Anda di halaman 1dari 24

BAHAN GALIAN NON LOGAM DAN BATUAN

BATUGAMPING (LIMESTONE )

OLEH

MUHAMMAD ALFIAN D62116012


MUH SAFARUDDIN IKBAL D62116306
GABRIEL ARIRUPA D62116310
GEOFANNY AMANDA LOPULISA D62116501
MUHAMMAD AKBAR MUSSENG D62116512
KOSIM AL KADRI D111171308
TOMI MANTIRRI D111171310
NUR ALAM FAJAR D111171306
WINDI D111171311
DODI DEWANTARA D111171312
FITRIANI CHAIRUNISSA D111171703

DEPARTEMEN TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan

hidayah-Nya sehingga makalah Bahan Galian Non Logam dan Batuan yang berjudul

Batugamping dapat diselesaikan.

Penyelesaian penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai

pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini disampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.

phil. Nat. Sri Widodo ST., MT. selaku dosen pengajar mata kuliah Bahan Galian Non

Logam dan Batuan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,

sehingga kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan demi peningkatan

penulisan makalah berikutnya. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita

semua dalam membangun wawasan kita.

Gowa, 5 Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR.................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang............................................................................... 1

1.2 Ruang Lingkup Makalah .................................................................. 2

1.3 Tujuan Makalah ............................................................................. 2

BAB II ISI DAN PEMBAHASAN ............................................................. 3

2.1 Ganesa Batuan Karbonat ................................................................ 3

2.2 Ganesa Batugamping ..................................................................... 5

2.3 Komponen-komponen Penyusun Batugamping ............................... 10

2.4 Klasifikasi Batugamping Menurut Embry & Klovan (1971) ................. 11

2.5 Jenis-jenis Batu Gamping............................................................... 11

2.6 Kegunaan Batugamping................................................................. 14

2.7 Pengolahan Batugamping di Perusahaan ......................................... 15

BAB III PENUTUP ................................................................................. 16

3.1 Kesimpulan................................................................................... 16

3.2 Saran ........................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 17

ii
DAFTAR GAMBAR

Hal

2.1 Penggambaran Diagenesa Batuan Karbonat ..................................... 4

2.2 Sayatan Batuan Karbonat yang Memperlihatkan Bentukan Akibat

Proses Pelarutan ........................................................................... 6

2.3 Butiran Sedimen Karbonat .............................................................. 8

2.4 Klasifikasi Batugamping Menurut Embry & Klovan (1971) ................. 12

2.5 Chalk ........................................................................................... 12

2.6 Caqoina ....................................................................................... 13

2.7 Fossiliferous Limestone.................................................................. 13

2.8 Lithographic Limestone.................................................................. 13

2.9 Oolitic Limestone .......................................................................... 14

2.10 Travertine .................................................................................... 14

2.11 Formasi Batugamping .................................................................... 15

2.12 Geometri Peledakan ...................................................................... 17

2.13 Lingkungan Pertambangan ............................................................ 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih dari
50 % yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat
kristalin hasil presipitasi langsung (Rejers & Hsu, 1986). Bates & Jackson (1987)
mendefinisikan batuan karbonat sebagai batuan yang komponen utamanya adalah
mineral karbonat dengan berat keseluruhan lebih dari 50 %. Sedangkan batugamping
menurut definisi Reijers &Hsu (1986) adalah batuan yang mengandung kalsium
karbonat hingga 95 %. Sehingga tidak semua batuan karbonat adalah batugamping.
Ciri utama batuan karbonat adalah batuan yang memiliki material dengan unsur kimia
karbonat ( CO3 ) lebih dari 50%.
Batuan karbonat terbentuk melalui proses biologis, biokimia dan presipitasi
anorganik larutan CaCO3 di dalam suatu cekungan (Scoffin, 1987). Menurut (Pirson,
1958), batuan karbonat terbentuk pada lingkungan laut dangkal, dimana pada
lingkungan tersebut tidak terjadi pengendapan material asal daratan. Hal ini
memungkinkan pertumbuhan organisme laut misalnya Koral, Ganggang, Bryozoa, dan
sebagainya. Cangkang-cangkang dari organisme tersebut mengandung mineral
aragonit yang kemudian berubah menjadi mineral Kalsit. Proses pembentukan batuan
karbonat akan terus berlangsung, bila keadaan laut relatif dangkal. Hal ini dapat terjadi
bila ada keseimbangan antara pertumbuhan organisme dan penurunan dasar laut
tempat terbentuknya batuan tersebut, sehingga dapat menghasilkan batuan karbonat
yang tebal.
Batugamping adalah batuan sedimen yang utamanya tersusun oleh kalsium
karbonat (CaCO3) dalam bentuk mineral Kalsit. Di Indonesia, Batugamping sering
disebut juga dengan istilah batu kapur, sedangkan istilah luarnya biasa disebut
“limestone”. Batugamping paling sering terbentuk di perairan laut dangkal.
Batugamping (batu kapur) kebanyakan merupakan batuan sedimen organik
yang terbentuk dari akumulasi Cangkang, Karang, Alga, dan pecahan-pecahan sisa
organisme. Batugamping juga dapat menjadi batuan sedimen kimia yang terbentuk
oleh pengendapan kalsium karbonat dari air danau ataupun air laut.

1
Pada prinsipnya, definisi Batugamping mengacu pada batuan yang
mengandung setidaknya 50% berat Kalsium karbonat dalam bentuk mineral Kalsit.
Sisanya, Batugamping dapat mengandung beberapa mineral seperti Kuarsa, Feldspar,
mineral Lempung, Pirit, Siderit dan mineral-mineral lainnya. Bahkan Batugamping juga
dapat mengandung nodul besar rijang, nodul pirit ataupun nodul siderit.
Pada makalah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai Batugamping mulai dari
tahap pembentukan hingga kegunaan Batugamping di kehidupan sehari-hari.

1.2 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari makalah Batugamping ini yaitu membahas mengenai


proses terbentuk (genesis) dari Batugamping, jenis dan komponen Batugamping,
pengolahan dan kegunaan Batugamping serta spesifikasinya, dan prospek dan
perkembangan.

1.3 Tujuan Makalah

Tujuan dari makalah ini memberi pemamahan mengenai Batugamping, yakni;

1. Mengetahui genesa Batugamping


2. Mengetahui jenis dan komponen Batugamping
3. Mengetahui pengolahan dan kegunaan Batugamping
4. Mengetahui Pengolahan Batugamping di Perusahaan

2
BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Genesa Batuan Karbonat

Batuan karbonat merupakan salah satu jenis batuan sedimen non silisiklastik.
Pada batuan ini terkandung fraksi karbonat yang lebih besar jumlahnya daripada fraksi
non karbonat, jumlah fraksi karbonatnya lebih dari 50%. Selama pembentukannya,
batuan karbonat melalui serangkaian proses-proses yang disebut diagenesa. Dengan
kata lain diagenesa adalah perubahan yang terjadi pada sedimen secara alami, sejak
proses pengendapan awal hingga batas (onset) dimana metamorfisme akan terbentuk.
Setelah proses pengendapan berakhir, sedimen karbonat mengalami proses diagenesa
yang dapat menyebabkan perubahan kimiawi dan mineralogi untuk selanjutnya
mengeras menjadi batuan karbonat (Alwin, 2011).
Proses diagnesa sangat berperan dalam menentukan bentuk dan karakter akhir
batuan sedimen yang dihasilkannya. Proses diagenesa akan menyebabkan perubahan
material sedimen. Perubahan yang terjadi adalah perubahan fisik, mineralogi dan
kimia. Pada batuan karbonat, diagenesa merupakan proses transformasi menuju
batugamping atau dolomit yang lebih stabil. Faktor yang menentukan karakter akhir
produk diagenesa antara lain :
1. Komposisi sedimen mula-mula
2. Sifat alami fluida interstitial dan pergerakannya
3. Proses kimia dan fisika yang bekerja selama diagenesa
Dengan melihat faktor-faktor tersebut dapat diketahui bahwa batuan karbonat
dengan komposisi utama kalsit akan mengalami proses diagenesa yang berbeda
dibandingkan dengan batuan karbonat yang berkomposisi dominan aragonit maupun
juga dolomit. Lingkungan pelarutan dan lithifikasi yang berbeda, misal di lingkungan air
laut dan air tawar akan menghasilkan batuan yang berbeda. Demikian juga halnya
dengan tekstur semen dan butiran batuan, juga akan bervariasi bergantung pada
tekanan dan temperatur lingkungan diagenesanya (Alwin, 2011).
Lingkungan diagenesa yang berbeda akan memiliki proses kimia dan fisika yang
relatif berbeda pula, sehingga produk diagenesanya pun akan berbeda. Hal inilah yang
dapat dijadikan indikator untuk mengetahui lingkungan diagenesa yang bersangkutan.
Ada beberapa lingkungan diagenesa beserta produknya, yaitu:

3
1. Marine (dicirikan oleh kehadiran semen aragonit, High Mg-Calcite)
2. Lagoon (dicirikan oleh adanya dolomititsasi akibat proses evaporasi)
3. Phreatic (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan)
4. Vadose (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan)
5. Burial (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan tekanan/pressure solution

Gambar 2.1. penggambaran diagenesa batuan karbonat

Proses-proses diagenesa batuan karbonat meliputi:


A. Pelarutan (Dissolution)
Merupakan proses melarutnya komponen karbonat yang terjadi saat fluida pori
tidak jenuh (undersaturated) oleh mineral-mineral karbonat. Pelarutan akan terbantu
oleh adanya mineral yang bisa larut (mineral karbonat yang tidak stabil seperti
aragonit dan Mg-Calcite), serta nilai pH yang rendah (lingkungan menjadi asam).
Fluida air pori yang ada dalam ruang antar butiran pada batuan karbonat biasanya
akan sangat “agresif” melarutkan karbonat jika terkandung konsentrasi gas CO2 yang
disumbangkan oleh lingkungan sekitar (misalnya karbon dan oksigen yang dilepaskan
oleh jasad oganik). Pelarutan karbonat kurang banyak terjadi di lingkungan laut. Tapi
justru banyak terjadi pada lingkungan darat atau manapun yang ada perkolasi
(rembesan) dari air meteorik (air hujan maupun air tawar). Bentang alam karst

4
merupakan hasil dari proses pelarutan batuan karbonat.
Pembentukkannya dipengaruhi oleh proses pelarutan yang sangat tinggi di bandingkan
dengan batuan di tempat lainnya dimanapun. Proses pelarutan tersebut umumnya
dibarengi dengan proses-proses lainnya seperti runtuhan, transport dalam bentuk
larutan melalui saluran bawah tanah, juga longsoran dan amblesan dipermukaan.
Pelarutan yang terjadi secara terus menerus, pada akhirnya menciptakan bentukan
alam yang sangat beragam. Proses pelarutan tersebut dapat digambarkan dalam reaksi
kimia yaitu:
CaCO3 + CO2+H2O ==> Ca2- + 2HCO3-
(Batugamping) (air hujan) (larutan Batugamping)
Salah satu bentangan Karst yang ada di Indonesia yaitu Kawasan Karst Gunung
Sewu, dimana daerah ini memiliki topografi Karst yang terbentuk oleh proses pelarutan
batuan kapur. Kabupaten Wonogiri merupakan bagian dari bentangan Karst Gunung
Sewu yang dimana daerah ini memiliki topografi Karst yang terbentuk oleh proses
pelarutan batuan kapur.
Secara umum, pelarutan karena pergerakan air melewati batuan karbonat akan
melarutkan mineral karbonat yang dilewatinya, maka imbasnya: (1) air akan berubah
kimianya (karena adanya konsentrasi ion karbonat di dalamnya), (2) air akan masuk ke
litologi berbeda atau sebaliknya air datang membawa material ”asing” dari batuan lain
sebelum menerobos karbonat dan membawa sistem baru, (3) perilaku pelarutan
bergantung pada variabel kontrol kelarutannya (misalnya P, T, Eh, PCO2, dll)
(Raymond, 2002).
Pelarutan karbonat lebih intensif terjadi di daerah permukaan, sedangkan hal
sebaliknya terjadi di daerah bawah permukaan. Hal ini disebabkan karena peningkatan
temperatur pada kedalaman cenderung akan menurunkan tingkat kelarutan karbonat.
Kelarutan karbonat akan meningkat di kedalaman atau dimanapun asalkan ada
penambahan gas CO2 dalam air pori (yang bisa saja berasal dari hasil pembusukan
jasad organisme yang tertimbun), maka meskipun temperatur meningkat kalau
terdapat konsentrasi gas CO2 dalam air pori, mineral-mineral karbonat yang ada tetap
akan larut.

5
Gambar 2.2. sayatan batuan karbonat yang memperlihatkan
bentukan akibat proses pelarutan

B. Sementasi (Cementation)
Merupakan proses presipitasi yang terjadi pada saat lubang antar pori batuan
karbonat terisi oleh fluida jenuh karbonat. Dalam proses ini butiran-butiran sedimen
direkat oleh material lain yang terbentuk kemudian, dapat berasal dari air tanah atau
pelarutan mineral-mineral dalam sedimen itu sendiri. Proses ini merupakan proses
diagenetik yang penting untuk semua jenis batuan sedimen, termasuk didalamnya
batuan karbonat. Di lantai laut, sementasi terjadi di air hangat dalam pori dari butiran
ruangan antar butiran karbonat. Di meteoric realm (lingkungan meteorik dimana
pengaruh air yang hadir hanya dari hujan saja) sementasi juga hadir disini, semennya
dominan kalsit. Meskipun kondisi yang mengontrol sementasi pada kedalaman kurang
dipahami pasti, tapi beberapa faktor dapat diketahui mengontrol hal ini. Air pori,
peningkatan temperatur, dan penurunan tekanan parsial dari karbondioksida
merupakan faktor-faktor yang diperlukan untuk presipitasi semen kalsit ini. Pada
proses sementasi ini diperlukan suplai kalsium karbonat secara mutlak. Sifat sementasi
ini berlawanan dengan pelarutan, dimana sementasi membuat mineral semen
(karbonat) terpresipitasi, sementara pelarutan akan merusak struktur mineral yang
telah terbentuk.
C. Dolomitisasi (Dolomitization)
Merupakan proses penggantian mineral-mineral Kalsit menjadi Dolomit. Dolomit
mempunyai komposisi CaMg(CO3)2 dan secara kristalografi serupa dengan Kalsit,
namun lebih besar densitasnya, sukar larut dalam air, dan lebih mudah patah (brittle).

6
Secara umum, Dolomit lebih porous dan permeable dibandingkan Limestone. Dalam
proses dolomitisasi, Kalsit (CaCO3) ditransformasikan menjadi Dolomite (CaMg(CO3)2)
menurut reaksi kimia :
2CaCO3 + MgCl3 ==> CaMg(CO3)2 + CaCl2
Menurut para ahli, batugamping yang terdolomitasi mempunyai porositas yang
lebih besar dari pada batugamping itu sendiri. Dolomitisasi bisa terjadi dilaut dangkal-
campuran fresh dan sea water, tidal flat, di danau, lagoon, dll, apalagi kalau ada
batuan yang mengandung Mg yang dilewati sungai-sungai dan membawanya ke
lingkungan dimana Batugamping berada atau terjadi.
D. Aktivitas Organisme (Microbial Activity)
Aktifitas organisme akan mempercepat atau memacu terjadinya proses
diagenesis lainnya. Organisme yang menyebabkan proses ini merupakan organisme
yang sangat kecil (mikrobia) dimana aktivitas jasad renik sangat berhubungan dengan
proses dekomposisi material organik. Proses dekomposisi material organik akan
mempengaruhi pH air pori sehingga mempercepat terjadinya reaksi kimia dengan
mineral penyusun sedimen. Aktifitas mikrobia antara lain fermentasi, respirasi,
pengurangan nitrat, besi, sulfat dan pembentukan gas metana. Organisme dalam
lingkungan pengendapan karbonat merework sedimen dalam bentuk jejak boring,
burrowing, dan sedimen-ingesting activity (memakan dan mencerna sedimen).
Aktivitas ini akan merusak struktur sedimen yang berkembang pada sedimen karbonat
dan meninggalkan jejak-jejak aktivitasnya saat organisme ini beraktivitas. Kebanyakan
bioturbasi terjadi pada sedikit di bawah permukaan pengendapan, setelah
pengendapan material sedimen dengan kedalaman beberapa puluh sentimeter. Proses
ini akan membentuk kenampakan yang khas pada batuan sedimen yang disebut
struktur sedimen.
Semua jenis organisme kecil macam fungi bakteri, dan alga, membentuk
microboring dalam fragmen skeletal dan butiran karbonat lainnya yang berukuran
besar. Boring dan presipitasi mikrit dapat intensif di lingkungan yang berair hangat
dimana butiran karbonat menjadi berkurang dan terubah menjadi mikrit, proses pada
kondisi ini dikenal sebagai mikritisasi (Boggs, 2006). Di beberapa kasus, aktivitas
organisme ini dapat meningkatkan kompaksi batuan dan biasanya merusak struktur
sedimen yang halus seperti paralel laminasi (Purdy, 1965). Selama proses ini beberapa
organisme melepaskan material presipitasi yang bisa menjadi fase semen dalam
batuan (Raymond, 2002).

7
E. Mechanical Compaction
Merupakan proses diagenesa yang terjadi akibat adanya peningkatan tekanan
overburden. Seperti halnya pada batuan silisiklastik, kompaksi terjadi karena adanya
pembebanan sedimen yang berada diatasnya. Proses kompaksi ini menyebabkan
berkurangnya porositas batuan, karena terjadi juga thining (penipisan) dari bed
(perlapisan batuan) pada kedalaman dangkal. Seiring bertambahnya kedalaman,
tekanan juga akan bertambah, sedangkan porositas karbonat berkurang sampai
setengahnya atau lebih (porositas saat batuan mengendap) sekitar 50-60% pada
kedalaman sekitar 100 m (Boggs, 2006). Proses kompaksi ini terjadi karena adanya
gaya berat/gravitasi dari material-material sedimen yang semakin lama semakin
bertambah sehingga volume akan berkurang dan cairan yang mengisi pori-pori akan
bermigrasi ke atas, menyebabkan hubungan antar butir menjadi lebih lekat dan juga
air yang dikandung dalam pori terperas keluar. Kompaksi menyebabkan berkurangnya
porositas batuan karena adanya rearangement (penyusunan ulang) dari butiran butiran
yang jarang (tidak bersentuhan) menjadi saling bersentuhan atau makin rapat. Ketika
sedimen pertama kali terendapkan tentu saja berupa material lepas (loose) dan
sifatnya porous (berpori), ketika kompaksi terjadi material lepas ini akan menjadi lebih
rapat dan padat yang otomatis akan mengurangi porositasnya.
Berikut adalah gambaran butiran sedimen karbonat sebelum dan sesudah
mengalami kompaksi:

Gambar 2.3 butiran sedimen karbonat


sebelum dan sesudah mengalami kompaksi

F. Chemical Compaction
Pada kedalaman burial sekitar 200-1500 m, kompaksi kimia dari sedimen
karbonat dimulai. Tekanan larutan pada kontak antar butiran seperti pada diagenesa
sedimen klastik lainnya akan melarutkan permukaan butiran mineral dan pada
karbonat dapat membentuk kontak bergerigi. Pada skala yang lebih besar pressure
solution pada batuan karbonat membentuk pola bergerigi (zig-zag) yang kita kenal

8
sebagai struktur styolite. Styolite umumnya hadir pada batuan karbonat berbutir halus.
Jadi pressure solution pada batuan karbonat diikuti perkembangan struktur styolite,
mencirikan hilangnya porositas dan thining (penipisan) dari bed (perlapisan batuan).
Pada batuan karbonat terkadang tidak mengalami semua proses diagenesa tersebut,
namun biasanya justru hanya melalui beberapa proses diagenesa saja. Proses
diagnesa ini akan sangat berperan dalam menentukan bentuk dan karakter akhir
batuan sedimen yang dihasilkannya

2.2 Genesa Batugamping

a. Pembentukan Batugamping pada Lingkungan Laut


Kebanyakan Batugamping terbentuk di laut dangkal, tenang, dan pada perairan
yang hangat. Lingkungan ini merupakan lingkungan ideal di mana organisme mampu
membentuk cangkang kalsium karbonat dan skeleton sebagai sumber bahan
pembentuk Batugamping. Ketika organisme tersebut mati, cangkang dan skeleton
mereka akan menumpuk membentuk sedimen yang selanjutnya akan terlitifikasi
menjadi Batugamping.
Produk sisa organisme tersebut juga dapat berkontribusi untuk pembentukan
sebuah massa sedimen. Batugamping yang terbentuk dari sedimen sisa organisme
dikelompokan sebagai batuan sedimen biologis. Asal biologis mereka sering terlihat
oleh kehadiran fosil.
Beberapa Batugamping dapat terbentuk oleh pengendapan langsung kalsium
karbonat dari air laut. Batugamping yang terbentuk dengan cara ini dikelompokan
sebagai batuan sedimen kimia. Batugamping ini dianggap kurang melimpah
dibandingkan Batugamping biologis.
b. Pembentukan Batugamping pada Lingkungan Evaporasi
Batugamping juga dapat terbentuk melalui penguapan. Stalaktit, stalakmit dan
formasi gua lainnya (sering disebut speleothems) adalah contoh dari batugamping
yang terbentuk melalui penguapan. Di sebuah gua, tetesan air akan merembes dari
atas memasuki gua melalui rekahan ataupun ruang pori di langit-langit gua, kemudian
akan menguap sebelum jatuh ke lantai gua.
Ketika air menguap, setiap kalsium karbonat yang dilarutkan dalam air akan
tersimpan di langit-langit gua. Seiring waktu, proses penguapan ini dapat
mengakibatkan akumulasi seperti es kalsium karbonat di langit-langit gua, deposit ini
dikenal sebagai stalaktit. Jika tetesan jatuh ke lantai dan menguap serta

9
tumbuh/berkembang ke atas (dari lantai gua) depositnya disebut dengan stalakmit.
Batugamping yang membentuk formasi gua ini dikenal sebagai “travertine” dan masuk
dalam kelompok batuan sedimen kimia.

2.3 Komponen Penyusun Batugamping

Komponen penyusun Batugamping menurut Tucker (1991), komponen penyusun


batugamping dibedakan atas non skeletal grain, skeletal grain, matrix dan semen.
1. Non Skeletal grain, terdiri dari :
a. Ooid dan Pisoid
Ooid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat atau elips yang punya
satu atau lebih struktur lamina yang konsentris dan mengelilingi inti. Inti
penyusun biasanya partikel karbonat atau butiran Kuarsa (Tucker, 1991). Ooid
memiliki ukuran butir < 2 mm dan apabila memiliki ukuran > 2 mm maka
disebut pisoid.
b. Peloid
Peloid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat, elipsoid atau
merincing yang tersusun oleh mikrit dan tanpa struktur internal. Ukuran peloid
antara 0,1 – 0,5 mm. Kebanyakan peloid ini berasala dari kotoran (faecal
origin) sehingga disebut pellet (Hamblin, 2012).
c. Agregat dan Intraklas
Agregat merupakan kumpulan dari beberapa macam butiran karbonat yang
tersemenkan bersama-sama oleh semen mikrokristalin atau tergabung akibat
material organik. Sedangkan intraklas adalah fragmen dari sedimen yang
sudah terlitifikasi atau setengah terlitifikasi yang terjadi akibat pelepasan air
lumpur pada daerah pasang surut atau tidal flat (Hamblin, 2012).
2. Skeletal Grain
Skeletal grain adalah butiran cangkang penyusun batuan karbonat yang terdiri
dari seluruh mikrofosil, butiran fosil, maupun pecahan dari fosil-fosil makro.
Cangkang ini merupakan allochem yang paling umum dijumpai dalam
Batugamping Komponen cangkang pada Batugamping juga merupakan penunjuk
pada distribusi invertebrata penghasil karbonat sepanjang waktu geologi (Boggs,
2009).

10
3. Lumpur Karbonat atau Mikrit
Mikrit merupakan matriks yang biasanyaberwarna gelap. Pada batugamping
hadir sebagai butir yang sangat halus. Mikrit memiliki ukuran butir kurang dari 4
mikrometer. Pada studi mikroskop elektron menunjukkan bahwa mikrit tidak
homogen dan menunjukkan adanya ukuran kasar sampai halus dengan batas
antara kristal yang berbentuk planar, melengkung, bergerigi ataupun tidak teratur.
Mikrit dapat mengalami alterasi dan dapat tergantikan oleh mozaik mikrospar yang
kasar (Boggs, 2009).
4. Semen
Semen terdiri dari material halus yang menjadi pengikat antar butiran dan
mengisi rongga pori yang diendapkan setelah fragmen dan matriks. Semen dapat
berupa kalsit, silika, oksida besi ataupun sulfat.

2.4 Klasifikasi Batugamping Menurut Embry & Klovan (1971)

Klasifikasi batuan karbonat menurut Embry dan klovan ini merupakan


modifikasi dari klasifikasi yang diusulkan oleh Dunham (1962). Berbeda dengan Folk,
klasifikasi Dunham dan modifikasinya oleh Embry & Klovan (1971), dan James (1984)
lebih berdasarkan pada tekstur pengendapan. Oleh sebab itu klasifikasi ini lebih cocok
digunakan pada pengamatan lapangan menggunakan lup. Sebagai contoh, jika butiran
batugamping saling bersentuhan, dan tidak mengandung mud, maka batugamping
tersebut termasuk grainstone. Jika batugamping grain supported tetapi mengandung
sedikit mud, maka dinamakan packstone. Jika batugamping mud supported tetapi
mengandung butiran lebih dari 10%, maka dinamakan wackestone, dan batugamping
mud supported mengandung butiran kurang dari 10% dinamakan mudstone.

11
Gambar 2.4 Klasifikasi batuan karbonat Menurut Embry & Klovan (1971)

2.5 Jenis-jenis Batugamping

Ada banyak nama berbeda digunakan untuk Batugamping. Nama-nama ini


didasarkan pada bagaimana batugamping terbentuk, penampilannya (tekstur),
komposisi mineral penyusunnya, dan beberapa faktor lainnya. Berikut ini adalah
beberapa jenis Batugamping yang namanya lebih umum digunakan (Folk Rober, 1974)
1. Chalk: merupakan sebuah Batugamping lembut dengan tekstur yang sangat
halus, biasanya berwarna putih atau abu-abu. Batuan ini terbentuk terutama
dari cangkang berkapur organisme laut mikroskopis seperti foraminifera atau
dari berbagai jenis ganggang laut.

Gambar 2.5 Chalk

12
2. Coquina: merupakan sebuah Batugamping kasar yang tersemenkan, yang
tersusun oleh sisa-sisa cangkang organisme. Batuan ini sering terbentuk pada
daerah pantai dimana terjadi pemisahaan fragmen cangkang dengan ukuran
yang sama oleh gelombang laut.

Gambar 2.6 Coquina

3. Fossiliferous Limestone: merupakan sebuah Batugamping yang mengandung


banyak fosil. Batuan ini dominan tersusun atas cangkang dan skeleton fosil
suatu organisme.

Gambar 2.7 Fossiliferous Limestone


4. Lithographic Limestone: merupakan sebuah Batugamping padat dengan
ukuran butir sangat halus dan sangat seragam, yang terjadi di dalam sebuah
lapisan tipis membentuk permukaan sangat halus.

Gambar 2.8 Lithographic Limestone

13
5. Oolitic Limestone: merupakan sebuah Batugamping yang terutama tersusun
oleh kalsium karbonat “oolites”, berbentuk bulatan kecil yang terbentuk oleh
hasil presipitasi konsentris kalsium karbonat pada butir pasir atau cangkang
fragmen.

Gambar 2.9 Oolitic Limestone


6. Travertine: merupakan sebuah batugamping yang terbentuk oleh presipitasi
evaporasi, sering terbentuk di dalam gua, yang menghasilkan deposit seperti
stalaktit, stalakmit dan flowstone.

Gambar 2.10 Travertine


2.6 Kegunaan Batugamping

Batugamping merupakan batuan dengan keragaman penggunaan yang sangat


besar. Batuan ini menjadi salah satu batuan yang banyak digunakan dibandingkan
jenis batuan-batuan lainnya. Sebagian besar Batugamping dibuat menjadi batu pecah
yang dapat digunakan sebagai material konstruksi seperti: landasan jalan dan kereta
api serta agregat dalam beton. Nilai paling ekonomis dari sebuah deposit Batugamping
yaitu sebagai bahan utama pembuatan semen portland.
Beberapa jenis Batugamping banyak digunakan karena sifat mereka yang kuat
dan padat dengan sejumlah ruang/pori. Sifat fisik ini memungkinkan batugamping
dapat berdiri kokoh walaupun mengalami proses abrasi. Meskipun batugamping tidak

14
sekeras batuan berkomposisi silikat, namun batugamping lebih mudah untuk
ditambang dan tidak cepat mengakibatkan keausan pada peralatan tambang maupun
crusher (alat pemecah batu).

2.7 Cara Pengolahan Batu gamping dalam Industri Pertambangan

Secara umum kondisi geomorfologi daerah tambang batu gamping merupakan


perbukitan batu gamping yang landai dengan elevasi 40 msl sampai dengan 117 msl
yang merupakan bagian dari daerah karst yang dicirikan dengan banyaknya rongga
pelarutan dan jalur sungai bawah tanah yang membentuk suatu sistem akuifer air
tanah. Dengan demikian daerah tambang batu kapur merupakan bagian dari zona
tangkapan air yang berfungsi sebagai pemasok air bagi akuifer karstik di bawahnya.
Hal ini berarti segala aktifitas yang berada di atas akuifer karstik harus tidak
mengganggu fungsi sistem akuifer di bawahnya.

Gambar 2.11 Formasi Batugamping


Dalam skala industri, penambangan batu gamping Indonesia dilakukan dengan
cara tambang terbuka (kuari). Sistem tambang terbuka dengan pola side hill type
sedangkan metode penambangan dilakukan dengan single continues bench yaitu suatu
sistem tambang permukaan yang menghendaki lantai tambang selalu berada pada
elevasi yang sama / hampir sama untuk memungkinkan terbentuknyacatchment
area yang luas sehingga jumlah air hujan yang masuk ke sistem air tanah akan
maksimal.
Masing-masing kuari tersebut mempunyai karakteristik batuan yang berbeda
yang oleh karenanya akan menghasilkan kualitas batu gamping yang berbeda, yang
kemudian dibagi menjadi blok-blok tambang berukuran 100 m x 100 m untuk

15
memudahkan penentuan skedul penambangan dan kontrol kualitas. Dalam hal untuk
memudahkan operasi penambangan, kualitas yang menjadi acuan adalah kadar CaO
dan MgO. Dalam operasi harian, target produksi dari crushing plant (jumlah dan
kualitas) akan diterjemahkan dengan kombinasi penambangan blok-blok yang berbeda
kualitasnya untuk mendapatkan target kualitas yang diinginkan. Tiap blok digali
jenjang demi jenjang (bench by bench) untuk mencapai target elevasi tiap tahapan.
Tinggi jenjang 6 meter, lebar 5 meter, dengan kemiringan lereng 80-900. Saat ini
operasi penambangan telah berada pada elevasi 60 msl (mean sea level) dari target
final floor pada 30 msl.
Tahapan penambangan bahan baku dalam industri semen untuk batu gamping
(batukapur) secara umum meliputi pembersihan dan pengupasan tanah penutup
(overburden) yang terdiri dari tanah liat, pasir dan koral dikupas terlebih dahulu.
Pengupasan dapat dengan menggunakan bulldozer atau power scraper. Kemudian
dilakukan pemboran dan peledakan sampai di dapat ukuran bongkah yang sesuai.
Untuk bongkah yang terlalu besar perlu di bor dan diledak-ulang (secondary blasting).
Pengambilan bongkah batu gamping biasanya dilakukan dengan wheel loader, lalu
dimuat ke alat transportasi (dump truck, belt conveyor, lori dan lain-lain).
Sebagai contoh tambang batu gamping yang terdapat di Indonesia salah
satunya adalah PT Indocoment Tunggal Prakarsa Tbk. Berikut adalah tata cara
pengolahan dalam penambangan batu gamping.
a. Pembersihan dan Pengupasan tanah penutup
Pembersihan dan pengupasan tanah penutup bertujuan untuk membersihkan
lahan dari pepohonan, semak dan rumput serta memisahkan humus agar tidak
terangkut ke crusher. Lapisan humus ini merupakan lapisan tanah subur yang akan
digunakan untuk reklamasi daerah pasca tambang, sehingga harus disimpan dan
dikelola sebelum nantinya akan digunakan kembali untuk reklamasi lahan pasca
tambang. Pada kegiatan ini alat yang digunakan adalah Bulldozer type D155 merk
Komatsu.
c. Pemboran dan peledakan
Setelah dilakukan pembersihan lahan, selanjutnya dilakukan pemboran untuk
peledakan, kegiatan pemboran merupakan pekerjaan pertama kali dilakukan dengan
tujuan untuk membuat sejumlah lubang ledak dengan geometri dan pola tertentu pada
massa batuan yang selanjutnya akan diisi dengan bahan peledak untuk diledakan.
Arah pemboran yang diterapkan dilakukan secara tegak dengan pola pemboran selang

16
– seling (staggered pattern) mata bor berdiameter 3.5 inch dengan kedalaman 6 meter
(sesuai rencana jenjang/bench) dan burden x spasi : 3 m x 2.75 m ( sangat
bergantung dari kondisi batuan yang akan diledakan ). Mesin bor menggunakan
Hydraulic drill type ROC - F7 merk Atlas Copco.

Gambar 2.12 Geometri Peledakan


Peledakan bertujuan untuk memisahkan material bahan baku dari massa
batuan induk dengan fragmentasi yang diinginkan. Bahan peledak yang digunakan
adalah ANFO (94,5% ammonium nitrat, 5,5% fuel oil). dan Powergel , selain kedua
bahan peledak utama tersebut juga digunakan penggalak peledakan yang merupakan
pelengkap dari bahan peledak utama yang fungsinya untuk meledakan bahan peledak
utama tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu system
peledakan alat ini biasa disebut dengan Detonator/Balsting Cap/Penggalak.
Ukuran fragment batuan sendiri diharapkan berdiameter maksimum 80 cm.
Penentuan fragmentasi batuan tersebut didasarkan pada lebar mulut crusher. Jika
dalam hasil peledakan ternyata masih terdapat material yang oversize, maka harus
dilakukan pemecahan dengan stone breaker yang dalam hal ini akan menaikkan cost
produksi. Keberhasilan peledakan juga dapat dilihat pada bentuk tumpukan hasil
peledakan (muck pile) sebab nantinya akan berpengaruh pada proses pemuatan
(loading). Selain batasan ukuran batuan dan muckpile, peledakan juga dibatasi oleh
faktor lingkungan dalam hal ini adalah ground vibration, suara ledakan, air blast dan fly
rock(batuan yang terlempar terlalu jauh). Semua batasan tersebut akan berpengaruh
terhadap pembuatan desain peledakan.

17
Gambar 2.13 Lingkungan Penambangan
c. Pemuatan dan Pengangkutan
Selanjutnya material hasil peledakan yang memenuhi syarat fragmentasi
dimuat dengan excavator (bucket 2 – 4 BCM) dan wheel loader ke dalam dump truck
berkapasitas 18 – 30 ton dan diangkut ke crushing plant yang berjarak kurang lebih 2
km dari loading point. Pada kondisi tertentu material bisa saja masuk stock
yard sebelum masuk crusher karena gangguan crusher atau kualitas yang kurang
memenuhi syarat (adanya material dolomit). Tetapi hal tersebut sedapat mungkin
dihindari karena akan memerlukan tambahan biaya pengangkutan disamping kontrol
kualitas dalam stockyard sendiri yang mengalami kesulitan. Pada operasi ini alat
muat yang digunakan excavator type PC750/PC650/PC400 merk Komatsu dan wheel
loader type WA500 merk Komatsu sedangkan dump truck menggunakan type CWB
merk Nissan kapasitas 18 – 20 ton dan dump truck merk Scania kapasitas 30 ton.
d. Proses Pengolahan Batu Gamping
Batu gamping dapat langsung dipakai sebagai bahan baku, misal pada industri
semen, fondasi jalan, rumah dan sebagainya. Untuk hal lain perlu pengolahan terlebih
dahulu, misal dengan pembakaran (proses kalsinasi). Cara ini dimaksudkan untuk
memperoleh kapur tohor (CaO), kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan gas CO2. Proses
Kalsinasi dilakukan dalam sebuah tungku atau reaktor yang disebut dengan kiln atau
calciners dengan berragam desain, seperti tungku poros, rotary kiln, tungku perapian
ganda, dan reaktor fluidized bed.
Kalsinasi yang paling umum adalah diaplikasikan untuk dekomposisi kalsium
karbonat (batu kapur, CaCO3) menjadi kalsium oksida (kapur bakar, CaO) dan gas
karbon dioksida atau CO2.Produk dari kalsinasi biasanya disebut sebagai “kalsin,“ yaitu
mineral yang telah mengalami proses pemanasan.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Diagenesa adalah perubahan yang terjadi pada sedimen secara alami, sejak
proses pengendapan awal hingga batas (onset) dimana metamorfisme akan terbentuk.
Setelah proses pengendapan berakhir, sedimen karbonat mengalami proses diagenesa
yang dapat menyebabkan perubahan kimiawi dan mineralogi untuk selanjutnya
mengeras menjadi batuan karbonat.
Batugamping juga dapat terbentuk melalui penguapan. Stalaktit, stalakmit dan
formasi gua lainnya (sering disebut speleothems) adalah contoh dari batugamping
yang terbentuk melalui penguapan. Di sebuah gua, tetesan air akan merembes dari
atas memasuki gua melalui rekahan ataupun ruang pori di langit-langit gua, kemudian
akan menguap sebelum jatuh ke lantai gua.

3.2 Saran

Sebaiknya teknologi pengolahan dan pemanfaatan batugamping bisa lebih


ditingkatkan sehingga keuntungan yang dicapai bisa lebih baik.

19
DAFTAR PUSTAKA

Alwin, 2011, Studi Pemanfaatan Batu Gamping, Badan Penelitian dan Pengembangan,
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan
Boggs, 2009, Petrology of Sedimentary Rocks, Cambridge University, USA
Endarto Danang, 2005, Pemanfaatan Batu Gamping Sebagai Bahan Baku Pembuatan
Semen, LPP UNS, Surakarta
Folk Rober, 1974, Petrology of Semidentary, Cambridge University, Press, USA
Hamblin, 2012, Pengenalan Geologi Dasar, Erlangga, Jakarta
Raymond, 2002, Klasifikasi Batuan Karbonat, Direktorat Jenderal Pertambangan
Umum, Jakarta.

20

Anda mungkin juga menyukai