Konsep mahabbah kepada Allah pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita
terkenal Rabi’ah Al-Adawiyah; perempuan yang amat besar dari Bashrah, di Irak. Ia hidup
antara tahun 713-801 H. Menurut riwayat ia adalah seorang hamba Allah yang kemudian
dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat dan menjauhi hidup
duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan
orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang
bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada
dekat dengan Tuhan.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran pria salih, dengan
mengatakan: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal
itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam
Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah
mesti diminta dari-Nya, bukan dariku”. Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran kedekatan dengan
Tuhan. Ketika sakit ia berkata kepada tamu yang menanyakan sakitnya: Demi Allah aku tak
merasa sakit, lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam
hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang dapat
membuatku bahagia.
Ajaran mahabbah Rabi’ah menyempurnakan dan meningkatkan versi zuhud, al khauf war
raja’ dari tokoh sufi Hasan Al Basri. Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode
awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak
berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri
total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The
Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia
lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau
surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–
Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada
Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada
Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta
seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus
menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus
memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua,
ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana
mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak
mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap
sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh
rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat
inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang
pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi
Islam.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh
adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas
rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia
berujar:
Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka.
Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku
menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu.
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid.
Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang
memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya
sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi masyarakat
Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi
orang-orang yang mencintai Allah serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah
Swt. Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang
mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada
Tuhan hingga akhir hayatnya.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan
yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika
Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan
untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan
lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencintai Allah lebih karena
Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir
Rabi’ah sebagai berikut:
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak
mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah
Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku
kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya
tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada
Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya
Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan.
Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah
satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam
mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah
terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-
tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap
tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian
telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu
agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya.
Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada
Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi
ruang hatinya. Doanya:
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya
selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah
jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan
dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-
amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih
dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia
dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan
memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan :
Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu
itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak
melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah
kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali
dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya,
menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu
keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi
keseluruhan di dalam hatnya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya
dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas
memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab
tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan
balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan, bagi Allah,
sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu
pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada
saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-
hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri
yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat)[5].
Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh Anas bin Malik
menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Kamu belum beriman sebelum Allah dan RasulNya
lebih kamu cintai daripada selain keduanya.” Tirmidzi pun meriwayatkan bahwa Rasullullah
bersabda, “ Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkanNya kepadamu. Cintailah aku
karena kecintaanmu kepada Allah. Dan Cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku.”
Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan
kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh
sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.
[1] Kamal Adnan Mustofa, Rahasia Pesona Cinta Illahi, Jakarta : Rabitha Press, 2008
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Smith Margaret, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Peremupuan, Surabaya : Risalah Gusti, 1997