Anda di halaman 1dari 40

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Fleksibilitas Lumbal pada LBP Miogenik

2.1.1 Definisi LBP miogenik

Definisi nyeri menurut IASP (Internastional Assosiation for the

Study of Pain) adalah suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional

yang tidak menyenangkan akibat dari terjadinya kerusakan jaringan. Nyeri

diartikan sebagai proses normal tubuh dalam mempertahankan jaringan

pada saat terjadi kerusakan. Rasa nyeri dapat menyebabkan terjadi spasme

otot, yang mana adanya spasme otot dapat diketahui dengan cara palpasi

(Pramita, 2014).

Low Back Pain (LBP) merupakan nyeri yang terjadi di daerah

lumbosakral dan sakroiliaka. LBP merupakan nyeri yang dirasakan di

daerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal (inflamasi) maupun

nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri yang berasal dari daerah punggung

bawah dapat dirujuk ke daerah lain atau sebaliknya nyeri yang berasal dari

daerah lain dirasakan di daerah punggung bawah (referred pain) (Halimah,

2011). Daerah yang menjadi penjalaran pada LBP seperti punggung

bagian atas dan pangkal paha (Adhyati, 2011).

LBP dapat berkaitan dengan masalah pada vertebra lumbar, diskus

intervertebralis, ligamentum di antara tulang belakang dengan diskus,


11
12

medula spinalis, dan saraf, otot pada punggung bawah, organ internal pada

pelvis dan abdomen, atau kulit yang menutupi area lumbar (Johannes

2010). Penyebab LBP bervariasi dari yang ringan (misal sikap tubuh yang

salah) sampai yang berat dan serius (misal benturan/ trauma). Salah satu

penyebab yang sering terjadi adalah akibat factor mekanik atau gangguan

pada otot yang disebut dengan LPB miogenik (Pramita, 2014)

LBP adalah suatu sindroma nyeri yang terjadi pada regio lumbal

dengan penyebab yang bervariasi antara lain degenerasi, inflamasi, infeksi,

metabolisme, neoplasma, trauma, konginetal, musculoskeletal, myogenic,

viscerogenik, vaskuler dan psikogenik serta pasca operasi. LBP miogenik

berhubungan dengan gangguan otot di daerah punggung bawah, tendon,

dan ligamen yang bisa timbul pada saat melakukan aktifitas sehari-hari

secara berlebihan, seperti duduk lama, berdiri lama atau mengangkat

beban berat dengan cara yang salah, dimana nyeri bersifat tumpul dan

tidak menjalar ke tungkai (Magee, 2013).

Gangguan yang terjadi pada LBP miogenik yaitu nyeri tekan pada

regio lumbal, spasme otot-otot punggung bawah, sehingga dapat

mengakibatkan ketidakseimbangan antara otot abdominal dan

paravertebrae, yang dapat mengakibatkan terjadinya keterbatasan gerak.

Adanya ketidakseimbangan tersebut akan menyebabkan penurunan

mobilitas lumbal akibat adanya nyeri, spasme dan ketidakseimbangan otot

tersebut, sehingga aktivitas akan terganggu terutama aktivitas yang


13

memerlukan gerak membungkuk dan memutar badan dan lama kelamaan

akan menyebabkan terjadinya lower cross syndrome (Pramita, 2014).

2.1.2 Epidemiologi LBP

Jumlah penderita LBP hampir sama pada setiap populasi

masyarakat di dunia. Hampir 80% penduduk di negara-negara industri

pernah mengalami LBP (Bukit, 2011). Berdasarkan data dari survey yang

di lakukan National Health Interview Survey (NHIS) pada tahun 2009

persentase penderita LBP di Amerika Serikat mencapai 28,5%. Angka ini

berada pada urutan pertama tertinggi untuk kategori nyeri yang sering

dialami (Lailani, 2013).

Data untuk jumlah penderita LBP di Indonesia tidak diketahui

secara pasti, namun diperkirakan penderita LBP di Indonesia bervariasi

antara 7,6% sampai 37% (Lailani, 2013). Dalam penelitian multisenter di

14 rumah sakit pendidikan Indonesia, yang dilakukan kelompok studi

nyeri (pokdi nyeri) PERDOSSI (Persatuan Dokter Saraf Seluruh

Indonesia) pada bulan Mei 2002 menunjukkan jumlah penderita nyeri

sebanyak 4456 orang (25% dari total kunjungan), dimana 1598 orang

(35,86%) merupakan penderita nyeri kepala dan 819 orang (18,37%)

adalah penderita LBP (Johannes, 2010). Selain itu PERDOSSI juga

melakukan penelitian di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002, yang menemukan bahwa proporsi

penderita LBP sebanyak 15,6% pada kelompok umur 18-78 tahun (Nurani,

2014).
14

2.1.3 Etiologi LBP miogenik

Menurut Borenstein dan Wiessel dalam (Pramita, 2014), faktor-

faktor penyebab nyeri punggung bawah dapat diklasifikasikan menjadi 2

kategori, yaitu :

1. Faktor statik

Faktor mekanik statik adalah deviasi sikap atau postur tubuh

yang menyebabkan peningkatan sudut lumbosakral (sudut antara

segmen Vertebra L5 dan Vertebra S1) atau peningkatan lengkung

lordotik lumbal dalam waktu yang cukup lama, serta menyebabkan

pergeseran titik pusat berat badan (center of gravity/CoG), yang

normalnya berada di garis tengah sekitar 2,5 cm di depan segmen

Vertebra S2. Peningkatan sudut lumbosakral dan pergeseran CoG

tersebut akan menyebabkan peregangan pada ligamen dan

berkontraksinya otot-otot yang berusaha untuk mempertahankan postur

tubuh yang normal, akibatnya dapat terjadi sprain atau strain pada

ligamen atau otot-otot sekitar punggung bawah yang menimbulkan

nyeri (Pandono, 2008).

Kemungkinan faktor penyebab statik pada LBP adalah :

a. Pergeseran titik pusat berat badan bergeser ke depan. Adapun yang

dapat menimbulkan pergeseran antara lain :

1) Kebiasaan tubuh yang tidak benar

2) Obesitas dan kehamilan


15

3) Pemendekan tendon achiles akibat terlalu sering memakai

sepatu dengan tumit tinggi

4) Kelemahan otot-otot dinding perut, serta kelainan atau

pemendekan otot-otot pungung

5) Deformitas postural

b. Pergeseran titik pusat berat badan bergeser ke samping

1) Pembentukan kurva bidang frontal

2) Terganggunya ritme lumbal-pelvis

3) Penyimpangan lumbal-pelvis ritme

2. Faktor dinamik

Faktor mekanik dinamik atau kinetik yaitu terjadinya stress

atau beban mekanik abnormal pada struktur jaringan (ligamen atau

otot) di daerah punggung bawah saat melakukan gerakan. Stress atau

beban mekanik tersebut melebihi kapasitas fisiologik atau toleransi

otot maupun ligamen di daerah punggung bawah. Timbulnya nyeri

adalah akibat kelainan pada ritme lumbal pelvis yaitu karena fungsinya

tidak sempurna. Gerakan yang potensial menimbulkan nyeri punggung

bawah muskuloskeletal adalah gerakan kombinasi terutama fleksi dan

rotasi, dan bersifat repetitif, apalagi disertai dengan beban, misalnya

ketika sedang mengangkat beban yang berat (Pandono, 2008).

Menurut Bull dan Archad (2007) faktor resiko pada LBP dapat

dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu faktor eksternal atau pekerjaan

dan faktor internal, yaitu :


16

1. Faktor eksternal atau pekerjaan

Faktor eksternal atau pekerjaan antara lain : (1) pekerjaan fisik

yang berat, yang terutama memberikan tekanan yang cukup besar pada

punggung bawah; (2) pekerjaan yang berhubungan dengan posisi statik

yang berkepanjangan, misalnya berdiri atau duduk yang cukup lama,

apalagi disertai dengan vibrasi atau getaran pada tubuh, misalnya

mengendarai mobil, truk, atau mengoperasikan alat-alat perindustrian;

(3) pekerjaan yang dilakukan dengan gerakan membungkuk atau

memutar tubuh secara berulang-ulang; (4) pekerjaan yang

membosankan, repetitif, atau tidak memberikan kepuasan.

2. Faktor internal

Faktor internal berkaitan dengan individu itu sendiri, antara

lain : (1) usia, dari berbagai studi epidemiologik, kejadian nyeri

punggung bawah meningkat pada usia 35 tahun dan mencapai

puncaknya pada usia sekitar 55 tahun; (2) antropometrik, berhubungan

dengan berat badan, individu dengan obesitas mempunyai resiko yang

lebih besar mengalami nyeri punggung bawah karena obesitas

menyebabkan hiperlordosis lumbal sehingga terjadi pergeseran titik

pusat berat badan ke depan.

2.1.4 Patofisiologi LBP miogenik

Nyeri merupakan pengalaman sensori yang tidak menyenangkan

akibat kerusakan jaringan pada tubuh (Pramita, 2014). Tulang belakang

merupakan struktur yang kompleks, dibagi ke dalam bagian anterior dan


17

bagian posterior. Bentuknya terdiri dari serangkaian badan silindris

vertebra, yang terartikulasi oleh diskus intervertebral dan diikat bersamaan

oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior. Berbagai bangunan peka

nyeri terdapat di punggung bawah. Bangunan tersebut adalah periosteum,

1/3 bangunan luar anulus fibrosus, ligamentum, kapsula artikularis, fasia

dan otot. Semua bangunan tersebut mengandung nosiseptor yang peka

terhadap berbagai stimulus (mekanikal, termal, kimiawi). Bila reseptor

dirangsang oleh berbagai stimulus lokal, akan dijawab dengan pengeluran

berbagai mediator inflamasi dan substansi lainnya, yang menyebabkan

timbulnya persepsi nyeri, hiperalgesia maupun alodinia yang bertujuan

mencegah pergerakan untuk memungkinkan perlangsungan proses

penyembuhan. Salah satu mekanisme untuk mencegah kerusakan atau lesi

yang lebih berat adalah spasme otot yang membatasi pergerakan. Spasme

otot ini menyebabkan iskemia dan sekaligus menyebabkan munculnya titik

picu (trigger points), yang merupakan salah satu kondisi nyeri (Bukit,

2013).

Keluhan utama LBP miogenik adalah adanya nyeri, spasme, dan

keterbatasan fungsional yang berhubungan dengan mobilitas lumbal. Pada

nyeri miogenik, aktivasi nosiceptor umumnya disebabkan oleh rangsangan

mekanik, yaitu penggunaan otot yang berlebihan (Bernard, 2003).

Penggunaan otot yang berlebihan dapat terjadi pada saat tubuh

dipertahankan dalam posisi statik atau posisi yang salah dalam jangka

waktu yang cukup lama, dimana otot-otot di daerah punggung akan


18

berkontraksi untuk mempertahankan postur tubuh yang normal (Pramita,

2014).

Penggunaan otot yang berlebih ini akan menimbulkan iskemia atau

inflamasi sehinga akan terjadi peningkatan berbagai mediator inflamasi

seperti histamine, bradikinin, serotonin, atau 5-hydroxytriptamine (5-HT)

dan prostaglandin E 2 (Meliala dan Pinzon, 2004). Mediator inflamasi

tersebut akan mensensitisasi nociseptor otot, akibatnya otot menjadi lebih

sensitif, stimulasi yang seharusnya tidak menimbulkan nyeri dapat

menimbulkan terjadinya nyeri. Setiap gerakan pada otot dapat

menimbulkan nyeri sekaligus menambah spasme otot. Adanya spasme otot

menyebabkan ketidakseimbangan otot abdominal dan paravertebrae, maka

akan membatasi mobilitas lumbal terutama untuk gerakan membungkuk

(fleksi) dan memutar (rotasi). Nyeri dan spasme otot seringkali membuat

individu takut menggunakan otot-otot punggungnya untuk melakukan

gerakan lumbal, selanjutnya akan menyebabkan perubahan fisiologi pada

otot tersebut yaitu berkurangnya massa otot dan penurunan kekuatan otot,

akhirnya menimbulkan penurunan tingkat fleksibilitas pada lumbal (Hills,

2006).

2.1.5. Tanda dan Gejala LBP miogenik

Tanda dan gejala LBP miogenik adalah ditemukannya nyeri otot

yang dikenal sebagai nyeri miogenik, yaitu nyeri yang tidak wajar yang

tidak sesuai dengan distribusi saraf serta dermatom dengan reaksi yang

sering berlebihan. Nyeri tersebut ditandai dengan adanya nyeri tekan pada
19

daerah yang bersangkutan (triger point), spasme otot punggung bawah,

kehilangan ruang gerak kelompok otot yang bersangkutan (loss of range

motion). Adanya spasme otot daerah lumbosakral, ketidakseimbangan otot

stabilisator dan fiksator trunk, mobilitas dan fleksibilitas lumbosakral

terbatas (Soedomo, 2002).

Pemeriksaan pada kasus LBP meliputi inspeksi (statis dan

dinamis), palpasi, pemeriksaan fungsi gerak dasar (PFGD), dan tes khusus

(test Straight Leg Raising (SLR), test Bragard, test Neri). Pada LBP

miogenik akan didapatkan hasil temuan :

Tabel 2.1 Pemeriksaan LBP Miogenik

Tahap Assesment Jenis Tes Hasil Temuan


Anamnesis Umur, keluhan, lokasi nyeri 1) Lokasi nyeri
pinggang bawah
2) Nyeri pada saat
membungkukkan
tubuhnya
Inspeksi Postur/sikap tubuh, pola 1) Adanya
berjalan penyimpangan
postur akibat
ketegangan otot
(hiperlordosis)
Quick Test Secara aktif melakukan 1) Nyeri tekan dan
fleksi-ekstensi lumbal nyeri gerak pada
Palpasi saat fleksi lumbal
2) Keterbatasan
gerak pada saat
fleksi lumbal
20

Pemeriksaan Fungsi Gerak lumbal secara aktif 1) Nyeri dan


Gerak Dasar (fleksi lumbal, ekstensi keterbatasan
lumbal, lateral fleksi kanan gerak fleksi
dan kiri lumbal), lumbal
Isometrik test
Tes Khusus Palpasi pada area lumbal 1) Terdapat spasme
Tes isometik, straight leg dan nyeri
raising, tes Bragard, tes 2) Tidak terdapat
Neri keluhan
kesemutan
anggota gerak
bawah

2.2 Gangguan Fleksibilitas Lumbal Pada LBP Miogenik

2.2.1 Fleksibilitas lumbal

Fleksibilitas atau sering disebut sebagai kelentukan dapat

didefinisikan sebagai kemampuan dari sebuah sendi dan otot, serta tali

sendi di sekitarnya untuk bergerak dalam ruang gerak maksimal yang

diharapkan dengan leluasa dan nyaman. Fleksibilitas optimal

memungkinkan satu atau sekelompok dari sendi untuk bergerak efisien

(Lutan, 2003).

Fleksibilitas lumbal adalah bidang gerak pada sendi lumbal yang

digunakan untuk menggambarkan range of motion (ROM) yang terjadi

(Sudaryanto, 2011). Ada dua macam fleksibilitas, yaitu :


21

1. Fleksibilitas statis

Fleksibilitas statis ditentukan oleh ukuran dari luas gerak satu

persendian atau beberapa persendian. Fleksibilitas statis terjadi ketika

segmen tubuh secara pasif digerakkan (oleh fisioterapis atau dokter)

sehingga menunjukkan ROM yang ada. Sebagai contoh untuk

mengukur luas gerak persendian tulang belakang dengan cara Modified

Schober Test.

2. Fleksibilitas Dinamis

Fleksibilitas dinamis adalah kemampuan seseorang dalam bergerak

dengan kecepatan yang tinggi. Fleksibilitas dinamis terjadi ketika

segmen tubuh secara aktif digerakkan yang dihasilkan oleh kontraksi

otot menunjukkan ROM yang dapat dicapai. Sebagai contoh

fleksibilitas dinamis dalam tenis adalah gerakan ada teknik-teknik

pukulan servis, smash, dan groundstrokes.

LBP miogenik dapat menyebabkan keterbatasan fleksibilias lumbal

dikarenakan ada cidera pada sendi, otot dan tulang menyebakan seseorang

seseorang takut untuk melakukan gerakan gerakan yang dapat

menimbulkan nyeri. Hal ini juga akan mempengaruhi aktivitas seseorang

yang menyebabkan jaringan lunak dan sendi menyusut sehingga daya

regang otot menurun, di mana jika seseorang tidak aktif atau mobilisasinya

rendah maka otot-otot dipertahankan pada posisi memendek dalam waktu

yang lama dan terjadi keterbatsan fleksibilitas lumbal (Paramurthi, 2014).


22

2.2.2 Pengukuran fleksibilitas lumbal

Fleksibilitas lumbal erat kaitannya dengan keluhan low back pain.

Tingkat fleksibilitas lumbal dapat diukur dengan MST (Modified Schober

Test). MST memiliki nilai validitas 0,97 serta nilai reabilitas interclass

0,92 dan reabilitas intraclass 0,96 yang termasuk dalam kategori sangat

baik (Tousignant, 2005). Metode pengukuran dengan MST digunakan

karena sangat mudah diaplikasikan, memberikan pengukuran yang akurat,

dapat digunakan dimana saja dan bahan yang digunakan terjangkau dan

tidak memerlukan biaya yang mahal.

Tujuan pengukuran ini adalah untuk memantau perkembangan

fleksibilitas lumbal.

Gambar 2.1 Modified Schober Test


(Sumber : Mayangsari, 2015)

Pada gambar 2.1 pengukuran dengan MST dilakukan dengan cara

menentukan titik garis tengah antara SIPS (spina iliaka posterior superior)

kanan-kiri pada saat berdiri tegak dan di beri tanda. Kemudian dari titik

tersebut tarik garis lurus dengan menggunakan meterline ke atas sepanjang


23

10 cm dan tarik garis lurus k bawah sepajangan 5 cm, masing-masing titik

diberi tanda. Jadi jumlah jarak dari titik terbawah sampai teratas adalah 15

cm saat berdiri tegak, jarak tersebut dijadikan sebagai standar ukuran.

Selanjutnya sample di minta untuk melakukan fleksi lumbal semaksimal

mungkin, dan diukur jarak antara titik terbawah sampai dengan titik teratas

saat fleksi (Mayangsari, 2015).

Hasil pengukuran tersebut dikurangi 15 cm. Fleksibilitas lumbal di

katakan normal jika hasil ≥ 5,5 cm pada wanita dan ≥ 7,1 cm pada pria,

apabila hasil kurang dari nilai tersebut dapat dikategorikan fleksibilitas

lumbal terbatas (Purnama, 2007).

2.3 Anatomi Terapan

2.3.1 Struktur anatomi vertebra yang terlibat dalam keluhan LBP

Tulang belakang (vertebra) dibagi dalam dua bagian. Di bagian

ventral terdiri atas korpus vertebra yang dibatasi satu sama lain oleh discus

intervebralis dan ditahan satu sama lain oleh ligamen longitudinal ventral

dan dorsal. Bagian dorsal tidak begitu kokoh dan terdiri atas masing-

masing arkus vertebra dengan lamina dan pedikel yang diikat satu sama

lain oleh berbagai ligament di antaranya ligament interspinal, ligament

intertransversa dan ligament flavum. Pada prosesus spinosus dan

transverses melekat otot-otot yang turut menunjang dan melindungi kolum

vertebra (Halimah, 2011).


24

Gambar 2.2 Tulang Belakang


(Sumber : Halimah, 2011)

Kolumna vertebralis merupakan pilar utama tubuh, dan berfungsi

menyanggah kranium, gelang bahu, ektrimitas atas, dan dinding toraks

serta melalui gelang panggung meneruskan berat badan ke ekstremitas

inferior. Di dalam rongganya terletak medula spinalis, radix nervi

spinales, dan lapisan penutup meningen, yang dilindungi oleh kolumna

vertebralis. Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebra, yaitu 7 vertebra

servikalis, 12 vertebra torasikus, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sakralis

(yang bersatu membentuk os sakrum), dan 4 vertebra coccygis (tiga yang

di bawahnya umumnya bersatu). Struktur kolumna ini fleksibel karena

kolumna ini bersegmen-segmen dan tersusun atas vertebra, sendi-sendi

dan bantalan fibrocartilago yang disebut diskus intervertebralis (Johannes,

2010).

Kolumna vertebralis ini terbentuk oleh unit-unit fungsional yang

terdiri dari :

a. Segmen anterior, sebagian besar fungsi segmen ini adalah sebagai

penyangga badan. Segmen ini meliputi korpus vertebrata dan diskus


25

intervebralis yang diperkuat oleh ligamentum longitudinal anterior di

bagian depan dan limentum longitudinal posterior di bagian belakang.

Sejak dari oksiput, ligament ini menutup seluruh bagian belakang

diskus. Mulai L1 ligamen ini menyempit, hingga pada daerah L5-S1

lebar ligament hanya tinggal separuh asalnya.

b. Segmen posterior, dibentuk oleh arkus, prosesus transverses dan

prosesus spinosus. Satu dengan lainnya dihubungkan oleh sepasang

artikulasi dan diperkuat oleh ligament serta otot (Halimah, 2011).

Vertebra juga terdiri atas korpus yang bulat di anterior dan arkus

vertebra di posterior. Keduanya, melingkupi sebuah ruang yang disebut

foramen vertebralis, yang dilalui oleh medula spinalis dan bungkus-

bungkusnya. Arkus vertebra terdiri atas sepasang pedikulus yang

berbentuk silinder, yang membentuk sisi-sisi arkus, dan sepasang lamina

gepeng yang melengkapi arkus dari posterior (Johannes, 2010).

Gambar 2.3 Segmen Anterior dan Posterior Kolumna Vertebralis


(Sumber : Johannes, 2010)
26

Struktur lain yang tak kalah pentingnya dalam persoalan LBP

adalah discus intervertebra. Diskus intervertebralis membentuk kira-kira

seperempat dari panjang kolumna vertebralis. Di samping berfungsi

sebagai penyangga beban, diskus berfungsi pula sebagai peredam kejut

atau benturan bila beban pada kolumna vertebralis mendadak bertambah,

seperti bila seseorang melompat dari tempat yang tinggi (Johannes, 2000).

Diskus ini terbentuk oleh annulus fibrosus yang merupakan anyaman

serat-serat fibroelastik hingga membentuk struktur mirip gentong. Tepi

atas dan bawah gentong melekat pada end plate vertebra, sedemikian rupa

hingga terbentuk rongga antar vertebra. Rongga ini berisi nukleus

pulposus suatu bahan mukopolisakarida kental yang banyak mengandung

air (Halimah, 2011). Sifat nukleus pulposus yang setengah cair

memungkinkannya berubah bentuk dan vertebra dapat menjungkit ke

depan atau ke belakang di atas yang lain, seperti pada gerakan fleksi dan

ekstensi kolumna vertebralis (Johannes, 2010).

Gambar 2.4 Diskus Intervertebralis


(Sumber : Johannes, 2010)
27

Struktur berikutnya adalah ligamentum longitudinal. Ligamentum

longitudinal anterius dan posterius berjalan turun sebagai sebuah pita pada

permukaan anterior dan posterior kolumna vertebralis dari kranium sampai

ke sakrum. Ligamentum longitudinal anterius lebar dan melekat dengan

kuat pada pinggir depan, samping korpus vertebra, dan pada diskus

intervertebralis. Ligamentum longitudinal posterior lemah dan sempit dan

melekat pada pinggir posterior diskus. Ligamentum-ligamentum ini

mengikat dengan kuat seluruh vertebra, tetapi tetap memungkinkan sedikit

pergerakan di antaranya (Johannes, 2010). Berikut adalah ligamentum

yang terdapat pada vertebra :

a. Ligamentum supraspinale yang berjalan di antara ujung-ujung

processus spinosus yang berdekatan.

b. Ligamentum interspinalia yang menghubungkan processus spinosus

yang berdekatan.

c. Ligamentum intertransversaria yang berjalan di antara processus

tranversus yang berdekatan.

d. Ligamentum flavum yang menghubungkan lamina dari vertebra yang

berdekatan.
28

Gambar 2.5 Struktur Ligamentum Pada Vertebra


(Sumber : Johannes, 2010)

Selain ligament, otot juga ikut membantu mempertahankan tulang

belakang lumbal agar dapat tegak. Berikut adalah otot-otot yang

memperkuat gerakan lumbal adalah :

a. Otot erector spine, merupakan kelompok otot yang luas dan letaknya

berada di dalam facia lumbodorsal, serta muncul dari suatu

aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus spinsus thoraco

lumbal. Kelompok otot ini berfungsi sebagai stabilisator vertebra

lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak dan merupakan pergerakan

utama pada gerakan ekstensi lumbal. Otot-otot terdiri atas :

m.tranverso spinalis, m.longissimus, m.iliocostalis, m.spinalis,

m.paravertebra.

b. Otot abdominal, merupakan kelompok otot ekstrinsik dimana otot

tersebut memperkuat dan membentuk dinding abdominal. Kelompok

otot ini berperan dalam mendatarkan kurva lumbal dan merupakan


29

fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan pada rotasi trunk. Pada

kelompok otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi

spine, yaitu m.rectus abdominis, m.obliqus external, m.obliqus internal

dan m.transversalis abdominalis.

c. Deep lateral muscle, kelompok otot ini berperan pada gerakan lateral

fleksi dan rotasi lumbal. Kelompok otot ini merupakan otot intrinsic

pada bagian lateral lumbal yang terdiri dari m.quadratus lumborum,

m.psoas.

d. Otot hamstring, hamstring yang berfungsi sebagai stabilitator postural

dan terkoneksi dengan otot-otot yang ada di punggung bawah. Secara

fungsional otot hamstring terhubung dengan lumbar-pelvic spine,

upper torso, dan shoulder lalu apabila otot hamstring mengalami

tightness maka akan berdampak pada Thoracolumbar Fascia, dan

mengganggu pergerakan dari Sacroiliac Joint (SIJ).

Gambar 2.6 Otot Penggerak Lumbal


(Sumber : Johannes, 2010)
30

2.3.2 Postur pada LBP Miogenik

Menurut Rene and Cailliet (2001) postur tubuh terbagi 2, yaitu :

postur normal dan tidak normal. Postur dikatakan normal bila gerakan

punggung merupakan kerjasama dari kontraksi otot dan struktur-struktur

ligament untuk menghinadari terjadinya strain (penekanan) dan sebaliknya

pada postur yang tidak normal (Matondang, 2013).

Postur tidak normal berkaitan dengan kejadian LBP miogenik.

Dalam keadaan netral, garis gravitasi jatuh melewati tubuh melalui

procesus mastoideus, bagian anterior dari sacrum (S2), dan tepat di depan

lutut. Hal ini menyebabkan gravitasi dapat secara efektif menghasilkan

gaya yang mampu mempertahankan posisi tubuh dengan ideal tanpa

adanya penggunaan otot yang berlebih, Namun pada postur membungkuk,

beban yang jatuh berada jauh di depan tulang belakang, hal tersebut

menghasilkan momen gaya eksternal yang lebih besar, menghasilkan over

stretch pada otot ekstensor, sehingga diperlukan kontraksi ekstensor trunk

yang cukup besar untuk mengakomodasi momen gaya yang jatuh di depan

tubuh tersebut. Hal tersebut menghasilkan strain pada otot ekstensor

tersebut yang berujung pada LBP miogneik (Neuman, 2009).


31

Gambar 2.7 Garis Gravitasi Pada Postur Tidak Normal dan Normal
(Sumber : Neuman, 2009)

2.3.3 Biomekanik

Ada beberapa gerakan dasar yang dapat dilakukan oleh semua

columna vertebralis yaknik fleksi, ekstensi, lateral fleksi, rotasi dan

sirkumduksi. Fleksi adalah gerakan ke depan, dan ekstensi adalah gerakan

kebelakang, keduanya dapat dilakukan dengan leluasa di daerah cervical

dan lumbal, tetapi terbatas di daerah thoracal. Lateral fleksi adalah

melengkungnya tubuh ke salah satu sisi, gerakan ini mudah dilakukan di

daerah cervical dan lumbal, tetapi terbatas di daerah thoracal. Rotasi

adalah gerakan memutar columna vertebralis, gerakan ini sangat terbatas


32

di daerah lumbal. Dan sirkumduksi adalah kombinasi dari seluruh gerakan

tersebut (Johannes, 2010).

Pada daerah lumbal, fleksi dilakukan oleh mukulus rectus

abdominis dan muskulus psoas. Ekstensi dilakukan oleh muskulus

postvertebralis. Lateral fleksi dilakukan oleh muskulus postvertebralis,

muskulus quardratus lumborum, dan otot-otot serong dinding anterolateral

abdomen. Muskulus psoas mungkin ikut dalam gerakan ini. Rotasi

dilakukan oleh otot-otot rotator dan otot-otot serong dinding anterior

lateral abdomen (Johannes, 2010).

Menurut Kurniawan (2004), sistem biomekanik yang terlibat dalam

keluhan LBP dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu :

a. Biomekanik statis, yaitu deviasi sikap atau postur tubuh yang

menyebabkan peningkatan sudut lumbosakral (sudut antarasegmen

vertebra L1 dan S1 yang normalnya sebesar 30° - 34°) dalam waktu

yang lama, serta menyebabkan pergeseran titik pusat berat badan atau

COG yang normalnya berada di garis tengah sekitar 2,5 cm di depan

segmen vertebra S2. Peningkatan sudut lumbosakral dan pergeseran

COG tersebut akan menyebabkan peregangan pada ligament dan

terjadi kontraksi otot-otot yang berusaha untuk mempertahankan

postur tubuh yang normal akibatnya dapat terjadi sprain atau strain

pada ligament dan otot-otot di daerah punggung bawah yang berakibat

nyeri.
33

b. Biomekanik dinamis, terjadinya beban mekanik abnormal pada

struktur jaringan (ligament dan otot) di daerah punggung bawah saat

melakukan gerakan. Beban mekanik tersebut melebihi kapasitas

fisiologi atau toleransi otot dan ligament di daerah punggung bawah.

Gerakan yang potensial menimbulkan LBP adalah gerakan kombinasi

(terutama fleksi dan rotasi) dan repetitive, apalagi disertai dengan

beban (misalnya mengangkat beban yang berat).

2.4 Mulligan Bent Leg Raise

Brian Mulligan mempelopori teknik intervensi ini di New Zealand

pada tahun 1970’an. Konsep Mulligan menggunakan teknik NAGs,

Reverse NAGs, SNAGs, MWMs (mobilisasi spine dengan gerakan) dan

SMWLMs (mobilisasi spine dengan gerakan anggota gerak) (Mulligan,

2004). Dalam pembahasan ini, peneliti hanya menjelaskan teknik MWMs

yaitu teknik Mulligan bent leg raise.

Mulligan bent leg raise menggunakan metode isometrik kontraksi

– relaksasi – stretching/mobilisasi dalam posisi fleksi hip dan fleksi knee.

Teknik ini memanfaatkan kontraksi isometrik dari otot hamsring untuk

menciptakan posterior tilting pada tulang pelvic sehingga terjadi

mobilisasi pada sendi vertebra dan peregangan pada otot-otot lumbal

bagian dorsal. Posisi tersebut juga dapat mengurangi kurva lordosis pada

vertebra lumbal (Mulligan, 2004).

Prinsip Fisiologis yang digunakan pada teknik ini adalah :


34

1. Autogenik inhibisi (inverse stretch refleks)

Ketika suatu otot berkontraksi sangat kuat, terutama jika

ketegangan menjadi berlebihan maka secara tiba-tiba kontraksi

menjadi terhenti dan otot relaksasi. Relaksasi ini sebagai respon

terhadap ketegangan yang sangat kuat, yang dinamakan dengan inverse

stretch refleks atau autogenic inhibisi dan menyesuaikan dengan

hukum kedua Sherrington yaitu jika otot mendapat stimulasi untuk

berkontraksi maka otot antagonis menerima impuls untuk relaksasi

(Sudaryanto, 2004).

Reseptor yang penting dalam inverse stretch refleks adalah

golgi tendon organ, yang terdiri atas kumpulan anyaman dari ujung-

ujung saraf yang menonjol diantara fasikula tendon. Serabut-serabut

dari golgi tendon organ meliputi serabut saraf group Ib bermyeline

yang merupakan serabut saraf sensorik penghantar cepat yang berakhir

pada medula spinalis pada neuron-neuron inhibitor (interneuron

inhibitor) yang kemudian berakhir langsung dengan neuron motorik.

Serabut saraf tersebut juga mengadakan hubungan fasilitasi/eksitasi

dengan neuron motorik yang mempersarafi otot antagonis. Dengan

demikian, kontraksi otot yang kuat akan merangsang golgi tendon

organ dari otot yang sama dan impuls tersebut berjalan ke medula

spinalis pada interneuron inhibitor yang kemudian menghasilkan

respon inhibisi yang dikirim kembali ke otot yang bersangkutan


35

melalui serabut saraf motorik, sehingga kontraksi tersebut akan diikuti

dengan relaksasi dari otot yang bersangkutan (Sudaryanto, 2004).

2. Inhibisi Reciprokal

Didalam medula spinalis terdapat inhibisi postsinaptik. Serabut

saraf afferentt Ia dari muscle spindle otot berjalan ke medulla spinalis

dan bersinaps dengan saraf motorik dari otot yang sama (alpha

motorneuron) serta bersinaps dengan interneuron inhibisi medula

spinalis yang kemudian bersinaps dengan saraf motorik dari otot

antagonis (Sudaryanto, 2004).

Impuls dari muscle spindle yang dibawa oleh serabut saraf Ia,

menimbulkan inhibisi postsinaptik melalui interneuron inhibisi medula

spinalis ke neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot antagonis.

Kemudian impuls tersebut memfasilitasi neuron motorik dari otot yang

sama (agonis) sehingga otot tersebut berkontraksi, sedangkan otot

antagonis akan mengalami relaksasi. Fenomena ini disebut inhibisi dan

fasilitasi reciprokal, karena adanya persarafan reciprokal dalam

medulla spinalis (Sudaryanto, 2004).

3. Respon Mekanikal dan Neurofisiologi Otot terhadap Stretch

Respon mekanikal otot terhadap peregangan bergantung pada

myofibril dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut

otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril

tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut

otot. Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas
36

filament aktin dan miosin yang saling overlapping. Sarkomer

memberikan kemampuan pada otot untuk berkontraksi dan relaksasi,

serta mempunyai kemampuan elastisitas jika diregangkan (Sudaryanto,

2004).

Ketika otot secara pasif diregang/diulur, maka pemanjangan

awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension

meningkat secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan

maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting length.

Kecenderungan otot untuk kembali ke posisi resting length setelah

peregangan disebut dengan elastisitas (Sudaryanto, 2004).

Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung

pada struktur muscle spindle dan golgi tendon organ. Muscle spindle

merupakan organ sensorik utama dari otot dan tersusun dari serabut-

serabut intrafusal yang terletak paralel dengan serabut ekstrafusal.

Muscle spindle berfungsi untuk memonitor kecepatan dan durasi

regangan/penguluran serta rasa terhadap perubahan panjang otot.

Serabut muscle spindle dapat merasakan cepatnya suatu otot terulur.

Serabut saraf afferentt primer (tipe Ia) dan sekunder (tipe II) muncul

dari muscle spindle dan bersinaps dengan alpha atau gamma

motoneuron secara berurutan, dan memfasilitasi kontraksi dari serabut

ekstrafusal dan intrafusal. Golgi tendon organ terletak dekat dengan

musculotendinous junction, membungkus disekitar kedua ujung

serabut ekstrafusal dan sensitif terhadap ketegangan (tension) pada otot


37

yang disebabkan oleh peregangan pasif atau kontraksi otot secara aktif.

Golgi tendon organ merupakan mekanisme proteksi yang menginhibisi

kontraksi otot yang kuat. Golgi tendon organ mempunyai ambang

rangsang yang sangat rendah untuk titik letup (firing impuls) setelah

kontraksi otot aktif dan mempunyai ambang rangsang yang tinggi

untuk titik letup (firing impuls) dengan peregangan pasif (Sudaryanto,

2004).

Gambar 2.8 Muscle Spindle Dan Golgi Tendon Organ


(Sumber : Sudaryanto, 2004)

Ketika otot diregang/diulur dengan sangat cepat, maka serabut

afferentt primer merangsang alpha motoneuron pada medula spinalis

dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan

ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan

monosynaptik stretch refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan secara

lambat pada otot, maka golgi tendon organ terstimulasi dan

menginhibisi ketegangan (tension) pada otot sehingga memberikan

pemanjangan pada komponen elastik otot yang paralel (sarkomer)

(Sudaryanto, 2004).
38

Indikasi dan kontraindikasi Mulligan bent leg raise dalam

(Resdiani, 2015), yaitu:

1. Indikasi Mulligan Bent Leg Raise

a. Ketidakmampuan mencapai akhir ROM atau keterbatasan

gerak pada lumbal, hip dan lutut.

b. Adanya nyeri pada lumbal dan hamstring.

c. Adanya spasme yang berlebihan (tightness) pada hamstring.

d. Adanya spasme pada otot-otot lumbo dorsal

e. Kondisi yang sangat iritabilitas

2. Kontra Indikasi Mulligan Bent Leg Raise

a. Fraktur / osteoporosis

b. Sprain yang berat (injuri ligamen)

c. Strain yang berat (injuri myofascial)

d. Pasien yang tidak kooperatif atau tidak responsif.

2.4.1 Aplikasi Mulligan bent leg raise

Mulligan bent leg raise menggunakan metode isometrik kontraksi

– relaksasi – stretching/mobilisasi. Sesuai dengan prinsip autogenic

inhibisi dimana saat otot hamsring mendapat stimulasi untuk berkontraksi

maka otot-otot lumbo dorsal menerima impuls untuk relaksasi dan dalam

pengaplikasiannya salah satu hip dan lutut pasien diposisi fleksi secara

pasif dan lutut yang fleksi diletakan di bahu terapis, sehingga intervensi

ini tidak menyakitkan (painless technique). Selanjutnya terapis meminta

pasien untuk melawan tahanan yang diberikan terapis dengan kakinya


39

selama 30 detik kemudian relax. Saat pasien dalam posisi relax terapis

mendorong lutut sejauh kemampuan pasien mendekati tubuhnya lalu

pasien diminta untuk melawan tahanan kembali selama 30 detik. Dalam

satu set latihan dilakukan sebanyak 8 kali repetisi, dan diulang sebanyak 3

set (Mulligan, 2004).

Gambar 2.9 Teknik Aplikasi Mulligan Bent Leg Raise


(Sumber : Resdiani, 2015)

2.4.2 Mekanisme peningkatan fleksibilitas lumbal oleh Mulligan Bent Leg Raise

Adanya spasme atau tightness pada otot-otot lumbo dorsal akan

memperberat nyeri karena menimbulkan beban stress yang besar pada

diskus yang cidera (Sudaryanto, 2004). Dengan pemberian Mulligan Bent

Leg Raise yang menggunakan metode isometrik kontraksi – relaksasi –

stretching/ mobilisasi dapat merangsang serabut afferent tipe Ia dan II

yang berdiameter besar (proprioseptor) di muscle spindle dan golgi tendon

organ sehingga aktivitas dari serabut afferent tersebut dapat menurunkan


40

spasme otot sesuai dengan prinsip autogenik inhibisi, inhibisi reciprokal

dan monosynaptik stretch refleks. Prinsip autogenik inhibisi dan

monosynaptik stretch reflex diterapkan pada otot hamstring, dimana

kontraksi isometrik dari otot hamsring menciptakan posterior tilting pada

tulang pelvic sehingga terjadi mobilisasi pada sendi vertebra dan

peregangan pada otot-otot lumbo dorsal serta mengurangi kurva lordosis

pada vertebralumbal. Prinsip inhibisi reciprokal diterapkan pada otot

agonis dan otot antagonis fleksi lumbal. Kontraksi pada core muscle

menghasilkan relaksasi pada otot-otot lumbodorsal yang menghasilkan

penurunan spasme otot. Penurunan spasme otot tersebut dapat

meminimalkan beban stress pada diskus sehingga nyeri dapat berkurang

dan berpengarahun pada peningkatan fleksibilitas lumbal (Sudaryanto,

2004).

Selain pada regio lumbodorsal, teknik intervensi Mulligan Bent

Leg Raise memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan jarak

pada straight leg raise (SLR) yang artinya teknik ini mampu

mengembalikan mobilitas dan mengurangi ketidakmampuan fisik (Hall,

2006), serta meningkatkan derajat active knee extension, meningkatkan

kekuatan core muscle, meningkatkan fleksibiltas lumbal (ROM) dan

penurunan nyeri (Patel, 2014).

2.5 Williams Flexion Excercise

Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Dr. Paul William’s

pada tahun 1937 (Knudsen, 2003). Tujuan dari William’s flexion exercise
41

ini adalah untuk mengurangi tekanan oleh beban tubuh pada sendi faset

(articular weight bearing stress) dan meregangkan otot dan fasia di daerah

dorsolumbal, serta bermanfaat mengkoreksi postur tubuh yang salah

(Hills, 2006). William’s flexion exercise ini juga dapat meningkatkan

stabilitas lumbal karena secara aktif melatih otot-otot abdominal, gluteus

maksimus dan hamstring. Disamping itu William’s flexion exercise dapat

meningkatkan tekanan intra abdominal yang mendorong kolumna

vertebralis ke arah belakang, dengan demikian akan membantu

mengurangi hiperlordosis lumbal dan mengurangi tekanan pada diskus

intervertebralis. Secara teoritis, William’s flexion exercise ini dapat

membantu mengurangi nyeri dengan cara mengurangi gaya kompresi pada

sendi facet, dan meregangkan fleksor hip dan ektensor lumbal (Pramita,

2014).

Kontraindikasi dari William’s flexion exercise ini adalah

instabilitas atau hipermobilitas segmental dari kolumna vertebralis lumbal,

misalnya pada keadaan spondilosis, spondilolistesis dan disfungsi sendi

facet; hernia diskus; penjalaran nyeri ke tungkai bawah (nyeri radikuler).

Latihan ini meningkat tekanan intra abdominalis, maka sebaiknya latihan

ini dilakukan secara hati-hati bahkan dihindari pada pasien dengan

gangguan kardiovaskuler seperti hipertensi yang tidak terkontrol, riwayat

infak miokard akut dan stroke (Tan, 2006).

Menurut Hooper (1999), dari penelitian yang pernah dilakukan

tentang efek William’s flexion exercise dibandingkan dengan modalitas


42

fisik yang lain pada nyeri punggung bawah muskuloskeletal dalam

penelitian tersebut menggunakan metode a randomized controlled trial

(RCT) dengan jumlah sampel 85 pasien dalam waktu 6 bulan. Kesimpulan

dari penelitian tersebut pasien yang mendapat perlakuan William’s flexion

exercise terjadi penurunan nyeri yang signifikan dan perbaikan mobilitas

lumbal (Pramita, 2014).

2.5.1 Aplikasi William’s flexion exercise

a. Pelvic tilting

Posisi pasien berbaring terlentang dengan posisi kedua lutut fleksi dan

posisi kaki datar di atas matras. Tekan atau luruskan punggung ke arah

matras. Gerakan ini dipertahankan selama 8 detik. Latihan ini

bertujuan untuk menguatkan otot-otot abdominal dan memobilisasi

lumbal bagian bawah.

Gambar 2.10 Pelvic Tilting


(Sumber : Sudaryanto, 2004)

b. Single knee to chest

Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua lutut fleksi dan kedua

kaki datar di atas matras. Secara perlahan, tarik lutut kanan dengan
43

kedua tangan sejauh mungkin mendekati dada dan pertahankan selama

8 detik. Kemudian kembali ke posisi semula secara perlahan lahan dan

ulangi gerakan yang sama untuk lutut kiri.Latihan ini bertujuan untuk

menguatkan otot abdominal dan untuk rileksasi back mucle secara

unilateral.

Gambar 2.11 Single Knee To Chest


(Sumber : Sudaryanto, 2004)

c. Double knee to chest

Posisi awal seperti pada gerakan pertama dan kedua, namun sekarang

gerakan kedua lutut ditarik bersama sama dengan kedua tangan ke arah

dada semaksimal mungkin. Pertahankan selama 8 detik dan kemudian

kembali ke posisi awal secara perlahan lahan. Latihan ini bertujuan

untuk menguatkan otot abdominal dan untuk rileksasi back mucle

secara bilateral.
44

Gambar 2.12 Double Knee To Chest


(Sumber : Windarti, 2013)

d. Partial sit up

Lakukan gerakan pelvic tilting dan pada saat bersamaan naikkan

kepala, leher, dan bahu dari atas matras. Pertahankan dalam waktu 8

detik dan kemudian kembali perlahan ke posisi semula. Latihan ini

bertujuan untuk menguatkan otot-otot abdominal.

Gambar 2.13 Partial Sit Up


(Sumber : Sudaryanto, 2004)

e. Hamstring stretches

Mulai dgn posisi 1 knee ekstensi penuh. Secara perlahan fleksikan

trunk ke depan dgn menjaga knee tetap ekstensi. Lengan menjangkau

se-jauh mungkin diatas tungkai sampai mencapai jari-jari kaki,

pertahankan selama 8 detik. Lakukan gerakan yang sama untuk


45

tungkai yang lain. Latihan ini bertujuan untuk meregangkan otot

punggung bawah dan hamstring yang memendek.

Gambar 2.14 Hamstring Stretches


(Sumber : Windarti, 2013)

f. Wall Slide

Berdiri dengan posisi kedua kaki tegak dan kedua shoulder disamping

badan. Usahakan pertahankan trunk tegak menempel ditembok dengan

pandangan fokus kedepan. Kemudian secara perlahan turunkan badan

sampai terjadi fleksi kedua knee dengan punggung tetap menempel

ditembok.

Gambar 2.15 Wall Slide


(Sumber : Windarti, 2013)
46

Latihan ini dilakukan dengan pengulangan 10 kali untuk masing-

masing gerakan dan gerakan yang dilakukan dipertahankan selama 8 detik

(Pramita, 2014).

2.5.2 Mekanisme peningkatan fleksibilitas lumbal oleh William’s Flexion

Exercise

William’s flexion exercise merupakan suatu latihan dengan tujuan

untuk mengulur otot-otot bagian posterior dan juga meningkatkan

kekuatan otot abdominal. Dengan terulurnya golgi tendon dan muscle

spindel maka diharapkan terjadi efek rileksasi. Selain itu pada William’s

flexion exercise juga secara aktif melatih otot-otot abdominal, gluteus

maksimus dan hamstring, yang mana dapat meningkatkan stabilitas di

daerah lumbal (Pramita, 2014).

Adanya rileksasi pada otot-otot daerah dorsal punggung

diharapkan dapat mengembalikan fleksibilitas lumbal yang terhambat

akibat nyeri dan berpengaruh pada peningkatan kekuatan otot, perbaikan

LGS, dan perbaikan postur. Sehingga nantinya akan mempermudah pasien

dalam melakukan aktivitas, terutama aktivitas yang memerlukan gerakan

membungkuk dan memutar badan (Hill, 2006).

2.6 Infrared (IR)

Sinar infrared adalah pancaran gelombang elektromagnetik.

Infrared atau sinar inframerah akan diserap lapisan kulit dan bagian dalam

kulit akan mengalami pemanasan dari aliran darah sehingga terjadi

vasodilatasi pembuluh darah. Apabila sinar infrared diabsorbsi oleh kulit,


47

maka akan terjadi peningkatan suhu secara lokal (di daerah yang

mengabsorbsi sinar tersebut) (Prianthara, 2014). Berdasarkan panjang

gelombangnya, infrared dibagi menjadi dua yaitu :

a. Gelombang panjang (non luminous/non penetrating) : merupakan

infrared dengan panjang gelombang 12.000 Ao – 150.000 Ao. Daya

penetrasi dari gelombang ini hanya sampai pada lapisan superfisial

epidermis yaitu sekitar 0,5 mm.

b. Gelombang pendek (luminous/penetrating) : merupakan infrared

dengan panjang gelombang mencapai 7.700 Ao – 12.000 Ao.

Gelombang ini mempunyai daya penetrasi yang lebih dalam dari pada

gelombang panjang. Daya penetrasi dari gelombang ini mencapai

jaringan subkutan dan dapat berpengaruh langsung terhadap pembuluh

darah kapiler, pembuluh limfe, ujung-ujung saraf, dan jaringan lain

yang ada di bawah kulit.

Efek fisiologis dan terapeutik dari infrared, antara lain (Arovah,

2010):

a. Efek fisiologis

1) Vasodilatasi pembuluh darah

Efek panas yang dihasilkan oleh sinar infrared akan

menyebabkan dilatasi pembuluh darah kapiler dan artiole. Kulit

akan mengadakan reaksi dan berwarna kemrah-merahan yang

disebut erythema. Untuk ini mekanisme vasomotor mengadakan

reaksi dengan jalan pelebaran pembuluh darah sehingga jumlah


48

panas daratakan keseluruh jaringan lewat sirkulasi darah. Dengan

sirkulasi darah yang miningkat, maka pemberian nutrisi dan

oksigen kepada jaringan akan ditingkatkan, sehingga pemeliharaan

jaringan menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap radang juga

baik.

2) Meningkatkan temperatur tubuh.

Penyinaran infrared akan memanasi jaringan superfisial,

kemudian diteruskan keseluruh tubuh, maka disamping terjadi

pemerataan panas juga akan terjadi penurunan tekanan darah

sistemik oleh karena adanya panas yang akan merangsang pusat

pengatur panas tubuh untuk meratakan panas yang terjadi dengan

jalan dilatasi bersifat general.

3) Mengaktifkan kerja kelenjar keringat

Pengaruh rangsangan panas yang dibawa ujung-ujung saraf

sensoris dapat mengaktifkan kerja kelenjar keringat.

b. Efek terapeutik

1) Mengurangi rasa sakit

Mild heating menimbulkan efek sedatif pada superficial

sensoris nerve ending, stronger heating dapat counter iritation

yang akan menimbulkan pengurangan nyeri.

2) Relaksasi otot

Relaksasi otot mudah dicapai bila jaringan otot dalam

keadaan hangat dan rasa sakit tidak ada.


49

3) Meningkatkan suplai darah

Adanya kenaikan temperatur akan menimbulkan

vasodilatasi, yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan darah

kejaringan setempat.

2.6.1 Aplikasi infrared

Bersihkan area yang akan diterapi dengan infrared dari pakaian

ataupun bahan logam. Posisikan lampu infrared tegak lurus dengan daerah

yang diterapi. Durasi waktu diberikan pada terapi adalah 15 menit dengan

jarak 40 cm. Selama proses terapi berlangsung harus dikontrol rasa hangat

yang diterima oleh pasien (Haryanto, 2003).

2.6.2 Mekanisme peningkatan fleksibilitas lumbal oleh infrared

Pemanasan tersebut menimbulkan kenaikan teperatur daerah lokal

yang diikuti terjadiya vasodilatasi pembuluh darah sehingga aliran darah

pada daerah yang mengalami nyeri menjadi lancar, proses metabolisme

meningkat sehingga pemberian oksigen dan nutrisi pada jaringan yang

mengalami gangguan akan meningkat. Dilatasi pembuluh darah kapiler

dan arteriole akan terjadi segera setelah penyinaran, sehingga kulit akan

segera tampak kemerah-merahan tetapi tidak merata. Keadaan ini

merupakan reaksi tubuh terhadap adanya energi panas yang diterima

ujung-ujung saraf sensoris yang kemudian mempengaruhi mekanisme

pengatur panas. Untuk itu mekanisme vasomotor mengadakan reaksi

dengan jalan pelebaran pembuluh darah sehingga sejumlah panas dapat

diratakan keseluruh jaringan lewat sirkulasi darah. Dengan sirkulasi darah


50

yang meningkat, maka pemberian nutrisi dan oksigen kepada jaringan

akan ditingkatkan, sehingga pemeliharaan jaringan menjadi lebih baik dan

terjadi relaksasi otot selanjutnya berpengaruh pada peningkatan

fleksibilitas lumbal (Prianthara, 2014).

Anda mungkin juga menyukai