuk ke RSUD.

Perhatian :
• Jangan mudah memberi golongan quinolon, bila dengan obat lain masih bisa diatasi.
• Jangan mudah memberi Kloramfenikol bagi kasus demam yang belum pasti demam tifoid, mengingat
komplikasi Agranulositotis. • Tidak semua demam dengan leukopeni adalah Demam Tifoid • Demam < 7 hari
tanpa leukositosis pada umumnya adalah infeksi virus, jangan beri kloramfenikol.

Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
1. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan
tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom
uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis. 4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan
kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre,
psikosis dan sindrom katatonia. Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien
kurang sempurna. (Mansjoer, 2001)

Penatalaksanaan Penyulit
Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi nerologik
menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30
menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali
pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus. (Darmowandowo,
2006)

Pencegahan
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk
cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat
menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga
kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella
typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman dan
makanan. (Darmowandowo, 2006)
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang diinaktivasi (kuman
yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang
diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta
direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang
yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium. (Department of Health and human service,
2004)
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari dua
tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu
sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap
dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit. (Department of Health and human service, 2004)
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per-oral) tidak boleh diberikan kepada anak- anak kurang dari 6 tahun.
Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan
sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja.
Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit. (Department
of Health and human service, 2004)
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak
boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya
saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang
tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per-oral) adalah : orang yang mengalami reaksi
berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki
sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem
imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas
tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan
kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan
dengan pemberian antibiotik. (Department of Health and human service, 2004)
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti reaksi alergi
yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi.
Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan
yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan
atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi
ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-
muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi). (Department of Health and human service, 2004)
c. DBD
Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi
yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBDterjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrik) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai
oleh renjatan/syok.
Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus flavivirus, keluarga
flaviviridae. Falvivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal
dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di indonesia dengan
DEN-3 merupakan serotipe yang terbanyak.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing,
klelawar, dan primata. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada
hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada
nyamuk genus aedes (stegomya) dan toxorhynchites.
Epidemiologi
Demam berdarah tersebar di wilayah asia tenggara, pasifik barat, dan karibia. Indonesia merupakan
wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Indisen DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per
100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per
100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada
tahun 1999
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus aedes ( terutama A. Aegypti dan A.
albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat
penampungan air lainnya).

Patogenesis
Patogeneis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imnopatologis berperan dalam
terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a. respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi
komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit dan makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement
(ADE);
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun selular terhadap virus
dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL2dan limfokin, sedangkan
TH2 memproduksi Il-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
c. Monosit dan makrofag berperan dalamfagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis
ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;
d. Selain itu aktifasi momplemen imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.

Halstead pada tahun 1973 menunjukkan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-
infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibody sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang
tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan
bahwa infeksi virus dengan menyebabkan aktifasi makrofag yang memfagositosis kompleksvirus-antibodi non-
netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan
aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin adan interferon gamma. Interferon gamma akan
mengaktivasi monosit segingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (Platelet
Activating Factor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga
mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). supresi sumsum tulang, dan 2).
Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari)
menunjukka keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaannadir tercapai akan terjai
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru menunjukka kenaikan. Hal ini menunjukka terjadinya stimulasi triombopoiesis
sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi terjadi melalui peningkatan
fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di
perifer. Gangguan fumgsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-
tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel.
Berbagai penelitian menunjukka terjadinya koagulopati konsumtif dapa demam berdarah dengue stadium II dan
Iv. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor
pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak
(kalikrein C1-inhibitor complex).

Manifestasi Klinis Dan Perjalanan Penyakit


Manifestasi klinis infeksi virusdengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas,
demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue (SSD)
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3
hari. Padawaktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika
tidak mendapat pengobatan adekuat.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dulakukan untuk menapispasien tersangka demam dengue adalah melalui
pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrik, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi, untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA
dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transkiptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknikyang
lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi
total, IgM maupun IgG.

Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:


· Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total
leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
· Trombosit umumnbya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
· Hematokrik: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrik ≥ 20% dari
hematokrik awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
· Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai
terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
· Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
· SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
· Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal
· Elektrolit: sebagai parameter pemantauan, pemberian cairan.
· Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.
· Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeteksi mulai hari 3-5, meningkat sampai minggi ke-3, menghilang setelah 60-90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari
ke-2
Uji JI: dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan., uji ini digunakan
untuk kepentingan surveilans.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan
plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya
dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat
pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.

Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak
khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.
Demam Dengue (DD). Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut:
· Nyeri kepala.
· Nyeri retro-orbital
· Mialgia/artralgia
· Ruam kulit.
· Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)
· Leukopenia.
Dan pemeriksan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi
dan waktu yang sama.
Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kiteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini dipenuhi:
· Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
· Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
− Uji bendung positif
− Petekie, ekimosis, atau purpura
− Perdarahan mukosa (terseringepistaksis atau perdarhan gusi), atau perdarahan dari tempat lain
− Hematemesis atau melena
· Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/μl).
· Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
− Peningkatan hematokrik >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.
− Penurunan hematokrik >20% setelah mendapatkan terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrik
sebelumnya.
− Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antaraDD dan DBD ditemukan adanya kebocoran
plasma.
Syndrom Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai
umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue


Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui klasifikasi derajat penyakit
seperti tertera pada tabel berikut.

PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif
yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap
dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hematokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit
Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran UniversitasIndonesia telah
menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria:
· Penatalaksanaan yang tepat denga rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.
· Praktis dalam pelaksanaannya.
· Mempertimbangkan cost effectiveness.
· Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
Protokol 1
Penangan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrik > 20%
Protokol 4
Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Protokol 5
Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa

7. Hubungan gejala dengan baru pulang dari Papua sepuluh hari yang lalu
Jika di lihat dari riwayatnya kemungkinan pasien tersebut menderita malaria seba daerah papua merupakan
salah satu daerah endemik untuk penyakit malaria.

Anda mungkin juga menyukai