Disusun Oleh :
Kelompok VI
Fachrie Ibrahim 1611102051
Itba Dyna Khoir 1711102023
Muhammad Ardi Maulana 1711102032
Revi Najwa Agustin 1711102112
Dengan menyebut nama Allah swt yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelasaikan makalah tentang keragaman merupakan keniscayaan yang tidak
terelakkan dalam masyarakat dengan baik.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Dan karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok VI
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ........................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pesantren hadir di Indonesia ada pada sebelum kemerdekaan Indonesia,
dimana pesantren mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti fiqh, ilmu hadist,
aqidah akhlak, dan lain-lain sebagainya. Selain itu, Pesantren juga
mengajarkan untuk akhlak budi pekerti yang baik dan juga taat kepada Sang
Pencipta sekali pun. Kehidupan Pesantren pun tak luput dari ajaran Agama,
seperti berpakaian muslim, santun kepada siapa pun, hormat kepada ustadz-
ustadz, dan lain sebagainya. Nah bagaimana dengan perkembangan keilmuan
pesantren di zaman modern? Apakah bisa pesantren beradaptasi dengan
kehidupan yang serba canggih? Mari kita bahas di makalah ini.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah disampaikan, maka
dapat rumusan masalah yang kami temukan ialah :
1. Bagaimana perkembangan keilmuan Pesantren di zaman modern ?
C. Tujuan pembahasan
Berdasarkan pemaparan Rumusan masalah yang telah dibuat, maka
pemakalah membuat makalah ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan keilmuan pesantren di
zaman modern.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan
tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau
mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang
kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama
yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil,
yang berarti guru mengaji, sedang C. C. Berg berpendapat bahwa istilah
tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang
yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci
agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia
baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat
berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.1
1
Fatah, H Rohadi Abdul, Taufik, M Tata, Bisri, Abdul Mukti. Rekontruksi Pesantren
Masa Depan, (Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005), hal. 11
2
tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstruksi sosial-budaya dan politik
colonial (Belanda) saat itu yang begitu takut dan khawatir akan keberadaan
pendidikan pesantren. Karena pesantren menjadi kekuatan yang signifikan
dalam memotori berbagai tindakan perlawanan di berbagai wilayah nusantara.
Rasa antipasti pemerintah colonial ini juga ditunjukkan dengan ketidakmauan
pemerintah dalam menyerap pola pendidikan pesantren sebagai bagian dari
penerapan kebijakan politik atas penjajah saat itu, karena dipandang tidak
mengandung unsur modern. Pesantren dipandang jauh dari dunia nyata.
3
memberikan pembetulan atau mengukuhkan kebenaran kemampuan yang
dicapainya. Santri belajar secara mandiri.
Sikap dan tindak ‘Pak Kiai’ yang memahami karakteristik santri dan
yang berkaitan dengannya itulah yang dalam bahasa modern dikenal dengan
portopholio. Perbedaannya hanya pada bukti tulis yang bersifat
administrative. Bagi Kiai, karena tidak ada motif untuk sertifikasi ataupun
(pencarian) insentif (kedua-duanya bersifat materialistic), maka portopholio
menjadi tidak penting untuk dituliskan, karena khawatir jika itu dilakukan
para asatidz-nya akan terjebak lebih berkonsentrasi mengadministrasikan
dibanding mendidik para santrinya.
4
modern, siswa telah menerima paket kurikulum yang disediakan oleh
lembaga atau sekolah, maka di dalam model bandongan ini, santri bisa
memilih pengajian yang diinginkan disesuaikan dengan kebutuhan santri,
tanpa harus mempertimbangkan usia. Jadi tidak aneh jika kadang di dalam
satu kelas ada santri yang kelihatan junior bersama-sama dengan santri senior.
2
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2001)
5
Penyelenggaraan pendidikan pesantren sejak dahulu, dengan tanpa
merujuk pada referensi modern telah melahirkan model ‘pembelajaran aktif’
tersendiri. Padahal pesantren adalah genuine model pendidikan hasil karya
anak bangsa. Pesantren terbiasa mengakomodir anak-anak yang mempunyai
kecenderungan terhadap musik, dengan menerapkan model pembelajaran
bersyair; melagukan bait-bait syair secara berirama. Syair-syair tersebut
diterapkan mulai pada pelajaran akhlak (mahfuzhat) untuk tingkat dasar,
hingga mata pelajaran tertentu seperti ilmu nahwu dan balaghah (grammar,
tata bahasa) dengan kitab pegangannya ‘imrithi, matn alfiyah ibn malik, prosa
(ilmu ‘arudh), nazhm al-maqshud (grammatical), dan lain sebagainya.3
6
Jargon yang yang kedua lebih kokoh dan urgent dibanding yang pertama.
Dalam kasus, orang yang belajar dengan niatan bekerja, jikalau masa
depannya tidak sesuai dengan impiannya, maka sang pembelajar akan terkena
depressi dan stress. Lain halnya para pembelajar yang berjagon kedua. Jikalau
ilmunya tidak termanfaatkan dalam kerjanya, dia akan mampu berfikir
mencari alternatif lainnya. Begitulah hidupnya para santri.
7
lain sebagainya. Maka output pesantren akan mampu menyusun kekuatan
pertahanan diri sendiri dengan lebih tepat dan efektif.4
4
Masykhur, MS Anis. Menakar modernisasi pendidikan pesantren: mengusung sistem
pesantren sebagai sistem pendidikan mandiri. (Barnea Pustaka, 2010). Hal 125-135
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pesantren perlu melakukan penguatan pertahanan agar tidak teracuni
ideology materialistik atau hal-hal yang bersifat pragmatis yang berakar dari
filsafat positivistic. Nilai-nilai lama harus dikembangkan dan dikuatkan,
bukan dimusnahkan atas nama modernitas.
Penguatan pesantren sebagai lembaga sosial selain sebagai lembaga
pendidikan menjadi sangat urgen, karena hal itu akan mempengaruhi muatan
‘kurikulum’ (kurikulum diberi tanda kutip, karena ia beda dengan kurikulum
yang ada di dunia pendidikan) didalamnya. Apalagi jika santri diberi
kemampuan untuk membaca bahwa ketidakadilan sosial sebagai pusat
permasalahan.
9
DAFTAR PUSTAKA