Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Assalamu’allaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala

berkat, rahmat, taufik serta hidayah-nya yang tiada terkira besarnya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas hasil laporan praktikum “Pemeriksaan Jamur

Pada Ketombe”

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena

itu dengan tangan terbuka penulis menerima saran dan kritik dari pembaca agar

penulis dapat memperbaiki laporan selanjutnya.

Akhir kata penulis berharap semoga hasil laporan praktikum ini dapat

bermanfaat bagi pembaca.

Wasalamu’allaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Gorontalo, September, 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 2

1.3 Tujuan Praktikum ................................................................................... 2

1.4 Manfaat Praktikum ................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3

2.1 Pengertian Ketombe................................................................................ 3

2.2 Epidemiologi........................................................................................... 4

2.3 Penyebab ................................................................................................. 5

2.4 Gambaran Klinis ..................................................................................... 6

2.5 Definisi Jamur......................................................................................... 7

2.6 Morfologi ................................................................................................ 8

2.7 Pityrosporum ovale ................................................................................. 8

2.8 Taksonomi ............................................................................................ 10

BAB III METODE PRAKTIKUM .................................................................... 11

3.2 Metode .................................................................................................. 11

ii
3.3 Prinsip Kerja ......................................................................................... 11

3.4 Alat dan Bahan ..................................................................................... 11

3.5 Prosedur Kerja ...................................................................................... 12

3.6 Interpretasi Hasil ................................................................................... 13

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 14

4.1 Hasil ...................................................................................................... 14

4.2 Pembahasan .......................................................................................... 14

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 17

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 17

5.2 Saran ..................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia infeksi fungi yang sering diderita salah satunya adalah

ketombe. Ketombe merupakan salah satu masalah pada kulit kepala terjadi

hampir pada separuh penduduk dunia tanpa memandang jenis kelamin dan

sosial budaya. Tidak ada penduduk di setiap wilayah geografis yang bebas

tanpa dipengaruhi oleh ketombe dalam kehidupan mereka.

Ketombe adalah pengelupasan kulit mati berlebihan di kulit kepala. Sel-sel

kulit yang mati dan terkelupas merupakan kejadian alami yang normal bila

pengelupasan itu jumlahnya sedikit. Namun, ada orang yang mengalami

secara terus menerus (kronis ataupun sekali-sekali, pengelupasan dalam

jumlah yang besar yang diikuti dengan pemerahan dan iritasi. Kebanyakan

kasus ketombe dapat disembuhkan dengan shampoo khusus atau pengobatan

bebas (Ranganathan, 2010).

Ketombe jarang didapatkan dan ringan pada anak-anak, mencapai puncak

kejadian dan tingkat keparahan penyakit pada usia 20 tahun, dan semakin

jarangditemukan setelah usia 50 tahun (Bramono, 2015).

Hal ini berkaitan dengan aktifitas kelenjarsebasea dan menunjukkan

bahwa hormon androgen mempunyai peranan yang penting dalam

menimbulkan ketombe. Sekitar 50% populasi di dunia menderita ketombe

dalam berbagai derajat yang berbeda. Berdasarkan latar belakang di atas

1
maka dilakukan praktikum identipikasi jamur pada ketombe dengan cara

mikroskopis dan insolasi jamur (Bramono, 2015).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara kerja metode pemeriksaan jamur pada ketombe?

2. Bagaimana hasil yang di dapatkan pada pemeriksaan jamur ketombe?

1.3 Tujuan Praktikum

1. Untuk mengetahui cara kerja pemeriksaan jamur pada ketombe.

2. Untuk mengetahui hasil yang didapatkan dalam pemeriksaan jamur pada

ketombe.

1.4 Manfaat Praktikum

1. Mahasiswa dapat mengetahui cara kerja pemeriksaan jamur pada

ketombe.

2. Mahasiswa dapat mengetahui hasil yang didapatkan dalam pemeriksaan

jamur pada ketombe.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ketombe

Ketombe atau dandruff (dandruff, dandriffe) berasal dari bahasa Anglo-

saxon kombinasi dari “tan” yang berarti “tetter” (penyakit kulit yang

menyebabkan gatal) dan “drof” yang berarti “dirty” (kotor). Ketombe biasa

dikenal melalui berbagai istilah medis seperti pityriasis capitis, seborrhea

sicca, pityriasis sicca, sicca capitis, atau dermatitis seboroik ringan pada

bagian kepala. Menurut kamus kedokteran Dorland ketombe dapat diartikan

menjadi dua pengertian. Pertama ketombe dapatdiartikan sebagai benda

bersisik yang terlepas dari epidermis. Pelepasan ini dapat tergolong normal

atau berlebihan. Yang kedua ketombe dapat diartikan sebagai dermatitis

seboroik. Ada dua pendapat berbeda mengenai pengertian ketombe dalam

hubungannya dengan dermatitis seboroik. Pendapat pertama menyatakan

ketombe adalah bentuk non inflamasi dari dermatitis seboroik atau bentuk

ringan dari dermatitis seboroik (Avissa, 2014).

Pendapat ini diperkuat dengan ditemukannya jumlah nukleus yang berbeda

pada kulit kepala normal, kulit kepala dengan ketombe, dan kulit kepala

dengan dermatitis seboroik. Pada kulit kepala normal ditemukan nukleus

sebanyak 3700 sel/sq cm, pada kulit kepala dengan ketombe ditemukan

nukleus sel sebanyak 25.000 sel/sq cm, dan pada kulit kepala dengan

dermatitis seboroik ditemukan nukleus sel sebanyak 76.000 sel/sq cm. Dari

data tersebut dapat dilihat bahwa kulit kepala dengan ketombe dan kulit

3
kepala dengan dermatitis seboroik memiliki jumlah nukleus yang lebih

banyak akibat proses deskuamasi fisiologis yang berlebihan pada waktu yang

cepat. Hal ini menyebabkan retensi nukleus pada sel stratum korneum yang

tidak memiliki banyak waktu untuk matang secara sempurna. Data ini juga

memberikan informasi bahwa kulit kepala dengan dermatitis seboroik

memiliki nukleus tidak matang yang lebih banyak dibandingkan dengan kulit

kepala dengan ketombe. Pendapat kedua menyatakan ketombe adalah

manifestasi dari dermatitis seboroik pada bagian kulit kepala. Pendapat ini

menyatakan bahwa dermatitis seboroik memiliki berbagai macam manifestasi

pada daerah tertentu termasuk pada kulit kepala . Pernyataan ini dapat

diketahui bahwa ketombe adalah salah satu bentuk dari dermatitis seboroik

(Avissa, 2014).

2.2 Epidemiologi

Ketombe mengenai lebih dari 50 persen populasi didunia danmeningkat

setiap tahunnya. (1) Ketombe adalah penyakit kepala yang paling sering

diderita oleh remaja dan dewasa muda, kemudian mulai jarang pada orang tua

berusia lebih dari 50 tahun. Hal ini berkaitan dengan aktivitas 13 sebum pada

manusia. Ketombe juga sering terjadi pada bayi yang baru lahir (cradle cap)

(Avissa, 2014).

Prevalensi ketombe meningkat pada populasi yang padat walaupun

ketombe tidak ditularkan melalui kontak manusia. Hal ini berkaitan dengan

keadaan lingkungan pada populasi tersebut (Avissa, 2014).

4
Di Indonesia sendiri, banyak masyarakat menderita ketombe karena

Indonesia adalah negara tropis. Seluruh wilayah di Indonesia tropis akibat

wilayah di Indonesia dilewati oleh garis khatulistiwa. Suhu pantai atau laut di

Indonesia rata-rata 28 derajat Celsius sedangkan suhu daerah pedalaman dan

pegunungan berkisar 26 derajat Celsius dan suhu gunung yang lebih tinggi

berkisar 23 derajat Celsius. Area di Indonesia juga termasuk lembab dengan

kelembaban 70 hingga 90 persen. (19) Meskipun belum ada penelitian yang

jelas tentang angka kejadian ketombe di Indonesia (Avissa, 2014).

2.3 Penyebab

Beberapa penyebab serta faktor resiko yang memicu timbulnya

ketombe antara lain adalah :

1. Peningkatan Pengelupasan Sel Keratin Secara normal, lapisan kulit

teratas akan diganti oleh sel-sel dari lapisan di bawahnya. Pada kulit

kepala juga mengalami pengelupasan sel keratin kemudian digantikan

dengan sel-sel basal yang bergerak kelapisan yang lebih atas. Pada

keadaan normal, proses ini berlangsung sebulan sekali, sedangkan

pada keadaan ketombe proses ini bias terjadi 10-15 hari sekali.

2. Mikroflora Normal dikulit kepala seperti P.ovale jumlahnya berbeda

pada penderita ketombe. P.ovale berubah dari flora normal menjadi

patogen dan menginduksi inflamasi dan deskuamasi diperkirakan

melalui pengaktifan sistem komplemen sehingga menimbulkan reaksi

inflamasi serta pengeluaran lipase yang menguraikan trigliserida pada

5
sebum menjadi asam lemak bebas yang bersifat iritan bagi kulit kepala

dan menimbulkan ketombe.

3. Kelenjar sebasea menghasilkan sebum dikulit kepala. Jika jumlahnya

berlebih serta adanya pengaruh mikroorganisme akan menyebabkan

ketombe. Kadar sebum bias dipengaruhi oleh konsumsi lemak yang

berlebih yang mencapai kelenjar sebasea dan akhirnya menjadi bahan

pembentuk sebum. Stress psikis juga menyebabkan peningkatan

aktivitas kelenjar sebasea (Wijaya, 2001).

2.4 Gambaran Klinis

Gambaran klinis pada ketombe berupa sisik yang berlebihan di kulit

kepala. Secara klinis ketombe ditandai oleh warna kemerahan pada kulit

dengan batas tidak jelas disertai skuama halus sampai agak kasar, dimulai

pada salah satu bagian kulit kepala, kemudian dapat meluas hingga seluruh

kulit kepala.

Sumber lain menyebutkan bahwa gambaran klinis ketombe berupa skuama

kering, halus, berwarna putih keabu-abuan tanpa tanda-tanda inflamasi dan

skuama dapat bertebaran diantara batang rambut atau jatuh pada kerah baju

ataupun bahu penderita, sehingga kulit kepala penuh dengan skuama seperti

bubuk halus. Ketombe biasanya asimtomatik, tapi bisa juga menimbulkan

rasa gatal yang hebat. Pada kasus yang kronis dapat disertai sedikit

kerontokan rambut yang reversible.

6
2.5 Definisi Jamur

Jamur merupakan kelompok organisme eukariotik yang membentuk dunia

jamur atau regnum. Fungi umumnya multiseluler (bersel banyak). Ciri-ciri

jamur berbeda dengan organisme lainnya dalam hal cara makan, struktur

tubuh, pertumbuhan dan reproduksinya. Struktur tubuh jamur tergantung pada

jenisnya. Tubuh jamur tersusun atas komponen dasar yang disebut hifa. Hifa

merupakan pembentuk jaringan yang disebut miselium. Miselium yang

menyusun jalinan-jalinan semua menjadi tubuh. Bentuk hifa menyerupai

benang yang tersusun dari dinding berbentuk pipa. Dinding ini menyelubungi

membran plasma dan sitoplasma. Kebanyakan hifa dibatasi oleh dinding

melintang atau septa. Septa umumnya mempunyai pori besar yang cukup

untuk dilewati ribosom, mitokondria dan kadang kala inti sel yang mengalir

dari sel ke sel. Akan tetapi adapula hifa yang tidak bersepta atau hifa sinostik.

Struktur hifa sinostik dihasilkan oleh pembelahan inti sel berkali-kali yang

tidak diikuti dengan pembelahan sitoplasma (Aqsha, 2013).

Sebagian besar tubuh fungi terdiri dari atas benang-benang yang disebut

hifa, yang saling berhubungan menjalin semacam jala yaitu miselium.

Miselium dapat dibedakan atas miselium vegetatif yang berfungsi meresap

menyerap nutrisi dari lingkungan , dan miselium fertile yang berfungsi dalam

reproduksi. Fungi tingkat tinggi maupun tingkat rendah mempunyai ciri khas

yaitu berupa benang tunggal atau bercabang-cabang yang disebut hifa. Fungi

dibedakan menjadi dua golongan yaitu kapang dan khamir. Kapang

7
merupakan fungi yang berfilamen atau mempunyai miselium, sedangkan

khamir merupakan fungi bersel tunggal dan tidak berfilamen.

2.6 Morfologi

Pada umumnya, sel khamir lebih besar daripada kebanyakan bakteri, tetapi

khamir yang paling kecil tidak sebesar bakteri yang terbesar. Khamir sangat

beragam ukurannya, berkisar antara 1 sampai 5 µm lebarnya dan panjangnya

dari 5 sampai 30 µm atau lebih. Biasanya berbentuk telur, tetapi beberapa ada

yang memanjang atau berbentuk bola. Setiap spesies mempunyai bentuk yang

khas, namun sekaligus dalam biakan murni terdapat variasi yang luas dalam

hal ukuran dan bentuk sel-sel individu, tergantung kepada umur dan

lingkungannya. Khamir tidak dilengkapi flagellum atau organ-organ

penggerak lainnya.

Tubuh, atau talu, suatu kapang pada dasarnya terdiri dari dua bagian :

miselium dan spora (sel resisten, istirahat atau dorman). Miselium merupakan

kumpulan beberapa filament yang dinamakan hifa. Setiap hifa lebarnya 5

sampai 10 µm, dibandingkan dengan sel bakteri yang biasanya berdiameter 1

µm.

2.7 Pityrosporum ovale

P. ovale adalah yeast lipofilik bersifat saprofit yang hanya ditemukanpada

manusia.P.ovalemerupakan salah satu jamur bersel tunggal yangtermasuk di

dalam genus Malassezia dan masuk ke dalam family Cryptococcaceae.

Morfologinya berbentuk seperti botol dengan ukuran 1-2x 2-4 μm, gram

8
positif, dan berproliferasi dengan cara bertunas ataublastospora (Sutrisno,

2012).

P.ovale termasuk mikroflora normal kulit kepala bersama-sama dengan

Propioni bacterium acnesanaerobdan bakteri kokus aerob. Ketiga

mikroflora ini juga ditemukan di kulit kepala berketombe, hanya

proporsinya berbeda. Pada kulit kepala normal, ovale merupakan 45%

(sekitar setengah juta organisme cm2) dari populasi mikroflora total,

sedangkan pada kulit kepala berketombe proporsinya meningkat menjadi

75%. Bakteri kokus aerob sedikit menurun pada ketombe (280.000/cm2

pada kulit kepala normal dan 250.000/cm2 pada yang berketombe),

sedangkan P. acnes sangat menurun (300.000/cm2 pada kulit kepala normal

dan 75.000/cm2 pada yang berketombe). Peningkatan P. ovale yang sanga

tbesar (hampir dua kali lipat) dibandingkan dengan peningkatan jumlah

mikroorganisme total yang hanya sedikit (1 juta per cm 2 menjadi 1,2

juta per cm2) pada penderita ketombe mendukung pendapat bahwa jamur

ini mempunyai peran penting dalam patogenesis ketombe.

Kepustakaan menyebutkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan

peningkatan jumlah jamur ini, yaitu sebum, keringat yang berlebihan,

stigmata atopi, penyakit-penyakit yang menyebabkan imunosupresi,

serta obat-obat yang menurunkan daya tahan tubuh dan kulit. (Wijaya,

2001).

9
2.8 Taksonomi

Toksonomi dari Pityrosporum ovale sebagai berikut :

Kingdom : Fungi

Filum : Basidiomycota

Kelas : Exobasidiomycetes

Ordo : Malasseziales

Genus : Pityrosporum

Spesies : Pityrosporum ovale

10
BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum yang berjudul “Pemeriksaan Jamur Ketombe” dilaksanankan

pada hari Rabu, 18 September 2019 bertempat di Laboratorium Mikrobiologi

Stikes Bina Mandiri Gorontalo.

3.2 Metode

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan jamur ketombe yaitu metode

makroskopik dan mikroskopik.

3.3 Prinsip Kerja

Larutan KOH 10 % atau 20 % akan melisiskan kulit, kuku, dan rambut

sehingga bila mengandung jamur, di bawah mikroskop akan terlihat hifa dan

atau spora.

3.4 Alat dan Bahan

3.4.1 Alat

Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:

1. Kaca objek

2. Kaca penutup

3. Pinset

4. Pipet tetes

5. Skalpel

6. Mikroskop

7. Hot plate

11
3.4.2 Bahan

Adapun bahan yang di gunakan dalam praktikum ini yaitu:

1. Larutan KOH 10%

2. Pewarna eosin

3. Sampel ketombe

4. Aquadets

5. Bubuk media Potato Dextrose Agar (PDA)

3.5 Prosedur Kerja

Adapun prosedur kerja yang di lakukan dalam praktikum ini yaitu:

3.5.1 Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)

1. Siapkan alat dan bahan yang akan di gunakan.

2. Timbang bubuk media sesuai kebutuhan dan melarutkannya dalam

aquadest.

3. Panaskan suspensi media pada hot plate hingga bubuk media larut.

4. Sterilisasikan pada autoklaf dengan suhu 121oC selama 15 menit.

5. Tuangkan media pada cawan petri, masing-masing sebanyak 15 ml

dan menunggu beberapa saat hingga media memadat.

6. Simpan media pada lemari pendingin sebelum di gunakan.

3.5.2 Pengamatan Kultur Jamur

1. Teteskan larutan KOH 20% pada kaca objek.

2. Ambil sedikit sampel ketombe pada larutan KOH 20 % dan di

campurkan selama 1 menit.

12
3. Tambahkan pewarna eosin sebanyak 1 tetes dan di tutup dengan

kaca penutup.

4. Amati preparat pada mikroskop dengan 10x-40x perbesaran.

3.5.3 Penanaman Jamur

1. Buat suspensi kerombe dengan mencampurkan sampel ketombe

dengan aquadest dengan perbandingan 1:10, 1:100, 1;1000 dst.

2. Masukkan suspensi sampel pada media PDA sebenyak 0,2-0,5 ml.

3. Inkubasi sampel pada incubator dengan suhu 37oC selama 3-5 hari.

3.6 Interpretasi Hasil

1. Di temukan hifa atau spora jamur

2. Tidak di temukan hifa atau spora jamur

13
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Adapun hasil yang diperoleh dari praktikum identifikasi dan isolasi jamur

pada ketombe yaitu sebagai berikut:

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan identifikasi jamur pada ketombe

Sampel Hasil Pengamatan Gambar

Ketombe Positif (terdapat spora

jamur)

(Sumber : Data Primer, 2019)

Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan jamur pada ketombe setelah di isolasi

Media Masa inkubasi Hasil pengamatan keterangan

Negatif (tidak
Potato
terdapat spora
Dextrose 5 hari
maupun hifa
Agar (PDA)
jamur

(Sumber : Data Primer, 2019)

4.2 Pembahasan

Pada praktikum ini digunakan sampel ketombe yang di identifikasi

menggunakan cara langsung dan isolasi. terlebih dahulu dilakukan

pengamatan menggunakan sampel yang dicampur dengan KOH 20% dan

14
langsung diperiksa dibawah mikroskop untuk megetahui ada tidaknya jamur

yang ingin diperiksa. Fungsi KOH 10% untuk melunturkan atau melarutkan

komponen-komponen lain sehingga hanya jamur yang dapat terlihat dibawah

mikroskop.

Setelah dilakukan identifikasi secara langsung kemudian dilakukan isolasi

pada media PDA (Potato Dextrose Agar). Pemeriksaan tersebut,

menggunakan media Potato Dextrose Agar (PDA), yang bertujuan untuk

menumbuhkan atau mengidentifikasi kapang. Isolasi merupakan cara untuk

memisahkan atau memindahkan mikroba tertentu dari lingkungan, sehingga

diperoleh kultur murni. , isolasi, memperbanyak jumlah, menguji sifat-sifat

fisiologi dan perhitungan jumlah mikroba, dimana dalam proses

pembuatannya harus disterilisasi dan menerapkan metode aseptis untuk

menghindari kontaminasi pada media.

PDA mengandung sumber karbohidrat dalam jumlah cukup yaitu terdiri

dari 20% ekstrak kentang dan 2% glukosa sehingga baik untuk pertumbuhan

kapang dan khamir tetapi kurang baik untuk pertumbuhan bakteri. Dari media

ini juga dapat mengindikasi ketombe atau bahan (sisik) kering dari epidermis

kulit kepala yang mengelupas secara normal.

Dari hasil praktikum yang diperoleh, bahwa identifikasi jamur secara

langsung mendapatkan hasil yang positif. Sedangkan pemeriksaan jamur yang

telah di inkubasi pada media PDA selama 5 hari medapatkan hasil negative

Adapun kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi dalam melakukan

pemeriksaan jamur yakni seperti proses praktikum yang tidak aseptis, dan

15
lingkungan laboratorium yang kurang steril. Oleh karena itu dalam setiap

prosedur kerja, baik saat pengenceran ataupun saat menyebar mikroba ke

dalam medium, perlu kehati-hatian agar tidak terjadi kontaminasi yang dapat

merusak hasil percobaan.

16
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan

bahwa Jamur merupakan kelompok organisme eukariotik yang membentuk

dunia jamur atau regnum. Fungi umumnya multiseluler (bersel banyak).

Tubuh jamur tersusun atas komponen dasar yang disebut hifa. Pemriksaan

jamur dilakukan pada sampel ketombe dengan cara identifikasi dan isolasi

jamur. Berdsarkan hasil pemeriksaan di dapatkan dua hasil, pada pemeriksaan

identifikasi jamur pada ketombe didapatkan positif terdapat jamur sedangkan

untuk pemeriksaan menggunakan isolasi didapatkan hasil positif mengandung

jamur.

5.2 Saran

Pada pemeriksaan jamur disarankan untuk menggunakan NaCl fisiologi

agar jamur bisa hidup lebih lama dan pada saat pemeriksaan bisa didpatkan

hasil yang diinginkan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bramono K. 2015. Pitiriasis sika/ketombe: etiopatogenesis. Di dalam:


Wasiatmadja SM, Menaldi SLS, Jacoeb TNA, Widaty S, editors.
Kesehatandan keindahan rambut. Jakarta : Kelompok Sutdi Dermatologi
KosmetikIndonesia.

Ranganathan S, Mukhopadhyay T, 2010. "DANDRUFF: The Most Commercially


Exploited Skin Disease". Indian J Dermatol 55 (2): 130–1

Sutrisno, F., 2012,Uji Banding Efektivitas Ekstrak Rimpang Lengkuas (Alpinia


Galanga) 100% Dengan Zinc Pyrithione 1% Terhadap Pertumbuhan
Pityrosporum ovale Pada Penderita Berketombe,FakultasKedokteran UNDIP

Wijaya, L., 2001,Pengaruh Jumlah Pityrosporum Ovale dan Kadar


SebumTerhadap Kejadian Ketombe, FK UNDIP

Avissa. 2014. Faktor Risiko Penggunaan Jibab Dengan Kejadian Ketombe pada
Mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.[Skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Aqsha, 2013, ‘Klasifikasi jamur’, Jurnal ilmiah jamur, vol. 2, no. 1,hh 20-23

18

Anda mungkin juga menyukai