Anda di halaman 1dari 25

GLUKOSA 6 FOSFAT DEHIDROGENASE (G6PD) , FERITIN

DAN PENGENDALIAN MUTU LABORATORIUM KIMIA


KLINIK

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta

oleh:
Nurlatifah Fitrianingsih
NPM : 5116004

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RAJAWALI BANDUNG
2019
A. GLUKOSA 6 FOSFAT DEHIDROGENASE (G6PD)

Defisiensi Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan defek


enzim herediter dari eritrosit manusia yang paling sering ditemukan. Enzim G6PD
bekerja pada jalur fosfat pentosa metabolisme karbohidrat. Diwariskan secara X-
linked, oleh karena itu mutasi pada gen G6PD, ditemukan lebih banyak pada laki-
laki daripada perempuan,menyebabkan varian fungsional dengan beberapa
biokimia dan fenotipe. Paling banyak dilaporkan dari Afrika, Eropa, Timur
Tengah dan Asia Tenggara
Manifestasi klinis yang paling sering pada defisiensi G6PD adalah
penyakit kuning neonatal, dan anemia hemolitik akut, yang biasanya dipicu oleh
agen eksogen. Beberapa varian G6PD menyebabkan hemolisis kronis,anemia
hemolitik bawaan non-spherocytic. Manajemen yang paling efektif pada
defisiensi G6PD adalah mencegah hemolisis dengan menghindari stres oksidatif
Pada makalah ini akan dibahas pengaruh G6PD terhadap eritrosit sehingga
memberikan kerentanan timbulnya hemolysis..

Studi Kasus:
Seorang pasien berumur 24 tahun datang berobat ke Rumah Sakit terlihaat
pucat sekali dan lelah yang ekstrim. Data laboratorium hematologi lengkap
menunjukan kadar Hemoglobin 8g/dl, nilai LED dan neutrophil tinggi, sehingga
dokter menyatakan defisiensi G6PD, kemudian pemeriksaan SADT ditemukan
retikulosit dan sel sperofit, hasil kimia rutin dengan nilai bilirubin direk dan total
tinggi. Selain itu didapatkan hasil urin rutin dengan kadar urobilinogen, bilirubin
yang abnormal. Berdasarkan kasus tersebut jenis anemia apakah yang dialami
pasien tersebut ?

A. Anemia Hemolitik Defisiensi G6PD


B. Anemia Megaloblastik
C. Anemia Sideroblastic
D. Anemia Akut
Pembahasan:
Interpretasi Pemeriksaan Fisik
 Wajah : pucat sekali, dikarenakan kekurangan asupan oksigen yang
merupakan kompensasi tubuh mengutamakan organ vital agar mendapatkan
oksigen dengan mengurangi pemakaian oksigen pada perifer.
 Leher : tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening (normal), tiroid
dalam keadaan normal
 Hepar : dalam keadaan normal
 Limpa : dalam keadaan normal
 Kulit : tidak ada ikterus belum tentu kadar bilirubin tidak naik, hal ini
disebabkan bilirubin indirect larut dalam air dan kurang mewarnai jaringan.
Dari hasil status lokalis didapatkan pada pasien ini mengalami anemia hal
ini terbukti dengan wajahnya yang pucat menandakan ciri dari anemia. Dari hasil
pemeriksaan status generalis dan lokalis menurut kelompok kami belum bisa
belum bisa menyingkirkan dugaan/hipotesis. Oleh karena itu, untuk menentukan
diagnosis kerja menurut kelompok kami perlu dilakukan pemeriksaan penunjang.
Interpretasi Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Hematologi Darah Lengkap
No. Jenis Nilai Normal Hasil Keterangan
Pemeriksaan Pemeriksaan
1. Hb 13-16 g/dl 8 g/dl rendah terjadi
hemolisis
2. Leukosit 5.000-10.000 /µl
3. Hitung Jenis:
Basofil 0-1 %
Eosinofil 1-3 %
Neutrofil Batang 2-6 % 8% Tinggi  adanya peni

Neutrofil Segmen 50-70 %


Limfosit 20-40 %
Monosit 2-8 %
4. Trombosit 150.000-400.000 /µl
5. LED 0-10 mm/jam Tinggi  adanya
infeksi/keganasan/hemo
dilusi/hemolisis
6. MCV 82-92 fl 90 fl
7. MCH 27-31 pg 30 pg
8. MCHC 32-36 g/dl 33 g/dl

Pemeriksaan Kimia Darah


No. Jenis Nilai Normal Hasil Keterangan
Pemeriksaan Pemeriksaan
1. GDP 80-120 g/dl
2. SGOT 5-40 IU/l
3. SGPT 5-41 IU/l
4. Ureum 20-40 mg/dl
5. Kreatinin 0,5-1,5 mg/dl
6. Bilirubin Direk <0,2 mg/dl Tinggi  kompensasi
faal hepar menaikkan
bilirubin direct karena
bilirubin indirect yang
sangat meningkat
7. Bilirubin Total <1 mg/dl Tinggi  adanya
kelainan pada
pemecahan heme
Hasil Pemeriksaan Urinalisa
No. Jenis Nilai Normal Hasil Keterangan
Pemeriksaan Pemeriksaan

Makroskopis Urin

1. Warna
2. Berat Jenis 1003-1030
3. Glukosa Negatif
4. Protein Negatif
5. Bilirubin Negatif
6. Urobilinogen Negatif (ada, Abnormal 
tapi dalam adanya
jumlah yang gangguan pada
sedikit) pemecahan heme
(hemolisis)
7. Urobilin Negatif Abnormal

Mikoskopis Urin

1. Eritrosit 0-2 /LPB


2. Leukosit 0-4/LPB
3. Silinder Negatif
4. Kristal Oksalat Positif
(merupakan
unsur
anorganik urin
yang normal)
Sediaan Apus Darah Tepi

Hasil Pemeriksaan SADT

Pada gambar SADT di samping, ditemukan


adanya sferosit (eritrosit tampak lebih kecil
dan bagian putih/pucat di tengah selnya
sedikit/tidak ada), basophilic erythroblast,
eritrosit yang berukuran lebih dari
normal/besar, dan bentuk eritrosit yang
sedang mengalami lisis. Berdasarkan hasil
gambaran ini, dapat disimpulkan pasien ini
mengalami anemia hemolitik.

Pada gambar SADT di samping,


diemukan adanya retikulositosis
(peningkatan retikulosit) dengan
morfologi sel berukuran besar,
sitoplasma asidofilik, dan terdapat
karena adanya retikulum yang
merupakan sisa-sisa ribosom dan RNA
yang berasal dari sisa inti dari bentuk
penuh pendahulunya. Ribosom
mempunyai kemampuan untuk
bereaksi dengan pewarna tertentu
seperti brilliant cresyl blue atau new methylene blue untuk membentuk
endapan granula atau filamen yang berwarna biru.
Patofisiologi

Pada sel darah merah orang normal, terdapat enzim glukosa-6-fosfat


dehidrogenase (G6PD) yang berguna untuk mengkatalisa oksidasi glukosa-6-fosfat
menjadi bentuk 6-fosfoglukonat bersamaan dengan pengurangan bentuk teroksidasi
NADP+ menjadi bentuk NADPH. NADPH berguna untuk mempertahankan
glutation dalam bentuk tereduksi. Glutation tereduksi berperan sebagai pemulung
untuk zat-zat oksidatif berbahaya di dalam sel, termasuk sel darah merah. Dengan
bantuan glutation peroksidase, glutation tereduksi juga dapat mengubah H2O2
(hidrogen peroksida) ke bentuk H2O (air). Dengan tetap dipertahankannya bentuk
glutation tereduksi ini dengan tetap adanya NADPH dari reaksi yang dikatalisa oleh
enzin G6PD, maka stress oksidatif yang ada di dalam sel pun dapat diminimalisir
sehingga keutuhan membrane sel tetap terjaga. (1 medscape)

Pada pasien penderita defisiensi G6PD, pasien mengalami kekurangan


enzim G6PD yang berakibat pada keutuhan membran sel darah merah. Defisiensi
G6PD disebabkan oleh adanya mutasi gen yang memproduksi enzim G6PD. Pada
defisiensi G6PD membran sel darah merah menjadi rentan terhadap stress oksidatif
sehingga mudah pecah dan terjadi hemolisis. Di bawah pengaruh obat yang
merupakan oksidan, maka akan mempermudah pasien mengalami hemolisis dan
memberikan gejala-gejala seperti yang dikeluhkan oleh pasien pada kasus (lemas
dan pucat setelah minum obat penurun panas).5

Pucat seringkali dikaitkan dengan anemia. Menurut definisi, anemia adalah


berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah, kuantitas
hemoglobin, dan hematokrit. Pada defisiensi G6PD, terdapat pengurangan jumlah
sel darah merah yang disebabkan oleh banyaknya hemolisis yang terjadi sehingga
hemoglobin pun keluar. Selain itu penurunan jumlah sel darah merah akibat
hemolisis secara langsung juga mengurangi volume sel darah merah dalam 100ml
darah (hematokrit) dari ketiga hal tersebut, maka dapat dikatakan pasien menderita
anemia. Anemia yang dialami oleh pasien bertipe hemolitik karena anemia yang
dialami oleh pasien diakibatkan dari lisisnya sel darah merah.6,7
Berkurangnya hemoglobin mengakibatkan pasien mengalami keadaan
hipoksia (berkurangnya oksigen) karena hemoglobin dalam sel darah merah
berguna untuk mengangkut oksigen dan mengantarkannya ke jaringan. Pada
hemoglobinemia, respon tubuh adalah melakukan vasokonstriksi untuk
memaksimalkan penghantaran oksigen yang ada ke organ-organ vital (tidak
termasuk kulit), sehingga akan didapatkan keadaan kulit yang pucat. Bantalan
kuku, telapak tangan, membran mukosa mulut serta konjungtiva merupakan
indicator yang lebih baik untuk menilai pucat.6

Pasokan oksigen yang berkurang juga berpengaruh terhadap otot. Otot


mengalami hipoksia sehingga metabolismenya untuk menghasilkan energi (ATP)
juga berkurang sehingga pasien mengeluhkan lemas.

Hemoglobin yang keluar dari sel darah merah akan dipecah menjadi heme
dan globin. Heme yang mengandung besi dan porfirin akan dipecah. Besi akan
dibawa oleh transferin dalam sirkulasi darah dan disimpan ke dalam sum-sum
tulang dan hati untuk dibentuk kembali menjadi pembentuk hemoglobin dalam sel
darah merah, sedangkan porfirin akan diubah menjadi pigmen empedu oleh hati.
Pigmen yang pertama dibentuk adalah biliverdian yang akan cepat diubah menjadi
bilirubin bebas (bilirubin indirek) yang akan berikatan dengan albumin dan dibawa
ke hati untuk diubah menjadi bilirubin direk. Bilirubin direk akan diubah menjadi
urobilinogen oleh mikroorganisme usus untuk dibuang melalui faeces
(sterkobilinogen) dan direabsorbsi kembali kemudian dibuang melalui urin.
Urobilinogen dan sterkobilinogen akan teroksidasi menjadi bentuk urobilin urin dan
sterkobilin.8

Pada pemecahan sel darah merah yang meningkat, maka pembentukan


bilirubin indirek pun akan meningkat tetapi fungsi hati masih normal sehingga
sel hati tidak dapat mengekskresi bilirubin secepat pembentukannya. Oleh karena
itu kadar bilirubin indirek lebih meningkat daripada bilirubin direk. Bilirubin
indirek adalah bilirubin yang tidak larut air sehingga kurang mewarnai jaringan.
PETA KONSEP:

MUTASI GEN

G6PD ↓ NADPH ↓ Stress oksidatif ↑

Obat
Stress oksidatif hemolisis
(oksidan)

Eritrosit ↓
Bilirubin
direk ↑
Hematokrit ↓

lemas
Hb keluar

Bilirubin
ATP ↓ Katabolisme heme
indirek ↑↑
hemoglobinemia

Metabolisme Vasokonstriksi
otot ↓ O2 ↓ pucat
perifer

Diagnosis Kerja : Anemia Hemolitik defisiensi G6PD

Berdasarkan keluhan pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, diagnosis yang kami tegakkan pada
pasien ini adalah anemia hemolitik et causa defisiensi G6PD. Dari anamnesis
didapatkan pasien mengeluh setelah demam dan mengkonsumsi obat penurun
panas, pasien mengalami pucat dan lemah, ini menunjukkan bahwa pasien
sebelumnya pernah demam yang kemungkinan besar karena penyakit infeksi,
sehingga pasien mengkonsumsi anti pireutik dan setelah itu, pasien sedang
mengalami suatu gejala anemia, lalu pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan
keadaan pucat pada pasien, yang juga mengarahkan pikiran kami ke anemia,
kemudian untuk mengkonfirmasi dan menunjang diagnosis kami dilakukanlah
pemeriksaan penunjang laboratorium, yang didapatkan hasil yang abnormal,
yaitu Hb, neutrofil batang, LED, bilirubin direk, bilirubin total, urobilinogen,
urobilin, dan SADT yang kesemuanya ini mengarahkan diagnosis kami ke
anemia hemolitik et causa defisiensi G6PD yang merupakan anemia dengan
episode hemolisis akut dan akan bermanifestasi klinis apabila terdapat
pencetusnya, yang pada pasien ini adalah infeksi dan obat-obatan yang berperan
sebagai oksidan yang mengakibatkan hemolisis.

Diagnosis Banding : Anemia Hemolitik diinduksi dengan Obat

Kami mendiagnosis bandingkan anemia hemolitik diinduksi dengan obat


ini karena prinsipnya anemia hemolitik ini menginduksi pembentukan
autoantibodi terhadap eritrosit. Ada beberapa mekanisme yang dapat
menyebabkan hemolisis, salah satunya pada mekanisme adsorpsi obat, obat akan
melapisi eritrosit dengan kuat, kemudian antibodi terhadap obat akan dibentuk
dan bereaksi pada permukaan sel darah merah yang dapat menyebabkan sel darah
merah lisis. Gejala klinis dari anemia ini hampir sama dengan anemia hemolitik
defisiensi G6PD, tetapi perbedaannya pada def G6PD jangka waktu reaksi
terhadap obat sangat cepat berbeda dengan anemia hemolitik diinduksi obat
memerlukan waktu yang lama untuk pembentukan autoantibodi.9

Tatalaksana

Pada penatalaksanaan, penyakit ini mempunyai prinsip untuk


tatalaksana, yaitu hilangkan faktor pemicu dan mengobati gejala (simptomatik),
sehingga kelompok kami memberikan tatalaksana berupa edukasi untuk
mencegah terjadinya pemaparan dari faktor pemicu. Dan untuk medikamentosa,
kelompok kami menyarankan untuk pemberian suplemen penambah darah untuk
menghilangkan anemia dan pemberian anti-oksidan untuk mencegah terjadinya
anemia hemolitik ini.

Untuk lebih memastikan diagnosis, kelompok kami juga menganjurkan


dilakukannya pemeriksaan lebih lanjut lagi berupa test G6PD dan test Coomb
(apa bila didapatkannya hasil anamnesis pemakaian obat2an yang jangka
panjang).

Pencegahan

Pada kasus G6PD upaya yang kita dapat lakukan hanyalah pencegahan agar
tidak timbul manifestasi klinis, terdapat beberapa pencegahan yang dapat
dilakukan:
1. Upaya pencegahan primer

Upaya pencegahan primer termasuk skrining untuk mengetahui


frekuensi (angka kejadian) kelainan enzim G6PD di masyarakat yang
membantu diagnosis dini karena sebagian besar defisiensi G6PD tidak
menunjukkan gejala klinis, sehingga pemahaman mengenai akibat yang
mungkin timbul pada penderita defisiensi G6PD yang terpapar bahan oksidan
masih belum sepenuhnya dipahami serta disadari yang dapat mengakibatkan
diagnosis dini terlewatkan.
Masih termasuk pencegahan primer yaitu dengan memberikan informasi
dan pendidikan kepada masyarakat mengenai kelainan enzim G6PD, termasuk
berupa konseling genetik pada pasangan resiko tinggi.
Diagnosa dibuat berdasarkan satu dari beberapa tes yang dirancang untuk
mengetahui aktivitas G6PD eritrosit. Beberapa uji saring yang relatif sederhana
dan memuaskan telah dikembangkan untuk menentukan defisiensi G6PD
secara kualitatif antara lain: Fluorescent Spot test, Methemoglobin Reduction
Test, Formazan ring test, Ascorbate-cyanide screening test, Methemoglobin
elution tets . Hampir semua uji saring tersebut dapat mengidentifikasi penderita
defisiensi G6PD hemizigot (pria) dengan tepat, sayangnya tidak sensitif untuk
diagnosis penderita defisiensi G6PD yang heterozigot (wanita) , kecuali
penggunaan Formazan ring test .
Metoda Formazan ring test selain bisa mendeteksi defisiensi G6PD yang
heterozigot, biaya relatif murah, mudah penggunaannya hanya memerlukan
inkubator dan dapat digunakan sampel dalam jumlah besar .
2. Upaya pencegahan sekunder
Upaya pencegahan sekunder berupa pencegahan terpaparnya penderita
defisiensi enzim G6PD dengan bahan bahan oksidan yang dapat menimbulkan
manifestasi klinis yang merugikan, sehingga dapat tercapai sumber daya
manusia yang optimal.
Sekali diagnosa defisien enzim G6PD ditegakkan, orang tua harus
dianjurkan untuk menghindari bahan bahan oksidan termasuk obat obat
tertentu, juga harus dijelaskan mengenai resiko terjadinya hemolisis pada
infeksi berulang. Selain itu juga perlu dilakukan skrining G6PD pada saudara
kandung dan anggota keluarga yang lainnya.
3. Upaya pencegahan tersier
Upaya pencegahan tersier berupa pencegahan terjadinya komplikasi
akibat paparan bahan oksidan maupun infeksi yang menimbulkan gejala klinik
yang merugikan, seperti mencegah terjadinya kern ikterus pada
hiperbilirubinemi neonatus yang dapat menyebabkan retardasi mental,
mencegah kerusakan ginjal maupun syok akibat hemolisis akut masif maupun
mencegah terjadinya juvenile katarak pada penderita defisiensi enzim G6PD.
Etiologi
I. Inherited Hemolytic Disorder
A. Kelainan pada membran sel eritrosit
B. Defisiensi enzym glikolitik eritrosit
C. Kelainan metabolisme nukleotida eritrosit
D. Defisiensi dari enzym yang terlibat pentosa pathway
E. Kelainan synthese dan struktur hemoglobin
II. Acquaired hemolytic anemia
A. Immunohemolytic anemia
B. Traumatik dan infeksi
Kesimpulan

Pada kasus ini, pasien di diagnosa kerja sebagai anemia hemolitik


defisiensi G6PD berdasarkan gejala yang di dapat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada umumnya pasien dengan defisiensi G6PD
ini tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi atau obat-
obatan. adapun yang penting dan harus diperhatikan oleh pasien adalah mengetahui
faktor pencetus dan menghindarinya. Disini sangat dibutuhkan kedisplinan pasien
untuk meminimalkan kekambuhan.
B. FERITIN

Feritin adalah protein yang terdiri dari 24 protein subunit, bagian

intinya terdiri dari 4500 komplek besi. Dapat larut dalam plasma dan

bersifat non toksik. Kadar feritin dapat dipakai untuk mengetahui kadar

besi di dalam tubuh secara tidak langsung. Feritin banyak terdapat

dalam sel, dan jumlah yang bisa diukur adalah yang terdapat di dalam

serum.

Kadar feritin dipengaruhi dapat oleh panas, infeksi akut,

inflamasi kronis, hemolisis dan eritropoesis yang tidak efektif. Kadar C-

reaktive protein dapat menyingkirkan tingginya feritin karena reaksi

fase akut. Feritin juga akan meningkat pada gizi buruk yang akut (Orkin,

2003; Permono, 2005).

Kenaikan feritin akibat infeksi sudah terbukti pada infeksi

malaria dan HIV. Dari hasil penelitian pada malaria didapat hubungan

antara asupan besi, kadar hemoglobin dan parasitemia.(Ngardita, 2004).

Penelitian kadar feritin pada HIV terjadi peningkatan sesuai derajat

penyakit akan tetapi masih dalam batas normal. Hal ini dihubungan

dengan adanya infeksi dan hemokromatosis (Riera, 1994). Peningkatan

kadar feritin pada talasemia yang disebabkan karena infeksi belum

diketahui secara pasti. Nilai normal feritin untuk laki-laki 12 – 300

ng/mL dan untuk wanita 12- 150 ng/mL. Kadar yang rendah didapatkan

pada anemia defisiensi besi dan restless leg syndrome, sedang kadar

yang tinggi terdapat pada hemosiderosis talasemia (Pherson, 2007).


Menurut Olivieri dkk. 1994 menemukan bahwa prognosis

kardiovaskular pada pasien talasemia mayor baik bila kadar feritin

serum dapat dipertahankan dibawah 2500 ng/ml. (Olivieri,1994).

Cara lain untuk mengetahui kadar besi dalam organ adalah

dengan pemeriksaan biopsi hati, CT scan dan MRI (Damardjati, 2003).

Pemeriksaan MRI dapat memperkirakan jumlah besi liver yang

sebanding dengan jumlah besi di otot jantung pada penderita talasemia

mayor (Penaell, 2006; Walker, 2002). Biopsi jantung tidak tepat untuk

menggambarkan kadar besi di jantung karena distribusinya tidak

homogen (Permono, 2005).

Penumpukan besi dapat dikurangi dengan pemberian terapi kelasi

besi seperti deferoksamin, deferiprone dan deferasirox. Tujuan utama

terapi kelasi besi adalah mencapai kadar feritin 500-1500 mg. Pemberian

terapi kelasi besi yang adekuat dan kepatuhan pasien sangat menentukan

keberhasilan terapi ini (Hoffbrand, 2001). Dosis deferoksamin yang

dianjurkan adalah 20-50 mg/kg (biasanya dimulai 25 mg/kg) selama 8-

10 jam, 5-7 hari per minggu, sedangkan pemberian deferoksamin di RS

Dr. Moewardi dengan dosis 20-50 mg/kg selama 6-8 jam, 5 hari dalam

tiap kali transfusi.


Studi Kasus:

Sthefanie, perempuan usia 5 tahun berasal dari Lahat datang ke rumah

sakitdengan keluhan pucat dan perut membuncit sejak usia 3 tahun. Penderita

sering merasa lelah dan bila diberikan makanan cepat merasa penuh di perut /

sesak. Sudah pernah berobat di lahat, dan pernah ditransfusi sebanyak 5 kali.

Dibandingkandengan temansebayanya, pertumbuhan fisik penderita kelihatan k

urang. Dan penderita seringmengalami batuk- pilek dan demam. Penderita

merupakan anak pertama dengan riwayat kehamilan dan kelahirannormal. Ayah

dan ibu sthefanie merupakan kerabat dekat.Riwayat penyakit yang sama dalam

keluarga yaitu mengidp thalesemia.Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum : vital : Nadi : 120x/menit, RR 28x/menit, Temperatur 37,6 C,


TD 110/60mmHg, TB 80cm BB 10kg, Kepala : Facies cooley (+), Konjungtiva
pucat (+/+), Abdomen :Hepar : teraba ½ x 1/3,Lien : teraba schufner 3

Pemeriksaan Lab:

Hb 5 gr/dlLeukosit 9000/mm3

Thrombosit 200.000/mm3

Retikulosit 30%Serum Fe 3 mgTIBC 50 mg

Apa penyakit yang paling mungkin pada kasus ini?

A. Anemia Hemolitik Et Causathalasemia Β Mayor

B. Anemia Perdarahan

C. Anemia Defisiensi Besi

D. Anemia Malaria
Pembahasan:

Peta Konsep Pada Penderita Talasemia


Pada talasemia akan terjadi hemolisis dan eritropoesis yang tidak efektif

sehingga akan terjadi anemia yang kronis. Kompensasi tubuh terhadap

eritropoesis yang tidak efektif dengan cara meningkatkan absorbsi besi di usus.

Anemia kronis membutuhkan transfusi darah berulang yang akhirnya juga akan

meningkatkan kadar besi dalam darah dan jaringan.

Peningkatan ini dapat diketahui dari kadar feritin yang tinggi dan berakibat

terjadinya reaksi katalis dan menghasilkan radikal bebas yang akan

menyebabkan peroksidasi lipid di mitokondria, lisosom, membran sel dan

terjadilah kerusakan sel dan selanjutnya terjadi gangguan organ misalnya hepar,

kelanjar endokrin, ginjal dan jantung akan terjadi akibat penimbunan besi.

Gangguan jantung dikarenakan kekakuan otot jantung akibat penimbunan besi

yang akan menyebabkan gangguan kontraktilitas. Pemeriksaan ekokardiografi

dapat menilai gangguan kontraktilitas ini dengan mengukur nilai E, A, E/A, EF,

FS. Selain pada talasemia gangguan jantung juga terjadi pada penyakit jantung

bawaan (PJB), hipertensi dan DM. Peningkatan kadar feritin dapat disebabkan

adanya infeksi dan dapat dikurangi dengan pemberian kelasi besi.

Etiologi Penyakit Pada Kasus Tersebut:

Faktor risiko

 Anak dengan orang tua yang memiliki gen thalassemia


 Anak dengan salah satu/kedua orang tua thalasemia minor
 Anak dengan salah satu orang tua thalasemia
 Resiko laki-laki atau perempuan untuk terkena sama
 Thalassemia Beta mengenai orang asli dari Mediterania atau ancestry (Yunani
,Italia, Ketimuran Pertengahan) dan orang dari Asia dan Afrika Pendaratan.
 Alfa thalassemia kebanyakan mengenai orang Asia Tenggara, Orang India,
Cina,atau orang Philipina.

Prognosis pada kasus ini: Dubia Ad Bonam = meragukan, ke arah baik.

Tata Laksana:

• Untuk simptomatik: pemberian antipiretik, antitusif dan ekspektoran untuk


mengobatidemam, pilek dan batuk.

• Untuk kausatif pengobatan:

1. Transfusi darah teratur yang perlu dilakukan untuk mempertahankan Hb


di atas 10gr/dl tiap saat. Hal ini biasanya membutuhkan 2-3 unit tiap 4-6
minggu.
Darahsegar, yang telah disaring untuk memisahkan leukosist, menghasilkan
eritrositdengan ketahanan yang terbaik dan reaksi paling sedikit. Pasien
harus diperiksagenotipnya pada permulaan program transfuse untuk
mengantisipasi bila timbulantibody eritrosit terhadap eritrosit yang
ditransfusikan.
2. Pemberian infus RL 16x/menit
3. Asam folat diberikan secara teratur (misal 5 mg/hari) jika asupan diet
buruk.
4. Terapi khelasi besi digunakan untuk mengatasi kelebihan besi. Desferiok
samin dapat diberikan melalui kantung infus terpisah sebanyak 1-2 g untuk
tiap unit darahyang ditransfusikan dan melalui infus subkutan 20-40 mg/kg
dalam 8-12 jam, 5-7hari seminggu. Hal ini dilaksanakan pada bayi setelah
pemberian transfusi 10-15unit darah.
5. Vitamin C (200 mg perhari) meningkatkan eksresi besi yang disebabkan
olehdesferioksamin.
6. Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah.
7. Splenektomi mungkin perlu untuk mengurangi kebutuhan darah. Splenek
tomiharus ditunda sampai pasien berusia > 6 tahun karena tingginya resiko
infeksi pascasplenektomi.
8. Transplantasi sum-sum tulang alogenik memberi prospek kesembuhan
permanent.Tingkat kesuksesan
adalah lebih dari 80% pada pasien muda yang mendapatkhelasi secara
baik tanpa disertai adanya fibrosis hati atau hepatomegali.
9. Terapi endokrin
10. Imunisasi hepatitis B11.Koenzim Q10 dan Talasemia Adanya kerusakan
sel darah merah dan zat besi yang menumpuk di dalam tubuh akibat
talasemia, menyebabkan timbulnya aktifasi oksigen atau yang lebih
dikenal dengan radikal bebas.
Radikal bebas ini dapat merusak lapisan lemak dan
protein pada membram sel, dan organel sel, yang pada akhirnya dapat me
nyebabkankerusakan dan kematian sel.
Biasanya kerusakan ini terjadi di organ-organ vital dalam tubuh seperti
hati, pankreas, jantung dan kelenjar pituitari.
Oleh sebab itu penggunaan antioksidan, untuk mengatasi radikal bebas,
sangat diperlukan padakeadaan talasemia.
Pemberian suplemen koenzim Q 10 pada penderitatalasemia terbukti seca
ra signifikan mampu menurunkan radikal bebas pada penderita talasemia.
Oleh sebab itu pemberian koenzim Q 10 dapat berguna sebagaiterapi
ajuvan pada penderita talasemia untuk meningkatkan kualitas hidup.
C. PENGENDALIAN MUTU LABORATORIUM (KIMIA KLINIK)

Kimia klinik adalah komponen pemeriksaan laboratorium yang

kompleks. Ada ratusan pemeriksaan yang mungkin termasuk dalam

kategori ini dan pengambilan specimen serta persyaratan pengolahan

akan bervariasi bergantung pada metode pemeriksaan dan kebijakan

laboratorium. Beberapa pemeriksaan kimia klinik dapat dilakukan

dilaboratorium klinik dokter, sebagian besar pemeriksaan yang dilakukan

di laboratorium klik dokter akan menggunakan specimen darah lengkap

untuk analisis.

Pemeriksaan kimia klinik yang umum dilakukan di laboratorium

klinik dokter adalah pemeriksaan glukosa dan kolesterol. Sedangkan

pemeriksaan kimia klinik yang dilakukan dilaboratorium rujukan

biasanya dilakukan pada specimen darah lengkap. Banyak dari

pemeriksaan plasma dan serum dapat diminta sebagai panel pemeriksaan

atau profil pemeriksaan.

Ada banyak sumber kesalahan dalam pengambilan dan

pengolahan specimen untuk pemeriksaan kimia klinik sehingga ATLM

harus tetap raji memperhatikan persyaratan specimen secara spesifik

untuk memberikan specimen yang tepat guna memperoleh hasil

laboratorium yang bermakna.


Studi Kasus:

Tn. Oliver datang lebih awal untuk pengambilan darahnya pada

hari senin pagi. ATLM datang terlambat dari itu dan tampaknya sedikit

terganggu saat mempersiapkan pengambilan darah. Doktenya Tn.Oliver

meminta pemeriksaaan darah lengkap (untuk dikumpulkan dalam tabung

EDTA kalium) dan kadar kalium (untuk dikumpulkan dalam tabung

berheparin dengan tutup warna hijau). ATLM menyelesaikan

pengambilan darah dan mengucapkan terima kasih kepada Tn. Oliver

untuk waktunya.

Kesesokan harinya, klinik dokter menelpon Tn.Oliver dan

memintanya datang untuk mengecek kembali kadar kaliumnya, karena

kadar kalium tinggi pada hari sebelumnya. Hasil pemeriksaan ini bukan

hasil pemeriksaaan yang diharapkan karena biasanya kadar kalium

Tn.Oliver rendah dibawah kisaran nilai rujukan. Spesimen diambil dan

diperiksa pada dasar (STAT). Hasil kadar kaliumnya lebih rendah dari

nilai rujukan. Dokter memberi tahu Tn.Oliver bahwa hasil pemeriksaan

kadar kalium sebelumnya tinggi dikarenakan kesalahan laboratorium.

Dari uraian kasus diatas apa saja sumber kesalahan yang dapat

menyebabkan hasil kalium yang meningkat palsu dalam scenario ini?


Pembahasan:

Kemungkinan sumber kesalahan yang paling umum untuk pemeriksaan

kimia klinik terjadi dibagian pra analitik. Sumber kesalahan itu antara lain

persiapan pasien yang salah, Teknik pengambilan spesimenn yang tidak tepat,

dan kesalahan pengolahan specimen. Sumber kesalahan pengolahan specimen

yang spesifik antara lain:

1. Hemolisis

Sampel dapat mengalami hemolysis (membrane sel darah merah pecah)

selama proses pengambilan atau selama pemrosesa. Contoh prosedur yang

dapat menyebabkan hemolisis antara lain pengambilan darah yang

traumatik, menggunakan jarum yang terlalu kecil untuk proses pengambilan

tersebut, menggoyangkan tabung setelah pengambilan atau meletakan

sampel darah lengkap pada suhu panas ekstrem atau suhu dingin.

Hemolisis menyebabkan serum atau plasma berwarna merah, yang

mengganggu banyak metode pemeriksaan. Hemolisis juga meningkat kadar

analit tertentu dalam plasma (misalnya kalium atau zat besi) yang normalnya

tidak dalam konsentrasi tinggi.

Dengan demikian, pasien tersebut tampak membutuhkan pengobatan

untuk ketidak seimbangan, padahal hasil tersebut tidak sesuai karena terjadi

hemolisis.
2. Spesimen Lipemik

Spesimen lipemik mempunyai tampilan “seperti susu” yang dapat dilihat

segera setelah pengambilan atau sentrifugasi. Partikel lemak yang

tersuspensi didalam specimen tersebut akan menggangu banyak assay kimia

klinik. Beberapa pemeriksaan mungkin dilakukan jika spesimen dengan

proses sentrifugasi yang khusus, tetapi seringnya laboratoium tersebut akan

meminta agar spesimen tersebut diambil kembali jika lipemia tergolong

berat.

3. Kesalahan pengambilan spesimen

Selain jenis pengambilan spesimen yang salah dan waktu pengambilan

yang salah, kemungkinan sumber kesalahan lainnya adalah urutan tabung

yang dikumpulkan

Pengambilan antikoagulann dari satu taung ke tabung yang lain dapat

menyebabkan perubahan kadar analit tertentu ketika prosedur pemeriksaan

dilakukan. Kadar kalium misalnya, dapat tinggi jika tabung bertutup

lavender dikumpulkan sebelum tabung bertutup hijau dan pemindahan hasil

antikoagulan.

4. Jumlah tidak mencukupi

5. Pajanann terhadap sinar

6. Pajanan terhadap udara

7. Pengolahan spesimen yang terlambat


Reverensi:

Liese, C.L. Zeibig, Z.A. 2014. Buku Ajar Laboratorium KliniS. Jakarta:
EGC

Anda mungkin juga menyukai