Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI II
PERCOBAAN V
PENGUJIAN ANTISEPTIK ATAU DESINFEKTAN

Disusun oleh:
Kelompok 6 E
Gheavanya Azhari Tamim 10060316202
Risa Apriani Hilyah 10060316203
Miranda Dwi Putri 10060316204
Diah Rohaeni 10060316208
Dwina Syafira Arzi 10060316210

Asisten : Adela Nursyabani, S.Farm.


Tanggal praktikum : Selasa, 26 Februari 2019
Tanggal pengumpulan : Selasa, 5 Maret 2019

LABORATORIUM FARMASI UNIT D


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1440H / 2019 M
I. Tujuan Percobaan
1. Menjelaskan perbedaan antara antiseptik, desinfektan dan antibiotic
2. Menjelaskan perbedaan prinsip pengujian antiseptik
3. Menjelaskan perbedaan prinsip dan kegunaan pengujian metode kontak
(koefesien fenol) dengan metode difusi agar
II. Teori Dasar
2.1. Antiseptik
Antiseptik dalah bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau
mencegah pertumbuhan mikrootganisme, biasanya merupakan sediaan yang
digunakan pada jaringan hidup. Tujuan utama pemakaian antiseptik adalah untuk
membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme
penghambatan system enzim bakteri dan mengubah daya permeabilitas sel
membran melalui proses oksidasi, halogenasi dan pengendapan bakteri.
(Levinson, 2008).
Antiseptik atau germisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk
membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan yang
hidup seperti pada permukaan kulit dan membran mukosa. Antiseptik berbeda
dengan antibiotik dan disinfektan, yaitu antibiotik digunakan untuk membunuh
mikroorganisme di dalam tubuh, dan disinfektan digunakan untuk membunuh
mikroorganisme pada benda mati. Hal ini disebabkan antiseptik lebih aman
diaplikasikan pada jaringan hidup daripada disinfektan. Namun, antiseptik yang
kuat dan dapat mengiritasi jaringan kemungkinan dapat dialih fungsikan menjadi
disinfektan contohnya adalah fenol yang dapat digunakan baik sebagai antiseptik
maupun disinfektan. Penggunaan antiseptik sangat direkomendasikan ketika
terjadi epidemi penyakit karena dapat memperlambat penyebaran penyakit.
(Retnosari dan Isadiartuti 2006).
2.1.1. Mekanisme antiseptik
Mekanisme kerja antiseptik antara lain merusak lemak pada membrane sel
bakteri atau dengan cara menghambat salah satu kerja enzim pada bakteri yang
berperan dalam biosintesis asam lemak. (Isiadirtuti dan Retno, 2005).
Menurut Siswandono dan Surkadjo, mekanisme kerja antiseptik antara lain
menginaktifkan enzim, denaturasi protein, mengubah permeabilitas membrane,
interkalasi kedalam Deoksiribo Nukleat Acid (DNA) dan pembentukan kelat.
a. Penginaktivasi enzim
Penginaktivasian enzim adalah mekanisme umum dari senyawa antiseptik,
seperti turunan aldehid, etilen oksida. Aldehid dan etilen oksida bekerja dengan
mengalkilasi secara langsung gugus nukleofil seperti gugus-gugus amino,
karboksil, hidroksil, fenol dan tiol dari protein sel bakteri. (Siswandono dan
Soekardjo, 2000).
b. Denaturasi protein
Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses absorbs yang
melibatkan ikatan hydrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein-fenol
dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol
kedalam sel menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi
fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membrane mengalami lisis.
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).
c. Mengubah permeabilitas
Turunan fenol dapat mengubah permeabilitas membrane sel bakteri ,
sehingga menimbulkan kebocoran konstituen sel yang esensial dan
mengakibatkan bakteri mengalami kematian. (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
d. Interkalasi kedalam Dioksiribo Nukleat Acid (DNA)
Turunan tirfenil metan seperti gentian violet adalah kation aktif, dapat
berkompetisi dengan ikatan hydrogen membentuk kompleks yang tak terionisasi
dengan gugus bermuatan negative dari konstituen sel, terjadi pemblokan proses
biologis yang penting untuk kehidupan bakteri sehingga bakteri mengalami
kematian. (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
e. Pembentukan kelat
Beberapa turunan fenol seperti heksaklorofen dan oksikuinolin, dapat
membentuk kelat dengan ion Fe dan Cu, kemudian bentuk kelat tersebut dialihkan
kedalam sel bakteri. Kadar yag tinggi dari ion-ion logam didalam sel
menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim sehingga mikroorganisme
mengalami kematian. (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
2.1.2. Penggolongan antiseptik
Menurut siswandono (1995), antiseptik dapat digolongkan menjadi
beberapa golongan yaitu :
1. Golongan halogen dan halogenofor
2. Golongan fenol
3. Turunan alkohol
4. Senyawa pengoksidasi
5. Turunan ammonium kuartener
2.2. Desinfektan
Desinfektan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mencegah
terjadinya infeksi dengan membunuh jasad renik (bakterisid), terutama pada
benda mati. Proses desinfeksi dapat menghilangkan 60% - 90% jasad renik.
Desinfektan digunakan secara luas untuk sanitasi baik di rumah tangga,
laboratorium, dan rumah sakit (Shaffer, 1965; Larson, 2013).
Kriteria suatu desinfektan yang ideal adalah bekerja dengan cepat untuk
menginaktivasi mikroorganisme pada suhu kamar, berspektrum luas, aktivitasnya
tidak dipengaruhi oleh bahan organik, pH, temperatur, dan kelembaban, tidak
toksik pada hewan dan manusia, tidak bersifat korosif, bersifat biodegradable,
memiliki kemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap, tidak meninggalkan
noda, stabil, mudah digunakan, dan ekonomis (Siswandono, 1995; Butcher and
Ulaeto, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas desinfektan yang digunakan
untuk membunuh jasad renik adalah ukuran dan komposisi populasi jasad renik,
konsentrasi zat antimikroba, lama paparan, temperatur, dan lingkungan sekitar
(Pratiwi, 2008).
2.2.1. Penggolongan desinfektan
Menurut Siswandono (1995), desinfektan dapat dibagi menjadi enam
kelompok, yaitu:
1. Turunan aldehida
2. Turunan alkohol
3. Senyawa pengoksidasi
4. Turunan fenol
5. Turunan ammonium kuartener
2.3. Metode koefesien fenol dan metode kontak
Koefisien fenol merupakan kemampuan suatu desinfektan dalam
membunuh bakteri dibandingkan dengan fenol. Uji ini dilakukan untuk
membandingkan aktivitas suatu produk (desinfektan) dengan fenol baku dalam
kondisi uji yang sama. Fenol dijadikan standar dalam uji efektivitas desinfektan
karena kemampuannya dalam membunuh jasad renik sudah teruji. Penentuan
koefisien fenol adalah untuk mengevaluasi kekuatan anti mikroba suatu
desinfektan dengan memperkirakan efektivitasnya berdasarkan konsentrasi dan
lamanya kontak terhadap mikroorganisme tertentu (Dwijoseputro, 1982; Somani,
et al., 2011).
Pengujian desinfektan yang baik harus mampu memprediksikan
kekuatannya ketika digunakan. Desinfektan digunakan untuk pemeliharaan
permukaan, peralatan-peralatan, air, kain linen, obat-obatan, bidang pertanian, dan
industri makanan. Uji yang vlebih spesifik telah dikembangkan untuk
memberikan gambaran keefektifan suatu desinfektan. Metode pengujian
desinfektan meliputi uji pembawa, uji suspensi, uji kapasitas, dan uji praktik
(Cremieux dan Fleurette, 1991; Reybrouck, 1992).
Metode kontak merupakan modifikasi dari koefesien fenol yaitu untuk
melihat potensi antiseptik dari sediaan uji dengan menilai waktu yang dibutuhkan
untuk suatu bahan uji dapat menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan
terhadap bahan standar. (Dwijoseputro, 1982; Somani, et al., 2011).
III. Alat dan Bahan
Alat Bahan Mikroba Uji
4. Autoklaf Medium: 17. Escherichia coli
5. Batang Nutrien agar 18. Staphylococcus aureus
pengaduk Bahan lain:
6. Bunsen 15. Aquadest
7. Cawan petri 16. Larutan uji
8. Gelas piala
9. Inkubator
10. Jarum ose
11. Labu
Erlenmeyer
12. Pipet ukur
13. Tabung reaksi
14. Vortex

IV. Prosedur
4.1. Persiapan Praktikum
a. Sterilisasi alat dan media pertumbuhan bakteri
Sterilisasi alat dan media pertumbuhan bakteri dilakukan dengan cara
panas lembab menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit dan jarum
ose disterilisasi dengan cara fikasasi pada nyala api bunsen
b. Penyiapan media pertumbuhan bakteri
Nutrient agar (NA) dibuat dengan melarutkan 4,4 gram serbuk NA dalam
air suling steril sebanyak 220 ml. Kemudian dipanaskan hingga larut dalam labu
Erlenmeyer, disumbat dengan kapas berlemak dan ditutup dengan aluminium foil
lalu disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.
c. Penyiapan bakteri uji
Bakteri uji yang digunakan yaitu E. Coli dan S. aureus dibiakan pada
aquadest steril. Diambil 10 mL aquadest steril dimasukan ke dalam tabung reaksi,
biakan bakteri diambil menggunakan jarum ose ke dalam tabung reaksi berisi
aquadest kemudian di vortex sampai keruh.
4.2. Hari Praktikum
Tabung reaksi disiapkan sebanyak 6 buah dan beri nama (t15 detik, t30
detik, t45 detik, t60 detik, t75 detik dan t90 detik). Kemudian media agar
sebanyak 15 mL dimasukan kedalam cawan petri sebanyak 6 buah dan beri nama
(t15 detik, t30 detik, t45 detik, t60 detik, t75 detik dan t90 detik). Desinfektan
dimasukan kedalam tabung reaksi sebanyak 5 mL pada masing-masing tabung
reaksi. Kemudian ditambahkan 1 tetes bakteri kedalam tabung, dikocok sampai
tercampur merata. Jarum ose dimasukan kedalam tabung pada interval 15, 30, 45,
60, 75 dan 90 detik dengan teknik aseptis. Selanjutnya jarum ose dioleskan ke
permukaan agar dalam cawan petri. Seluruh biakan diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam.
V. Data Pengamatan
5.1. Tabel pengamatan pengujian antiseptik atau desinfektan
Bahan Uji Pertumbuhan pada sub biakan (cawan petri) dalam detik
15 30 45 60 75 90
Larutan 1 + - - - - -
Larutan 2 + + + + + +
Larutan 3 + - - + + +
Larutan 4 + + + + + +
Larutan 5 + + + - - -
Larutan 6 + + + + + +
Standar - + - - + +

5.2.Gambar pengamatan pengujian antiseptik atau desinfektan

Kelompok Gambar Pengamatan

1
2

4
5

6
7

VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini bertujuan untuk menguj sampel atau larutan uji
termsuk kedalam desinfektan atau antiseptik dengan metode difusi agar. Sebelum
melakukan percobaan, dilakukan proses sterilisasi pada alat-alat dan media yang
akan digunakan dengan menggunakan autoklaf. Hal ini bertujuan untuk
menghindari terjadinya kontaminasi mikroorganisme lain yang menggangu hasil
pengamatan. Semua pekerjaan dilakukan dengan teknik aseptis untuk mencegah
terjadinya kontaminasi dengan biakan yang mungkin bersifat patogen.
Prosedur kerja aseptis dilakukan dengan beberapa cara, pertama sanitasi
alkohol pada meja tempat melakukan penanaman mikroba menggunakan alkohol
70%. Penggunaan alkohol pada konsenrasi 70% lebih efektif digunakan karena
tidak membunuh semua mikroorganisme (tidak langsung mendenaturasi bakteri)
tetapi hanya mengurangi mikroorganisme sampai tingkat level tertentu. Kedua,
pekerjaan dilakukan diantara dua nyala api bunsen dengan jarak ± 20 cm untuk
meminimalkan kontaminasi serta melindungi praktikan dari mikroorganisme
patogen maupun non patogen. Penyalaan bunsen selama 10 menit sebelum bekerja
bertujuan agar terjadi radiasi yang menyebabkan mikroorganisme yang tidak
diinginkan menjauh. Ketiga, memflambir alat-alat yang digunakan untuk menjaga
kesterilan atau menghindari kontaminan mikroorganisme yang lain.
Media yang digunakan pada percobaan kali ini adalah media agar
(Nutrient agar), karena NA merupakan media umun yang berfungsi untuk
membiakan berbagai macam mikroorganisme serta kultur bakteri. Kandungan
ekstrak daging dan pepton pada NA merupakan sumber nutrisi (berupa protein,
nitrogen, vitamin serta karbohidrat) yang sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme
untuk tumbuh dan berkembang. Selain itu kandungan NaCl dalam NA berfungsi
untuk menyeimbangkan tekanan osmotik sel bakteri dan medium, agar bakteri
yang akan ditumbuhkan tidak mati.
Pengambilan suspensi bakteri yang telah dimasukan kedalam beberapa
sampel larutan yang duga desinfektan dan antiseptik dilakukan dengan
menggunakan jarum ose yang telah diflambir harus didiamkan beberapa detik
agar suhunya sedikit turun, hal ini bertujuan agar bakteri tidak mati akibat suhu
yang terlalu tinggi. Setiap kali jarum ose kontak dengan bakteri harus dibersihkan
dahulu dengan alkohol 70% agar terhindar dari kontaminasi dan tetap dalam
keadaan steril. Penyimpanan bakteri dalam inkubator (proses inkubasi) pada suhu
37oC dilakukan karena suhu 37oC merupakan suhu optimum untuk pertumbuhan
bakteri.
Pada pengujian antiseptik dan desinfektan kali ini dilakukan mengunakan
pengujian metode kontak dengan metode difusi agar, dimana parameter
pengamatan berupa ada tidak nya pertumbuhan mikroba. Dengan metode kontak
ini dapat menunjukan waktu yang dibutuhkan untuk suatu bahan uji dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan terhadap bahan standar. Prinsip
metode difusi agar yaitu proses difusi zat antimikroba (antiseptik dan desinfektan)
yang telah dicampur dengan bakteri pada lempeng agar.
Kelibihan metode kontak dibandingkan metode koefisien fenol dan difusi
agar yaitu minim kontaminasi, lebih mudah dilakukan. Kekurangannya adalah
Penggunaan antiseptik biasanya digunakann untuk untuk mencegah
penyebaran infeksi berbahaya. Senyawa kimia digunakan pada kulit atau
membran mukosa. Syarat yang haru dipenuhi adalah memiliki kemampuan
antimikroba, tidak toksik dan tidak mengiritasi kulit dengan cara destruksi atau
inhibisi mikroorganisme pada jaringan hidup. Sedangkan desinfektan digunakan
untuk melenyapkan atau menghilangkan mikroorganime, termasuk yang
patogen, dari permukaan benda tidak hidup. Desinfeksi tidak membunuh semua
mikroorganisme tetapi hanya mengurangi sampai tingkat level tertentu
Berdasarkan hasil pengamatan setelah proses inkubasi selama 18-24 jam
diperoleh data, larutan standar yaitu alkohol menunjukan hasil (-) atau tidak
terdapat pertumbuhan mikroba pada waktu 15,45 dan 60 detik, hal ini menunjukan
bahwa larutan standar dapat membunuh mikroba karena alkohol bekerja
membunuh mikroba dengan cara menghidrasi/ mengeluarkan air dari sel bakteri
(sebagai antiseptik) dan mendenaturasi protein dasi sel bakteri (sebagai
desinfektan). Tetati pada waktu 15, 75 dan 90 detik menunjukan hasil (+) atau
terdapat pertumbuhan mikroba, hal ini terjadi karena kemungkinan terdapat
kontaminan.
Hasil pengamatan larutan 1 menunjukan hasil (-) atau tidak terdapat
pertumbuhan mikroba dalam waktu 30 detik, larutan 5 menunjukan hasil (-) dalam
waktu 60, hal ini menunjukan bahwa larutan 1 dapat membunuh mikroba dan
diduga desinfektan karena jika dibandingkan dengan larutan standar waktu yag
dibutuhkan untuk memunuh bakteri sangat sacepat.
Hasil pengamatan larutan 2,4, dan 6 menunjukan hasil (+) atau terdapat
pertumbuhan mikroba, hal ini menunjukan bahwa dalam waktu 90 larutan tersebut
tidak dapat membunuh atau mengahambat mikroba atau dalam kata lain untuk
membunuh mikroba tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga
ketiga larutan tersebut diduga merupakan antiseptik.
Hasil pengamatan larutan 3 menunjukan hasil (-) atau tidak terdapat
pertumbuhan mikroba dalam waktu 30-45 detik hal ini menunjukan bahwa larutan
1 dapat membunuh mikroba dan diduga desinfektan karena jika dibandingkan
dengan larutan standar waktu yag dibutuhkan untuk memunuh bakteri sangat
sacepat. Tetati pada waktu 15, 60, 75 dan 90 detik menunjukan hasil (+) atau
terdapat pertumbuhan mikroba, hal ini terjadi karena kemungkinan terdapat
kontaminan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa pengujian
antiseptik dan desinfektan dengan metode kontak menunjukan bahawa larutan
1,3,5 diduga merupakan desinfektan dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk
membunuh mikroba lebih cepat dibandingkan larutan 2,4, dan 6 yang diduga
sebagi antiseptik.
DAFTAR PUSTAKA
Aboh, M., Oladosu, P., dan Ibrahim, K. (2013). Antimicrobial Activities of Some
Brands of Households Disinfectants Marketed in Abuja Municipal Area
Council, Federal Capital Territory. Nigeria: American Journal of
Research Communication.

Butcher, W & Ulaeto, D. 2010. Contact Inactivation of Orthopoxviruses by


Household Disinfectants. Philadelphia: Department of Biomedical
Sciences, Dstl Porton Down.

Brewer, C. (2010). Variations in Phenol Coefficient Determinations of Certain


Disinfectants. American Journal of Public Health.

Cremieux, A., and Fleurette, J. (1991). Methods of Testing Disinfectants. In


Disinfection, Sterilization, and Preservation. Edisi empat. Philadelphia:
Lea dan Febiger.

Dwidjoseputro. (1982). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Elisabeth, R., Apriliana, E., dan Rukmono, P. (2012). Uji Efektivitas pada
Antiseptik di Unit Perinatologi Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek
Bandar Lampung. Medical Journal of Lampung University.

Fazlara, A and Ekhtelat, M. (2012). The Disinfectant Effects of Benzalkonium


Chloride on Some Important Foodborne Pathogens. American-Eurasian
Journal of Agricultural & Environment Scientifique.

Ghanem, K.M., Fassi, F.A., and Hazmi, N.M. (2012). Optimization of


Chloroxylenol Degradation by Aspergillus niger Using Plackett- Burman
Design and Response Surface Methodology. African Journal of
Biotechnology.

Kahrs, R.F. (1995). Disinfectants, Antiseptics, Sanitizers, and Sterilizing Agents.


Revue Scientifique et Technique de L’ Office International Des
Epizooties.
Larson, E., (2013). Monitoring Hand Hygiene. American Journal of Infection
Control.

Levinson W. (2008). Review of medical microbiology and immunology. 10th ed.


McGraw-Hill Companies.

Pratiwi, S.T., (2008). Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Erlangga.

Reybrouck, G. (1992). The Assesment of the Bactericidal Activity of Surface


Disinfectants. Edisi pertama. Oxford: Zentralblatt fur Hygiene und
Umweltmedizin.

Sari, Retno., Dewi I. and Noorma R., (2004). Pemanfaatan Sirih sebagai Sediaan
Hand Gel Antiseptic : I. Studi Formulasi, Laporan Penelitian, Fakultas
Farmasi,Universitas Airlangga.

Siswandono dan Soekardjo, B., (1995). Kimia Medisinal, 28-29, 157, Airlangga
University Press, Surabaya.

Siswandono dan Soekardjo, B., (2000). Kimia Medisinal, Edisi 2, 228-232, 234,
239, Airlangga University Press, Surabaya.

Shaffer, J.G., (1965) The Role of Laboratory in Infection Control in the Hospital.
Arbor: University of Michigan, School of Pulbic health.

Somani, S.B., Ingole, W.N., and Kulkarni, S.N. (2011). Disinfection of Water by
Using Sodiun Chloride (NaCl) and Sodium Hypochlorite (NaOCl).
Shegaon: Shri Sant Gajanan Maharaj College of Engineering.

Stampi, S., De Luca, G., Onorato, M., Ambrogiano, E., and Zanetti, F. (2002).
Peracetic Acid as an Alternative Wastewater Disinfectant to Chlorine
Dioxide. Bologna: Department of Medicine

Anda mungkin juga menyukai