Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barre (SGB) sering disebut acute inflamating


demyelinating polyneuropathy atau acute ascending paralysis yang merupakan
kelainan pada saraf yang bersifat autoimun. Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya
kelemahan yang cepat atau bisa terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah,
otot-otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak
bersifat herediter dan dikenal sebagai Landry’s Paralisis ascending. Pertama
dideskripsikan oleh Landry, 1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut,
ascending dan paralysis motorik dengan gagal napas.1, 2
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua
umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian pada
3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya
biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita
memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB
dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila
terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu keempat maka
termasuk Chronic Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP).
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis
dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.1,3,4
Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens Sindrom ini
termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi pada anak-anak,
khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya
cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa muda. 3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SEJARAH
Sindrom Guillain Barre (SGB) merupakan sindroma klinis terdiri dari
kelemahan akut pada ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan
bukan oleh penyakit sistemik. John Lettsom, 1787, merupakan orang pertama yang
mengangkat masalah neuropati perifer, mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat
dari konsumsi alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti
tentang adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita. James Jackson,
1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai alcoholic neuropathy, namun
tanpa kelainan patologis dan anatomis.1,2 Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan
artkelnya yang berjudul “A note on acute ascending paralysis“ yang.bercerita tentang
seorang pasien mengalami paralisis akut meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot
pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan takikardi. Paralisis ini dikenal
dengan sebutan Landry’s paralysis.3,4,5 Osler, tahun1982, lebih memperinci dengan
apa yang disebutnya sebagai Acute Febrile Polyneuritis.6 Pada tahun 1916, Guillain,
Barre, dan Strohl mempublikasikan penelitian mereka yang berjudul “On a
syndrome of radiculoneuritis with hyperalbuminosis of cerebrospinal fluid without a
cellular reaction : Remarks on the clinical characteristics and tracings of the tendons
reflexes“. Mereka menemukan kelainaan adanya disosiasi sitoalbumin di dalam
cairan serebrospinal dan disertai dengan radikuloneuritis. Guillain tetap berpendapat
bahwa apa yang mereka bertiga kemukakan sebenarnya adalah Landry’s paralysis.
Tahun 1927, Draganescu dan Claudian memberi nama penyakit ini sebagai Guillain–
Barre Syndrome.7

2.2. DEFINISI

2
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dengan manifestasi klinis
berupa kelemahan saraf motorik yang sifatnya akut, progresif disertai arefleksia.
Kelainan ini terkadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, nervi cranialis
maupun susunan saraf pusat.1,2,3,5,7,8

2.3. SINONIM
-
Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
-
Landry Guillain Barre Syndrome
-
Acute Inflammatory Polyneuropathy
-
Acute Autoimmune Neuropathy
-
Inflammatory Polyradiculoneuropathy

2.4. EPIDEMIOLOGI
SGB merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.4
Insiden SGB yang dilaporkan di negara-negara Barat berkisar 0,89-1,89 kasus per
100.000 orang-tahun, meskipun peningkatan 20% terlihat dengan setiap kenaikan usia
10 tahun setelah dekade pertama.9,10 Rasio pria terhadap wanita dengan sindrom ini
adalah 1.78 (interval kepercayaan 95%, 1,36-2,33). Dua pertiga dari kasus didahului
oleh gejala infeksi saluran pernapasan atas atau diare akut.11 Dalam metaanalisis, agen
infeksi yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni sekitar 30%,
sedangkan cytomegalovirus telah diidentifikasi dalam hingga 10%. Insiden SGB
diperkirakan 0,25-0,65 per 1.000 kasus infeksi C. jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus
sitomegalovirus primer infection.12 Agen lain yang dihubungan dengan SGB adalah
Epstein-Barr, virus varicella-zoster, dan Mycoplasma pneumoniae.9
SGB bukan merupakan penyakit musiman dimana resiko terjadinya adalah
sama di seluruh dunia dengan semua iklim, kecuali di Cina, dimana predileksi SGB
berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung terjadi pada musim panas.
SGB dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden

3
kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 – 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Angka kematian berkisar antara 5 – 10
%. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan
total terjadi pada 5% penderita SGB. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang
permanen.7
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hamper sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d
Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.9

2.5. KLASIFIKASI
Berikut terdapat beberapa klasifikasi dari SGB, yaitu: 2,4
a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi
saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari
serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi.
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibodi gangliosid
meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala
klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending
dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik
dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsi menunjukkan
degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat,
disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.
c. Miller Fisher Syndrome

4
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan.
d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominan dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal
e. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi
dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya
hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,
penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

2.6. ETIOLOGI
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada SGB disebabkan karena rusaknya
myelin, yang membungkus saraf, disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan
penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali.
SGB menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa
saraf. Oleh karena itu SGB disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (AIDP).1
Penyebab terjadinya inflamasi pada SGB sampai saat ini belum diketahui. Ada
yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. 2,3 Pada
sebagian besar kasus, SGB didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu
Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus,
hepatitisvirus, dan HIV.1,5 Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi bakteri
seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta,
Salmonella, Legionella dan, Mycobacterium Tuberculosa.1,5 vaksinasi seperti BCG,

5
tetanus, varicella, dan hepatitis B; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma,
penyakit kolagen dan sarcoidosis; kehamilan terutama pada trimester ketiga ;
8,12
pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu
sebelum timbul SGB 10

2.7. PATOGENESIS
Antigen baik yang berasal dari bakteri maupun virus, memasuki sel Schwann
dari saraf kemudian mereplikasi diri.5 Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T.
Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi
autoantibodi spesifik.4 Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang
pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem
imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa
infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya
sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin5
bahkan terkadang juga dapat terjadi destruksi pada axon. 6 Teori lain mengatakan
bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada
memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon
imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut. 5 Destruksi pada myelin
tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien,
sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak
menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh. Temuan patologis
klasik dalam polineuropati inflamasi demielinasi akut adalah infiltrasi sel-sel

6
inflamasi (terutama sel-sel T dan makrofag) dan daerah demielinasi segmental, yang
sering dikaitkan dengan tanda-tanda degenerasi aksonal sekunder , yang dapat
dideteksi pada radiksr tulang belakang, serta saraf motorik dan sensorik. Ada bukti
aktivasi komplemen awal, yang didasarkan pada ikatan antibodi pada permukaan
luar sel Schwann dan deposisi komponen teraktifasi; aktivasi komplemen tersebut
tampaknya memulai vesikulasi myelin. Invasi makrofag terjadi dalam waktu 1
minggu setelah melengkapi kerusakan myelin terjadi. Pada neuropati motorik akson
akut, IgG diaktifkan melengkapi mengikat ke axolemma nodus Ranvier neuron
motorik, diikuti dengan pembentukan kompleks membran-attack.10,11

Gambar Patogenesis dan fase klinikal dari GBS

7
8
2.8. PATOLOGI

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran


pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada
saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau
keempat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung mielin
pada hari kelima, terlihat beberapa limfosit pada hari kesembilan dan
makrofag pada hari kesebelas, poliferasi sel schwan pada hari ketigabelas.
Perubahan pada mielin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif,
sehingga pada hari keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah
hancur. Kerusakan mielin disebabkan makrofag yang menembus membran
basalis dan melepaskan selubung mielin dari sel schwan dan akson. 2, 6

9
2.9. MANIFESTASI KLINIS
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara
natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai
atas. Otot- otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal.
Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot
pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial
III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk
sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias,
Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan
wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena.
Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan
defisit saraf kranial.

10
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati
rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses
menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau
pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal
dapat hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama
perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung,
pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini
sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada
dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias
sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan
sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias
dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang
biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic,
nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya,
tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi
paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin,
karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.

11
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;
Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan
ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga
sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
- Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada
LP serial;
- jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan protein CSS
setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ).
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan
konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang
60% dari normal.8
SGB umumnya dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan
1,3,11
diikuti secara cepat oleh paralisa keempat ekstremitas yang bersifat asendens
Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.1,2 Refleks fisiologis akan menurun dan
2,10
kemudian menghilang sama sekali. Secara klinis SGB biasanya digambarkan
dalam 3 fase, yaitu fase progresif, fase plateau dan fase pemulihan. Pada fase
progresif kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif8, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, 7
ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. .

12
Gb. 3. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan
bervariasi antara berbagai penderita SGB

Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada
yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf kranial, muncul pada
50% kasus, biasanya berupa facial diplegia.8 Kelemahan otot pernapasan dapat
timbul secara signifikan12 dan bahkan 20% pasien memerlukan bantuan ventilator
dalam bernafas.2,8 Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan
dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya
proprioseptif dan sensasi getar.8 Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa
parestesia dan disestesia pada extremitas distal.11 Rasa sakit dan kram juga dapat
menyertai kelemahan otot yang terjadi.5 terutama pada anak anak. Rasa sakit ini
biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak dan dapat
menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.7,8,9,10

Kelainan saraf otonom sering dijumpai dan dapat berakibat fatal. Kelainan ini
dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac
arrest, facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam
berkeringat.11 Hipertensi terjadi pada 10-30 % pasien sedangkan aritmia terjadi
pada 30 % dari pasien.10 Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan
gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, 9 dan yang paling sering (50%)
adalah bilateral facial palsy.4 Gejala-gejala tambahan adalah kesulitan untuk

13
mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur.3

2.10. PEMERIKSAAN FISIK


Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang
bersifat difus dan paralisis.3 Refleks tendon akan menurun atau bahkan
menghilang. Rasa tebal pada tangan dan kaki menyerupai pola ‘sarung tangan dan
kaus kaki juga dijumpai pada awal penyakit’. Refleks batuk yang lemah dan
risiko aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot intercostal.
Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin
ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.9,10,12

2.11. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan LCS
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan
kadar protein (1- 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini
oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumin.1,3,5,6.8
Pemeriksaan LCS pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil
apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3,4,7,9 pada kultur LCs
1,3
tidak ditemukan adanya virus ataupun bakteri Peningkatan jumlah
protein dalam cairan serebrospinal bias melebihi 45 mg/dl (normal < 40
mg/dl) yang puncaknya terjadi pada 4 sampai 5 minggu dan setelah itu
berangsur-angsur kembali normal.13,14
b. Pemeriksaan EMG
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas
normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada
akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan

14
adanya perbaikan.10 Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat
adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls,
gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang 4,7,9,10.
Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya
penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya
kecepatan konduksi saraf motorik.7 Pemeriksaan MRI akan memberikan
hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke 13 setelah
timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina
yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus SGB.7
Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit. Biopsi
otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada
stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy. 10,15,16,.17
c. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan
memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.

2.12. KRITERIA DIAGNOSA


Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai
disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnostik SGB menurut National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)5
Gejala utama

1. Kelemahan progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan

15
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS

1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik

1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf


Gejala yang menyingkirkan diagnosis

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri


2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata

16
2.13. DIAGNOSIS BANDING
a. Poliomielitis
Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak
ditemukan gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan
Cairan cerebrospinal pada fase awal tidak normal dan didapatkan
peningkatan jumlah sel.4,8,11,12
b. Myositis Akut
Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya paroksimal,
didapatkan kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan
Serebrospinal normal. 4,11
c. Myastenia gravis
Didapatkan infiltrate pada motor end plate, kelumpuhan tidak bersifat
ascending, ophtalmoplegia. 4,8,12
d. CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy)

17
Didapatkan progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga
ditemukan adanya kekambuhan kelumpuhan atau pada akhir minggu
keempat tidak ada perbaikan.

2.14. TATALAKSANA
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan
terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi
gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki
prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di
rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan
fisioterapi.
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
a. Sistem Otonom
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan
observasi tanda tanda vital.1 Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab
paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam.
Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi
1,4
dan vasoaktif juga harus disiapkan Pasien dengan progresivitas yang lambat
dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.1 Pasien dengan
progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. 1 Namun ada pihak
yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun
juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa
yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.4,12

Idealnya, semua pasien harus harus dirawat di unit perawatan kritis, di mana
sumber daya yang memadai tersedia untuk memungkinkan pemantauan jantung
dan pernapasan terus menerus. Bahkan tanpa adanya klinis distress pernapasan,
ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada pasien dengan setidaknya satu kriteria

18
utama atau dua kriteria minor. Kriteria utama adalah hiperkarbia (Tekanan parsial
karbon dioksida arteri, > 6,4 kPa [48 mm Hg]), hipoksemia (tekanan parsial
oksigen arteri sementara pasien menghirup udara ambien, <7,5 kPa [56 mm Hg]),
dan kapasitas vital kurang dari 15 ml per kilogram berat badan, dan kriteria minor
batuk tidak efisien, gangguan menelan, dan atelektasis. Penilaian awal
kemampuan menelan pasien pada risiko aspirasi, mengharuskan pemasangan
nasogastric tube. Disfungsi otonom serius dan berpotensi fatal, seperti aritmia
dan hipertensi ekstrim atau hipotensi, terjadi pada 20% pasien SGB, bradikardia
berat mungkin didahului oleh beda tekanan nadi yang lebar (melebihi 85 mm Hg).

b. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.
Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah
penyembuhan mulai, maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
meningkatkan kekuatan otot.14
c. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang
paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya
gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam
waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.13
d. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan

19
dosis 0,4g/kgBB/hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg
tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan
PE atau IVIg. 1,3, 4,7,12
e. Pengelolaan Tambahan : Gejala Nyeri pada fase akut dan kronis
Nyeri adalah gejala yang umum dan parah pada pasien dengan SGB. Adanya
nyeri penting, terutama pada pasien yang tidak mampu berkomunikasi karena
intubasi. Nyeri biasa gejala yang muncul sebelum onset kelemahan mungkin
membingungkan dan menunda dalam mendiagnosis SGB. Nyeri dijumpai hingga
89% dari pasien dengan SGB. Perbedaan gejala rasa sakit yang terkait dengan
GBS dapat dibedakan selama fase penyakit: parestesia atau dysaesthesia, nyeri
punggung atau radikular, meningisme, nyeri otot, nyeri sendi, dan pain visceral.
Nyeri pada SGB bisa sangat parah, dan pengobatan sering tidak berhasil.
Kortikosteroid, opioid, gabapentin, dan carbamazepine disarankan untuk menjadi
efektif, meskipun laporannya terbatas. Kemungkinan asal nyeri adalah
multifaktorial. Nyeri pada fase akut SGB mungkin dari nosiseptif karena
inflamasi. Saraf berdiameter kecil di kulit, bertanggung jawab atas nosisepsi,
yang terkena dampak pada SGB. Pengurangan jumlah saraf intraepidermal
ditemukan pada biopsi kulit dari pasien dengan SGB. Kemudian pada perjalanan
penyakit, nyeri neuropatik non-nosiseptif mungkin timbul dari degenerasi dan
bahkan mungkin regenerasi saraf sensorik. Biopsi kulit mungkin bisa membantu
menjelaskan mekanisme timbulnya nyeri pada neuropati di SGB.15,16,17

2.15. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis
vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada
sendi.3 Pada negara-negara maju, 5% dari pasien dengan sindrom Guillain-Barré
meninggal akibat komplikasi medis seperti sepsis, emboli paru, atau henti jantung
yang tidak dapat dijelaskan, mungkin terkait dengan dysautonomia / disfungsi

20
otonom. .Disfungsi otonom adalah komplikasi umum pada dua pertiga pasien SGB.
Distribusi saraf otonom yang luas mungkin menyebabkan berbagai tanda dan gejala
akibat kegagalan atau overaktivitas simpatis dan parasimpatis. Gejalanya termasuk
aritmia jantung, fluktuasi tekanan darah, respon tidak normal hemodinamik terhadap
obat, kelainan keringat, kelainan pupil, dan disfungsi kandung kemih dan defekasi.
Meskipun disfungsi otonom biasanya tidak membahayakan, namun, komplikasi
kardiovaskuler dapat terjadi mengancam jiwa. 3-10% dari pasien SGB dapat
meninggal, dan beberapa pasien ini penyebabnya kemungkinan mati mendadak. Oleh
karena itu, pengenalan disfungsi otonom penting untuk memprediksi pasien akan
mengalami gagal otonom yang serius, oleh karena itu perlu pemantauan terus
menerus. Bradiaritmia berpotensi serius, mulai dari bradikardia menyebabkan
kecacatan. Seringnya disfungsi otonom terjadi dengan SGB. Pada beberapa kasus,
penerapan alat pacu jantung transkutan atau atropin harus diberikan. Secara umum,
terapi vasoaktif dan morfin sebaiknya digunakan dengan hati-hati. Saraf otonom
dapat dipelajari dari biopsi kulit, dan kurang berkorelasi pada saraf intraepidermal
dengan menilai densitas saraf pada biopsi kulit pasien dengan SGB.15,18
Kelelahan setelah SGB merupakan problem penting yang dilaporkan pada
60% dan 80% pasien. Dalam sebuah studi pasien dengan polineuropati, termasuk
SGB, 80% dari pasien mengeluh kelelahan. Gejala kelelahan ini independen dari
keparahan kelemahan selama fase awal SGB dan mungkin menetap bertahun-tahun.
Amantadine tidak efektif untuk menghilangkan kepenatan setelah SGBS. Program
pelatihan intensif, tiga kali seminggu dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik, dan
menurunkan skor kelelahan secara signifikan. Program fisioterapi juga dinilai baik
dalam meningkatkan keluaran fungsional, dan kualitas hidup. Dari sudut pandang
yang lebih holistik, perubahan kelelahan, mobilitas dan fungsi dirasakan tampaknya
tidak dipengaruhi oleh perubahan fisik. Kombinasi faktor fisik dan psikologis
tampaknya untuk menentukan terjadinya kelelahan setelah SGB.14,18

21
2.16. PROGNOSIS
Prognosis SGB sulit untuk diprediksi pada pasien karena bervariasi. Usia
lanjut umumnya menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Tingkat keparahan SGB
tampaknya ditentukan pada tahap awal penyakt. Suatu RCT yang telah menyelidiki
efek IVIg atau PE pada pasien yang tidak dapat berjalan dan menyimpulkan bahwa
sekitar 20% pasien tetap dapat berjalan tanpa bantuan setelah 6 bulan. Penilaian
neurofisiologis juga diperlukan untuk membantu untuk menilai risiko kegagalan
pernapasan, yang tertinggi pada pasien dengan penurunan kapasitas vital lebih dari
20% . Studi blok konduksi saraf Peroneal pada usia di atas 40 tahun adalah prediktor
independen kecacatan pada 6 bulan. Sekitar 95 % pasien SGB dapat bertahan hidup
dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti
dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.3,10
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian pada 5% pasien, yang disebabkan
oleh gagal napas dan aritmia.2,3 Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu
setelah gejala pertama kali timbul 3. 3 % pasien dengan SGB dapat mengalami relaps
yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.12 75% pasien terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:
a. pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun

BAB III

22
KESIMPULAN

a. SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
simetris yang bersifat ascenden yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, saraf otonom, hingga
nervus kranialis.
b. Hingga saat ini penyebab SGB masih belum diketahui secara pasti, namun
sebagian besar berkaitan dengan adanya proses infeksi yang terjadi sebelum
gejala SGB muncul.
c. Manifestasinya dapat berupa nyeri, kelemahan motorik, kelemahan sensorik
hingga gangguan otonom hingga dapat menyebabkan gagal nafas.
d. Pemeriksaan penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre adalah pemeriksaan
LCS, EMG dan MRI.
e. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator
spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12 %
tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama
muncul. 20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.
f. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati
komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya.
Hingga saat ini para peneliti masih mencari alternatif terapi yang paling tepat
dan pilihan terapi yang paling efektif saat ini adalah dari Plasma Exchange
(PE) dan Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg).

DAFTAR PUSTAKA

1. Zhong M, Cai F. Current perspectives on Guillain-Barré syndrome. World J


Pediatr 2007;3(3):187-194

23
2. Hughes CA. Pathogenesis and treatment of inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. Acta neurol. belg., 2000, 100, 167-170
3. Walling A, Dickson G. Guillain-Barré Syndrome. AAFP.2013.(87).3: 166-97
4. McClellan, K., Armeau, E., Parish, T. Recognizing Guillain-Barré Syndrome in
the Primary Care Setting. The Internet Journal ofAllied Health Sciences and
Practice. Jan 2007,(5):1
5. Phitadia A, Kakadia N. Guillain-Barré syndrome (SGB). Pharmacological report.
2010. 220-232
6. Yuki N, Hartung HP. Guillain–Barré Syndrome. N Engl J Med 2012;366:2294-
304.
7. Malgorzata QW, Georgios M,Sijan Wang, James S. Malter, Andrew J. Waclawik.
Plasma Exchange After Initial Intravenous Immunoglobulin Treatment in
Guillain-Barre´ Syndrome: Critical Reassessment of Effectiveness and Cost-
Efficiency. J Clin Neuromusc Dis 2010;12:55–61
8. Pieter A, Liselotte R, Bart C J. Clinical features, pathogenesis, and treatment of
Guillain-Barré syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939–50. Available from URL:
www.thelancet.com/neurology Vol 7 October 2008 [ cited on April 23th 2015]
9. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :
URL: http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.
[diakses tanggal 24 April 2014].
10. Meena A. K., Khadilkar S. V. Murthy J. M. K.Treatment guidelines for
Guillain–Barré Syndrome. Ann Indian Acad Neurol. 2011; 14. S73–S81.
11. Walling A D. Adjunctive steroid therapy for guillain-barré syndrome. Am fam
physician. 2004 ;70(6):1157-1161.
12. Winer JB. Treatment of Guillain-Barre´ syndrome. Q J Med 2002; 95:717–721
13. Cortese I, Chaundry V, So YT, Cantor F, Comblath DR. Evidence-based guideline
update: Plasmapheresis in neurologic disorder. Neurology. 2011. 294-302
14. Khan F, Amatya B, Brand C, Turner-Stokes L. Multidisciplinary care for Guillain-
Barré syndrome (Review). Cochrane Library 2010
15. Richard A,Hughes C,Anthony V. Swan,Jean-Claude R,Djillali A, Rinske Konings.
Immunotherapy for Guillain-Barre syndrome:a systematic review. Brain (2007),
130, 2245-2257

24
16. Berncl C, Hans-Peter H. Guillain Barré syndrome and chronic inflammatory
demyetinating polyradicutoneuropathy. Neuroimmunology. 2003
17. Nachamkin I, Mishu I, Ho T. Campylobacter species and guillain-barre´
syndrome. Clinical microbiology reviews, 1998, 555–567
18. Fokke C, Berg, Drenthen J, Walgaard C, Doorn P. Diagnosis of Guillain-Barre´
syndrome and validation of Brighton criteria. Brain 2014: 137; 33–43

25

Anda mungkin juga menyukai