Sifat fisis dikelompokkan ke dalam sifat fisis yang bersifat umum dan yang bersifat
khusus. Sifat fisis umum merupakan sifat-sifat yang berlaku secara umum pada
komoditas pertanian dan sifat fisis khusus, yaitu sifat-sifat yang mencirikan komoditas
atau sekelompok jenis komoditas.
Ada beberapa macam sifat fisis, yaitu sifat morfologis, sifat spektral, sifat thermal dan
sifat reologis atau kinestatis (Soewarno T Soekarto, 1992). Sifat morfologi, meliputi
bentuk, ukuran, sifat permukaan, susunan dan warna. Untuk menentukan karakteristik
bahan sifat fisik yang umum digunakan sebagai ukuran adalah bentuk dan ukuran,
warna dan kilap, tekstur atau kinestatis. Sifat morfologi terutama ada pada produk
padat, baik produk pangan maupun hasil pertanian segar. Pengukuran sifat morfologi
dapat dilakukan secara visual (organoleptis) dan alat fisika (pengukuran secara
obyektif), misal penggunaan timbangan untuk mengukur berat dan penggunaan
penggaris atau jangka sorong untuk mengetahui panjang, lebar/diameter.
Sifat kimia adalah bahan hasil pertanian adalah sifat yang berkaitan dengan zat gizi
yang tergandung didalamnya. Kandungan zat gizi yang terdapat di dalam bahan
pangan terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan kadar air.
Pengukuran sifat kimia ini tidak bisa dilakukan secara organoleptis melainkan harus
dengan peralatan laboratorium.
Sifat fisiologis bahan hasil pertanian adalah sifat yang berkaitan dengan proses
metabolisme yang terjadi mulai bahan hasil pertanian tersebut tumbuh sampai bahan
hasil pertanian tersebut dipanen bahkan setelah panen. Sifat fisiologi dari bahan hasil
pertanian yang perlu dipahami terutama adalah perubahan-perubahan yang terjadi
selepas panen pada komoditas hasil pertanian, dikarenakan hal ini sangat erat
kaitannya dengan kerusakan yang mengakibatkan penurunan mutu komoditas hasil
pertanian. Karakteristik bahan hasil pertanian dan perikanan secara umum akan
diuraikan awal, kemudian karakteristik per kelompok komoditas akan diuraikan
berikutnya.
SIFAT FISIOLOGIS
Non perishable (tahan lama): Merupakan produk pertanian yang telah mengalami proses
perlakuan pengawetan dan pengolahan.
- Proses blanching, brining yang kemudian disusul proses freezing atau proses sterilisasi.
- Proses salting.
- Proses fermentasi umpama sauerkraut, pickles dll.
Proses radiasi.
- Proses pengawetan secara kimiawi.
- Proses pengasapan.
- Proses pengawetan dengan gula (manisan).
- Proses pengeringan dengan matahari atau dryer.
Semi perishable (agak cepat rusak): Walaupun dipanen segar tanpa proses perlakuan
pengawetan dan pengolahan, namun memiliki daya tahan relatif lama terhadap kerusakan,
misalnya kentang, ubi jalar, apel yang berkulit tebal, kelapa dengan syarat kulit buahnya
tidak mudah mengalami kerusakan mekanis.
Perishable (cepat rusak): Hampir semua produk buah dan sayur termasuk kelompok
perishable yaitu buah dan sayur yang mudah rusak.
Secara umum bahan hasil pertanian dan perikanan tersebut merupakan komoditas yang
memiliki sifat cepat mengalami kerusakan (perishable). Dengan demikian membutuhkan
penanganan yang tepat dan cepat untuk mempertahankan kualitasnya agar komoditas hasil
pertanian dan perikanan tersebut masih memenuhi kriteria mutu sesuai persyaratan konsumen,
layak dan aman dikonsumsi.
Hewan setelah disembelih, proses awal yang terjadi pada daging adalah pre rigor. Setelah
hewan mati, metabolisme yang terjadi tidak lagi sabagai metabolisme aerobik tapi menjadi
metabolisme anaerobik karena tidak terjadi lagi sirkulasi darah ke jaringan otot. Kondisi ini
menyebabkan terbentuknya asam laktat yang semakin lama semakin menumpuk. Akibatnya pH
jaringan otot menjadi turun. Penurunan pH terjadi perlahan-lahan dari
keadaan normal (7,2- 7,4) hingga Mencapai pH akhir sekitar 3,5-5,5. Sementara itu jumlah ATP
dalam jaringan daging masih relatif konstan sehingga pada tahap ini tekstur daging lentur dan
lunak. Jika ditinjau dari kelarutan protein daging pada larutan garam, daging pada fase prerigor
ini mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan daging pada fase postrigor. Daging pada
fase prerigor. Hal ini disebabkan pada fase ini hampir 50% protein-protein daging yang larut
dalam larutan garam, dapat diekstraksi keluar dari jaringan (Forrest et al, 1975). Karakteristik ini
sangat baik apabila daging pada fase ini digunakan untuk pembuatan produk-produk yang
membutuhkan sistem emulsi pada tahap proses pembuatannya.