Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH ILMU TAUHID

IKHLAS DALAM BERIBADAH

DI SUSUN OLEH KELOMPOK II :


1. FILDA ALIZA NASUTION
2. ANA MARIANA
3. ABDUL KHOLIQ
4. DAHLAN MUSTAKIM
DOSEN PEMBIMBING : ASRUL NST
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tugas utama manusia hidup di dunia ini adalah beribadah kepada Allah SWT. Ibadah
kepada-Nya merupakan bukti pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Dari
berbagai ayat dan hadis dijelaskan bahwa pada hakekatnya manusia yang beribadah
kepada Allah ialah manusia yang dalam menjalani hidupnya selalu berpegang teguh
kepada wahyu Allah dan hadis Nabi SAW. Pengertian ibadah tidak hanya terbatas
kepada apa yang disebut ibadah mahdhah atau rukun Islam saja, tetapi sangat luas
seluas aspek kehidupan yang ada. Yang penting aktivitas yang kita lakukan harus
diniatkan untuk ibadah kepada-Nya dan yang menjadi pedoman dalam mengontrol
aktivitas ini adalah wahyu Allah dan sabda Rasul-Nya. Namun ada satu aspek yang
seringkali dilupakan dalam pelaksanaan ibadah kepada-Nya, yakni keikhlasan dalam
menjalankannya. Keikhlasan dalam beribadah merupakan aspek yang sangat
fundamental yang akan mempengaruhi diterima atau tidaknya ibadah kita. Ibadah
yang dilakukan tanpa keikhlasan adalah ibadah yang sia-sia. Keikhlasan dalam
beribadah inilah yang tegaskan oleh Allah dalam ayat-ayat-Nya. Seperti yang di
jelaskan dalam surat al-An’am:162-163 dan al-Bayyinah:5

B. Rumusan Masalah
Terjemahkan QS.al-An’am:162-163 dan QS.al-Bayyinah:5 serta hadits tentang
keikhlasan dalam beribadah !
Bagaimana kandungan QS.al-An’am:162-163 dan QS.al-Bayyinah:5 serta hadits
tentang keikhlasan dalam beribadah !
Bagaimana cara menampilkan perilaku ikhlas dalam beribadah seperti yang
terkandung dalam QS.al-An’am:162-163 dan QS.al-Bayyinah:5 serta hadits tentang
keikhlasan dalam beribadah !

C. Tujuan
 Untuk mengetahui terjemahan QS.al-An’am:162-163 dan QS.al-Bayyinah:5
serta hadits tentang keikhlasan dalam beribadah !
 Untuk mengetahui kandungan makna QS.al-An’am:162-163 dan QS.al-
Bayyinah:5 serta hadits tentang keikhlasan dalam beribadah !
 Untuk mengetahui bagaiman cara menampilkan perilaku ikhlas dalam
beribadah seperti yang terkandung dalam QS.al-An’am:162-163 dan QS.al-
Bayyinah:5 serta hadits tentang keikhlasan dalam beribadah !
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ayat dan Hadits Tentang Keikhlasan dalam Beribadah


1. QS. Al-An’am: 162-163

Artinya: “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku


hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah).”(QS.Al-An’am: 162-163)

Arti kata-kata:
v ِ‫صللتتي‬
‫إتنن ل‬ :Sesungguhnya shalatku
v ِ‫لونسسستكي‬ :Ibadahku
v ِ‫ي لولملماَتتي‬ ‫ لولمححلياَ ل‬:Hidup dan matiku
v ‫ب احللعاَللتميلن‬‫لر ب‬ :Tuhan semesta alam
v ‫ك للهس‬
‫لل لشتريِ ل‬ :Tiada sekutu bagi-Nya
v ‫ت‬‫أستمحر س‬ :Aku diperintahkan
v ‫ألنوسل احلسمحسلتتميلن‬ :Orang yang pertama-tama berserah diri

2. QS.Al-Bayyinah: 5

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurusdan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus”.(QS.Al-Bayyinah: 5)

Arti kata-kata:
v ‫لولماَ أستمسروا‬ dan mereka tidak disuruh :
v ‫ال‬ ‫إتنل لتيلحعبسسدوا ن‬ melainkan supaya menyembah Allah :
v ‫ك تديِسن احلقليبلمتة‬
‫لولذلت ل‬ dan yang demikian itulah agama yang lurus :
3. Hadits tentang keihklasan dalam beribadah

Artinya: “DariAbu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya


Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi ia melihat/memperhatikan niat
dan keikhlasan dalam hatimu”. (HR. Muslim)
Arti kata-kata:
v ‫لل يِلحنظسسر‬ Tidak melihat :
v ‫الحجلساَتمسكحم‬ Bentuk badan :
v ‫صلوترسكحم‬
‫س‬ Rupamu :
v ‫لوللتكحن‬ dan tetapi :
v ‫قسلسحوبتسكحم‬ Hatimu :

B. Kandungan Makna
1. QS.Al-An’am:162-163
Adapun kandungan makna QS. Al-An’am ayat 162-163 adalah sebagai berikut:

Suruhan Allah SWT kepada setiap individu manusia(muslim/muslimah) untuk


berkeyakinan bahwa shalatnya, hidupnya dan matinya adalah semata-mata untuk
Allah SWT. Allah SWT itu adalah Tuhan Yang Maha Es, tiada sekutu bagi-Nya dan
pencipta, pemelihara serta pengatur alam semesta berikut segala isinya. Suruhan
Allah SWT kepada setiap individu manusia(muslim/muslimah) untuk berlaku ihklas
dalam berkeyakinan(beraqidah), beribadah dan beramal. Kata (‫ )نسسسسسك‬nusuk pada
umumnya diartikan sembelihan, tetapi yang dimaksud pada ayat ini bukan saja
sembelihan tetapi lebih luas yaitu ibadah, termasuk sholat dan sembelihan itu. Pada
asalnya kata ini dipakai untuk menggambarkan sepotong perak yang dibakar agar
kotoran dan bahan-bahan lain yang menyertai potongan perak itu terlepas darinya
sehingga yang ada tinggal perak murni. Demikian juga ibadah disebut nusuk untuk
melukiskan bahwa ia seharusnya suci, murni dikerjakan penuh dengan ikhlas semata-
mata hanya mencari ridha Allah. Kemudian disebutkannya kata shalat sebelum kata
ibadah (walaupun shalat adalah salah satu dari ibadah) hal ini mempunyai tujuan
untuk menunjukkan betapa penting ibadah shalat tersebut bagi manusia. Karena
shalat merupakan bentuk kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan oleh setiap orang
yang mengaku sebagai muslim, apapun alasannya. Hal ini berbeda dengan
kewajiban-kewajiban lainnya. Pada ayat berikutnya (163), Allah masih menyuruh
Nabi untuk menegaskan bahwa tiada sekutu bagi Allah sebagai manifestasi tauhid.
Hal ini menjadi dasar diperintahkannya beliau menjadi utusan Allah. Atas perintah
ini, nabi Muhammad pun diminta menyatakan, “Aku adalah orang yang pertama-
tama berserah diri (muslim)”.[8] Dalam pengertian, beliau adalah orang yang paling
sempurna kepatuhan dan penyerahan dirinya kepada Allah.

2. QS.Al-Bayyinah: 5
Adapun kandungan makna QS.Al-Bayyinah ayat 5 adalah sebagai berikut:
Perintah untuk menyembah hanya kepada Allah SWT dengan niat ikhlas semata-
mata karena Allah SWT. Perintah untuk memurnikan agama Allah dari ajaran-ajaran
kemusyrikan. Perintah untuk mendirikan shalat dan zakat. Menyembah kepada Allah
dan menjauhi kemusyrikan adalah agama yang benar dan lurus. Surat ini turun
sebagai bentuk penegasan kembali atas tindakan Ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani)
yang melampaui batas. Misalnya, umat Nasrani telah menjadikan Nabi Isa sebagai
Tuhan, sementara itu kaum Yahudi menghinakannya. Melalui ayat ini Allah
mengingatkan kembali kepada mereka agar kembali kepada agama yang lurus (din
al-qayimah). Agama yang lurus ini bercirikan tiga hal, yaitu adanya ketundukan dan
kepatuhan hanya kepada Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Ketundukan dan kepatuhan secara murni menjadi kunci terbentuknya sikap lurus dan
senantiasa condong kepada kebajikan. Sebaliknya, ketundukan dan kepatuhan yang
tidak murni (syirik) menjadi akar penyimpangan dan kecondongan kuat untuk
berbuat yang berlawanan dengan nilai-nilai kebajikan. Ada dua kata kunci dalam
ayat ini untuk mencapai ketundukan dan kepatuhan secara murni kepada Allah, yaitu
kata mukhlisin dan hunafa’. Kata (‫ )مخلصين‬mukhlishin adalah berbentuk isim fa’il
berasal dari kata ‫ ))خلص‬khalusha yang artinya murni setelah sebelumnya diliputi
kekeruhan. Dari sini ikhlas merupakan usaha memurnikan dan menyucikan hati
sehingga benar-benar tertuju kepada Allah semata, sedang sebelum keberhasilan itu
hati masih biasanya diliputi atau dihinggapi oleh hal-hal selain Allah, seperti pamrih
dan yang semacamnya. Kata (‫ )حنفاَء‬hunafa’ adalah berbentuk jamak dari kata mufrod
(‫ )حنيف‬hanif yang biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu(kebajikan).
Agama Islam disebut juga sebagai agama hanif karena posisinya yang lurus (berada
di tengah-tengah). Artinya, tidak cenderung pada materialisme dan mengabaikan
yang spiritual atau sebaliknya. Penyebutan shalat dan zakat secara khusus
mempunyai arti akan pentingnya menjalin hubungan baik dengan Allah dan sesama
manusia.

3. Hadits
Dalam hadits di atas rasulullah menjelaskan bahwa setiap kita dalam berbuat,
melakukan sesuatu atau beribadah akan dilihat oleh Allah dari niat ikhlas kita dalam
melakukannya. Allah tidak melihat penampilan kita, dalam arti rupa dan bentuk
badan/jasad kita, melainkan Allah akan melihat dan memperhatikan sejauh mana
tingkat keikhlasan kita dalam melakukan sesuatu atau beribadah kepada-nya. Niat
dan ikhlas dalam beramal/beribadah dalam Islam merupakan pilar utama dalam
ibadah bahkan menjadi ruhnya ibadah. Hal tersebut disebabkan karena amal seorang
mukmin baru akan bernilai ibadah yang diterima oleh Allah jika memenuhi dua
syarat : niat ikhlash (karena Allah) dan benar (sesuai dengan tuntunan Rasulullah
saw). Para ulama meyakini bahwa niat ikhlas (amal batin) lebih utama dari amal lahir
(perbuatan), meskipun kedua-duanya mutlaq diperlukan adanya Niat artinya
bermaksud, berkeinginan, atau bertekad. Ia merupakan amalan batin atau hati, yang
karenanya tidak harus dilafadzkan. Sementara ikhlas artinya menjadikan Allah
sebagai niat utama, tujuan utama, atau sebab utama dalam melakukan suatu amal.

C. Cara Menampilkan Sikap Ikhlas Beribadah dalam Kehidupan Sehari-hari


Buruk sangka terhadap diri sendiri dan tidak berbangga dengan keberhasilan. Allah
berfirman :
”Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati
yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada
Tuhan mereka.”
Maksudnya, karena tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan untuk dihisab,
maka mereka khawatir kalau-kalau pemberian-pemberian (sedekah-sedekah) yang
mereka berikan dan amal ibadah yang mereka kerjakan itu tidak diterima Tuhan.
Tidak adanya perubahan sikap, ketika dipuji maupun dicela atas amal yang telah ia
lakukan, karena ia memang hanya mengharapkan ridha Allah semata, dan karenanya
tidak pernah mengharapkan pujian seseorang atau takut akan celaannya. Seorang
yang diberi taufik oleh Allah ta’ala tidaklah terpengaruh oleh pujian manusia apabila
mereka memujinya atas kebaikan yang telah dilakukannya. Apabila dia mengerjakan
ketaatan, maka pujian yang dilontarkan oleh manusia hanya akan menambah
ketawadhu’an dan rasa takut kepada Allah. Dia yakin bahwa pujian manusia kepada
dirinya merupakan fitnah baginya, sehingga dia pun berdo’a kepada Allah ta’ala agar
menyelamatkan dirinya dari fitnah tersebut. Dia tahu bahwa hanya Allah semata,
yang pujian-Nya bermanfaat dan celaan-Nya semata yang mampu memudharatkan
hamba. Lebih senang untuk menyembunyikan amal baiknya, karena takut riya’.
Namun tidak kemudian karena takut riya’ lalu justru meninggalkan suatu amalan
kebaikan. Sebab barangsiapa berbuat demikian maka ia secara tidak sadar
sebenarnya tidak ikhlas juga. Amal yang tersembunyi dengan syarat memang amal
tersebut patut disembunyikan, lebih layak diterima di sisi-Nya dan hal tersebut
merupakan indikasi kuat bahwa amal tersebut dikerjakan dengan ikhlas. Seorang
mukhlis yang jujur senang menyembunyikan berbagai kebaikannya sebagaimana dia
suka apabila keburukannya tidak terkuak. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah ta’ala
dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan-Nya.
mereka adalah seorang pemimpin yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dalam
ketaatan kepada Allah; seorang pria yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid;
dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah di
atas kecintaan kepada-Nya; seorang pria yang diajak (berbuat tidak senonoh) oleh
seorang wanita yang cantik, namun pria tersebut mengatakan, “Sesungguhnya saya
takut kepada Allah”; seorang pria yang bersedekah kemudian dia
menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu aa yang telah disedekahkan
oleh tangan kanannya; seorang pria yang mengingat Allah dalam keadaan sunyi dan
air matanya berlinang.” (Muttafaqun ‘alaihi). Melihat Amal Orang Shalih yang
Berada di Atas Kita Janganlah anda memperhatikan amalan orang yang sezaman
denganmu, yaitu orang berada di bawahmu dalam hal berbuat kebaikan. Perhatikan
dan jadikanlah para nabi dan orang shalih terdahulu sebagai panutan anda. Allah
ta’ala berfirman,‫س‬

“Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah
petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Al-Quran). Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk
seluruh umat.” (Al An’am: 90).

Menganggap Remeh Amal


Penyakit yang sering melanda hamba adalah ridha (puas) dengan dirinya. Setiap
orang yang memandang dirinya sendiri dengan pandangan ridha, maka hal itu akan
membinasakannya. Setiap orang yang ujub akan amal yang telah dikerjakannya,
maka keikhlasan sangat sedikit menyertai amalannya, atau bahkan tidak ada sama
sekali keikhlasan dalam amalnya, dan bisa jadi amal shalih yang telah dikerjakan
tidak bernila

Anda mungkin juga menyukai