TUJUAN PRAKTIKUM
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui efek dari nilai pH yang
berbeda dan pemanasan terhadap aktivitas enzim, terutama enzim amilase.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Enzim adalah suatu molekul protein yang dapat mengkatalis suatu reaksi kimia. Enzim
merupakan biokatalisator (katalis biologi) bersifat sangat spesifik. Enzim diproduksi oleh
makhluk hidup seperti mikroba, hewan, tumbuhan, dan manusia (Winarno, 1986). Enzim
mempunyai peranan yang sangat penting dalam berbagai reaksi kimia yang terjadi di
dalam sel yang mungkin sangat sulit dilakukan oleh reaksi kimia biasa (Darmajana dkk.,
2008).
Enzim bekerja sangat efektif dalam meningkatkan kecepatan reaksi kimia dibandingkan
dengan kecepatan reaksi tanpa katalis (Poedjiadi dan Supriyatin, 2006). Percepatan reaksi
tersebut terjadi karena enzim menurunkan energi aktivasi sehingga mempermudah
terjadinya reaksi. Enzim akan mengikat molekul substrat lalu membentuk kompleks
enzim substrat yang sifatnya sementara dan kemudian terurai kembali menjadi enzim dan
produknya (Lehninger, 1995).
1
2
Temperatur yang optimum bagi proses enzimatis dilakukan pada temperatur kamar.
Hampir semua enzim memiliki aktivitas secara optimum pada temperatur sekitar 30°C
dan denaturasi dimulai pada temperatur 45°C (Winarno, 1986). Pada suhu 50°C ke atas,
enzim perlahan menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100°C, semua
enzim menjadi rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar menjadi
rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang (Gaman & Sherrington, 1994).
Dalam suatu reaksi kimia, pH untuk suatu enzim tidak boleh terlalu asam maupun terlalu
basa karena akan menurunkan kecepatan reaksi dengan terjadinya denaturasi. Enzim
memiliki pH optimum tertentu, pada umumnya sekitar 4,5 hingga 8. Enzim mempunyai
kestabilan yang tinggi pada kisaran pH tersebut (Williamson & Fieser, 1992).
Spektrofotometer merupakan alat pengukuran absorbsi energi cahaya oleh suatu molekul
pada suatu panjang gelombang tertentu dengan tujuan analisa kualitatif dan kuantitatif.
Spektrofometer sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400 – 750 nm (Rohman,
2007).
3. MATERI METODE
3.1. Materi
3.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah waterbath, spektrofotometer, tabung
reaksi, penjepit, beaker glass, pipet volume, pompa Pilleus, stopwatch, timbangan
analitik, vortex, cawan, kain saring (kain mori), gelas arloji, mortar, dan alu.
3.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah reagen Benedict, larutan buffer pada
pH 4, 7, 10, larutan pati, dan aquades. Bahan utama yang digunakan untuk kelompok 1
dan 2 adalah pisang mentah, kelompok 3 dan 4 adalah nanas mentah, kelompok 5 dan 6
adalah kecambah kacang hijau, kelompok 7 dan 8 adalah pepaya mentah, kelompok 9 dan
10 adalah tempe segar.
3.2. Metode
Pada masing-masing kelompok, bahan utama yang digunakan ditumbuk hingga halus
menggunakan mortar dan alu. Bahan tersebut ditimbang sebanyak 4 gram menggunakan
timbangan analitik, lalu dimasukkan ke dalam beaker glass dan ditambah dengan 10 ml
larutan buffer pH 7. Campuran diaduk hingga rata. Campuran yang terbentuk disaring
dua kali menggunakan kain mori. Filtrat yang terbentuk ditampung dalam erlemenyer.
Untuk kelompok 2, 4, 6, 8, dan 10, filtrat yang ditampung tidak dididihkan. Sedangkan,
untuk kelompok 1, 3, 5, 7, dan 9, filtrat yang ditampung dididihkan menggunakan
waterbath selama 10 menit. Kemudian, 3 buah tabung reaksi disiapkan. Filtrat
dipindahkan ke dalam 3 tabung reaksi dengan ketentuan yag berbeda. Tabung pertama
diisi dengan 2 ml filtrat, 2 ml larutan pati, dan 2 ml aquades. Tabung kedua diisi dengan
2 ml filtrat, 2 ml larutan pati, dan 2 ml larutan buffer pH 4. Tabung ketiga di isi dengan 2
ml filtrat, 2 ml larutan pati dan 2 ml larutan buffer pH 10. Setelah itu, ketiga tabung
dicampurkan dengan cara divortex dan didiamkan ± 1 menit. Kemudian, tabung ditambah
dengan benedict 0,5 ml dan divortex lagi. Kemudian, larutan diukur absorbansi atau
Optical Density (OD) dengan menggunakan spektrofotometer pada λ 620.
3
4. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan dari pengukuran nilai Optical Density dari filtrat bahan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Pada Tabel 1. dapat dilihat nilai OD (Optical Density) filtrat dari bahan yang diukur
dengan menggunakan spektrofotometer. Kelompok ganjil filtrat dididihkan. Kelompok
genap filtrat tidak dididihkan. Kelompok C1 dan C2 menggunakan bahan yang sama yaitu
pisang mentah, tetapi dari data yang diperoleh menunjukkan nilai OD pisang mentah yang
dididihkan (0,9602; 0,8828; 0,5951) lebih tinggi daripada nilai OD pisang mentah yang
tidak dididihkan (0,1597; 0,1705; 0,1606). Kelompok C3 dan C4 menggunakan bahan
yang sama yaitu nanas mentah dan data yang diperoleh menunjukkan 2 nilai OD nanas
mentah yang dididihkan (0,1740; 0,1685; 0,1724) lebih rendah daripada 2 nilai OD nanas
mentah yang tidak dididihkan (0,1921; 0,1946; 0,1445). Kelompok C5 dan C6
menggunakan bahan yang sama yaitu kecambah kacang hijau, tetapi dari data yang
4
5
Pada masing-masing kelompok, bahan utama yang digunakan ditumbuk hingga halus
menggunakan mortar dan alu. Bahan tersebut ditimbang sebanyak 4 gram menggunakan
timbangan analitik, lalu dimasukkan ke dalam beaker glass dan ditambah dengan 10 ml
larutan buffer pH 7. Campuran diaduk hingga rata. Campuran yang terbentuk disaring
dua kali menggunakan kain mori. Filtrat yang terbentuk ditampung dalam erlemenyer.
Untuk kelompok 2, 4, 6, 8, dan 10, filtrat yang ditampung tidak dididihkan. Sedangkan,
untuk kelompok 1, 3, 5, 7, dan 9, filtrat yang ditampung dididihkan menggunakan
waterbath selama 10 menit. Kegunaan dari waterbath dalam praktikum ini adalah untuk
memanaskan larutan hingga mendidih. Kemudian, 3 buah tabung reaksi disiapkan. Filtrat
dipindahkan ke dalam 3 tabung reaksi dengan ketentuan yag berbeda. Tabung pertama
diisi dengan 2 ml filtrat, 2 ml larutan pati, dan 2 ml aquades. Tabung kedua diisi dengan
2 ml filtrat, 2 ml larutan pati, dan 2 ml larutan buffer pH 4. Tabung ketiga di isi dengan 2
ml filtrat, 2 ml larutan pati dan 2 ml larutan buffer pH 10. Setelah itu, ketiga tabung
dicampurkan dengan cara divortex dan didiamkan ± 1 menit. Vortex berguna untuk
mencampurkan larutan di dalam tabung reaksi sehingga menjadi merata. Kemudian,
tabung ditambah dengan benedict 0,5 ml dan divortex lagi. Kemudian, larutan diukur
absorbansinya atau Optical Density (OD) dengan menggunakan spektrofotometer pada λ
620 nm. Spektrofotometer merupakan alat untuk mengukur absorbsi cahaya pada suatu
larutan. Nilai absorbansi dapat menunjukkan besarnya aktivitas enzim.
Praktikum ini menggunakan larutan pati dan larutan buffer pH 4, 7, dan 10. Larutan pati
digunakan sebagai substrat dari reaksi dengan enzim amilase yang terkandung di dalam
bahan makanan. Larutan buffer pH 4, 7, dan 10 digunakan untuk menjaga dan
mempertahankan nilai pH dalam larutan.
Pada praktikum ini, digunakan bahan-bahan makanan tersebut karena bahan tersebut
mengandung enzim amilase. Enzim amilase banyak terdapat dalam bahan makanan
seperti buah-buahan, kecambah, dan bahan makanan lainnya. Enzim amilase mengkatalis
reaksi hidrolisis pati menjadi gula yang lebih sederhana. pH optimum dari amilase
menurut Hopskin Cole dan Green adalah 4,5-4,7.
6
7
Menurut Fox (1991), dalam praktikum ini, larutan enzim yang telah ditetesi dengan
reagen benedict mengalami perubahan warna menjadi biru. Hal ini terjadi karena di dalam
air, amilosa beraksi dengan iodin sehingga memberikan warna biru yang khas. Amilosa
ini terkandung dalam larutan pati. Enzim amilase memecah rantai polisakarida (amilosa)
dari makanan menjadi monosakarida sehingga dapat terserap oleh tubuh.
Aktivitas enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu dan pH. Aktivitas
enzim yang tinggi disebabkan oleh pH larutan yang optimum sesuai dengan enzim dan
suhu optimum yang diperlukan oleh enzim. Pada tabel hasil pengamatan, kebanyakan
nilai OD dari tabung reaksi 2 lebih tinggi daripada kedua tabung reaksi yang lain. Hal ini
disebabkan pH tabung 2 adalah 4, mendekati pH optimum dari enzim amilase.
Sedangkan, pH tabung 1 dan 3 berselisih banyak dengan pH optimum.
Pada Tabel 1. dapat dilihat nilai OD (Optical Density) filtrat dari bahan yang diukur
dengan menggunakan spektrofotometer. Kelompok ganjil filtrat dididihkan. Kelompok
genap filtrat tidak dididihkan. Kelompok C1 dan C2 menggunakan bahan yang sama yaitu
pisang mentah, tetapi dari data yang diperoleh menunjukkan nilai OD pisang mentah yang
dididihkan (0,9602; 0,8828; 0,5951) lebih tinggi daripada nilai OD pisang mentah yang
tidak dididihkan (0,1597; 0,1705; 0,1606). Kelompok C3 dan C4 menggunakan bahan
yang sama yaitu nanas mentah dan data yang diperoleh menunjukkan nilai OD nanas
mentah yang dididihkan (0,1740; 0,1685; 0,1724) dan nilai OD nanas mentah yang tidak
dididihkan (0,1921; 0,1946; 0,1445). Kelompok C5 dan C6 menggunakan bahan yang
sama yaitu kecambah kacang hijau, tetapi dari data yang diperoleh menunjukkan nilai OD
kecambah kacang hijau yang dididihkan (0,2791; 0,3019; 0,2831) lebih tinggi daripada
nilai OD kecambah kacang hijau yang tidak dididihkan (0,1996; 0,2127; 0,1940).
Kelompok C7 dan C8 menggunakan bahan yang sama yaitu pepaya mentah dan data yang
diperoleh menunjukkan nilai OD pepaya mentah yang dididihkan (0,1379; 0,1438;
0,1503) dan nilai OD pepaya mentah yang tidak dididihkan (0,1477; 0,1337; 0,1268).
Kelompok C9 dan C10 menggunakan bahan yang sama yaitu tempe segar dan data yang
diperoleh menunjukkan nilai OD tempe segar yang dididihkan (0,5348; 0,6406; 0,6045)
dan nilai OD tempe segar yang tidak dididihkan (0,5564; 0,6167; 0, 5454).
8
Pada hasil pengamatan di atas, dapat diketahui bahwa nilai absorbansi masing-masing
kelompok berbeda. Nilai OD yang berbeda dipengaruhi oleh suhu dan pH. Enzim pada
bahan makanan yang dididihkan telah mengalami denaturasi karena pada suhu 100°C,
semua enzim akan rusak (Gaman & Sherrington, 1994). Hal ini menyebabkan aktivitas
enzim menjadi sangat berkurang. Nilai absorbansi pada praktikum ini menunjukkan
konsentrasi glukosa dalam larutan yang diuji. Semakin tinggi nilai absorbansi, maka
semakin banyak kandungan glukosa dalam larutan tersebut. Banyaknya kandungan
glukosa dipengaruhi oleh aktivitas enzim. Semakin tinggi aktivitas enzim, semakin tinggi
pula kandungan glukosa sehingga nilai absorbansi cahayanya (nilai OD) menjadi tinggi.
Namun, pada kelompok C1-C2 dan C5-C6, nilai OD bahan makanan yang dididihkan
lebih tinggi daripada bahan makanan yang tidak dididihkan. Hal ini tidak sesuai dengan
pernyataan di atas. Selain itu, nilai OD dari kelompok C9-C10 yang berbahan tempe segar
menjadi nilai yang rata-ratanya paling tinggi dibandingkan nilai OD lainnya. Hal ini
disebabkan oleh mikroorganisme Rhyzopus oryzae yang berkontribusi dalam pembuatan
tempe mensintesis enzim amilase lebih banyak. Sedangkan, pada kecambah, kandungan
glukosa dalam kecambah lebih banyak karena pada saat pertumbuhan, kecambah
membutuhkan energi untuk tumbuh. Maka, nilai OD kecambah juga dapat dikatakan
cukup tinggi dibandingkan bahan makanan yang lain.
volume yang salah, ketidakstabilan warna serta reaksi yang tidak sempurna merupakan
faktor kesalahan lain yang dapat terjadi (Khopkar, 2002).
Enzim dalam bidang teknologi pangan diperlukan dalam proses pembuatan makanan.
Enzim α-amilase digunakan dalam industri minuman beralkohol, hidrolisis pati, dan
pembuatan sirup glukosa. Pada industri hidrolisis pati, enzim α-amilase digunakan untuk
mencairkan pati yang tergelatinasi. Enzim tersebut menurunkan viskositas pati dan
menghidrolisis pati menjadi maltodekstrin. Enzim ini banyak digunakan di industri
minuman seperti pembuatan High Fructose Syrup (HFS) maupun di industri tekstil.
Enzim amilase dapat diproduksi oleh berbagai jenis mikroorganisme terutama dari genus
Bacillus, Psedomonas dan Clostridium. Bakteri potensial yang abad ini banyak digunakan
untuk memproduksi enzim amilase pada skala industri antara lain Bacillus
licheniformis dan B. stearothermophillus. Bahkan penggunaan B. stearothermophillus
lebih disukai karena mampu menghasilkan enzim yang bersifat termostabil sehingga
dapat menekan biaya produksi.
6. KESIMPULAN
(Vanessa Marlie)
16.I1.0176
10
7. DAFTAR PUSTAKA
Fox, P.F. (1991). Food Enzymology Vol 2. Elsevier Applied Science. London.
Gaman, P.M. & K.B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi
dan Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Green, N.P.O., G.W. Stout, D.J. Taylor, R. Soper. (1988). Biological Science 1.
Cambridge University Press. New York.
Khopkar. S.M. (2002). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Lay, Bibiana W. dan Hastowo, Sugyo. (1992). Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Press
Lehninger, A.L. (1995). Dasar-dasar Biokimia. Alih bahasa: Maggy Thewijaya. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Murray R.K., Granner D.K., Rodwell V.W. 2009. Biokimia Harper. Edisi 27. Jakarta:
EGC.
Poedjiadi, A. dan Supriyanti, T. (2006). Dasar-Dasar Biokimia Edisi Revisi. Jakarta: UI-
Press.
Whitaker, J.R. (1994). Principles of Enzymologi for The Food Sciences Second Edition.
Marcel Dekke, Inc. New York.
11
12
Williamson, K. L & L. F. Fieser. (1992). Organic Experiment 7th Edition. D C Health ang
Company. United States of America.
Winarno, F.G. 1986. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
8. LAMPIRAN
13