Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PESANTREN (SEJAK DULU) MODERN


Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Pesantren/Pendidikan
Non Formal
Dosen Pengampu : Dr. H. Akh. Bukhari, M.Ag

Disusun Oleh :
Kelompok VI
Fachrie Ibrahim 1611102051
Itba Dyna Khoir 1711102023
Muhammad Ardi Maulana 1711102032
Revi Najwa Agustin 1711102112

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah swt yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelasaikan makalah tentang keragaman merupakan keniscayaan yang tidak
terelakkan dalam masyarakat dengan baik.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Dan karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Samarinda, 11 Oktober 2019


Penyusun

Kelompok VI

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
C. Tujuan Pembahasan ........................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pesantren (Sejak Dulu) Modern ......................................................... 2


B. Pendidikan Kompetensi ala Pesantren ............................................... 3
C. Pesantren dan Pembelajaran Aktif ..................................................... 5
D. Mau kemana Pesantren? ..................................................................... 7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pesantren hadir di Indonesia ada pada sebelum kemerdekaan Indonesia,
dimana pesantren mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti fiqh, ilmu hadist,
aqidah akhlak, dan lain-lain sebagainya. Selain itu, Pesantren juga
mengajarkan untuk akhlak budi pekerti yang baik dan juga taat kepada Sang
Pencipta sekali pun. Kehidupan Pesantren pun tak luput dari ajaran Agama,
seperti berpakaian muslim, santun kepada siapa pun, hormat kepada ustadz-
ustadz, dan lain sebagainya. Nah bagaimana dengan perkembangan keilmuan
pesantren di zaman modern? Apakah bisa pesantren beradaptasi dengan
kehidupan yang serba canggih? Mari kita bahas di makalah ini.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah disampaikan, maka
dapat rumusan masalah yang kami temukan ialah :
1. Bagaimana perkembangan keilmuan Pesantren di zaman modern ?

C. Tujuan pembahasan
Berdasarkan pemaparan Rumusan masalah yang telah dibuat, maka
pemakalah membuat makalah ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan keilmuan pesantren di
zaman modern.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pesantren (Sejak Dulu) Modern

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri"


(Jw: cantrik) berarti murid padepokan, atau murid orang pandai dalam Bahasa
Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (‫ )فندوق‬yang berarti
penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah.
Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kiai. Untuk mengatur kehidupan
pondok pesantren, kiai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-
adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri
dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar
hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kiai dan
juga Tuhan.

Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan
tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau
mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang
kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama
yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil,
yang berarti guru mengaji, sedang C. C. Berg berpendapat bahwa istilah
tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang
yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci
agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia
baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat
berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.1

Labelisasi Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional begitu


mengental di tengah-tengah masyrakat kita. Entah siapa dan sejak kapan
pemberian label tersebut dimulai. Namun, bisa diperkirakan bahwa labelisasi

1
Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren
Masa Depan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal. 11

2
tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstruksi sosial-budaya dan politik
colonial (Belanda) saat itu yang begitu takut dan khawatir akan keberadaan
pendidikan pesantren. Karena pesantren menjadi kekuatan yang signifikan
dalam memotori berbagai tindakan perlawanan di berbagai wilayah nusantara.
Rasa antipasti pemerintah colonial ini juga ditunjukkan dengan ketidakmauan
pemerintah dalam menyerap pola pendidikan pesantren sebagai bagian dari
penerapan kebijakan politik atas penjajah saat itu, karena dipandang tidak
mengandung unsur modern. Pesantren dipandang jauh dari dunia nyata.

Secara perlahan namun pasti, bahwa pesantren dikesankan tidak bisa


menjamin kehidupan dan kesejahteraan masa depan para santri/siswanya.
Anehnya stereotype ini dibiarkan begitu saja tanpa adanya pembelaan atau
sanggahan, seolah membenarkan akan ketradisionalannya. Bahkan para
alumninya pun juga ikut-ikutan meneguhkan label tersebut. Ditambah lagi,
masyrakat pesantren lebih suka memilih sarung sebagai identitas kolektifnya
dibanding pantalon atau dasi. Bahkan, jikalau umat Islam berpantalon
dipandang ber-tasyabbuh. Sehingga, lagi-lagi penampilan pesantren makin
menegaskan stereotype tersebut, meskipun penampilan belum tentu
menggambarkan substansi.

Akankah labelisasi yang cenderung mendeskreditkan dunia pendidikan


pesantren ini akan dibiarkan begitu saja, dan pasrah semoga hilang tertelan
jaman? Padahal muatan pesantren sarat dengan kemodernan, bahkan melebihi
zamannya

B. Pendidikan Berbasis Kompetensi ala Pesantren

Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa di dalam proses pembelajaran,


pesantren sebenarnya telah menerapkan praktik pendidikan modern jauh
melampui zamannya. Di dalamnya setidaknya dikenal beberapa model, di
antaranya adalah model sorogan atau kalau di Jawa Barat dikenal dengan
istilah wetonan. Dalam model ini, santri menyetor kemampuannya kepada
seorang kiai atau ustadz (sebagai wakil kiai). Sehingga kiai hanya

3
memberikan pembetulan atau mengukuhkan kebenaran kemampuan yang
dicapainya. Santri belajar secara mandiri.

Dengan tingkat konsentrasi para kiai dalam mendidik para santrinya,


maka pak kiai bisa mengenal lebih dalam pada para santrinya. Sehingga
pensikapan terhadap santri satu dengan yang lainnya bisa saja beda. Kiai
sebagai pengelola pesantren bertanggungjawab secara penuh atas produk
yang dikeluarkannya. Sehingga kiai tidak banyak yang nyambi ‘ngojek’
mencari sumber pendapatan dari pekerjaan lain. Karena bangunan keyakinan
(tauhid) akan jaminan Allah Swt atas hamba-hamba-Nya yang rela
mensyiarkan ajaran-Nya. Alhasil, persoalan performance (penampilan) tidak
menjadi persoalan. Sehingga para santri tetap bisa belajar dengan serba
keterbatasannya, dan tidak menjadikan sarana sebagai kendala yang berarti
untuk mencapai tujuan.

Sikap dan tindak ‘Pak Kiai’ yang memahami karakteristik santri dan
yang berkaitan dengannya itulah yang dalam bahasa modern dikenal dengan
portopholio. Perbedaannya hanya pada bukti tulis yang bersifat
administrative. Bagi Kiai, karena tidak ada motif untuk sertifikasi ataupun
(pencarian) insentif (kedua-duanya bersifat materialistic), maka portopholio
menjadi tidak penting untuk dituliskan, karena khawatir jika itu dilakukan
para asatidz-nya akan terjebak lebih berkonsentrasi mengadministrasikan
dibanding mendidik para santrinya.

Pola pendidikan model ini, jauh lebih modern dibanding model


pendidikan berbasis kompetensi. Ketika model Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) atau sekarang disempurnakan menjadi Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) baru dikenal dalam sistem pendidikan
nasional pada tahun 2004, pesantren lebih menerapkan berbasis kompetensi
semenjak pesantren berdiri.

Model bandongan adalah model seminar/klassikal untuk saat ini.


Perbedannya hanya pada aspek santri. Jikalau model klasikal pendidikan

4
modern, siswa telah menerima paket kurikulum yang disediakan oleh
lembaga atau sekolah, maka di dalam model bandongan ini, santri bisa
memilih pengajian yang diinginkan disesuaikan dengan kebutuhan santri,
tanpa harus mempertimbangkan usia. Jadi tidak aneh jika kadang di dalam
satu kelas ada santri yang kelihatan junior bersama-sama dengan santri senior.

Pesantren menyediakan ustadz-ustadz yang mengajar berbagai kitab


dengan disiplin ilmu yang berbeda-beda, sedangkan santri tinggal memilih
hendak mengikuti pengajian yang sesuai dengan keinginannya. Dua model
pendidikan ini begitu modern, bahkan hingga kini pola itu yang diterapkan di
lembaga pendidikan yang mengklaim sebagai pendidikan modern.2

C. Pesantren dan Pembelajaran Aktif

Tujuan pendidikan harus menjangkau tiga ranah aspek pendidikan,


yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik (konatif). Ketiga aspek ini harus
terjangkau oleh lembaga pendidikan. Untuk itu, penyelenggara pendidikan
harus memberikan sarana prasarana yang bisa menjangkau ketiga aspek
tersebut. Maka pengadaan asrama atau boarding school menjadi sebuah
keniscayaan. Bahkan sarana tersebut mampu menjadi barometer sekolah
modern atau terpadu.

Proses pembelajaran di dalamnya dengan model pembelajaran active


(active learning) yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan kecerdasan
majemuk (multiple intelegence), yakni; spasial-visual, linguis-verbal,
intrapersonal, musical-ritmik, natural, kinestik (gerak), interpersonal, dan
logis-matematis. Sehingga label anak cerdas tidak dinisbatkan kepada siswa
yang pintar bahasa dan matematika an sich, namun semua siswa dipandang
mempunyai kemampuan yang sama.

2
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2001)

5
Penyelenggaraan pendidikan pesantren sejak dahulu, dengan tanpa
merujuk pada referensi modern telah melahirkan model ‘pembelajaran aktif’
tersendiri. Padahal pesantren adalah genuine model pendidikan hasil karya
anak bangsa. Pesantren terbiasa mengakomodir anak-anak yang mempunyai
kecenderungan terhadap musik, dengan menerapkan model pembelajaran
bersyair; melagukan bait-bait syair secara berirama. Syair-syair tersebut
diterapkan mulai pada pelajaran akhlak (mahfuzhat) untuk tingkat dasar,
hingga mata pelajaran tertentu seperti ilmu nahwu dan balaghah (grammar,
tata bahasa) dengan kitab pegangannya ‘imrithi, matn alfiyah ibn malik, prosa
(ilmu ‘arudh), nazhm al-maqshud (grammatical), dan lain sebagainya.3

Apalagi kecerdasan intrapersonal yang menekankan model


pembelajaran melalui meditasi atau perenungan. Di pesantren lah tempatnya.
Sebab tradisi qiyam al-lail, tadarus dan wirid adalah konsumsi keseharian.
Sementara kecerdasan intrapersonal diina melalui berorganisasi,
muhadharah, dan lain sebagainya. Jadi jika diamati lebih dalam bahwa
pesantren sudah sejak lama menerapkan model pendidikan modern tersebut,
tapi pesantren tidak pernah menjargonkan diri sebagai lembaga pendidikan
modern.
Dengan model dan pola pembelajaran yang begitu variatif, dunia
pesantren telah memanusiakan pada santrinya, sebelum muncul teori-teori
pendidikan yang memanusiakan banyak bermunculan. Pesantren menguatkan
personal skill (keterampilan pribadinya) yang tidak terbatas pada academical
skill dan vocational skill. Pendidikan pesantren jauh menjangkau itu, yakni
keterampilan personal yang meliputi kreativitas berfikir dan bagaimana
mempertahankan diri dan segala permasalahan yang akan dihadapinya di
masa mendatang. Seperti halnya stress, depresi, dan gangguan kejiwaan
adalah tantangan-tantangan yang dipersiapkan oleh pesantren. Untuk itu,
tidak ada gambaran niatan ‘belajar untuk bekerja’ di benak santri. Namun
yang menguat adalah ‘belajar untuk hidup dan mendewasakan cara berfikir’.
3
Dhofir, Zamaksyari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pendangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1994)

6
Jargon yang yang kedua lebih kokoh dan urgent dibanding yang pertama.
Dalam kasus, orang yang belajar dengan niatan bekerja, jikalau masa
depannya tidak sesuai dengan impiannya, maka sang pembelajar akan terkena
depressi dan stress. Lain halnya para pembelajar yang berjagon kedua. Jikalau
ilmunya tidak termanfaatkan dalam kerjanya, dia akan mampu berfikir
mencari alternatif lainnya. Begitulah hidupnya para santri.

D. Mau Kemana Pesantren?


Kecenderungan pesantren mengikuti trend yang katanya modern adalah
seuah ironi. Sebab label pesantren dengan ketradisionalannya ternyata
menyimpan potensi kemodernan yang telah melampaui zamannya. Namun
disayangkan bahwa hal itu tidak disadari oleh para pengelolanya. Mungkin
karena mereka tidak begitu menganggap penting tipologi modern atau tidak
modern. Namun ketika pesantren larut dalam mainstream untuk
memodernkan diri, berartdi dia akan terjebak pada ranah simbolik, yang
justru membhayakan bagi diri eksistensi pesantren. Karena konsentrasinya
menjadi terpecah, dari mengurusi sisi substansi menjadi mengurusi symbol
saja.
Pesantren perlu melakukan penguatan pertahanan agar tidak teracuni
ideology materialistik atau hal-hal yang bersifat pragmatis yang berakar dari
filsafat positivistic. Nilai-nilai lama harus dikembangkan dan dikuatkan,
bukan dimusnahkan atas nama modernitas. Penguatan pesantren sebagai
lembaga sosial selain sebagai lembaga pendidikan menjadi sangat urgen,
karena hal itu akan mempengaruhi muatan ‘kurikulum’ (kurikulum diberi
tanda kutip, karena ia beda dengan kurikulum yang ada di dunia pendidikan)
didalamnya. Apalagi jika santri diberi kemampuan untuk membaca bahwa
ketidakadilan sosial sebagai pusat permasalahan.

Pesantren disebut subkultur, karena ia menciptakan dan melahirkan


kultur baru. Kultur di luar (pesantren) penuh dengan ketidakadilan yang
menyatu dengan kekuasaan sehingga menjadi seolah-olah sebagai kebenaran.
Baik kekuasaan di bidang politik, ilmu pengetahuan, ekonomi, ideology, dan

7
lain sebagainya. Maka output pesantren akan mampu menyusun kekuatan
pertahanan diri sendiri dengan lebih tepat dan efektif.4

4
Masykhur, MS Anis. Menakar modernisasi pendidikan pesantren: mengusung sistem
pesantren sebagai sistem pendidikan mandiri. (Barnea Pustaka, 2010). Hal 125-135

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pesantren perlu melakukan penguatan pertahanan agar tidak teracuni
ideology materialistik atau hal-hal yang bersifat pragmatis yang berakar dari
filsafat positivistic. Nilai-nilai lama harus dikembangkan dan dikuatkan,
bukan dimusnahkan atas nama modernitas.
Penguatan pesantren sebagai lembaga sosial selain sebagai lembaga
pendidikan menjadi sangat urgen, karena hal itu akan mempengaruhi muatan
‘kurikulum’ (kurikulum diberi tanda kutip, karena ia beda dengan kurikulum
yang ada di dunia pendidikan) didalamnya. Apalagi jika santri diberi
kemampuan untuk membaca bahwa ketidakadilan sosial sebagai pusat
permasalahan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi


Pesantren Masa Depan, Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005,
hal. 11
Masykhur, MS Anis. Menakar modernisasi pendidikan pesantren: mengusung
sistem pesantren sebagai sistem pendidikan mandiri. Barnea Pustaka,
2010.
Dhofir, Zamaksyari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pendangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1994
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2001

Anda mungkin juga menyukai