Anda di halaman 1dari 28

SOAL DAN JAWABAN

ULANGAN AKHIR SEMESTER (UAS)


ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Dosen Pengampu :
DR. H. Siswadi, M.Ag

Disusun Oleh :
Siswogo (191765023)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2019
SOAL
ILMU PENDIDIKAN ISLAM

1. a. Deskripsikan perbedaan dan persamaan metode dan strategi pendidikan


Islam.
b. Metode dan strategi apa yg paling tepat untuk pendidikan Islam saat ini.
2. Jelaskan 3 peta lingkungan pendidikan Islam Ki Hajar Dewantara kaitannya
dengan pendidikan Islam saat ini.
3. Jelaskan kurikulum pendidikan Islam yg tepat untuk saat ini.
JAWAB
1. a. Perbedaan dan persamaan metode dan strategi pendidikan Islam.
 Metode berasal dari Bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau
jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka, metode
menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Fungsi metode berarti
sebagai alat untuk mencapai tujuan, atau bagaimana cara melakukan
atau membuat sesuatu. adalah cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Dalam konteks pendidikan Islam, dapat diartikan cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan pendidikan Islam.
 Strategi berasal dari kata Yunani strategia yang berarti ilmu perang
atau panglima perang. Berdasarkan pengertian ini, maka strategi
adalah suatu seni merancang operasi di dalam peperangan. Strategi
mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak
dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.1 Di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian strategi yaitu ilmu

1
Abuddin Nata, Prespektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), cet. II, hlm. 206.
dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa untuk
melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai, ilmu
dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam
perang dan kondisi yang menguntungkan, rencana yang cermat
mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus dan tempat yang
baik menurut siasat perang.2 Jadi, strategi digunakan untuk
memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan.
Dalam konteks pendidikan Islam, dapat diartikan sebagai ilmu dan
seni pendayagunaan dan penggunaan potensi dan sarana yang ada di
dunia pendidikan Islam seperti pendidik, tenaga pendidikan, peserta
didik, sarana prasarana, kurikulum, dan lain-lain untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi dalam rangka mencapai sasaran dan tujuan dari
pendidikan Islam itu sendiri.

Dari penjelasan tentang pengertian metode dan strategi pendidikan


Islam itu, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa keduanya
memiliki tujuan akhir yang sama yaitu tercapainya tujuan
pendidikan Islam. Perbedaannya, metode pendidikan Islam lebih
bersifat prosedural, yaitu berisi tahapan-tahapan tertentu dalam
bentuk kegiatan nyata dan praktis, sedangkan strategi pendidikan
Islam harus mengandung penjelasan tentang metode yang akan
digunakan (yang dipilih) selama proses pendidikan berlangsung.
Dengan perkataan lain, strategi pendidikan mengandung arti yang
lebih luas dari metode. Artinya metode pendidikan merupakan
bagian dari strategi pendidikan.
b. Metode dan strategi apa yg paling tepat untuk pendidikan Islam saat
ini.
 Kalau melihat beberapa prinsip pendidikan Islam yang tergambar di
dalam ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits, maka dapat ditarik

2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 1340.
banyak metode pendidikan yang tidak bertentangan dengan metode-
metode modern yang diciptakan para ahli pendidikan saat ini. Menurut
Abudin Nata Al-Qur’an menawarkan berbagai metode pendidikan
Islam yaitu Pertama metode teladan. Metode ini dianggap penting
karena aspek agama yang terpenting adalah akhlak yang termasuk
dalam kawasan afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku ;
Kedua metode kisah-kisah. Kisah atau cerita sebagai suatu metode
pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan.
Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu,
dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan; Ketiga
metode nasehat. Menurut al-Qur’an metode nasehat itu hanya
diberikan kepada mereka yang melanggar peraturan dan nasehat itu
sasaranya adalah timbulnya kesadaran pada orang yang diberi nasehat
agar mau insaf melaksanakan ketentuan hukum atau ajaran yang
dibebankan kepadanya; Keempat metode pembiasaan. Metode
pembiasaan ini digunakan untuk mengubah seluruh sifat-sifat baik
menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu
tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga dan tanpa
menemukan banyak kesulitan; Kelima metode hukum dan ganjaran.
Metode hukuman ini digunakan dalam pendidikan Islam adalah
sebagai sarana untuk memperbaiki tingkah laku manusia yang
melakukan pelanggaran dan dalam taraf sulit untuk dinasehati
sementara ganjaran itu diberikan sebagai hadiah atau penghargaan
kepada orang yang melakukan kebaikan atau ketaatan atau berprestasi
yang baik; Keenam metode ceramah (khutbah). Metode ceramah
termasuk cara yang paling banyak digunakan dalam menyampaikan
atau mengajak orang lain mengikuti ajaran yang telah ditentukan;
Ketujuh metode diskusi.Metode diskusi digunakan dalam pendidikan
Islam adalah untuk mendidik dan mengajar manusia dengan tujuan
lebih memantapkan pengertian dan sikap pengetahuan mereka
terhadap sesuatu masalah; Kedelapan metode lainya yaitu metode
perintah dan larangan, metode pemberian suasana, metode secara
kelompok, metode intruksi, metode bimbingan dan penyuluhan,
metode perumpamaan, metode taubat dan ampunan dan metode
penyajian.3
Keseluruhan metode tidak ada yang lebih baik dari yang lain.
Hanya saja kemampuan pendidik dalam memilih dan menggunakan
metodeyang sesuai konteks dan tujuan yang ingin dicapailah yang lebih
penting untuk diperhatikan dan tentunya dilatih terus menerus sehingga
menjadi mumpuni.
 Berikut strategi yang menurut penulis tepat sebagai upaya memajukan
pendidikan Islam.
1) Strategi pertama, pengembangan guru. Ini hal utama yang perlu
dilakukan. Bila guru hebat, maka sekolah, siswa, dan lingkungan
pun juga akan hebat. Seorang guru dapat berperan penting dalam
membuat suasana belajar di sekolah menjadi menyenangkan.
Mengapa begitu? seorang siswa akan menyukai satu mata pelajaran
bukan karena buku teks mata pelajaran, melainkan sosok seorang
guru yang dapat membawakan suasana menyenangkan dalam
proses belajar mengajar. Untuk itu, para guru lakukanlah hal yang
mulia, jadilah guru yang inspiratif. Dengan begitu siswa dan
masyarakat akan menghormati.
2) Strategi kedua dalam mengembangkan pendidikan adalah
memperkuat peran orang tua siswa. Orang tua itu adalah pendidik
terpenting yang paling tak tersiapkan. Hal ini tidak boleh terjadi
dalam dunia pendidikan, karena orang tua adalah yang utama
dalam pembentukan karakter seorang anak. Oleh sebab itu orang
tua harus diperkuat perannya, dan dapat terlibat dalam proses
pendidikan.

3
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, Cet. I, 1997),
hlm., 95 -107.
3) Strategi terakhir adalah melibatkan para siswa sebagai upaya
menciptakan suasana yang menyenangkan dalam proses belajar
mengajar. Para pemangku kepentingan di bidang pendidikan perlu
bertanya kepada para siswa mengenai proses belajar seperti apa
yang diinginkan. Hal tersebut penting dilakukan, karena siswa yang
menjalankan proses belajar. Proses belajar yang baik bukan
menginstalasi materi kepada siswa, melainkan menumbuhkan
seluruh potensi yang ada pada siswa.

2. Jelaskan 3 peta lingkungan pendidikan Islam Ki Hajar Dewantara


kaitannya dengan pendidikan Islam saat ini.
Jawab:
3 peta lingkungan pendidikan Islam Ki Hajar Dewantara dikenal
dengan istilah Tri Pusat Pendidikan. Tripusat pendidikan yang
dimaksudkan disini adalah lingkungan pendidikan yang meliputi “pendidikan
di lingkungan keluarga, pendidikan di lingkungan perguruan/sekolah, dan
pendidikan di lingkungan masyarakat/pemuda”.4
a. Lingkungan Keluarga
Pelaksanaan fungsi keluarga sebagai lingkungan pendidikan ini
merupakan realisasi dari salah satu tanggung jawab yang harus dipikul
orang tua. Karena mereka yang paling bertanggung jawab atas pendidikan
anakanaknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. At-
Tahriim (66): 6 yang berbunyi:
‫شدَا ٌد ََل‬ ٌ ‫علَ ْيهَا َم ََلئِكَةٌ ِغ ََل‬
ِ ‫ظ‬ َ ‫اس َوا ْل ِحج‬
َ ُ‫َارة‬ ً َ‫س ُك ْم َوأ َ ْه ِلي ُك ْم ن‬
ُ َّ‫ارا َوقُو ُد َها الن‬ َ ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا قُوا أ َ ْنف‬
َ‫َّللاَ َما أَ َم َر ُه ْم َويَ ْفعَلُونَ َما يُؤْ َم ُرون‬
َّ َ‫صون‬
ُ ‫يَ ْع‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.(At-Tahrim: 66/6)

4
Fudyartanta, Buku Ketaman Siswaan, (Yogyakarta: tp. 1990), hal.39
Dalam tafsir Al-Misbah, ayat diatas memberikan tuntunan kapada
kaum beriman bahwa: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri
kamu, antara lain dengan meneladani Nabi dan peliharalah juga keluarga
kamu yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada di bawah tanggung
jawab kamu dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua
terhindar dari api neraka.5
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kepada
para orang tua untuk memelihara keluarganya, karena pendidikan harus
bermula dari rumah yaitu dengan memberi pendidikan, bimbingan,
perhatian dan perlindungan. Disinilah letak tanggung jawab orang tua agar
tidak melalaikan tugasnya dalam mendidik dan memberikan tuntunan
kepada anak-anaknya. Selain itu, orang tua juga harus mampu memberikan
pengawasan terhadap anak sampai anak benar-benar mampu dan mandiri,
karena anak merupakan amanat Allah yang kelak akan dimintai
pertanggung jawaban atas kependidikannya.
Selain itu, melihat peranan ibu terhadap pendidikan anak dalam
keluarga sangat penting. Perkembangan watak anak tergantung pada besar
kecil dan baik buruknya pengaruh yang ditanamkan oleh para ibu. Adapun
gambaran peranan seorang ibu sesuai dengan fungsi dan tanggung
jawabnya dalam pendidikan anak-anaknya dapat disimpilkan sebagai:
1) Sumber dan pemberi rasa kasih sayang
2) Pengasuh dan pemelihara
3) Tempat mecurahkan isi hati
4) Pengatur kehidupan dalam rumah tangga
5) Pembimbing hubungan pribadi
6) Pendidik dalam segi-segi emosional.6
Demikian pula peranan seorang ayah terhadap pendidikan anak
anaknya sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap dan tingkah laku
mereka. Oleh karena itu, apa dan bagaimana tingkah laku yang dilakukan
5
M. Quraish Shihab, Tafsir AL-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 327
6
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Karya,
1985), hal. 91
oleh seorang ayah akan berpengaruh pula pada tingkah laku anak-anak.
Jika kita amati lebih lanjut, maka gambaran fungsi dan tanggung jawab
seorang ayah terhadap pendidikan anak-anaknya dapat disimpulkan,
sebagai sumber kekuasaan di dalam keluarga, penghubung intern keluarga
dengan masyarakat atau dunia luar, pemberi rasa aman bagi seluruh
anggota keluarga, pelindung terhadap ancaman dari luar, hakim atau
mengadili jika terjadi perselisihan, dan pendidik dari segi-segi rasional.7
Maka dari itu, dapat dikatakan keluarga sebagai kesatuan hidup bersama
yang pertama dikenal oleh anak, karena itu disebut Primary Community,
maka pendidikan keluarga berfungsi untuk:
1) Pengalaman pertama masa kanak-kanak
2) Menjamin kehidupan emosional anak
3) Menanamkan dasar pendidikan moral/akhlak
4) Memberikan dasar pendidikan sosial
5) Peletakan dasar-dasar keagamaan.8
Pendidikan lingkungan keluarga akan memberikan dua kontribusi penting
terhadap perkembangan anak yaitu: pertama, penanaman nilai dalam
pengertian pandangan hidup yang nantinya akan mewarnai perkembangan
jasmani dan akalnya. Kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi dasar
bagi kemampuannya menghargai orang tua, guru, pembimbing serta orang
yang telah membekalinya dengan pengetahuan. Apabila kedua unsur
ditransfer dengan baik maka ia akan menjadi dasar anak untuk bisa
melanjutkan ke pendidikan sekolah dengan baik karena di dalam dirinya
telah tertanam rasa hormat dan penghargaan kepada guru dan ilmu
pengetahuan.9
b. Lingkungan Perguruan/Sekolah

7
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis…, hal. 91-92
8
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005),
hal. 34
9
Juwariyah, Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al Qur’an, ( Yogyakarta : Teras, 2010),
hal. 82
Sekolah yang merupakan pelengkap pendidikan keluarga ini,
memiliki peran dan fungsi pendidikan sekolah yang sangat penting
sesudah keluarga. Menurut Muhammad Athiyah al Abrasyi yang dikutip
dalam bukunya HM. Djumransyah, pendidikan sekolah berfungsi untuk
membantu keluarga menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada anak-anak
yang berhubungan dengan sikap dan kepribadian mulia serta pikiran yang
cerdas sehingga nantinya akan menjadi anggota masyarakat yang
bermanfaat sesuai dengan tuntutan dan tata laku masyarakat yang berlaku
seiring dengan tujuan pendidikan seumur hidup.10
Menurut Young pai dalam Arif Rohman paling tidak, ada dua
fungsi utama pendidikan sekolah (primary function of shcool) yaitu;
sebagai instrumen untuk mentranmisikan nilai-nilai sosial masyarakat (do
transit society values) dan sebagai agen untuk transformasi sosial (do The
agent of Social transform).11 Namun, jika kita menengok kembali ke
konsep pendidikan islam fungsi utama lembaga pendidikan sekolah adalah
sebagai media untuk merealisasikan pendidikan berdasarkan akidah dan
syariat islam demi terwujudnya penghambaan diri kepada Allah, sikap
mengEsakan serta pengembangan setiap bakat dan potensi manusia sesuai
firtahnya (bertauhid) sehingga manusia akan terhindar dari penyimpangan
yang tidak dibenarkan agama.12
Selain itu, adapun fungsi sekolah sebagai pendidikan formal
adalah, sebagai berikut:
1) Membantu mempersiapkan anak-anak agar menjadi anggota masyarakat
yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dan keahlian yang dapat
digunakan dalam hidupnya.
2) Membantu mempersiapkan anak agar menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah hidupnya.

10
HM. Djumransjyah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam Menggali
Tradisi Mengukuhkan Eksistensi, (Malang: UIN Makang Press, 2007), hal. 93
11
Arif Rohman, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. (Yogyakarta: Laksbang
Mediatama, 2011), hal. 201.
12
Juwariyah, Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al Qur’an…, hal. 84
3) Meletakkan dasar-dasar hubungan sosial yang harmoni dan manusiawi
agar anak mampu mewujudkan realisasi dirinya secara bersama di
dalam masyarakat yang dilindungi Allah SwT.13
c. Lingkungan Masyarakat
Pendidikan masyarakat terjadi ketika lepas dari asuhan keluarga
dan berada di luar pendidikan formal atau sekolah. Pendidikan masyarakat
terjadi secara tidak langsung, dalam arti anak mencari pengetahuan dan
pengalaman sendiri, mempertebal keimanan serta keyakinan sendiri akan
nilai-nilai kesusilaan dan keagamaan didalam masyarakat. Masyarakat
turut serta memikul tanggung jawab pendidikan. Masyarakat besar
pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama
para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya.
Pemimpin masyarakat muslim tentu saja menghendaki agar setiap anak
didiknya menjadi anggota yang taat patuh menjalankan agamanya, baik
dalam lingkungan keluarga, anggota sepermainannya, kelompok kelas dan
sekolahnya.14
Di samping para pemimpin, semua anggota masyarakat juga harus
ikut serta memikul tanggung jawab membina dan meningkatkan
pendidikan masyarakat dengan mengajak kepada yang ma‟ruf dan
mencegah yang mun‟kar. Sebagaimana yang tertera dalam Surah Ali
Imran (3): 104, yang berbunyi:
ُ ‫َو ْلتَك ُْن ِم ْن ُك ْم أ ُ َّمةٌ يَ ْد‬
ِ ‫عونَ ِإلَى ا ْل َخي ِْر َويَأ ْ ُم ُرونَ ِبا ْل َم ْع ُر‬
َ‫وِف َويَ ْنه َْونَ ع َِن ا ْل ُم ْنك َِر َوأُولَِئَِكَ ُه ُم ا ْل ُم ْف ِل ُحون‬
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
Menurut pendidikan Islam, konsep pendidikan masyarakat adalah
usaha untuk meningkatkan mutu dan kebudayaan agar terhindar dari
kebodohan. Usaha-usaha tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai
macam kegiatan masyarakat seperti kegiatan keagamaan, sehingga

13
Rulam Ahmadi, Pengantar Pendidikan: Asas dan Filsafat Pendidikan, (Yokyakarta:
ArRum Media, 2014),hal. 195-198.
14
Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hal. 45
diharapkan adanya rasa memiliki dari masyarakat dan akan membawa
pembaharuan dimana masyarakat memiliki tanggung jawab terlebih-lebih
untuk meningkatkan kualitas pribadi ilmu, ketrampilan, kepekaan perasaan
dan kebijaksanaan. Dengan kata lain peningkatan wawasan kognitif,
afektif, dan psikomotorik.15

3. Jelaskan kurikulum pendidikan Islam yg tepat untuk saat ini!


Penulis mengambil penjelasan dari Imam Nawawi sebagai berikut:
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan saat ini, khususnya pendidikan
Islam belum mampu membawa solusi atas problem kemanusiaan yang kian
kompleks. Sementara itu, tantangan-demi tantangan yang sangat destruktif
datang bak banjir bandang.
Kondisi ini menjadikan umat Islam “lupa” dengan keunggulan konsep
ajarannya, yang secara historis terbukti mampu memberikan jawaban segala
macam problema kehidupan. Berbagai upaya memang sudah dilakukan untuk
mengembalikan orientasi umat ini. Akan tetapi secara empiris tidak bisa
dinafikan, bahwa selain disebabkan oleh faktor eksternal, berupa hegemoni
keilmuan Barat, secara internal konsep kurikulum Islam yang sejalan dengan
“amanah” sejarah kenabian Muhammad saw belum menjadi orientasi konstruk
pendidikan masa kini.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh hegemoni Barat dalam bidang keilmuan
yang dikuatkan dengan hegemoni dalam teknologi, yang selanjutnya
memberikan dampak inferior yang massif bagi umat Islam, tidak terkecuali
mereka yang disebut para cendekiawan atau pakar pendidikan Islam. Apalagi
secara politis, warna kebijakan yang bernafaskan paham kapitalisme dan
liberalisme kian nyata dan menjadi main stream utama di negeri ini.
Sikap inferior inilah yang menjadi satu hambatan besar dalam rekontruksi
pendidikan Islam yang sebenarnya. Pada saat yang sama pandangan saintifik
Barat telah mengakar dalam budaya akademis pendidikan di Indonesia.

15
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Intrepetasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hal.
228-230.
Akhirnya solusi-solusi yang ditawarkan untuk menjawab tantangan kekinian,
selalu bersumber dari analisa teknis yang sangat temporer dan rentan dengan
perubahan yang tak bisa dipastikan. Selain itu pendidikan tidak lagi bertujuan
melahirkan ulama, pemikir, tetapi beralih fungsi menjadi komoditi sosio-
ekonomis yang sangat pragmatis.
Seperti yang selama ini berkembang di Republik Indonesia. Isu
kemandirian, dalam artian kemampuan untuk eksis secara finansial menjadi
perhatian utama para pemangku kebijakan, dalam hal ini pemerintah.
Pendidikan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan sosio-ekonomis
semata pun menjadi satu yang niscaya bagi Indonesia. Agar dapat diterima
berbagai pihak, bahasa yang digunakan pun sangat memukau, yakni sumber
daya manusia.
Pemerintah pun terseret pada wacana sumber daya manusia.
Pendidikan tidak lain hanya untuk mencetak generasi pelanjut yang siap
terampil bersaing dalam dunia kerja di kancah global. Padahal secara historis,
pendidikan yang mengarah pada terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja adalah
jenis pendidikan yang dikembangkan negara-negara Eropa (Belanda di
Indonesia) untuk mempertajam kekuatan imperialismenya.
Meskipun demikian, entah sengaja atau tidak, warna kebijakan pendidikan
di tanah air tidaklah bergeser signifikan dari fakta sejarah di atas. Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional misalkan
memberikan penekanan dalam bidang pendidikan hanya pada sumber daya
manusia yang diukur berdasarkan perkembangan negara-negara ASEAN dari
sisi kemampuan hidup (life skill) yang secara kuantitas dan kualitas Indonesia
dinilai mulai jauh tertinggal.
Atas dasar fakta tersebut, mereka berpendapat perlu upaya membangun
pendidikan masa depan yang dirancang guna menjawab harapan dan tantangan
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Sistem pendidikan yang dibangun
tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan prasekolah, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.[1]
Argumentasi di atas dijadikan sebagai salah satu landasan untuk
mewujudkan kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia. Apalagi secara
umum mulai timbul kesadaran kolektif bahwa kesejahteraan bangsa Indonesia
di masa depan bukan lagi bersumber pada sumber daya alam dan modal yang
bersifat fisik, tetapi bersumber pada modal intelektual, modal sosial, dan
kredibilitas sehingga tuntutan untuk terus menerus memutakhirkan
pengetahuan menjadi suatu keharusan.
Mutu lulusan tidak cukup bila diukur dengan standar lokal saja sebab
perubahan global telah sangat besar mempengaruhi ekonomi suatu bangsa.
Terlebih lagi, industri baru dikembangkan dengan berbasis kompetensi tingkat
tinggi, maka bangsa yang berhasil adalah bangsa yang berpendidikan dengan
standar mutu yang tinggi.
Agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan
komperatif sesuai standar mutu nasional dan internasional, kurikulum di masa
depan perlu dirancang sedini mungkin. Hal ini harus dilakukan agar sistem
pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Dengan cara seperti ini
lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program
pembelajarannya terhadap kepentingan peserta didik.
Membaca analisa para pemegang kebijakan yang sangat sederhana ini,
menunjukkan bahwa sejatinya satu hal yang sangat berharga dan perlahan
mulai sirna secara sempurna dari bangsa ini adalah belum hadirnya kesadaran
untuk membangun satu kurikulum pendidikan yang tidak sekedar merespon
keadaan yang rentan dengan perubahan.
Tetapi mampu menghadirkan satu gagasan kurikulum yang
komprehensif, fundamental dan aplikatif dalam kehidupan ini dengan tetap
memprioritaskan aspek akhlak dalam keberlangsungan kehidupan manusia di
berbagai bidang. Tidak saja dalam rangka mampu berkompetisi namun juga
mampu memelihara alam dan mengembalikan pemahaman dasar manusia
tentang arti kehidupan dengan tetap mengindahkan aturan-aturan Allah SWT.
Jika pemangku kebijakan tidak mampu menghadirkan wacana
kurikulum yang secara konsep unggul dari konsep kurikulum yang sifatnya
reaktif yang pada akhirnya hanya sekedar merespon keadaan. Maka
“secanggih” apapun kurikulum yang di desian untuk pendidikan negeri ini,
khususnya bagi umat Islam tidak akan memberikan dampak positif yang
signifikan. Apalagi jika pendidikan hanya menjadi prioritas kepentingan
politis, maka pendidikan tidak akan memberikan hasil yang maksimal.
Seperti yang kita saksikan mulai tahun 2004, sejak Indonesia merdeka,
kita telah mengenal berbagai kurikulum, ada kurikulum 1947, kurikulum
tahun 1950-an, kurikulum tahun 1964, kurikulum tahun 1968, kurikulum
1975, kurikulum 1984, dan kurikulum 1994. Mengapa kurikulum yang satu
diganti dengan kurikulum yang lainnya.
Sampai dengan kurikulum 1984, perubahan kurikulum banyak yang
dipengaruhi oleh perubahan politik. Kurikulum 1964 disusun untuk
meniadakan MANIPOL-USDEK, kurikulum 1975 digunakan untuk
memasukkan Pendidikan Moral Pancasila, dan kurikulum 1984 digunakan
untuk memasukkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
(PSPB). Kurikulum 1994, di samping meniadakan mata pelajaran PSPB juga
diperkenalkannya sistem kurikulum SMU yang dimaksudkan untuk
menjadikan pendidikan umum benarbenar sebagai pendidikan persiapan ke
perguruan tinggi (Hand Out Soedijarto, 2005)
Padahal sesering apapun perubahan kurikulum dilakukan, jika
penyelenggaraan pendidikan disekolah dengan kondisi seperti yang
berlangsung sampai dengan hari ini, dalam pengertian rendahnya kesungguhan
dan kemampuan guru, serta terbatasnya, bahkan tanpa fasilitas serta sarana
dan prasarana yang diperlukan, dengan pengertian waktu yang terbatas, dalam
pengertian model pembelajaran yang tidak lebih dari mendengar, mencatat,
dan menghafal dengan evaluasi hanya mengukur kemampuan mengingat apa
yang telah dipelajari dengan keterbatasan buku bacaan baik untuk guru dan
murid.
Kalau tetap demikian memang segala tujuan itu tidak akan dapat
dicapai. Kalau demikian sesungguhnya tidak perlu kita mengubah kurikulum
bahkan tidak perlu mengubah UU Sisdiknas, karena semuanya tidak dengan
sendirinya dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Keniscayaan Kurikulum Pendidikan Islam Berbasis Historis Kenabian
Kurikulum merupakan inti dari proses pendidikan. Di antara
komponen pendidikan kurikulum merupakan bidang yang paling langsung
berpengaruh terhadap hasil pendidikan (Sukmadinata. 2004). Kurikulum
menjadi sangat urgen karena sifatnya yang sangat menentukan proses dan
hasil suatu sistem pendidikan. Dalam perjalanannya kurikulum juga bisa
berfungsi sebagai media untuk mencapai tujuan sekaligus sebagai pedoman
dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan semua tingkat pendidikan
(Eneng Muslihah, 2010).
Secara empiris, tidak bisa dipungkiri bahwa kurikulum sangat kental
dengan nuansa kebijakan kekuatan politis yang dominan. Perubahan
kurikulum yang selama ini terjadi, selain terhitung cepat juga syarat dengan
berbagai kepentingan. Lebih dari itu kurikulum tidak bisa lepas dari budaya,
cara pandang masyarakat dan tentunya falsafah negara yang diakui seluruh
warga negaranya.
Oleh karena itu, sebagai pendidik Muslim tentu menjadi satu
keniscayaan sejarah untuk dapat mendesain kurikulum pendidikan Islam yang
tidak saja sesuai dengan dustur religius, namun juga mampu menghadirkan
solusi atas berbagai macam problematika kehidupan yang kian kompleks.
Prinsipnya secara akademis, kurikulum setidaknya mencakup empat
kandungan utama. 1) Tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai. 2)
Pengetahuan, ilmu-ilmu, data-data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman dari
mana-mana. 3) Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti
murid-murid untuk mendorong mereka kepada yang dikehendaki dan tujuan-
tujuan yang dirancang. 4) Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam
mengukur dan menilai hasil proses pendidikan yang dirancang dalam
kurikulum. (Hasan Langgulung, 1986: 176).
Beranjak dari keempat aspek utama kurikulum tersebut, maka jika
dikaitkan dengan falsafah pendidikan yang dikembangkan oleh pendidikan
Islam tentu akan menyatu dan berpadu dengan cara Islam itu sendiri yang
secara filosofis mesti disandarkan pada ketentuan dan kaidah pendidikan yang
termaktub di dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah, juga dalam refleksi
sejarah kenabian yang tidak saja ketika Nabi Muhammad resmi menjadi rasul
pada usia 40 tahun. Tetapi juga sejak Nabi Muhammad saw dilahirkan,
tumbuh menjadi anak-anak, remaja, dewasa, menikah dan seterusnya hingga
menerima wahyu pertama di Gua Hira.
Muhammad Fadhil Al-Jamili (Eneng Muslihah, 2010) mengemukakan
bahw, Al-Qur’an Al-Karim adalah kitab terbesar yang menjadi sumber filsafat
pendidikan dan pengajaran bagi umat islam. Sudah seharusnya kurikulum
pendidikan Islam disusun sesuai dengan Al-Qur’an dan ditambah dengan Al-
Hadits yang melengkapinya. Sebab di dalam dua “pusaka” umat Islam itu
telah tersedia kerangka dasar pedoman dan penyusunan kurikulum pendidikan
Islam, yang di antaranya adalah:
1. Sesuai dengan Al-Qur’an bahwa yang menjadi kurikulum ini Pendidikan
Islam adalah “Tauhid” dan haus dimantapkan sebagai unsur pokok yang
tidak dapat dirubah. Pemantapan kalimat Tauhid sudah dimulai semenjak
bayi dilahirkan dengan memperdengarkan lafadz adzan dan iqamah,
seketika saat bayi dilahirkan.
2. Kurikulum inti selanjutnya adalah peintah “membaca” ayat-ayat Allah
yang meliputi tiga macam ayat yaitu:
A. Ayat Allah yang berdasarkan wahyu
B. Ayat Allah yang ada pada diri manusia, dan
C. Ayat Allah yang terdapat di dalam semesta di luar diri manusia
Refleksi Kurikulum Kenabian
Sepintas konsep tauhid dan membaca yang merupakan prinsip dasar
kurikulum dalam pendidikan Islam sangat normatif. Padahal jika dikaji secara
serius lagi mendalam, khususnya terhadap fakta historis yang dialami oleh
Nabi Muhammad saw beserta sahabat-sahabatnya. Dua prinsip di atas tidaklah
dapat dibantah lagi.
Dengan kata lain, tauhid dan membaca, dalam ajaran Islam menjadi
generator kebangkitan yang mengantarkan manusia dari kondisi kejahiliyahan
menuju kondisi yang penuh dengan kebahagiaan dengan naungan kitab suci
Al-Qur’an.
Bisa dibayangkan, apa korelasi perintah membaca pada wahyu pertama
yang diterima Nabi Muhammad saw di Gua Hira dengan solusi praksis
terhadap problem masyarakat jahiliyyah yang jauh dari nilai-nilai bangsa yang
beradab? Cukup sulit untuk dicerna dengan cepat apalagi dengan penalaran
yang sederhana.
Tetapi fakta sejarah jelas merekam bahwa ayat tersebut telah mampu
melahirkan satu kesadaran transendental para sahabat Nabi Muhammad saw
untuk selanjutnya tampil sebagai manusia yang penuh dengan kegairahan
dalam hidup, semangat dalam berjuang, dan energi yang begitu besar untuk
berprestasi.
Kepercayaan diri ini mampu menjadikan komunitas kecil umat Islam
ketika itu bertahan hingga 13 tahun lamanya hidup dalam tekanan politis,
embargo ekonomi, juga tantangan psikologis yang tidak ringan. Pada saat
yang sama secara kolektif mereka mampu menjadikan tradisi belajar sebagai
program prioritas dalam keseharian mereka. Rumah sahabat Arqam bin
Arqam menjadi “madrasah” pertama yang menyaksikan bagaimana prinsip-
prinsip kurikulum dalam pendidikan Islam diterapkan.
Dalam pandangan filosofis, kekuatan manusia dalam memegang
prinsip dan nilai-nilai kebenaran sangat ditentukan oleh kualitas ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Semakin dalam pengetahuan yang dimiliki
maka semakin kokoh keberpihakannya terhadap nilai-nilai yang dianggapnya
benar pada saat yang sama diyakini dan tumbuh kesadaran untuk
mensosialisasikannya. Dengan kata lain, seorang manusia akan benar-benar
kokoh prinsip dan keyakinannya manakala secara teoritis, filosofis dan
praksis, dia memiliki sistem penjelas yang rasional dalam menjawab tantangan
kehidupan yang dihadapi. Walaupun sepintas dia tampak sebagai manusia
yang biasa-biasa saja.
Profil sahabat Nabi Bilal bin Rabbah yang mampu bertahan atas
siksaan majikannya yang begitu kejam terhadap dirinya merupakan bukti
konkrit bahwa penanaman nilai-nilai tauhid dan tradisi membaca memberikan
perubahan mendasar pada cara pandang, keyakinan dan motivasi dalam
menjalani kehidupan. Begitu juga dengan Ali bin Abi Thalib ra yang
selanjutnya tampil sebagai pemuda yang terampil dan ‘alim serta zuhud
terhadap dunia.
Kurikulum kenabian tidak saja mampu membangkitkan jiwa, tetapi
juga berhasil melahirkan para intelektual, cendekiawan, ulama, mujaddid yang
sangat membanggakan. Berawal dari kemenangan gemilang pada saat Perang
Badar, Rasulullah saw menjadikan para tawanan perang yang memiliki
keilmuan, keterampilan dalam berbagai teknik sebagai guru bagi pemuda
Muslim di Madinah yang jika para tawanan tersebut mampu mendidik pemuda
Muslim sekualitas dirinya, maka jaminan bebas dari tahanan menjadi
imbalannya.
Tindakan ini tentu bukan sebatas kesadaran karena secara empiris umat
Islam di Madinah kekurangan sumber daya manusia. Melainkan lebih
didorong oleh landasan wahyu pertama guna menunjukkan kepada umat
manusia bahwa Islam benar-benar sebagai konsep kebenaran yang jika
diterapkan dengan baik dan benar akan mendatangkan kedamaian dan
kesejahteraan dalam kehidupan.
Selain itu tampak sekali sebuah nuansa pendidikan sepanjang waktu
pada komunitas Muslim di Madinah kala itu. Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa para sahabat yang tidak bisa hadir mengikuti kajian
bersama Nabi Muhammad saw pada pagi hari, karena harus beraktivitas, sore
harinya mereka berupaya untuk bisa hadir dalam majelis Nabi yang lainnya.
Sehingga jika ada sahabat yang tidak bisa hadir pada sore hari, mereka
bertanya kepada yang ikut pada sore hari dan sebaliknya yang sore hari
bertanya kepada sahabat yang ikut kajian di pagi hari.
Akhirnya transformasi nilai dan ilmu itu secara kolektif tersampaikan
pada setiap umat Islam kala itu. Waktu dan kesibukan tidak menjadi
penghalang utama untuk mengamalkan ajaran Islam bahwa menuntut ilmu itu
wajib.
Riwayat senada juga dituturkan oleh Syeikh Ahmad bin Hajar. Dia
menuturkan bahwa Rasulullah adalah orang pertama yang menyiarkan
keahlian tulis-menulis. Beliau juga menyiarkan tata cara modern di antara
kaumnya. Contoh yang jelas, beliau telah mewajibkan bagi para tawnan
perang Badar untuk mengajar anak-anak; seorang tawanan mengajar sepuluh
anak. Sehingga banyak anak-anak pada masa itu sudah bisa baca tulis.
Setelah itu, keahlian baca tulis semakin tersiar di antara kaumnya dan
belahan bumi manapun (Syeikh Ahmad bin Hajar terj: M Halabi Hamdy,
2001). Hal ini karena jauh sebelum perintah hijrah atau selama 13 tahun
berada di Makkah umat Islam sudah diperintahkan untuk menuntut ilmu.
Prof. Hamidullah, misalnya, menunjukkan, bahwa kebanyakan ayat-
ayat al-Quran yang berkaitan dengan aspek keilmuan, justru diturunkan di
Mekkah. Berbagai hadith Nabi Muhammad saw menekankan pentingnya
kedudukan ilmu dalam Islam. Para sahabat Nabi juga dikenal sebagai orang-
orang yang haus akan ilmu. Kata Muadh bin Jabal: “Ilmu adalah ketua bagi
amal; amal menjadi pengikutnya.”
Salah satu sabda Nabi saw yang sangat popular adalah: “Menuntut
ilmu adalah satu kewajiban ke atas Muslim dan muslimat.” Budaya ilmu di
dalam Islam memang khas. Konsep pembagian ilmu menjadi “ilmu fardhu
ain” dan “fardhu kifayah”, misalnya, tidak dikenal dalam konsep peradaban
lain. Umur manusia yang terbatas tidak memungkinkan manusia mengejar
semua ilmu. Maka, perlu dipelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Sebab, ujung
dari pengejaran ilmu adalah pengenalan Tuhan dan pengabdian kepada-Nya.
Dalam konteks inilah bisa dipahami makna ayat Quran: ”Hanyasanya
hanya mereka yang berilmu yang takut kepada Allah.” (Wan Daud dalam
Budaya Ilmu, 2007).
Kritik Kurikulum Kontemporer
Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya, kurikulum pendidikan
saat ini secara umum lebih bersifat akomodatif terhadap aspek sosio-ekonomis
dan mengabaikan aspek humanis-religius. Munculnya kurikulum KBK yang
dilanjutkan dengan KTSP menuai banyak kritik. Tidak saja dari praktisi
pendidikan namun juga tidak sedikit dari kalangan pakar pendidikan di
Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan yang berlaku saat
ini telah menafikan aspek transenden manusia sebagai makhluk yang memiliki
dimensi ruhani yang tidak bisa dipisahkan dari konsep ketuhanan atau
keyakinan.
Cukup beralasan jika umat Islam mengakui kemajuan yang signifikan
telah berhasil dicapai oleh peradaban Barat saat ini, khususnya dalam bidang
teknologi. Namun menjadi satu langkah keliru jika sebagai umat yang
memiliki konsep, cara pandang dan sejarah yang gemilang, dengan begitu saja
melupakan rekaman historis, hanya karena kemunduran secara kolektif sedang
melanda umat Islam di hampir seluruh belahan dunia. Sebab jika umat Islam
terseret pada wacana dan cara pandang yang dikembangkan oleh Barat. Secara
otomatis umat Islam telah kehilangan jati dirinya.
Padahal secara filosofis konsep dan cara pandang yang mereka bangun
adalah bentuk kombinasi nilai dan keyakinan yang didasarkan pada aspek
kepentingan dan pengalaman-pengalaman yang subyektif dari berbagai tradisi
bangsa lain dan bangsa mereka sendiri pada masa-masa yang telah lalu.
Pemandangan ini mendorong beberapa cendekiawan Muslim
kontemporer, seperti Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-
Faruqi mengeluarkan gagasan perlunya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan.
Salah satu murid Al-Attas yang begitu konsen dengan konsep Islamisasi Ilmu
Pengetahuan yang dikenal dengan sapaan Wan Daud menjelaskan bahwa
konstruk keilmuan yang berkembang saat ini yang identik dengan
spesialisasinya dinilai tidaklah relevan dengan konsep keilmuan dalam Islam.
Dan, secara empiris konsep spesialisasi ilmu telah melahirkan berbagai
macam masalah baru yang cukup serius.
Wan Daud mengkritik keras konsep “spesialisasi sempit” yang
membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuan bidang-bidang lain. Ia
menekankan perlunya menjelmakan sifat keilmuan yang multi-disciplinary
dan inter-disciplinary.
Spesialiasi yang membutakan terhadap bidang lain, menurut Jose
Ortega Y, filosof Spanyol yang berpengaruh besar selepas Nietszche, telah
melahirkan “manusia biadab baru” (a new barbarian). Tradisi keilmuan dalam
Islam tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti ini. Ilmuan-ilmuwan
Islam dulu dikenal luas memiliki penguasaan di berbagai bidang. Sekedar
contoh untuk dijadikan bukti Fahruddin Al-Razi misalkan, beliau adalah
ulama yang menguasai banyak bidang kajian keilmuan. Beliau ahli kedokteran
yang juga ahli ilmu syari’ah. Beliau ahli fiqh juga ahli dalam ilmu sastra dan
matematika. Dan masih banyak lagi ilmuwan yang serupa bahkan
mengungguli Fahruddin Al-Razi.
Konstruk Kurikulum Masa Depan
Dalam konteks ke-Indonesia-an tidaklah mudah untuk melakukan
konstruk kurikulum pendidikan Islam masa depan. Sebab secara historis,
kekuatan imperialisme Belanda selama tiga setengah abad tidaklah mungkin
dapat dihilangkan begitu saja. Pada saat yang sama, arus liberlisasi dalam
segala bidang sedang menghantam rakyat Indonesia dari segala penjuru.
Namun demikian bukan berarti usaha ini tidak memiliki prospek yang
positif. Perkembangan pendidikan Islam yang mulai menggeliat kini, ternyata
telah dinilai cukup potensial untuk merangsang terjadinya kebangkitan umat
Islam di negara seribu pulau ini.
Kondisi inilah yang menyebabkan umat Islam terbelah dalam beberapa
kelompok yang masing-masing memiliki persepsi sendiri dalam merespon
kondisi kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam.
Bahkan secara filosofis kini telah terbelah pada apa yang disebut dengan
pendidikan sekuler yang pro-Barat dan pendidikan religius fundamental yang
anti-Barat.
Kondisi tersebut sudah lama terjadi dan direspon oleh Natsir dalam
pidatonya saat Rapat Persatuan Islam di Bogor pada tahun 1934. “Seringkali
pula kenyataan, ada yang menganggap bahwa didikan Islam itu ialah didikan
Timur, dan didikan Barat ialah lawan dari didikan Islam. Boleh jadi, ini
reaksi terhadap didikan “kebaratan” yang ada di negeri kita, yang memang
sebagian dari akibat-akibatnya tidak mungkin kita menyetujuinya sebagai
umat Islam. Akan tetapi coba kita berhenti sebentar dan bertanya: “Apakah
sudah boleh kita katakan bahwa Islam itu anti-Barat dan pro-Timur,
khususnya dalam pendidikan?” (Jurnal Peradaban Islam Islamia Vol V no. 1
2009: 80).
Akan tetapi menurut Natsir problem utamanya bukan terletak pada
apakah pendidikan Islam itu pro atau anti Barat dan Timur. Baginya
pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada
kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang
sesungguhnya (Natsir, 1954: 81-82). Bahkan lebih lanjut dia tegaskan bahwa
dasar pendidikan Islam adalah Tauhid, yang tersimpul dalam dua kalimat
syahadat, yang menjadi pokok kemerdekaan dan kekuatan ruhani, dasar dari
kemajuan dan kecerdasan manusia.
Tujuan pendidikan Islam ialah mendidik generasi Islam, agar sanggup
memenuhi syarat-syarat penghidupan manusia sebagai yang tersimpul dalam
kalam Allah wabtaghi fima ata-kallahud-daral akhirata, wa la tansa
nashibaka minad-dunya”…, agar generasi muda dapat mencapai derjat
“hamba Allah”, yang merupakan tujuan tertinggi penciptaan manusia (Natsir,
1954: 105).
Jika dikorelasikan dengan realitas historis kenabian, tidaklah keliru
jika Natsir mengatakan demikian. Karena di tengah ketidakberdayaan umat
Islam kala itu, orientasi dan program prioritas yang digalakkan oleh Nabi
Muhammad saw dalah penanaman aqidah Islamiyyah yang dibangun di atas
dasar-dasar tradisi ilmu yang sangat serius.
Dengan kata lain konstruk kurikulum pendidikan Islam masa depan
harus benar-benar bersandar pada konsep tauhid, tidak dikotomis antara ilmu
umum dan agama serta adaptif terhadap perkembangan zaman yang kian
berkembang.
Dengan demikian maka kurikulum pendidikan Islam akan dapat
melahirkan generasi muslim yang tidak saja cerdas secara kognitif namun juga
‘alim dalam hal religius dan unggul dalam hal kepribadian, khususnya dalam
etika pergaulan dalam kehidupan keseharian.
Selain itu jika benar-benar kurikulum pendidikan Islam yang berbasis
tauhid dapat diimplementasikan ke depan akan lahir generasi Muslim yang
akan memiliki kemampuan memilah, memilih dan mengolah ilmu
pengetahuan yang selanjutnya didesain dan dipersembahkan kepada umat
manusia sesuai dengan ajaran Islam yang tentu tidak saja memberikan manfaat
praktis namun juga ramah dan mampu bersinergis memelihara kelestarian
alam semesta.
Model Kurikulum Pendidikan Islam Masa Depan
Pemaparan di atas telah memberikan gambaran jelas untuk menyusun
kurikulum pendidikan masa depan yang tentunya sangat fleksibel untuk
digunakan baik dalam ranah pendidikan formal, informal maupun nonformal.
Selain itu secara umum kurikulum ini juga mengkategorikan semua unsur
untuk bisa tampil sebagai pendidik yang relevan dengan kapasitas dan
kompetensinya.
Selain itu kurikulum masa depan Islam ini diharapkan juga mampu
menjawab tantangan praksis dalam bidang teknologi misalkan, utamanya
pemanfaatan perkembangan teknologi yang lebih mengarah pada peningkatan
kecerdasan dan tentu tidak sebaliknya seperti yang sering terjadi dan sangat
destruktif.
Usia anak 6 sampai 12 tahun atau jenjang Sekolah Dasar (SD)
Mata pelajaran yang diutamakan di antaranya:
1. Hafalan Al-Qur’an
2. Membaca
3. Menulis
4. Bahasa Arab
5. Olahraga
6. Seni
Enam komponen di atas merupakan dasar pembentukan karakter
secara mental juga secara kepribadian bagi anak-anak. Dalam rentang waktu
usia tersebut kemampuan hafalan Al-Qur’an, membaca, menulis dan
pemahamannya yang baik terhadap bahasa akan memacu dan mempersiapkan
kognitifnya untuk lebih bisa dipacu dalam menerima ilmu-ilmu lain.
Kemudian matapelajaran olahraga dan seni akan membentuk
kepribadian hidup sehat dan indah. Olahraga di sini tentu olahraga yang
melatih konsentrasi dan bukan sekedar olahraga yang membesarkan otot,
meskipun itu juga baik diberikan. Adapun seni adalah seni syair berupa
shalawat, lagu (nasyd) perjuangan, ataupun kemampuan membaca dan
menulis puisi.
Kurikulum di atas sangat memungkinkan untuk melahirkan generasi-
generasi yang mampu menghafal Al-Qur’an. Sebab tidak sedikit ulama besar
tumbuh dari tradisi atau kemampuannya menghafal Al-Qur’an pada usia anak-
anak. Hal ini tidak saja terjadi pada masa ulama salaf saja. Tetapi juga ulama
kontemporer, sebut saja misalkan Sayyid Qutb yang telah menghafal Al-
Qur’an pada usia 10 tahun (Nuim Hidayat, 2005).
Usia 12 – 15 Tahun atau sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama
(SMP)
Mata pelajaran yang diutamakan di antaranya:
1. Pemahaman Al-Qur’an
2. Pemahaman Hadits
3. Matematika
4. Logika
5. Fiqh
6. Teknologi; mulai dari teori, tujuan serta penggunaannya yang sesuai
dengan Islam
7. Sejarah
8. Pengenalan Budaya
9. Ilmu Pengetahuan Alam
Sembilan komponen di atas merupakan kelanjutan materi pendidikan
yang mesti ada dalam kurikulum pendidikan Islam masa depan. Sebab selain
sebagai kelanjutan pembelajaran dan pembentukan karakter generasi muslim
yang baik, sembilan komponen itu diharapkan bisa membekali kerangka
berfikir para murid khususnya ketika berhadapan dengan situasi sosial yang
rentan dengan perubahan dan penerapan norma serta tradisi yang tidak jarang
bertentangan dengan syariat Islam.
Pemahaman terhadap fiqh, sejarah, dan pengenalan ilmu budaya akan
menjadi satu bekal yang penting bagi murid untuk bisa memilah, memilih dan
mengolah informasi dan menilai realitas sesuai dengan idealitas Islam. Selain
itu pemahaman yang lebih lanjut terhadap Al-Qur’an ditambah Hadits
diharapkan akan lebih memacu ke’alimannya dalam bidang ulumuddin dan
lebih percaya diri lagi untuk menilai bahwa yang salah benar-benar salah pada
saat yang sama juga memiliki cita-cita untuk meluruskan keadaan yang keliru
dengan sedini mungkin mewacanakan perlunya konsep-konsep keilmuan yang
relevan dengan ajaran Islam.
Pertanyaannya kemudian mungkinkah seorang anak usia SMP mampu
menjadi sebagaimana diuraikan dalam dua paragaraf di atas? Jika kurikulum
sekarang yang digunakan tentu hal tersebut tidak mungkin. Tetapi dengan
kurikulum yang kami tawarkan, kondisi tersebut tidaklah mustahil bahkan bisa
dibuktikan. Sebagai salah satu bukti seperti yang dialami oleh Ibn Taymiyyah.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai
ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir, hadits dan
bahasa Arab. Kecerdasannya dalam bidang bahasa memungkinkannya untuk
mengkaji musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah
dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Usia 15 – 18 Tahun atau sederajat dengan Sekolah Menengah Atas
(SMA)
Mata pelajaran yang diutamakan di antaranya:
1. Pemahaman Al-Qur’an
2. Pemahaman Hadits
3. Matematika
4. Logika (Filsafat)
5. Tasawuf
6. Fiqh
7. Ushul Fiqh
8. Teknologi; elektro, otomotif, informatika dan teknologi terapan lainnya
9. Sejarah
10. Sosiologi
11. Ilmu Pengetahuan Alam (Kesehatan, Astronomi, Biologi, Kimia,dll)
12. Politik
Dua belas komponen di atas akan memungkinkan murid-murid SMA
lebih mendalami dan mencintai serta kemauan kuat untuk mengamalkan
ajaran Islam. Mereka semakin kuat dengan tradisi ulumuddinnya pada saat
yang sama mereka juga mulai diajak mencerna, menganalisa ilmu-ilmu sosial
kemasyarakatan sekaligus ilmu-ilmu eksak yang bersifat sangat penting dalam
kehidupan ini.
Selain itu dua belas komponen di atas akan memberikan kemudahan
murid-murid mengakses pendidikan atau ilmu yang paling diminatinya pada
jenjang yang lebih tinggi lagi. Sehingga tidak lagi perlu dikhawatirkan secara
berlebihan apabila mereka mengkaji satu ilmu secara khusus akan melupakan
statusnya sebagai muslim atau menanggalkan ilmu lain dengan asumsi yang
keliru. Sebagaimana yang terjadi saat ini, dimana spesialisasi telah melahirkan
manusia super cuek dengan kaidah dan ketentuan keilmuan yang lain.
Usia Dewasa atau setingkat Perguruan Tinggi
Dalam tataran ini seorang murid sudah mampu memilih mana ilmu
yang lebih sesuai dengan kemampuan diri dan minatnya. Oleh karena itu
terkait dengan ilmu apa saja yang dipilihnya tidaklah menjadi masalah. Sebab
pendidikan 12 tahun sebelumnya insyaallah sudah memberikan cukup bekal
baginya untuk tetap istiqomah sebagai muslim yang baik. Pemahaman
terhadap Al-Qur’an dan Hadits akan mengantarkan dirinya tidak saja kuat
secara aqidah dan luhur secara akhlak namun juga kokoh dalam cara pandang
Islam.
Cara pandang Islam inilah yang sejatinya belum tertanam kuat pada
mayoritas murid atau pun mahasiswa di Indonesia. Padahal penanaman cara
pandang ini tidak cukup hanya dengan teori, tapi juga menuntut implementasi
yang serius melalui berbagai ritual pasti yang diwajibkan dalam ajaran Islam.
Jika ini benar-benar dapat diterapkan maka pendidikan Islam masa depan
tidak menutup kemungkinan akan mencapai prestasi gemilang sebagaimana
pernah diraih Khalifah Al-Ma’mun dengan tradisi ilmu dan filsafatnya, juga
zaman para ulama salaf dengan tradisi ‘muddinnya yang dinantikan seluruh
umat manusia.
Demikian juga dengan Indonesia, prediksi Bassam Tibi, intelektual
asal Jerman, Malik Bennabi, cendekiawan asal Al-Jazair, yang menyatakan
bahwa kebangkitan Islam akan lahir dari Indonesia benar-benar bisa
dibuktikan. Insyaallah.

Daftar Pustaka
Ahmadi, Rulam. Pengantar Pendidikan: Asas dan Filsafat Pendidikan,
Yokyakarta: ArRum Media, 2014.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2008.
Drajat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2014.
Djumransjyah, H.M dan Amrullah, Abdul Malik Karim, Pendidikan Islam
Menggali Tradisi Mengukuhkan Eksistensi. Malang: UIN Malang
Press, 2007.
Fudyartanta. Buku Ketaman Siswaan. Yogyakarta: tp. 1990.
Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2005.
Imam Nawawi. Kurikulum Pendidikan Islam Masa Depan. https://abuilmia.
wordpress.com/2013/05/29/kurikulum-pendidikan-islam-masa-
depan/) , diakses tanggal 13 Desember 2019, Pukl 13:56 WIB.
Juwariyah. Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al Qur’an. Yogyakarta : Teras,
2010.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam; Intrepetasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991
Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam I. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, Cet. I,
1997.
__________. Prespektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, cet. II, 2011.
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja
Karya, 1985.
Rohman, Arif. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:
Laksbang Mediatama, 2011.
Shihab, M. Quraish. Tafsir AL-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Anda mungkin juga menyukai