Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia
(AIHA) merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi
akibat reaksi autoimun. AIHA termasuk penyakit yang jarang, namun
merupakan penyakit yang sangat penting karena bisa menyebabkan
kematian.1
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 melaporkan insiden
anemia di Indonesia adalah 21,7 %. Anemia hemolitik mewakili sekitar 5%
dari semua anemia. Insiden AIHA berkisar 1-3 kasus per 100.000 orang per
tahun, dengan prevalensi 17/100.000 orang pertahun. Angka kematian AIHA
berkisar antara 20-50%, bergantung kepada penyakit yang mendasari
munculnya penyakit AIHA.2
Menurut cara terjadinya, AIHA dibagi menjadi AIHA primer atau
idiopatik dan AIHA yang didasari oleh penyakit lain yang disebut sebagai
AIHA sekunder. Kejadian AIHA sekunder lebih sering dibandingkan dengan
AIHA primer. AIHA bisa terjadi pada semua usia, namun lebih sering terjadi
pada individu setengah baya dan lebih tua.2
Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) diklasifikasikan menjadi
AIHA tipe hangat, AIHA tipe dingin, dan AIHA tipe campuran. Sekitar 70%
kasus AIHA adalah tipe hangat. AIHA tipe hangat terjadi akibat eritrosit yang
dilapisi oleh molekul IgG mengalami reaksi autoantibodi sel dan difagositosis
oleh makrofag secara optimal pada suhu 370C. AIHA tipe dingin eritrosit
diselubungi oleh molekul IgM pada suhu rendah yaitu 00 - 40C dan
mengaktifkan sistem komplemen pada permukaan eritrosit sehingga
menyebabkan terjadinya lisis intravaskular.3
Banyak kasus AIHA yang dianggap sebagai idiopatik, meskipun begitu
penyebab potensial harus selalu diselidiki. AIHA tipe hangat maupun tipe
dingin bisa terjadi akibat adanya gangguan limfoploriferatif seperti leukemia
limfositik kronis dan limfoma non hodgkin. Penggunaan obat-obatan seperti
metildopa,ibuprofen dan obat-obatan lainnya bisa menginduksi produksi

1
antibodi yang dapat menyebabkan reaksi autoantibodi. AIHA tipe hangat juga
dikaitkan dengan penyakit autoimun lainnya seperti lupus eritematosus
sistemik. AIHA tipe dingin sering dikaitkan dengan kejadian infeksi bakteri
terutama Mycoplasma pneumoniae. Selain itu, infeksi virus seperti HIV dapat
menginduksi terjadinya AIHA tipe hangat dan tipe dingin.4

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap kasus
AIHA dan DKA.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi
laporan kasus AIHA dan DKA dengan pembimbing klinik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus AIHA dan DKA, terkait pada
kegiatan kepaniteraan.

1.3. Manfaat
1.3.1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
tentang kasus AIHA dan DKA.
1.3.2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada pasien dengan
AIHA dan DKA.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama Lengkap : Ny. D
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 14-1-1984 (33 tahun)
Alamat : Desa Bunawi OKI
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : islam
No. Reg. RS : 61-17-21
Tanggal Periksa : 14 September 2019
Ruang : Ahmad Dahlan 2 Bed 5
Dokter : dr. H. Amrizal Sp.PD-KKV, FINASIM
Co. Asisten : Dzaky Jalaluddin S.Ked
MRS Tanggal : 13 September 2019

2.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Badan lemas

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien mengeluh lemas sejak ±2 minggu SMRS. Lemas
dirasakan terus menerus. Pasien mengatakan sejak 2 minggu terakhir
pasien tidak nafsu makan sehingga makan hanya sedikit. Pasien juga
mengeluh selalu mengantuk, kelelahan, dan tidak bertenaga untuk
melakukan aktivitas sehari-hari.
Pasien mengatakan tidak ada BAB hitam, muntah hitam. Durasi
dan banyaknya menstruasi seperti biasa dan hanya sedikit. Selain itu, os
tidak memiliki riwayat penyakit kronis ataupun penyakit ginjal. Selain
itu, os mengeluh badan terasa demam. Demam dirasakan muncul
terkadang dan hilang timbul.

3
Selain keluhan tersebut, os mengeluh kulit lengan, punggung,
perut dan kaki terasa perih dan rasa panas seperti terbakar. Keluhan awal
bermula setelah pasien mengolesi bagian kulit tersebut dengan minyak
tanah yang dicampur dengan bubuk cabe.
Os mengatakan tidak ada riwayat darah tinggi dan kencing
manis.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
- Riwayat Kolesterol tinggi disangkal
- Riwayat darah tinggi ada namun jarang kontrol ke dokter.
- Riwayat nyeri dada disangkal.
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal.
- Riwayat penyakit pernapasan (asma) ada.
(pasien jarang memeriksakan kesehatannya ke dokter)

c. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat darah tinggi disangkal.
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal.
- Riwayat penyakit pernapasan (asma) disangkal.
- Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
- Riwayat TB paru disangkal
- Riwayat keluhan yang sama disangkal

d. Riwayat Kebiasaan
Tidak ada kebiasaan tertentu yang berhubungan dengan keluhan.

e. Riwayat Gizi
Makan biasanya 3 kali sehari dengan porsi satu piring. Pasien
teratur pada jam makan dan tidak memiliki selera menu yang pasti.
Namun 2 minggu trakhir pasien mengaku tidak nafsu makan dan
makan hanya sedikit-sedikit.

4
2.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Berat Badan : 40 kg
d. Tinggi Badan : 150 cm
e. Keadaan Gizi : Cukup
f. Bentuk Tubuh : Astenikus
g. Tekanan Darah : 100/60 mmHg
h. Nadi
- Frekuensi : 64 x/menit
- Irama : reguler
- Isi : cukup
- Tegangan : kuat
- Kualitas : baik
i. Pernapasan
- Frekuensi : 21 x/menit
- Irama : reguler
- Tipe : thoraco-abdominal
j. Temperatur : 37,8 ºC.

2. Keadaan Spesifik
a. Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala : normoocephali
- Ekspresi : wajar
- Simetris muka : simetris
- Rambut : hitam, tidak mudah dicabut, tidak rontok.
b. Pemeriksaan Mata
- Eksoftalmus : tidak ada (-/-)
- Endoftalmus : tidak ada (-/-)
- Palpebra : tidak ada edema (-/-)
- Konjungtiva : anemis (+/+)

5
- Sklera : tidak ikterik (-/-)
- Pupil : isokor, refleks cahaya (+/+)
- Gerakan : baik ke segala arah

c. Pemeriksaan Telinga
- Liang telinga : normal
- Serumen : ada
- Sekret : tidak ada (-/-)
- Nyeri tekan : tidak ada (-/-)
- Gangguan pendengaran : tidak ada

d. Pemeriksaan Hidung
- Bagian luar : normal
- Septum : tidak ada deviasi (-)
- Deformitas : tidak ada (-)
- Epistaksis : tidak ada (-/-)
- Penyumbatan : tidak ada (-)

e. Pemeriksaan Mulut dan Tenggorokan


- Bibir : pucat (+)
- Gigi-geligi : lengkap
- Gusi : hiperemis (-), normal
- Lidah : kotor (-), atrofi papil tidak ada (-)
- Tonsil : T1/T1 tenang
- Faring : hiperemis (-)

f. Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : simetris, tidak terlihat benjolan
- Palpasi : pembesaran tiroid dan KGB tidak ada (-)
- JVP : 5-2 cm H2O, distensi vena leher (-)

6
g. Pemeriksaan Kulit
Efloresensi Kulit :
Pada regio trunkus anterior, ekstremitas superior et inferior dextra
et sinistra terdapat patch hipopigmentasi berukuran plakat disertai
dengan skuama dan krusta diatasnya.

h. Pemeriksaan Thorax
Paru Depan
Inspeksi : statis dinamis, simetris; sela iga melebar (-),
retraksi dinding dada (-)
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri,
benjolan (-), sela iga melebar (-)
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru kanan kiri
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronchi (-/-)
dan wheezing (-/-)
Paru Belakang
Inspeksi : simetris
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronchi (-/-)
dan wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba
Perkusi :
 Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
 Kanan : ICS IV linea parasternalis sinistra
 Kiri : ICS IV linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 64 x/menit, reguler, murmur (-)
diastolik, gallop (-)

7
i. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : cembung, simetris, venektasi (-), caput
medusa (-), spider nevi (-), benjolan (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan epigastrium (-),
hepatomegali (-), ballotement (-), nyeri
tekan suprapubic (-), splenomegali (-)
Perkusi : timpani (+), nyeri ketok CVA (-), shifting
dullness (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal

j. Pemeriksaan Genitalia
Tidak diperiksa

k. Pemeriksaan Ekstremitas
- Superior Dextra : akral hangat (+), edema (-), kekuatan (5),
nyeri sendi (-), eritema (-), CRT >2 detik.
- Superior Sinitra : akral hangat (+), edema (-), kekuatan (5),
nyeri sendi (-), eritema (-), CRT >2 detik.
- Inferior Dextra : akral hangat (+/+), pitting edema pretibial
(-), kekuatan (5), nyeri sendi (-), eritema (-).
- Inferior Sinistra : akral hangat (+/+), pitting edema pretibial
(-), kekuatan (5), nyeri sendi (-), eritema (-).

8
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
(13 September 2019, Pukul 09:05 WIB)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Kesan
Darah Rutin
Hemoglobin 4,7 g/dl 14.0 – 18.0 Menurun
Hematokrit 7,4 % 42.0 – 52.0 Menurun
Jumlah Trombosit 293 10^3/ul 150 – 440 Normal
Jumlah Leukosit 7.6 10^3/ul 4.2 – 11.0 Normal
Hitung Jenis
Eosinofil 0.1 % 1–3 Normal
Basofil 0.5 % 0–1 Normal
Neutrofil 56.3 % 40.0 – 60.0 Meningkat
Limfosit 25 % 20.0 – 50.0 Normal
Monosit 7.6 % 2–8 Normal
Kimia Darah
Gula darah sewaktu 96 mg/dl 70-140 Normal
Ureum 16 mg/dl 10-50 Normal
Kreatinin 0.7 mg/dl 0,6-1,5 Normal
Natrium 135 meq/l 135-148 Normal
Kalium 4.2 meq/dl 3,5-5,5 Normal
Widal
Typhy O 1/320
Typhy H 1/80
Serologi
Coombs Test +

2.5 Resume
Dari hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluh lemas sejak ±2
minggu SMRS. Lemas dirasakan terus menerus. Pasien mengatakan sejak 2
minggu terakhir pasien tidak nafsu makan sehingga makan hanya sedikit.
Pasien juga mengeluh selalu mengantuk, kelelahan, dan tidak bertenaga untuk
melakukan aktivitas sehari-hari.

9
Pasien mengatakan tidak ada BAB hitam, muntah hitam. Durasi dan
banyaknya menstruasi seperti biasa dan hanya sedikit. Selain itu, os tidak
memiliki riwayat penyakit kronis ataupun penyakit ginjal. Selain itu, os
mengeluh badan terasa demam. Demam dirasakan muncul terkadang dan
hilang timbul.
Selain keluhan tersebut, os mengeluh kulit lengan, punggung, perut dan
kaki terasa perih dan rasa panas seperti terbakar. Keluhan awal bermula
setelah pasien mengolesi bagian kulit tersebut dengan minyak tanah yang
dicampur dengan bubuk cabe. Os mengatakan tidak ada riwayat darah tinggi
dan kencing manis.
Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg,
HR 64x/menit, RR 21 x/menit, dan temperatur 37,8oC. Dari hasil pemeriksaan
fisik didapatkan hasil abnormal berupa konjungtiva anemis (+/+), bibir, lidah
serta telapak tangan pucat. CRT >2”. Sedangkan hasil abnormal dari
pemeriksaan laboratorium berupa Hb 4,7 g/dl dan Ht 7,4%. Lalu dari
pemeriksaan Coombs test didapatkan hasil positif (+).

2.6 Diagnosis Banding


1. Anemia hemolitik autoimun tipe hangat + dermatitis kontak iritan
2. Thalassemia + dermatitis kontak iritan

2.7 Diagnosis Kerja


Anemia hemolitik autoimun tipe hangat + dermatitis kontak iritan

2.8 Rencana Pemeriksaan Khusus


 Hapusan darah
 MCV, MCH, MCHC

2.9 Penatalaksanaan
Farmakologis
- IVFD RL gtt 20x/menit

10
- Transfusi PRC 3 kolf
- Inj. Cefoperazone 2x1gr/hari
- Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Ferous sulfat 3x1 tab
- Asam folat 3x1 tab
- Betametason krim
- Urea 10% krim
- Inj. Metilprednisolon 3x125mg/hari
- Parasetamol 3x1 tab (kp)

2.10 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungsionam : Dubia ad malam

2.11 Follow Up
Tanggal Catatan Tindakan
15/9/19 S: Os mengeluh badan lemas dan kulit P/
terasa terbakar. - IVFD RL 20 x/menit

O: KU tampak sakit sedang, TD 100/70 - Transfusi PRC 3 kolf


mmHg, Nadi 70x/menit, reguler, RR 20 - Inj. Cefoperazone
x/menit, Suhu 37,6 ºC.
2x1gr/hari
Kepala : konjungtiva anemis (+/+), bibir
- Inj. Omeprazole 1x40
pucat (+)
mg
Leher: JVP (5-2) cmH2O.
- Ferous sulfat 3x1 tab
Thorax: simetris, retraksi intercostae (+) - Asam folat 3x1 tab
Pulmo: Stem fremitus sama kanan dan - Betametason krim
kiri, sonor kedua lapang paru, vesikuler
(+) , wheezing (-/-), ronki (-/-) pada - Urea 10% krim
lapangan paru kanan atas dan lapang - Inj. Metilprednisolon
paru kiri.
3x125mg/hari
Cor: ictus cordis terlihat, ictus cordis
teraba, batas jantung kiri di ICS VI linea - Parasetamol 3x1 tab
midclavicularis sinistra, gallop (-), (kp)
murmur (-)

Abdomen: datar, nyeri tekan epigastrium


(-),hepatomegali (-), shifting dullness (+)

11
Ekstremitas: telapak tangan pucat, CRT
<2”

A: Anemia hemolitik autoimun tipe


hangat + dermatitis kontak iritan.
16/9/19 S: Os masih mengeluh lemas dan kulit P/
terasa terbakar. - IVFD RL 20 x/menit

O: KU tampak sakit sedang, TD 110/70 - Transfusi PRC 3 kolf


mmHg, Nadi 72x/menit, reguler, RR 20 - Inj. Cefoperazone
x/menit, Suhu 37,3 ºC.
2x1gr/hari
Kepala : konjungtiva anemis (+/+), bibir
- Inj. Omeprazole 1x40
pucat (+)
mg
Leher: JVP (5-2) cmH2O.
- Ferous sulfat 3x1 tab
Thorax: simetris, retraksi intercostae (+) - Asam folat 3x1 tab
Pulmo: Stem fremitus sama kanan dan - Betametason krim
kiri, sonor kedua lapang paru, vesikuler
(+) , wheezing (-/-), ronki (-/-) pada - Urea 10% krim
lapangan paru kanan atas dan lapang - Inj. Metilprednisolon
paru kiri.
3x125mg/hari
Cor: ictus cordis terlihat, ictus cordis
teraba, batas jantung kiri di ICS VI linea - Parasetamol 3x1 tab
midclavicularis sinistra, gallop (-), (kp)
murmur (-)
-
Abdomen: datar, nyeri tekan epigastrium
(-),hepatomegali (-), shifting dullness (+)

Ekstremitas: telapak tangan pucat, CRT


<2”

A: Anemia hemolitik autoimun tipe


hangat + dermatitis kontak iritan.

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anemia Hemolitik Autoimun


1. Definisi
Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia
=AIHA) ialah suatu anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi
terhadap selfantigen pada membran eritrosit sehingga menimbulkan
dekstruksi eritrosit (hemolisis). Reaksi autoantibodi ini akan
menimbulkan anemia, akibat masa edareritrosit dalam sirkulasi menjadi
lebih pendek. Anemia disebabkan karenakerusakan eritrosit melebihi
kapasitas sumsum tulang untuk menghasilkan seleritrosit, sehingga
terjadi peningkatan persentase retikulosit dalam darah. AIHA dipicu oleh
infeksi virus atau vaksinasi, lebih sering terjadi padaanak daripada orang
dewasa. Imunodefisiensi atau keganasan (terutama keganasan jaringan
limforetikular), sistemik lupus eritematosus (SLE), dan tipelain penyakit
kolagen vaskuler biasanya menjadi penyebab yang sering AIHAsekunder
pada anak. Selain itu, beberapa kelainan yang langka seperti giant
cellhepatitis mungkin dapat menyebabkan AIHA. AIHA diklasifikasikan
menjadi tipehangat (Warm autoimmune hemolytic anemia = WAIHA) dan
tipe dingin (Coldagglutinin disease = CAD) berdasarkan kisaran
suhu autoantibodinya.10
Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi
dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat
pada antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan
sel darah merah melalui Sistem Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang
khas pada AIHA antara lain IgG,IgM atau IgA dan bekerja pada suhu
yang berbeda-beda. AIHA tipe hangat diperantarai IgG, yang mengikat
sel darah merah secara maksimal pada suhu 37oC. Pada AIHA tipe dingin
diperantarai oleh IgM (coldaglutinin), yang mengikat sel darah merah

13
pada suhu yang rendah (0 sampai 4oC). AIHA tipe hangat lebih sering
dijumpai dari pada tipe dingin. Wanita lebih sering terkena daripada laki-
laki.5

2. Klasifikasi5,6,7
a. Anemia Hemolitik Autoimun Hangat atau warm AHA (yang
sering terjadi)
Anemia Hemolitik Autoimun Hangat (warm AHA) yakni suatu
keadaan dimana tubuh membentuk autoantibody yang bereaksi
terhadap sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibody melapisi sel
darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan
dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan
sumsum tulang. Dan suhu badan pasien pada anemia hemolitik
aotuimun hangat ini >37oC.
Warm reactive antibodies :
 Primer (idiopatik)
 Sekunder :
o Kelainan limfoproliferatif
o Kelainan autoimun (Sistemik lupus eritematosus/SLE)
o Infeksi mononukleosisc.
 Sindroma evand.
 HIV

b. Anemia Hemolitik Dingin atau cold AHA.


Anemia Hemolitik Autoimun Dingin (cold AHA) yakni suatu keadaan
dimana tubuh membentuk aotoantibodi yang beraksi terhadap sel
darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Dan
suhu tubuh pasien pada anemia hemolitik aotuimun dingin ini <37oC.
Cold reactive antibodies:
 Idiopatik (Cold agglutinin diseases)
 Sekunder :
o Atipikal atau pneumonia mikoplasma

14
o Kelainan limfoproliferatif
o Infeksi mononukleosi

c. Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH)


PCH disebabkan oleh antibodi IgG yang menempel pada suhu
rendah namun menyebabkan lisisnya eritrosit pada suhu yang lebih
hangat. Antibodinya sering disebut dengan antibodi Donath-
Landsteiner, menyerang antigen P. Gejala khas PCH pada dewasa
berhubungan dengan sifilis, namun pada anak, infeksi virus adalah
penyebab tersering termasuk Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, dan adenovirus.8,9
Anemia hemolitik autoimun (AIHA) biasanya proses akut, self-
limited, yang muncul setelah infeksi (Mycolplasma, Epstein-Barr,
atau infeksi viral lain). AIHA dapat juga menjadi gejala yang terlihat
dari penyakit autoimun kronik (Systemic Lupus Erythematous,
lymphoproliferative disorder atau imunodefisiensi). Obat-obatan
dapat menyebabkan anemia hemolitik yang Coombs positif dengan
membentuk hapten pada membran eritrosit (penisilin) atau
membentuk kompleks imun (quinidine) yang menempel pada
membran eritrosit. Antibodi-antibodi kemudian mengaktivasi
hemolisis intravascular yang dicetuskan oleh komplemen.
Penggunaan terapi α-metildopa berkepanjangan dapat menyebabkan
perubahan pada membran eritrosit, menyebabkan pembentukkan
neoantigen. Antibodi-antibodi diproduksi menempel pada neoantigen;
hal ini lebih sering membuat hasil tes antiglobulin (coombs) positif
daripada menyebabkan hemolisis.8,9

3. Patofisiologi
Kerusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi
melalui sistem kompemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasike
duanya.

15
a. Aktivasi Sistem Komplemen
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini
terjadi melalui aktivasi system komplemen, aktivasi mekanisme
selular, atau kombinasi keduanya. Aktivasi Sistem Komplemen
secara keseluruhan, aktivasi sistem komplemen akan
menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah
hemolisis intravaskular yang ditandai dengan hemoglobinemia
dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui
jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang
memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM,
IgG1, IgG2, IgG3 disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab
antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada
permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh.
Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan
antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
b. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik
Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang
dikenal sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan
kompleks imun antigen antibodi danmenjadi aktif serta mampu
mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik.Fragmen C1 akan
mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b
(dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3
menjadi fragmenC3b dan C3a. C3b mengalami perubahan
konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen
dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (seldarah
berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan
C3c,C3d,dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah
merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan
membentuk kompleks C4b,2b menjadi C4b2b3b (C5-
convertase). C5-convertase akan memecah C5 menjadi C5a
(anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks

16
penghancur membran.Kompleks penghancur membran terdiri
dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9.
Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sels ebagai
suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran
normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel
sehingga sel membengkakdan ruptur.
c. Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif
Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b
yang terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah.
Faktor B kemudian akan melekat pada C3b, dan oleh D faktor B
dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin
dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3b Bb selanjutnya akan
memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan
berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C
5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.
d. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler
Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan
dengan komplemen atau berikatan dengan komponen
komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah merah tersebut akandihancurkan oleh sel-
sel retikulo endothelial. Proses immune adheren ini sangat
penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Imuno
adherens terutama yang diperantai IgG-FcR akan menyebabkan
fagositosis.

AIHA tipe warm adalah karena antibodi IgG terhadap protein


membran eritrosit, dimana antibodi-antibodi tersebut menempel secara
maksimal pada suhu tubuh (37ºC), menyebabkan hemolisis
ekstravaskular.Sebagian besar penghancuran eritrosit melalui makrofag
lien, namun melalui hepar mungkin juga terjadi. AIHA pada anak tadinya
diperkirakan akibat infeksi virus yang menyebakan terbentuknya antibodi
anti-eritrosit, kemungkinan melalui mekanisme molecular mimicry

17
seperti ITP yang berhubungan dengan infeksi. Antibodi yang paling
sering adalah antibodi anti-Rh, biasanya anti-e atau anti-c.
Sindrom Evans menunjuk ke pasien dengan AIHA dan ITP.
Sindrom ini dapat terjadi bersamaan atau berurutan, serta relapsnya sering
terjadi. Disregulasi imun dapat mendasari ini, dengan bukti terbaru
menunjukan sindrom ini adalah bagian dari Autoimmune
Lymphoproliferative Diseasae (ALPS). Pengobatan sindrom evans dan
AIHA saja berbeda, dimana pada sindrom evans dibutuhkan tambahan
obat immune modulatory namun banyak yang respon terhadap
kortikosteroid.7
AIHA tipe cold adalah akibat antibodi IgM, disebut juga cold
agglutinins, dimana antibodi akan menempel pada eritrosit pada suhu
lebih rendah (maksimal pada 4ºC). Infeksi mycoplasma adalah pencetus
paling sering AIHA tipe cold pada anak. Biasa antibodinya yang anti-I
atau anti-i. Antibodi AIHA tipe cold biasa monoclonal dan hemolisis
biasa intravaskular.

4. Gejala Klinis
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan
terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih
ringan pada anemia yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan
bagi mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya
kemampuan darah membawa oksigen. Gejala anemia disebabkan oleh 2
faktor, yaitu berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan dan adanya
hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif). Pasokan
oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme
kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah
jantung pada kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar
Hb turun di bawah 5 g% atau ketika terjadi gangguan mekanisme
kompensasi jantung karena penyakit jantung yang mendasarinya. 10
Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat, pasien mempunyai
gejala khas anemia yang berkembang secara tersembunyi, meliputi

18
lemah, pusing, lelah,dan dispnea saat beraktifitas atau gejala lainnya yang
kurang khas yaitu demam, perdarahan, batuk, nyeri perut dan penurunan
berat badan. Pada pasien dengan hemolisis hebat, dapat terjadi ikterik,
pucat, edema, urin berwarna gelap (hemoglobinuria), splenomegali,
hepatomegali dan limfadenopati yang mengiringi anemia. Pada kasus
yang lebih akut, dapat mengancam nyawa, hal initerkait dengan infeksi
virus, terutama pada anak.10
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin, pasien biasanya
mempunyai gejala anemia hemolitik kronis berupa pucat dan lemah.
Keadaan lingkungan yang dingin dapat mencetuskan serangan, oleh
karena itu episode hemolisis akut dengan hemoglobinemia dan
hemoglobinuria lebih sering terjadi di musim dingin. Darah lebih mudah
terpengaruh suhu pada ekstremitas, sehingga pasien lebih sering
mengalami akrosianosis (warna kebiru-biruan tanpa rasa sakit pada
keduatangan dan kaki) saat serangan terjadi.10

5. Pemeriksaan Penunjang9
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA
meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi,
pemeriksaan bilirubin,laktat dehidrogenase (LDH), haptoglobin,
urobilinogen urin, dan pemeriksaanserologi.
a. Pemeriksaan darah lengkap
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat
bervariasi dari normal sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada
AIHA tipe dingin jarang ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat
meningkat sedangkan jumlah leukosit bervariasi dan jumlah trombosit
umumnya normal.
b. Morfologi darah tepi
Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis,
polikromasi, sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti.
Polikromasi menunjukkan peningkatan retikulosit yang diproduksi

19
sumsum tulang. Sferositosis dapat terjadi pada proses hemolitik pada
anemia hemolitik sedangsampai berat.
c. Pemeriksaan bilirubin, haptoglobin, urobilinogen, dan Laktat
dehidrogenase (LDH)
Hemolisis ekstravaskuler terjadi pada AIHA tipe hangat dan
didapatkan peningkatan bilirubin indirek dan urobilinogen. Hemolisis
ekstravaskuler terjadi melalui proses fagositosis eritrosit oleh sistem
retikuloendotelial yang menyebabkan eritrosit lisis dan hemoglobin
dipecah menjadi heme dan globin oleh lisosom. Globin dihidrolisis
menjadi asam amino. Heme kemudian menjadi besi dan protoporfirin
yang terdiri dari biliverdin dan karbonmonoksida. Biliverdin yang
terikat dengan albumi nmerupakan bilirubin yang tidak terkonjugasi
di dalam darah. Bilirubin yang tidak terkonjugasi/indirek masuk ke
hepar dan menjadi bilirubinter konjugasi/direk. Bilirubin direk
dirubah menjadi urobilinogen yang diekskresikan melalui tinja.
Bilirubin yang direasorpsi di ginjal dirubahurobilinogen urin.
Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin
yangmenyebabkan penurunan kadar haptoglobin. Hemolisis
intravaskulermenimbulkan destruksi pada eritrosit sehingga
hemoglobin berikatan denganhaptoglobin menjadi haptoglobin
hemoglobin sehingga kadar haptoglobinmenurun. Kompleks
haptoglobin hemoglobin dimetabolisme menjadi bilirubin.
d. Pemeriksaan serologi (coombs test)
Pemeriksaan yang diperlukan adalah direct antiglobulin test
(DAT) yang menggunakan Ig G dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA
dengan reagenanti globulin yang dicampurkan akan menyebabkan
terjadinya reaksia glutinasi. Hal ini menandakan adanya Ig G dan C3d
pada permukaan eritrosit pasien.

6. Diagnosis Banding
Anemia hemolitik merupakan kelainan dekstruksi sel darah merah,
yang terbagi atas 2 tipe yaitu didapat dan herediter. Tipe didapat terbagi

20
menjadi immune-mediated, mikroangiopati dan infeksi. Immune-
mediated diperantarai adanya reaksi antigen-antibodi pada permukaan sel
darah merah. Dari pemeriksaan akan didapatkan sferosit dan DAT positif.
Pengobatan penyakit ini dapat dengan cara obati penyakit yang
mendasarinya, hentikan penggunakan obat-obatan penyebab, dan
pemberian steroid, splenektomi, gamma globulin IV, plasmaferesis, agen
sitotoksik, atau danazol (danocrine). Mikroangiopati diperantarai adanya
mekaninsme gangguan eritrosit disirkulasi. Dari pemeriksaan akan
didapatkan schistocytes. Pengobatan penyakit ini dengan cara obati
penyakit dasarnya. Sementara itu, infeksi diperantarai oleh penyakit
malaria dan infeksi clostridium. Pemeriksaan yang dibutuhkan antara lain
kultur darah, apusan darah tepi dan serologi. Pengobatan penyakit ini
dengan cara pemberian antibiotik.
Sementara itu, tipe herediter terbagi menjadi enzimopati,
membranopati dan hemoglobinopati. Enzimopati terjadi pada penyakit
defisiensi G6PD. Hal ini dapat dipicu oleh adanya infeksi dan pengaruh
obat-obatan. Pada pemeriksan akan didapatkan rendahnya aktivitas enzim
G6PD. Penyakit ini dapat diobati dengan hentikan obat-obatan dan obati
penyakit pemicunya. Membranopati terjadi pada sferositosis herediter.
Pada pemeriksaan akan didapatkan adanya sferosit, adanya riwayat
keluarga dan DAT negatif. Pengobatan penyakit ini dapat berupa
splenektomi pada kasusyang sedang sampai berat. Hemoglobinopati
terjadi pada talasemia dan penyakit sickle cell. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain denganelektroforesis hemoglobin dan pemeriksaan
genetik. Penyakit ini dapat di obati dengan pemberian asam folat dan
tranfusi.

7. Tatalaksana
Autoimmune Hemolytic Anemia dibagi dua golongan yaitu AIHA
yang diperantarai oleh antibodi IgG disebut sebagai AIHA tipe hangat
yang berikatan pada temperatur 37oC sedangkan AIHA tipe dingin di
perantarai oleh antibodi IgM yang berikatan maksimal pada temperatur

21
dibawah 320C. Alur pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada
tipe AIHA nya. Secara umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk
mengembalikan hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan
menghilangkan gejala dengan efek samping minimal. Transfusi darah
biasanya hanya digunakan untuk kepentingan sementara tapi mungkin
diperlukan diawal sebagai upaya untuk mengatasi anemia berat sampai
terlihat efek dari pengobatan yang lain. Pasien biasanya ditransfusi
dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7g/dL.
a. Pengobatan pada AIHA Tipe Panas
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat pilihan utama untuk
AIHA tipe panas. Steroid bekerja memblok fungsi makrofag dan
menurunkan sintesis antibodi. Prednison diberikan secara oral 2-
4mg/kgBB/hari dalam 2- 3 dosis selama 2-4 minggu kemudian
dilakukan tappering off dalam 2-6 minggu berikutnya. Jika respon
pengobatan tidak baik, dosis prednison ditingkatkan menjadi 30
mg/kgBB/hari secara intravena selama 3 hari. Pada beberapa pasien
dengan hemolisis yang berat maka dosis prednison dapat ditingkatkan
menjadi 6 mg/kgBB/hari dengan tujuan untuk mengurangi tingkat
hemolisisnya. Pengobatan tetap dilanjutkan sampai didapatkan
penurunan hemolisis, kemudian dosis obat diturunkan secara
bertahap. Jika relaps terjadi, maka diberikan dosis awal kembali.
Pasien dikatakan respon terhadap pengobatan dengan steroid akan
memperlihatkan peningkatan hemoglobin atau hemoglobin yang
stabil serta penurunan kadar retikulosit setelah dua minggu
pengobatan.
Anemia hemolitik yang tetap berat meskipun telah diobati dengan
kortikosteroid atau anemia hemolitik yang memerlukan dosis obat
yang tinggi untuk mencapai hemoglobin yang normal, maka dapat
dipertimbangkan pemberian immunoglobulin intravena dan danazol.
Obat immunosuppresif termasuk pengobatan baru seperti rituximab
dengan dosis 375mg/m2 dapat diberikan sebagai pengobatan lini
kedua pada pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan

22
dengan steroid, pasien dengan steroid-dependent , pasien relaps,
ataupun pasien AIHA kronik.
b. AIHA Tipe Dingin
AIHA tipe dingin lebih jarang ditemukan pada anak-anak
dibanding dewasa. Penggunaan kortikosteroid pada AIHA tipe dingin
kurang efektif dibandingkan pada AIHA tipe panas. Penderita
dianjurkan untuk menghindari paparan terhadap udara dingin yang
dapat memicu terjadinya hemolisis dan jika penyebab mendasari
dapat diidentifikasi, maka penyebab tersebut harus diatasi. Pada
beberapa pasien dengan hemolisis berat, pengobatan termasuk
immunosupresan dan plasmaferesis. Beberapa penelitian sebelumnya
menyatakan keberhasilan pengobatan AIHA tipe dingin dengan
menggunakanmonoclonal antibodi yaitu rituximab dengan dosis
375mg/m2. Splenektomitidak banyak membantu pada AIHA tipe ini.

8. Komplikasi
a. Deep vein thrombosis (DVT)
DVT adalah bekuan darah yang terbentuk di vena dalam, biasanya di
tungkai bawah. Kondisi ini cukup serius, karena terkadang bekuan
tersebut bisa pecah dan mengalir melalui peredaran darah ke organ-
organ vital seperti emboli paru atau menyumbat arteri pada limpa
sehingga terjadi iskemi dan bisa menyebabkan gangguan jantung
hingga kematian.
b. Gagal ginjal akut
Terjadi Hemogloblinuria oleh karena terjadi penghancuran eritrosit
dalam sirkulasi, maka Hb dalam plasma akan meningkat dan jika
konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma maka
Hb akan berdifusi dalam glomerulus ginjal. Selain itu juga terjadi
mikrioangiopati pada pembuluh darah ginjal sehingga merusak tubuli
ginjal menyebabkan oligouria dan gangguan berat fungsi ginjal.

23
3.2 Dermatitis Kontak Iritan
1. Definisi12,13,14
Dermatitis kontak iritan adalah suatu peradangan pada kulit yang
disebabkan oleh kerusakan langsung ke kulit setelah terpapar agen
berbahaya. Dermatitis kontak iritan dapat disebabkan oleh tanggapan
phototoxic misalnya tar, paparan akut zat-zat (asam, basa) atau paparan
kronis kumulatif untuk iritasi ringan (air, detergen, bahan pembersih
lemah).

2. Etiologi12,13,14
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat
iritan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumnas, asam, alkali
dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga
dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak,
kekerapan (terus menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan
kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisik. Suhu dan
kelembaban lingkungan juga ikut berperan.
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada dermatitis kontak iritan,
misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat menyebabkan
perbedaan permeabilitas, usia (anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih
mudah teriritasi), ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis
kelamin (insidensi dermatitis kontak iritan lebih banyak pada wanita),
penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang
terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik.

3. Patofisiologi12,13,14
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh
bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan
tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan
mengubah daya ikat di kulit.

24
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak
keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak
lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran akan
mengaktifkan enzim fosfolipase yang akan merubah fosfolipid menjadi
asam arakhidonat, diasilgliserida, platelet activating factor, dan inositida.
Asam arakhidonat diubah menjadi prostaglandin dan leukotrin.
Prostaglandin dan leukotrin menginduksi vasodilatasi dan meningkatkan
permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen
dan kinin. prostaglandin dan leukotrin juga bertindak sebagai
kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktivasi sel
mast melepaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin lain, sehingga
memperkuat perubahan vaskular.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik
ditempat terjadinya kontak di kulit yang berupa eritema, edema, panas,
nyeri, bila iritannya kuat. Apabila iritan lemah, akan menimbulkan
kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan
stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan
kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di
bawahnya.

4. Gejala Klinis12,13,14
Pada beberapa orang keluhan hanya berupa gejala subjektif seperti
rasa terbakar, tersengat. Dapat juga sensasi nyeri beberapa menit setelah
terpajan, misalnya terhadap asam, kloroform, methanol. Rasa seperti
tersengat cukup lambat terjadi yaitu dalam 1-2 menit, puncaknya dalam
5-10 menit dan berkurang dalam 30 menit, yang disebabkan oleh
aluminium klorid, fenol, propilen glikol, dan lain-lain.
Gejala pada dermatitis kontak iritan akut, kulit terasa pedih, panas,
rasa terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema, edema, bula, dan
dapat ditemukan nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas, dan pada
umumnya asimetris. Biasanya terjadi karena kecelakaan, dan reaksi
segera timbul.

25
Gejala dermatitis kontak iritan kumulatif (kronis) merupakan gejala
klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit menjadi
tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus
berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya
pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus
dengan detergen. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri
karena keluhan kulit retak (fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa
kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh
penderita.

5. Tatalaksana12,13,14
Untuk mengobati dermatitis kontak iritan perlu diketahui zat iritan
penyebabnya dan proteksi terhadap bahan tersebut. Jika sudah terjadi
dermatitis kontak iritan, pengobatan topikal perlu dilakukan. Peran
kortikosteroid masih kontroversi, namun steroid dapat menolong karena
efek anti inflamasinya. Pada pasien yang kulitnya kering dan mengalami
likenifikasi diberikan emolien untuk meningkatkan perbaikan barrier
kulit. Jika ada infeksi bakteri dapat diberi antibiotik baik topikal maupun
sistemik.

26
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada laporan kasus ini membahas tentang pasien Ny. D usia 33 tahun datang
dengan keluhan badan lemas. Dari hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluh
lemas sejak ±2 minggu SMRS. Lemas dirasakan terus menerus. Pasien mengatakan
sejak 2 minggu terakhir pasien tidak nafsu makan sehingga makan hanya sedikit.
Pasien juga mengeluh selalu mengantuk, kelelahan, dan tidak bertenaga untuk
melakukan aktivitas sehari-hari.
Pasien mengatakan tidak ada BAB hitam, muntah hitam. Durasi dan
banyaknya menstruasi seperti biasa dan hanya sedikit. Selain itu, os tidak memiliki
riwayat penyakit kronis ataupun penyakit ginjal. Selain itu, os mengeluh badan
terasa demam. Demam dirasakan muncul terkadang dan hilang timbul.
Selain keluhan tersebut, os mengeluh kulit lengan, punggung, perut dan kaki
terasa perih dan rasa panas seperti terbakar. Keluhan awal bermula setelah pasien
mengolesi bagian kulit tersebut dengan minyak tanah yang dicampur dengan bubuk
cabe. Os mengatakan tidak ada riwayat darah tinggi dan kencing manis.
Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, HR
64x/menit, RR 21 x/menit, dan temperatur 37,8oC. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan hasil abnormal berupa konjungtiva anemis (+/+), bibir, lidah serta
telapak tangan pucat. CRT >2”. Sedangkan hasil abnormal dari pemeriksaan
laboratorium berupa Hb 4,7 g/dl dan Ht 7,4%. Lalu dari pemeriksaan Coombs test
didapatkan hasil positif (+).
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
diagnosis pada kasus ini adalah anemia hemolitik autoimun dan dermatitis kontak
iritan. Penegakkan diagnosis anemia hemolitik autoimun didapat dari keluhan dan
pemeriksaan fisik pasien yang mengarah ke anemia. Selain itu, pada pemeriksaan
penunjang didapatkan hasil coombs test positif.
Sesuai dengan teori yaitu Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah
suatu kondisi dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat
pada antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel darah
merah melalui Sistem Retikulo Endotelial (SRE). Antibodi yang khas pada AIHA

27
antara lain IgG,IgM atau IgA dan bekerja pada suhu yang berbeda-beda. AIHA tipe
hangat diperantarai IgG, yang mengikat sel darah merah secara maksimal pada
suhu 37oC. Pada AIHA tipe dingin diperantarai oleh IgM (coldaglutinin), yang
mengikat sel darah merah pada suhu yang rendah (0 sampai 4oC). AIHA tipe hangat
lebih sering dijumpai dari pada tipe dingin. Wanita lebih sering terkena daripada
laki-laki.
Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat, pasien mempunyai gejala khas
anemia yang berkembang secara tersembunyi, meliputi lemah, pusing, lelah,dan
dispnea saat beraktifitas atau gejala lainnya yang kurang khas yaitu demam,
perdarahan, batuk, nyeri perut dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan
hemolisis hebat, dapat terjadi ikterik, pucat, edema, urin berwarna gelap
(hemoglobinuria), splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati yang mengiringi
anemia. Pada kasus yang lebih akut, dapat mengancam nyawa, hal initerkait dengan
infeksi virus, terutama pada anak.
Pada kasus ini dapat diteggakkan diagnosis sebagai anemia hemolitik
autoimun karena hasil pemeriksaan coombs test (+). Pemeriksaan yang diperlukan
untuk penegakkan diagnosis anemia hemolitik autoimun adalah dengan
pemeriksaan direct antiglobulin test (DAT)/ coombs test yang menggunakan Ig G
dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA dengan reagen anti globulin yang dicampurkan
akan menyebabkan terjadinya reaksia glutinasi. Hal ini menandakan adanya Ig G
dan C3d pada permukaan eritrosit pasien.
Tatalaksana yang diberikan untuk anemia hemolitik autoimun pada pasien
adalah dengan pemberian transfusi PRC dan pemberian inj. metilprednisolone
3x125mg. Alur pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada tipe AIHA
nya. Secara umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk mengembalikan
hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan menghilangkan gejala
dengan efek samping minimal. Transfusi darah biasanya hanya digunakan untuk
kepentingan sementara tapi mungkin diperlukan diawal sebagai upaya untuk
mengatasi anemia berat sampai terlihat efek dari pengobatan yang lain. Pasien
biasanya ditransfusi dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7g/dL.
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat pilihan utama untuk AIHA
tipe panas. Steroid bekerja memblok fungsi makrofag dan menurunkan sintesis

28
antibodi. Prednison diberikan secara oral 2-4mg/kgBB/hari dalam 2- 3 dosis selama
2-4 minggu kemudian dilakukan tappering off dalam 2-6 minggu berikutnya. Jika
respon pengobatan tidak baik, dosis prednison ditingkatkan menjadi 30
mg/kgBB/hari secara intravena selama 3 hari. Pada beberapa pasien dengan
hemolisis yang berat maka dosis prednison dapat ditingkatkan menjadi 6
mg/kgBB/hari dengan tujuan untuk mengurangi tingkat hemolisisnya. Pengobatan
tetap dilanjutkan sampai didapatkan penurunan hemolisis, kemudian dosis obat
diturunkan secara bertahap. Jika relaps terjadi, maka diberikan dosis awal kembali.
Pasien dikatakan respon terhadap pengobatan dengan steroid akan memperlihatkan
peningkatan hemoglobin atau hemoglobin yang stabil serta penurunan kadar
retikulosit setelah dua minggu pengobatan.
Selain itu, diagnosis pada pasien ini adalah dermatitis kontak iritan. Hal ini
dapat terlihat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien yaitu timbul keluhan rasa
terbakar dan kulit mengelupas setelah pasien mengoleskan minyak tanah yang
dicampur dengan bubuk cabe pada kulitnya. Dermatitis kontak iritan adalah suatu
peradangan pada kulit yang disebabkan oleh kerusakan langsung ke kulit setelah
terpapar agen berbahaya. Dermatitis kontak iritan dapat disebabkan oleh tanggapan
phototoxic misalnya tar, paparan akut zat-zat (asam, basa) atau paparan kronis
kumulatif untuk iritasi ringan (air, detergen, bahan pembersih lemah).
Gejala pada dermatitis kontak iritan akut, kulit terasa pedih, panas, rasa
terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema, edema, bula, dan dapat ditemukan
nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.
Biasanya terjadi karena kecelakaan, dan reaksi segera timbul.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini untuk dermatitis kontak iritannya
adalah pemberian salp betametason dan urea 10%. Sesuai dengan teori yaitu untuk
mengobati dermatitis kontak iritan perlu diketahui zat iritan penyebabnya dan
proteksi terhadap bahan tersebut. Jika sudah terjadi dermatitis kontak iritan,
pengobatan topikal perlu dilakukan. Peran kortikosteroid masih kontroversi, namun
steroid dapat menolong karena efek anti inflamasinya. Pada pasien yang kulitnya
kering dan mengalami likenifikasi diberikan emolien untuk meningkatkan
perbaikan barrier kulit. Jika ada infeksi bakteri dapat diberi antibiotik baik topikal
maupun sistemik.

29
BAB V
KESIMPULAN

1. Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) adalah suatu kondisi dimana


imunoglobulin atau komponen dari sistem komplemen terikat pada antigen
permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel darah merah
melalui Sistem Retikulo Endotelial (SRE).
2. AIHA terdiri dari 2 tipe yaitu AIHA tipe hangat dan AIHA tipe dingin.
3. Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada
anemia yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme
homeostatik untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah
membawa oksigen. Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor, yaitu
berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan dan adanya hipovolemia (pada
penderita dengan perdarahan akut dan masif).
4. Alur pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada tipe AIHA nya.
Secara umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk mengembalikan
hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan menghilangkan gejala
dengan efek samping minimal. Transfusi darah biasanya hanya digunakan
untuk kepentingan sementara tapi mungkin diperlukan diawal sebagai upaya
untuk mengatasi anemia berat sampai terlihat efek dari pengobatan yang lain.
Pasien biasanya ditransfusi dengan menggunakan packed red cell jika Hb <
7g/dL. Pada tipe hangat, pengobatan AIHA dengan pemberian kortikosteroid
sedangkan pada AIHA tipe dingin yaitu dengan menghindari suhu dingin.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. De Loughery TG. Hematology board review manual : Autoimmune


hemolytic anemia. Hematology, 8 (1): 2-9. 2013
2. Zanella A, Barcellini W. Treatment of autoimmune hemolytic anemias.
Haematologica, 99(10):1547-1554. 2014
3. Park SH . Diagnosis and Treatmentt of Autoimmune Hemolytic Anemia :
classic approach and recent advances. Blood Reaserch 51(2): 69-70. 2016
4. Gehrs BC, Friedberg RC (2002). Autoimmune hemolytic anemia. American
Journal of Hematology 69 : 258-271.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke- 5.Jilid 3.Jakarta: Internal Publishing;2009. Hal 1993-2008
6. Prince S.A,Wilson L.M. Patofisiologi:konsep klinis Proses-Proses Penyakit,
penerbit Buku Kedokteran :EGC,Jakarta. Hal 1333-8. 2006
7. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi ke-3.Jilid 1.Jakarta:Media Aesculapius;2008. Hal
550-2.
8. Beris P, Lambert JF. 2012. Pathophysiology and differential diagnosis of
anemia. Dalam: Disorders of erythropoiesis, erythrocytes and iron
metabolism.
9. Dhaliwal G, Cornett PA, Tierney LM. Hemolytic anemia. 2014; 69(11):
2599-601.
10. Bass GF, Tuscano ET, Tuscano JM. Diagnosis and Classification of
Autoimmune Hemolytic Anemia. California Polytechnic State University,
Department of Biochemistry, San Luis Obispo, CA, United States. 2014
11. Valent P and Lechner K. Diagnosis and Treatment of Autoimmune
Haemolytic Aneamias in Adults: A Clinical Review. Department of Internal
Medicine I, Division of Haematology and Haemostaseology, Medical
University of Vienna, Austria. peter.valent@meduniwien.ac.at
12. Badan Penerbit FKUI. Atlas Berwarna dan Sinopsis Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2015

31
13. Belsito, D.V. Occupational Contact Dermatitis: Etiology, Prevalence, and
Resultant Impairment/Disability. Journal of the American Academy
Dermatology, pp.303-13. 2005.
14. Djuanda, A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Univesitas Indonesia. 2010.

32

Anda mungkin juga menyukai