Anda di halaman 1dari 20

PRESENTASI KASUS

DIGOKSIN:

Peran dan Posisi Pada Terapi Gagal Jantung

Penyaji:

Kgs. M. Andri Akbar

Pembimbing:

dr. Nani Hersunarti, SpJP (K)

DIVISI KARDIOLOGI KLINIK

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

RS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA

2018
Digoksin:
Peran dan posisi pada gagal jantung
Serial kasus

Kiagus Muhammad andri akbar, Nani hersunarti

ABSTRAK

Latar belakang:Lebih dari 200 tahun, digoksin telah digunakan secara luas sebagai salah satu obat
utama kardiovaskular. Digoksin yang berasal dari tumbuhan Digitalis Lanata, digunakan pada gagal
jantung kongestif dan untuk rate control pada fibrilasi atrium.agar dapat menggunakan digoksin dengan
optimal, penting untuk mengetahui berbagai faktor yang memengaruhi keefektifan dan menyebabkan
toksisitas dari penggunaan digoksin

Tujuan: Untuk menyajikan kasus gagal jantung yang mengalami intoksikasi digitalis dan mendiskusikan
mengenai peran dan posisi digoksin pada era kedokteran modern

Ilustrasi kasus:Kami melaporkan 2 contoh kasus gagal jantung yang mengalami aritmia maligna berupa
VT/VF dikarenakan intoksikasi digitalis.Pertama, seorang wanita, 31 tahun dengan gejala gagal jantung,
ddisertai fibrilasi atrium Respon Ventrikular Cepat, yang mengalami intoksikasi digitalis saat perawatan
gagal jantung, mengalami 5 kali kejadian aritmia maligna berupa VT/VF , dan dilakukan resusitasi
jantung paru. Pada kasus kedua, wanita, 33 tahun masuk dengan Gagal Jantung Dekompensata Akut,
disertai fibrilasi atrium respon ventrikular cepat yang diperberat dengan adanya imbalan elektrolit
mengalami kejaddian VT/VF disertai kejang karena intoksikasi digitalis.

Ringkasan: Peran digoksin pada kasus gagal jantung dinilai semakin menurun yang dapat terlihat pada
menurunnya level rekomendasi pada guideline disebabkan tingginya tingkat intoksikasi dan mortalitas
pada studi terbaru.Faktor wanita dan imbalans elektrolit merupakan suatu predisposisi yang harus
dimonitoring.Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi digitalis antara lain pemakaian dosis rumatan
digoksin yang belum tepat dan adanya interaksi dengan obat lain.Penggunaan digoksin pada pasien
dengan gagal jantung harus dilakukan secara hati – hati, dan mempertimbangkan kondisi klinis pasien
secara keseluruhan.

Keywords:Digoksin, gagal jantung, Intoksikasi digitalis, Aritmia

2
Digoxin:
Role and position in Congestive Heart Failure
Serial Case Report

K.M.A. Akbar1, R. Winanti1, A.K. Putri1, E. Zuhri1, M.R. Hendiperdana1, W.Suryawan1,


N. Hersunarti1, R. Soerarso1, B.B. Siswanto1
1
Clinical Cardiology Division, Department of Cardiology and Vascular Medicine
Faculty of Medicine, Universitas Indonesia
National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta
ABSTRACT
Background: For almost 200 years, digoxin has been widely used as one of the main
cardiovascular drugs. Digoxin derived from the plant Lanata Digitalis, is used in congestive
heart failure and for rate control in atrial fibrillation. in order to use digoxin optimally, it is
important to know various factors that influence effectiveness and cause toxicity from the use of
digoxin

Objective: To present serial cases of congestive heart failure with digitalis intoxication and to
discuss the role and position of digoxin in the modern medical eras

Case illustration: We report 2 cases of heart failure with malignant arrhythmias in the form of
VT / VF due to digitalis intoxication. First, a 31-year-old woman with symptoms of congestive
heart failure ec severe mitral regurgitation, moderate to severe mitral stenosis, accompanied by
atrial fibrillation rapid ventricular response, experienced digitalis intoxication during the
treatment of heart failure, experienced 5 times the incidence of malignant arrhythmias in the
form of VT / VF, and performed cardiopulmonary resuscitation. In the second case, the 33-year-
old woman admitted with acute decompensated heart failure e.c severe mitral stenosis, moderate
mitral regurgitation, accompanied by rapid atrial fibrillation of ventricular response worsened
by electrolyte imbalance experienced VT/VF with convulsions due to digitalis intoxication.

Summary:The role of digoxin in congestive heart failure has been decrease as can be seen in
the downgrading level of recommendations in the guideline due to the high rates of intoxication
and mortality in recent studies. Female factor and electrolyte imbalance are a predisposition
that must be monitored. Predisposing factors of digitalis intoxication include improper dosage
of digoxin administration and interaction with other drugs. The use of digoxin in patients with
heart failure should be undertaken cautiously, and taking into account the clinical condition of
the patient as a whole.

Keywords:Digoxin, Congestive heart failure, Digitalis Intoxication,Malignant arrythmia

3
PENDAHULUAN

Lebih dari 200 tahun, digoksin telah digunakan secara luas sebagai salah satu obat utama
kardiovaskular.Digoksin yang berasal dari tumbuhan Digitalis Lanata, digunakan pada gagal
jantung kongestif dan untuk rate control pada fibrilasi atrium.Berdasarkan studi dari Digoxin
Investigator Group (DIG), digoxin memang dapat menurunkan angka hospitalisasi, tetapi tidak
menurunkan angka mortalitas.Hal yang berbeda pada panduan dan bukti terbaru, digoksin tidak
direkomendasikan sebagai lini pertama terapi untuk pasien dengan gagal jantung sistolik. Salah
satu faktor yang mendasari dikarenakan dosis terapeutik yang sempit dan interaksinya dengan
berbagai obat membuat digoksin dengan mudah mencapai level toksik dalam darah. Meskipun
begitu, digoksin masih menjadi salah satu obat yang paling banyak diresepkan dan menjadi
pilihan utama terapi karena harganya murah dan dapat ditoleransi dengan baik.1,2

Angka kematian akibat intoksikasi digitalis memang cenderung turun dengan penurunan
angka penggunaannya, namun karena digoksin masih menjadi salah satu obat yang paling sering
diresepkan, intoksikasi digitalis menjadi hal yang tidak dapat diremehkan.Oleh karena itu, agar
dapat menggunakan digoksin dengan optimal, penting untuk mengetahui berbagai faktor yang
memengaruhi keefektifan dan toksisitas dari penggunaan digoksin.

TUJUAN PRESENTASI

Tujuan dari tulisan ini untuk menyajikan kasus gagal jantung yang mengalami intoksikasi
digitalis dan mendiskusikan mengenai peran dan posisi digoksin pada era kedokteran modern

ILUSTRASI KASUS

Kasus pertama adalah seorang wanita berusia 31 tahun datang ke Unit Gawat Darurat
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) pada tanggal 26 Juni 2018 dengan keluhan sesak
nafas terasa sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sesak nafas memberat dengan
aktifitas sedang, pasien mengaku tidur dengan 2-3 bantal dan sering terbangun malam hari
karena sesak tersebut.Keluhan disertai rasa mual dan ingin muntah, Pasien mengeluhan rasa
berdebar yang terasa begitu pasien ingin tidur dalam 3 hari belakangan.BAB dan BAK dalam
batas normal.Os Merupakan pasien baru RSPJNHK dengan riwayat perawatan di RS Bekasi
dengan keluhan yang sama pada bulan lalu, diakui karena masalah katup.

4
Obat rutin lain yang diminum pasien adalah Furosemid 1x40mg, Spironolakton 1x25mg,
Digoksin 1x0.25mg, Simarc 1x1mg.Pasien tidak memiliki faktor risiko penyakit jantung koroner
OS mengaku tidak memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia atau riwayat penyakit
jantung dari keluarga inti.

Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien berada dalam kondisi compos mentis. Berat
badan 49 kilogram dan tinggi badan 156 cm. Tekanan darah saat datang 88/65 mmHg dengan
nadi 115 – 120 kali per menit dan kecepatan pernafasan 24 kali per menit. Tidak didapatkan
konjungtiva anemis, tekanan vena juguler distensi.Pada auskultasi jantung, didapatkan suara
jantung pertama dan kedua ireguler, terdengar murmur pansistolik intensitas 3/6 tanpa
gallop.Pada auskultasi paru, didapatkan suara nafas vesikuler disertai ronkhi basah halus 1/3
kedua paru tanpa wheezing.Terdapat Asites dan kedua ekstremitas hangat pada perabaan dan
tampak ada edema pada kedua tungkai.

EKG menunjukkan irama Atrial fibrilasi dengan kecepatan QRS 117 kali per menit, QRS
axis kanan, durasi QRS 0.08, dan disertai ventricular extra systole (Gambar 1).

Gambar 1. EKG 12 lead di UGD

Hasil laboratorium menunjukkan adanya gangguan enzim hati, dan ketidaksetimbangan


elektrolit (Tabel 1). Rontgen thoraks menunjukkan rasio kardiothoraks sulit dinilai kesan

5
membesar, segmen aorta dan segmen pulmonal normal, pinggang jantung dan apeks sulit dinilai
dengan ada tanda kongesti, dan efusi pleura bilateral(Gambar 2).

Tabel 1. Hasil Laboratorium UGD


Hemogobin 11.7 CCT 120 Natrium 126
Hematokrit 33.5 GDS 112 Kalium 3.0
Leukosit 6860 SGOT 53 Chlorida 86
Trombosit 183.000 SGPT 18 Calcium Total 2.03
Ureum 23 INR 2.73 Magnesium 2
Creatinin 0.62

Gambar 2.Rontgen Thoraks.

Pasien kemudian dirawat di unit perawatan kardiovaskular intermediate.Ekokardiografi


saat awal di ruang UGD menunjukkan fraksi ejeksi sebesar 61% dengan TAPSE 1.19cm, dengan
adanya regurgitasi mitral berat, stenosis mitral sedang-berat dan regurgitasi trikuspid berat, efusi
pericard dan adanya kecurigaan thrombus di LA.Pasien kemudian kami diagnosa dengan:

- Gagal Jantung Dekompensata Akut pada Regurgitasi Mitral berat, Stenosis Mitral
sedang ec Penyakit Jantung Reumatik
- Fibrilasi Atrium Respon Ventrikular Cepat
- Hiponatremia (126)

6
- Hipokalemia (3.0)
- Regurgitasi Trikuspid berat
- LA thrombus
Pasien kemudian di observasi di UGD, OS diberikan Lasix extra 40 mg dan digoksi
injeksi 0.5mg extra, keluhan perbaikan namun masih ada. Pasien direncanakan dirawat di IWM
dengan pengobatan Lasix drip 5mg/jam, dobutamin drip 5 mcg/Ug/menit, spironolakton
1x25mg, digoksin 1x0.25mg, simarc 1x1mg, dan koreksi elektrolit KCL+25 meq/24 jam. Pada
hari perawatan pertama di intermediate , Pasien mengalami kejang, EKG monitor VT-VF nadi
tidak teraba, perdarahan dari mulut -> lidah tergigit, dilakukan CPR dengan DC shock 200 J 1x,
adrenalin 1x, durasi CPR 4 menit -> Pasien ROSC. Dari tanda vital sensorium kompos mentis ,
tekanan darah 126/76, HR 80-89x/menit, SO2 99%, NRM 10 lpm, pola nafas adekuat. Pasien
kemudian dipindahkan ke ruang perawatan intensif dengan dobutamin drip ditunda.
Pada hari berikutnya pasien tampak gambaran EKG VT/VF dengan nadi pada pasien,
hasil laboratorium K 3.8 dan digoksin level 3.21, pemberian digoksin dihentikan. Observasi
berikutnya pada pasien di hari keempat perawatan, pasien mengalami penurunan kesadaran,
gambaran EKG menunjukkan VT/VF tanpa nadi pada pasien, dilakukan CPR  DC shock 200
joule  pasien ROSC. Kejadian tersebut berlangsung sebanyak 3 kali pada hari yang sama. Pada
pemeriksaan hasil lab didapatkan Magnesium 1.9 dan digoksin level 2.41, pasien diberikan
koreksi magnesium.Pada hari berikutnya pasien diinisiasi beta bloker 1x1.25mg sebagai rate
kontrol.Pasien mendapatkan koreksi elektrolit selama perawatan intensif, pada hari ke-8
perawatan, pasien stabil, tidak ada episode VT/VF pasien kemudian dipindahkan ke perawatan
intermediate. Selama observasi di Intermediate, monitoring elektrolit dan koreksi dilakukan
selama 11 hari di intermediate, kesan stabil pasien dipindahkan ke perawatan biasa dan pulang
pada perawatan hari ke 23.
Kasus kedua adalah seorang wanita berusia 33 tahun datang ke Unit Gawat Darurat Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) pada tanggal 26 Juni 2018 dengan keluhan berdebar
yang terasa semakin sering sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Berdebar dirasakan os saat
istirahat, os juga mengluhkan sesak nafas memberat dengan aktifitas sedang, pasien mengaku
tidur dengan 2 bantal dan sering terbangun malam hari karena sesak tersebut. Keluhan disertai
rasa mual dan ingin muntah.BAK dirasakan semakin sedikit walau sudah minum obat. Os
Merupakan pasien lama RSPJNHK dengan riwayat perawatan di RSPJNHK dengan keluhan

7
yang samadalam 1 bulan terakhir.Os didiagnosa dengan gagal jantung dekompensata akut pada
stenosis Mitral berat dan regurgitasi mitral sedang.

Obat rutin yang diminum pasien Spironolaktone 1x25mg, Concor 1x1,25mg, PMP
2x250mg, Furosemid 1x40mg, Simarc 1x2mg, Ramipril 1x2,5mg. Pasien tidak memiliki faktor
risiko penyakit jantung koroner OS mengaku tidak memiliki riwayat diabetes melitus tipe 2,
dislipidemia atau riwayat penyakit jantung dari keluarga inti.

Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien berada dalam kondisi compos mentis. Berat
badan 47 kilogram dan tinggi badan 150 cm. Tekanan darah saat datang CM TD 146/74 mmHg
dengan nadi 100 – 120 kali per menit dan kecepatan pernafasan 28 kali per menit. Tidak
didapatkan konjungtiva anemis, tekanan vena juguler meningkat.Pada auskultasi jantung,
didapatkan suara jantung pertama dan kedua ireguler, terdengar murmur midiastolik dengan
intensitas 2/4 tanpa gallop.Pada auskultasi paru, didapatkan suara nafas vesikuler disertai ronkhi
basah halus 1/3 kedua paru tanpa wheezing.Pada pemeriksaan abdomen dalam batas normal dan
kedua ekstremitas hangat pada perabaan dan tampak ada edema minimal pada kedua tungkai.

EKG menunjukkan irama Atrial fibrilasi dengan kecepatan QRS 90 – 100 kali per menit,
QRS axis kanan, durasi QRS 0.08, dan tanpa adanya perubahan ST segmen(Gambar 3).

Gambar 3. EKG 12 lead di UGD

8
Hasil laboratorium menunjukkan adanya ketidaksetimbangan elektrolit (Tabel
1).Rontgen thoraks menunjukkan rasio kardiothoraks CTR 60%, segmen aorta normal, Po
normal, kongesti (-), infiltrat (+) (Gambar 4).

Tabel 2. Hasil Laboratorium UGD


Hemogobin 11.6 CCT 98 Natrium 135
Hematokrit 34 GDS 100 Kalium 2.9
Leukosit Chlorida 95
Trombosit Calcium Total 2.03
Ureum 32.6 INR 1.53 Magnesium 1.7
Creatinin 0.79

Gambar 4.Rontgen Thoraks.

Ekokardiografi saat awal di ruang UGD menunjukkan fraksi ejeksi sebesar 60% dengan
TAPSE 1.6cm, dengan adanya regurgitasi mitral ringan, stenosis mitral berat dan regurgitasi
trikuspid berat. Pasien kemudian kami diagnosa dengan:

- Gagal Jantung Dekompensata Akut pada Stenosis Mitral berat, Regurgitasi Mitral
Sedang ec Penyakit Jantung Reumatik
- Fibrilasi Atrium Respon Ventrikular Cepat

9
- Hipokalemia (K 2.9)

Pasien kemudian di observasi di UGD, OS diberikan Lasix extra 40 mg dan digoksi


injeksi 0.5mg extra, keluhan perbaikan namun masih ada. Pasien direncanakan dirawat di IWM
dengan Digoxin 0.5 mg IV extra dilanjutkan dengan Digoxin 1x0,125mg, Furosemid drip
5mg/jam, spironolakton 1x25 mg, PMP 2x250 mg, Ramipril 1x2,5mg

Pada hari perawatan pertama di intermediate ,Pasien mengalami kejang dan bicara pelo.
Pasien dicurigai adanya stroke, dilakukan CT scan kepala dan didapatkan hasil adanya lesi
iskemik. Masih pada hari yang sama, pasien mengalami kejang lagi, dari EKG monitor
didapatkan irama VT/VF tanpa adanya perabaan pada nadi. Dilakukan CPR pasien ROSC, pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan digoksin level 2.97 dan kadar kalium 2.9. Dilakukan
koreksi kalium dan digoksin dihentikan.Pada hari berikutnya hingga hari ke 9 perawatan pasien
kesan stabil, pasien dipindahkan ke perawatan biasa dan pulang pada perawatan hari ke 12.

DISKUSI

INDIKASI DAN MEKANISME KERJA DIGOKSIN

Indikasi penggunaan digoksin antara lain 1) meningkatkan kontraksi miokard untuk


meningkatkan curah jantung pada pasien dengan gagal jantung dan2) menurunkan konduksi
atrioventricular (AV) untuk melambatkan laju ventrikel pada fibrilasi atrium. Dasar kerja dari
dengan cara inhibisi dari Na+,K+-ATPase, peningkatkan konsentrasi natrium intraseluler dan
konsentrasi kalium ekstraseluler yang secara tidak langsung menyebabkan terjadinya disfungsi
dari kanal penukar natrium-kalsium, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi kalsium
intraseluler. Kalsium yang masuk ke retikulum sarkoplasmaakanmenyebabkan kontraksi yang
lebih kuat dan pada akhirnya curah jantung meningkat.3

Pada dosis toksik digitalis, kalsium yang terdapat di reticulum endoplasama semakin
banyak dan terjadi kejenuhanyang menyebabkan terjadinya pelepasan kalsium secara spontan,
kalsium intraseluler menjadi berlebih dan menyebabkan depolarisasi elektrik dalam skala kecil
yang disebut afterdepolarization.Ambang batas sel akan menurun dan memicu re-

10
entry.Afterdepolarization disebut sebagai mekanisme utama dari terjadinya takiaritmia yang
disebabkan oleh digitalis.4

Digoksinjuga memiliki efek langsung dan tidak langsung pada nodus SA dan AV. Pada
dosis terapi, secara tidak langsung akanmeningkatkan aktivitas tonus vagal. Pada dosis toksik,
digoksin memblokade impuls pada nodus SA, mendepresi konduksi melalui nodus AV, dan
sehinggaterjadi oversensitivity nodus SA dan AV terhadap katekolamin.Efek digoksin terhadap
purkinje fiber antara lain menurunkan resting potential, sehingga melambatnya fase 0
depolarisasi dan kecepatan konduksi; kemudian menurunkan durasi potensial aksi; Selain itu
efeknya terjadi peningkatanautomatisasi yang berasal dari meningkatnya kecepatan fase 4
repolarisasi dan terjadi keterlambatanafterdepolarizations. Mekanisme inilah yang menyebabkan
terjadinya manifestasi aritmia paling sering dari intoksikasi digitalis yaitu kontraksi ventricular
prematur. Dapat dilihat pada kasus pertama adanya gambaran PVC yang infrequent.5

GEJALA DAN TANDA

Gejala intoksikasi digitalis pada umumnya tidak spesifik dan terbagi menjadi gejala
kardiak dan non kardiak (sistemik). Gejala non kardiak yang muncul pada lebih dari 80% kasus
adalah mual, kelemahan, anoreksia dan gangguan visual.6 Gejala sistemik lainnya tertera di tabel
3. Pada kedua pasien ini, gejala non kardiak yang terjadi adalah lemas,dan mual muntah

Tabel 3. Gejala Sistemik Intoksikasi Digitalis.4


Secara umum: Lelah, lemas, malaise
Gastrointestinal: mual dan muntah, anoreksia, nyeri perut, diare
Ophtalmologi: Pandangan kabur atau berkabut, photophobia, diplopia, kebutaan sementara
Neurologi: disorientasi, sakit kepala, halusinasi visual dan auditorial, somnolen, aphasia, kejang

Hampir setiap jenis aritmia dan semua derajat blok AV dapat terjadi pada intoksikasi
digitalis. Aritmia yang dapat terjadi oleh intoksikasi digitalisdiklasifikasikan sesuai mekanisme
terjadinya oleh Fisch dan Knoebel (Gambar 5).7

11
Gambar 5. Klasifikasi Aritmia pada intoksikasi digitalis oleh Fisch dan Knoebel. 7
Takiaritmia patognomonik dari intoksikasi digitalis adalah ventrikuler takikardia
bidireksional, suatu tipe VT yang jarang terjadi dimana terdapat pergantian arah pada tiap
gelombang QRS.Pada kedua pasienterjadi episode takiaritmia berupa VT dan tidak teraba
nadi,namun sayangnya hal ini tidak terdokumentasi, setelah dilakukan resusitasi, irama pasien
kembali ke atrial fibrilasi.8,9
Efek digitalis tidak sama dengan intoksikasi digitalis. Intoksikasi digitalis adalah setiap
aritmia dan gangguan konduksi yang disebabkan oleh digitalis, sedangkan efek digitalis merujuk
pada adanya gambaran scooping(Salvador Dali’sMoustache) yang jelas terlihat pada komplek
ST-T, biasanya timbul pada pasien yang mengonsumsi digitalis secara rutin (Gambar 6).

12
Gambar 6.Scooping pada gambaran EKG.9

REKOMENDASI DOSIS DIGOKSIN

Pada literatur disebutkan bahwa dosis bolus pada orang dewasa sebesar 0.5 sampai 1 mg
dan dapat diberikan per oral atau intravena, 10 sementara dari literatur lain disebutkan 0.75mg
sampai 1.5 mg untuk dosis intravena dan untuk dosis oral bervariasi antara 1 sampai 2 mg. Tidak
ada penyesuaian dosis pada pasien dengan insufisiensi renal. Sementara untuk dosis harian yaitu
0.125 sampai 0.25 mg per hari dan diberikan satu kali. Ketika dosis harian 0.125-0.25 mg tidak
dimulai dengan dosis bolus, konsentrasi plasma yang tetap baru akan tercapai 7 sampai 10 hari
kemudian. Untuk penyesuaian dosis harian, aturan 70 dapat digunakan. Dosis digitalis harus
dikurangi sampai 0.125 mg bila ada salah satu hal berikut: umur >70 tahun, berat badan kurang
dari 70 kg, dan level kreatinin di atas 70 µmol/L (0.8 mg/dl). Jika pada pasien terdapat lebih dari
satu faktor, maka dosis harian sebaiknya tidak melebihi 0.0625 mg per hari. 11,12 Pada kedua
pasien ini dosis yang diberikan selama satu bulan terakhir adalah 0.25 mg sebanyak satu kali
sehari, melebihi dosis aman yang seharusnya diberikan pada pasien ini yaitu 0.125 mg per hari
dengan mempertimbangkan berat badan <70 kg.

Dosisbolus padapediatrik ditentukan berdasarkan umur: 20-30 μg/kg untuk bayi


prematur, 25-35 μg/kg untuk bayi aterm, 35-60 μg/kg untuk anak kurang dari 2 tahun. Untuk
umur 2 sampai 5 tahun, dosis bolus per oral 30-40 μg/kg, dan untuk umur 5 sampai 10 tahun,
dosis bolus oral 20-35 μg/kg.Umur lebih dari 10 tahun membutuhkan 10 -15 μg/kg untuk
awalnya.Dosis rumatan untuk pasien pediatrik adalah 25% dari dosis bolus oral untuk mencapai
efek terapeutik yang optimal.13

13
TARGET LEVEL SERUM
Efek terapeutik dari digoksin berada antara 1 dan 2 ng/ml. Gejala intoksikasi biasanya
muncul pada dosis melebihi 3 ng/ml. Target level serum konsentrasi digoksin pada pasien
sebaiknya < 1.0 ng/ml berdasarkan studi oleh Digoksin Investigation Group (DIG), dimana
serum konsentrasi digoksin sebesar 0.5-0.9 ng/mL berkaitan dengan berkurangnya mortalitas dan
angka rehospitalisasi.Pada pasien pertama, level digoksin pada saat terjadinya VT/VF melebihi 3
ng/ml. Level digoksin kemudian turun menjadi 1.16 pada hari ke-8 perawatan. Sedangkan, pada
pasien kedua level digoksin pada saat terjadinya kejang dan VT/VF melebihi 2 ng/ml.7,9

FAKTOR PREDISPOSISI

Terdapat sejumlah faktor yang akan meningkatkan secara signifikan resiko terjadinya
intoksikasidigitalis seperti yang tercantum dalam tabel 4. Pada pasien ini,selain karena
peningkatan dosis harian yang lebih besar dari seharusnya (0.5 mg perhari),ada beberapa faktor
lain yang mempengaruhi yaitu lansia, wanita, insufisiensi renal dan juga adanya interaksi
digoksin dengan obat rutin lain yang semakin meningkatkan resiko terjadinya intoksikasidigitalis
yaitu amiodaron dan diltiazem. Pada kedua kasus diatas, faktor predisposisi terjadinya
intoksikasi yaitu wanita, dan terjadi imbalans elektrolit.

Tabel 4. Faktor-faktor Predisposisi Intoksikasi Digitalis.4


Insufisiensi renal
Penyakit jantung iskemik, penyakit jantung bawaan, gagal jantung kongesti, miokarditis
Imbalans elektrolit: Hipokalemia atau hyperkalemia, hipomagnesemia, hiperkalsemia
Alkalosis
Hipotiroidism
Interaksi obat: Quinidin, amiodaron, eritromicin, verapamil, diltiazem, nifedipine, captopril
Wanita usia lanjut

TATALAKSANA INTOKSIKASIDIGITALIS

14
Hampir setiap jenis aritmia dapat dijumpai pada intoksikasi digitalis, sehingga
tatalaksana bergantung pada jenis aritmia yang muncul, keadaan hemodinamik, dan ada atau
tidaknya gangguan elektrolit.2,14

ANTIDOTUMDIGOKSIN

Antidotum yang tersedia untuk intoksikasi digitalis adalah fragmen antibodi spesifik
digoksin (DSFab), dengan cara kerja mengikat molekul digoksin dalam darah membuat mereka
tidak dapat berikatan dengan pompa Na+/K+/ATPase. Afinitas digoksin terhadap DSFab lebih
besar dari afinitas digoksin terhadap Na+/K+/ATPase, menyebabkan terjadinya gradient
konsentrasi yang mendorong terjadinya efluks yang progresif dari digoksin intraseluler. Indikasi
pemberiannya antara lain: 1) aritmia maligna, seperti ventrikuler takikardia atau fibrilasi,
asistole, total blok AV atau simtomatik bradikardia; 2) tanda terjadi disfungsi organ seperti gagal
ginjal atau perubahan status mental; atau 3) hiperkalemia (>5 sampai 5.5 mEq/L). Kriteria ini
berdasarkan prediktor terjadinya keluaran yang buruk berkaitan dengan intoksikasi akut
digitalis.2,15
Pemberian DSfab kepada pasien efektif pada sekitar 80-90% pasien dan dapat
menghilangkan intoksikasi.Dimana sebagian besar terjadi resolusi dalam waktu 4 jam. 16Pada
kedua kasus, sediaan fragmen antibodi spesifik digoksin tidak tersedia, sehingga penanganan
bergantung sesuai aritmia yang terjadi.

ATROPIN
Atropin digunakan bila terjadi bradiaritmia atau blok AV yang tidak stabil. Dosis standar
(0.02 mg/kg pada anak-anak dengan minimum 0.1 mg; 1 mg IV pada orang dewasa) harus
diberikan.Efek bervariasi terhadap individual, sehingga tidak jarang tidak cukup hanya dengan
obat saja, tidak jarang hingga membutuhkan pacu jantung untuk beberapa individual.4

PAJU JANTUNG
Pasien dengan total AV blok dari intoksikasi digitalis akan membutuhkan paju jantung
semetara selama efek digoksin belum menghilang, terutama pada pasien dengan gejala pingsan,
hipotensi atau gagal jantung. Bila ada fragmen Fab digoksin, sebaiknya tetap digunakan paju
jantung eksternal selama menunggu fragmen Fab memberikan efek, karena pada paju jantung

15
transvena, ada resiko terjadi ventrikuler takiaritmia dari kateter pada miokardium yang menjadi
lebih mudah tersensitasi oleh digoksin.4

KARDIOVERSI
Kardioversi untuk takiaritmia tidak dianjurkan pada intoksikasi digitalis. Jika dirasa
perlu, seperti ketika takidisritmia menyebabkan hipotensi berat, dapat dipertimbangkan
pemberian energi yang lebih rendah yaitu 25 sampai 50 Joule.4,9

FENITOIN
Fenitoin merupakan pilihan medikamentosa dalam terapi takiaritmia atrial dan
ventrikuler yang disebabkan oleh intoksikasi.11Fenitoin dipercaya sebagai obat anti disritmik
yang paling aman dalam mengontrol takiaritmia yang terjadi pada toksistas digoksin. Indikasi
pemberian fenitoin termasuk takiaritmia yang tidak stabil ketika tidak tersedia fragmen Fab dan
takiaritmia yang terjadi saat fragmen Fab sudah diberi tapi belum memberikan efek. 4 Fenitoin
menekan takiaritmia yang terjadi dengan mencegah terbentuknya early afterdepolarization
(EAD), dengan cara memblok arus depolarisasi yang bergantung pada kalsium pada fase plateau
dari aksi potensial membuat terjadinya repolarisasi dari serat purkinje yang terdepolarisasi. Efek
lainnya fenitoin juga menghambat konduksi EAD dari serabut Purkinje ke miokardium sekitar.
Fenitoin secara efektif menghilangkan otomatisasi abnormal yang terjadi karena
delayedafterdepolarization yang dipicu oleh digoksin pada serat Purkinje. Fenitoin tidak berefek
pada kolinergik atau blokadebeta adrenergik dan memiliki efek terhadap hemodinamik yang
minimal.17,18
Untuk mencapai konsentrasi plasma secara cepat, 100 mg feniotin harus diberikan intra
vena setiap 5 menit sampai aritmia terkontrol atau dosis maksimal 1000 mg tercapai. Biasanya,
diperlukan dosis antara 700-1000 mg untuk dapat mengontrol takiaritmia. Untuk peroral, fenitoin
diberikan dengan dosis bolus 1000 mg pada hari pertama, 500 mg pada hari kedua dan ketiga,
dan 300-400 mg per hari setelahnya. Dosis harian dapat diberikan satu kali karena eliminasi
waktu paruh yang panjang.11

MANAJEMEN IMBALANS ELEKTROLIT

16
Pada pasien dengan kecurigaan intoksikasi digitalis, nilai elektrolit harus diperiksa secara
berkala. Konsentrasi kalium yang rendah akan meningkatkan kemungkinan terjadinya aritmia
yang dipicu oleh digoksin, khususnya ventricular ektopi dan atrial takikardia dengan blok. Selain
itu hipokalemia dapat meningkatkan efek digoksin dengan meningkatkan efek pada kardiak
karena adanya kekurangan kalium intraseluler.Selain hipokalemia, magnesium dan kalsium total
yang rendah termasuk faktor yang meningkatkan terjadinya peristiwa intoksikasi digitalis.Pada
kedua pasien diatas, nilai elektrolit selalu dicek berkala dan dilakukan koreksi setiap kali terjadi
imbalans elektrolit.Pada kedua pasien diatas hipokalemia merupakan elektrolit yang berperan
penting atas terjadinya intoksikasi.10,12,18

STUDI ILMIAH MENGENAI DIGOKSIN


Pada studi yang dilakukan oleh Mate Vamos dkk, dengan judul Digoxin-associated
mortality: a systematic review and meta-analysis of the literature. Penggunaan digoksin
dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian, khususnya diantara pasien yang menderita AF.
Berdasarkan analisis yang disesuaikanhasil mortalitas dari semua 19 penelitian yang terdiri dari
326 426 pasien, penggunaan digoxin dikaitkan dengan peningkatan risiko relatif dari semua
penyebab kematian.[Hazard ratio (HR) 1,21, 95% confidence interval (CI), 1,07 - 1,38, P, 0,01].
Dibandingkan dengan subjek yang tidak menerima glikosida, digoxin adalahterkait dengan 29%
peningkatan risiko kematian (HR 1.29; 95% CI, 1.21 hingga 1.39) dalam subkelompok publikasi
yang terdiri dari 235.047 pasien AF. Di antara 91.379 pasien gagal jantung, risiko mortalitas
terkait digoxin meningkat sebesar 14% (HR 1,14, 95% CI, 1,06 - 1,22).19
Pada studi yang dilakukan oleh Ai-Jun Ouyang dkk, dengan judul Meta-
Analysis of Digoxin Use and Risk of Mortality in Patients With Atrial
Fibrillation. Penggunaan digoxin berkaitan dengan risiko kematian yang lebih
besar pada pasien dengan AF, terlepas dari gagal jantung sebagai
penyerta.Dalam propensity-score-matched pasien dengan AF, penggunaan
digoxin dikaitkan dengan risiko 17% lebih besar untuk kematian (rasio
hazard 1,17, 95% interval kepercayaan 1,13 hingga 1,22). Ketika kohort AF
dikelompokkan ke pasien dengan dan tanpa gagal jantung, penggunaan
digoxin dikaitkan dengan peningkatan mortalitas di pasien dengan dan

17
mereka tanpa gagal jantung, dan tidak ada heterogenitas yang signifikan
terlihat antar kelompok (p> 0,10).20
Adapun studi yang dilakukan oleh Alon eisen dkk, pada Digoxin Use
and Subsequent Clinical Outcomes in Patients With Atrial Fibrillation With or
Without Heart Failure in the ENGAGE AF-TIMI 48 Trial, Penggunaan digoxin
berkaitan secara signifikan dengan kematian jantung mendadak.21

RINGKASAN

Telah dipresentasikan 2 contoh kasus gagal jantung yang mengalami aritmia maligna
berupa VT/VF dikarenakan intoksikasi digitalis. Pada kasus pertama didapatkan klinis kejang
dan EKG VT/VF, dimana hasil digoksin level nya 3.21 dan menurun ketika saat rawat jalan di
hari ke -23. Pada kasus kedua, juga didapatkan penurunan kesadaran dan gambaran VT/VF
dengan elektrolit imbalance dan digoksin level 2.4 menurun saat rawat jalan.Peran digoksin pada
kasus gagal jantung dinilai semakin menurun yang dapat terlihat pada menurunnya level
rekomendasi pada guideline disebabkan tingginya tingkat intoksikasi dan mortalitas pada studi
terbaru. Faktor wanita dan imbalans elektrolit merupakan suatu predisposisi yang harus
dimonitoring. Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi digitalis antara lain pemakaian dosis
rumatan digoksin yang belum tepat dan adanya interaksi dengan obat lain. Penggunaan digoksin
pada pasien dengan gagal jantung harus dilakukan secara hati – hati, dan mempertimbangkan
kondisi klinis pasien secara keseluruhan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Kirilmaz B, et al. Digoxin intoxication: An old enemy in modern era. J Geriatr Cardiol.
2012;9(3):237–42.

2. Kanji S, MacLean RD. Cardiac Glycoside Toxicity. More Than 200 Years and Counting.
Crit Care Clin. 2012;28(4):527–35.

3. Bauman JL, DiDomenico RJ, Galanter WL. Mechanisms, manifestations, and


management of digoxin toxicity in the modern era. Am J Cardiovasc Drugs.
2006;6(2):77–86.

4. Ron Walls et al. Rosen’s Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice: 2-Volume
Set [9th ed.]. 2017. p. 1876–89.

5. Lelievre LG, Lechat P. Mechanisms, manifestations, and management of digoxin toxicity.


Hear Metab. 2007;35(2):9–11.

6. Lip GY, Metcalfe MJ, Dunn FG. Diagnosis and treatment of digoxin toxicity. Postgrad
Med J. 1993;69(811):337–9.

7. Yang EH, Shah S, Criley JM. Digitalis toxicity: A fading but crucial complication to
recognize. Am J Med. 2012;125(4):337–43.

8. Chapman M, et al. Bidirectional ventricular tachycardia associated with digoxin toxicity


and with normal digoxin levels. Hear Rhythm. 2014;11(7):1222–5.

9. Goldberger AL, Goldberger Z. Digitalis Toxicity. In: Goldberger’s Clinical


Electrocardiography: Simplified Approach. 8th ed. Saunders; 2013. p. 170–5.

10.. Miller JP, Zipes D. Therapy for Cardiac Arrhythmias. In: Braunwald’s Heart Disease: A
Textbook of Cardiovascular Medicine. 10th editi. Elsevier Saunders; 2015. p. 685–718.

11. Fuster V, Rourke R. Antiarrhythmic Drugs. In: Hurst’s The Heart. 12th Edition. Mc-Graw
Hill; 2007. p. 1148–52.

12. Munger MA, Radwański PB, Van Tassell BW. Digitalis. In: Textbook of Critical Care
[Internet]. 6th Editio. Elsevier Saunders; 2011. p. 1317–21.

13. Pincus M. Management of digoxin toxicity. Aust Prescr. 2016;39(1):18–20.

19
14. Hauptman PJ, Blume SW, Lewis EF, Ward S. Digoxin Toxicity and Use of Digoxin
Immune Fab. Insights From a National Hospital Database. JACC Hear Fail.
2016;4(5):357–64.

15. Aulakh SK. Digoxin overdose. In: Ferri F, editor. Ferri’s Clinical Advisor. 1st edition.
Elsevier Inc; 2016. p. 428.e2–428.e4.

16. Mukhopadhyay S,et al. Phenytoin in treatment of amiodarone-induced Torsades de


pointes. Indian J Pharmacol. 2012;44(2):264–5.

17. Wang LW, et al. Phenytoin: An old but effective antiarrhythmic agent for the suppression
of ventricular tachycardia. Med J Aust. 2013;199(3):209–11.

18. Ewy GA. Digoxin: The art and science. Am J Med. 2015;128(12):1272–4.

19. Vamos M, et al. Digoxin-associated mortality: a systematic review and meta-analysis of


the literature. Eur Heart J. 2015 Jul 21;36(28):1831-8.

20. Ouyang AJ, et al. Meta-analysis of digoxin use and risk of mortality in patients with atrial
fibrillation. Am J Cardiol. 2015 Apr 1;115(7):901-6.

21. Eisen A, et al. Digoxin Use and Subsequent Clinical Outcomes in Patients With Atrial
Fibrillation With or Without Heart Failure in the ENGAGE AF-TIMI 48 Trial. J Am
Heart Assoc. 2017 Jun 30;6(7).

20

Anda mungkin juga menyukai