Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

“DIARE DAN KONSTIPASI”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK II
WA ODE NURFINTI (O1A116116)
MUHAMAD ZEIN SIRAZ (O1A117106)
NUZUL AULIA FAJARWATI BAKEDE (O1A117116)
SURYANTI (O1A117126)
ANDI MUAMMAR ZAYED (O1A117137)
HASRI AINUN HIKBAR (O1A117148)

KELAS C

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mengenai studi kasus.
Makalah ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Farmakoterapi II, makalah ini kami buat dengan maksimal
dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu,
kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, baik dari segi
penulisan, tata bahasa, serta penyusunannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun, guna menjadi bekal pengalaman kami untuk menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Akhir kata
kami ucapkan terima kasih.

Kendari, 15 Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................................................3

1.1 Latar Belakang....................................................................................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................................................3

1.3 Tujuan.................................................................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................................................5

2.1 Definisi................................................................................................................................................................5

2.2 Klasifikasi...........................................................................................................................................................5

2.3 Etiologi................................................................................................................................................................6

2.4 Gejala dan Tanda.................................................................................................................................................8

2.5 Epidemiologi.....................................................................................................................................................10

2.6 Patofisiologi......................................................................................................................................................11

2.7 Diagnosa............................................................................................................................................................12

2.8 Pemeriksaan......................................................................................................................................................13

2.9 Tatalaksana........................................................................................................................................................14

3.0 Pengobatan.......................................................................................................................................................16

3.1. KIE dan Monitoring.........................................................................................................................................19

2.12 Contoh Kasus.................................................................................................................................................20

BAB III KESIMPULAN............................................................................................................................................25

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................................28

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diare merupakan salah satu penyakit tertua pada manusia. Karenanya tidak mengherankan jika bahan-
bahan yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit tersebut menempati tempat yang khusus dalam sejarah
kedokteran. Dokter Sumeria pada tahun 3000 SM telah menggunakan sediaan antidiare dari opium. Penyakit
diare atau juga disebut gastroenteritis masih merupakan salah satu masalah utama negara perkembang termasuk
Indonesia.
Gastroenteritis atau diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan tau tanpa darah pada tinja.
Diare akut adalah diare yang terjadi mendadak pada orang yang sebelunya sehat dan berlangsung kurang dari 2
minggu.
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat
diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau fesesnya keras dan kering. Semua
orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan
semacam memompa pada usus,) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan
kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga
hariberturut-turut.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit, kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup.
Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami
kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong,dapat mengkomsumsi minuman serat dalam kemasan.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
a. Apa yang dimaksud dengan diare dan konstipasi?
b. Apa saja klasifikasi dari diare dan konstipasi?
c. Apa saja penyebab dari diare dan konstipasi?
d. Apa saja tanda dan gejala dari diare dan konstipasi?
e. Bagaimana epidemiologi dari diare dan konstipasi?
f. Bagaimana patofisiologi dari diare dan konstipasi?

4
g. Bagaimana cara mendiagnosa diare dan konstipasi?
h. Apa saja pemeriksaan diare dan konstipasi?
i. Bagaimana tatalaksana terapi diare dan konstipasi?
j. Bagaimana pengobatan diare dan konstipasi?
k. Bagaimana KIE dan monitoring diare dan konstipasi?

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu:
a. Untuk mengetahui definisi dari diare dan konstipasi
b. Untuk mengetahui klasifikasi dari diare dan konstipasi
c. Untuk mengetahui penyebab dari diare dan konstipasi
d. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari diare dan konstipasi
e. Untuk mengetahui epidemiologi dari diare dan konstipasi
f. Untuk mengetahui patofisiologi dari diare dan konstipasi
g. Untuk mengetahui cara mendiagnosa diare dan konstipasi
h. Untuk mengetahui pemeriksaan diare dan konstipasi
i. Untuk mengetahui tatalaksana terapi diare dan konstipasi
j. Untuk mengetahui pengobatan diare dan konstipasi
k. Untuk mengetahui KIE dan monitoring diare dan konstipasi

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
a. Diare
Diare adalah keadaan tidak normalnya pengeluaran feses yang ditandai dengan peningkatan volume
dan keenceran feses serta frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali sehari (pada neonatus lebih dari 4 kali
sehari) dengan atau tanpa lendir darah. Diare dapat mengakibatkan demam, sakit perut, penurunan nafsu
makan, rasa lelah dan penurunan berat badan. Diare dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit
secara mendadak, sehingga dapat terjadi berbagai macam komplikasi yaitu dehidrasi, renjatan hipovolemik,
kerusakan organ bahkan sampai koma (Utami dan Nabila, 2016).
Diare adalah frekuensi pengeluaran dan kekentalan feses yang tidak normal. Sedangkan menurut
WHO diare adalah buang air besar yang lunak atau cair dengan frekuensi 3 kali atau lebih per hari. 9
Biasanya merupakan gejala pada gastrointestinal yang dapat disebabkan oleh berbagai agen infeksi seperti
bakteri, virus, dan parasit. Infeksi dapat menular dari makanan yang terkontaminasi dan hygiene yang
kurang (Arsurya dkk., 2017).

b. Konstipasi
Konstipasi biasa disebut sembelit atau susah buang air besar. Konstipasi adalah suatu keadaan yang
ditandai oleh perubahan konsistensi feses menjadi keras, ukuran besar, penurunan frekuensi atau kesulitan
defekasi (Jannah dkk., 2017). Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi
BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. Konstipasi juga terjadi karena
menurunnya fungsi saraf otot-otot yang mendukung proses defekasi diantaranya tonus perut, otot pelvik,
dan diafragma. Aktivitasnya juga merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang
colon. Sedangkan otot-otot yang lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal
selama proses defekasi (Wicahyanti dkk., 2017).

2.2 Klasifikasi
a. Diare
1. Berdasarkan lama waktu diare (Durasi), dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Diare Akut, adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.
6
b. Diare Kronik, adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
2. Berdasarkan mekanisme patofisiologik
a. Diare sekresi (secretory diarrhea) adalah diare yang terjadi akibat peningkatan osmotic isi lumen
usus.
b. Diare osmotic (osmotic diarrhea) adalah diare yang terjadi akibat peningkatan sekresi cairan usus.
(Sari dkk., 2017).

b. Konstipasi
1. Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan
a. Konstipasi akibat kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja
b. Konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal. Konstipasi
yang dikeluhkan oleh sebagian besar pasien umumnya merupakan konstipasi fungsional. Pada
awalnya beberapa istilah pernah digunakan untuk menerangkan konstipasi fungsional, seperti
retensi tinja fungsional, konstipasi retentif atau megakolon psikogenik. Konstipasi fungsional
dapat dikelompokkan menjadi bentuk primer atau sekunder bergantung pada ada tidaknya
penyebab yang mendasarinya.
c. Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab dasar konstipasi tidak dapat ditentukan.
Keadaan ini ditemukan pada sebagian besar pasien dengan konstipasi.
d. Konstipasi fungsional sekunder ditegakkan bila kita dapat menentukan penyebab dasar keluhan
tersebut.
2. Berdasarkan durasinya, konstipasi dapat diklasifikasikan:
a. Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu,
b. Konstipasi kronis bila keluhan telah berlangsung lebih dari 4 minggu.
(Endyarni dan Badriul, 2004).

2.3 Etiologi
a. Diare
Penyebab diare dapat dikelompokkan menjadi :
1. Virus : Rotavirus (40-60%), Adenovirus
2. Bakteri : Escherichia coli (20-30%), Shigella sp. (1-2%), Vibro clolerae dan lain-lain
3. Parasit : Entamoeba histolytica (<1%), Glardia lambia, Crylosoridium (4-11%)
4. Keracunan makanan
5. Malabsorbsi : Karbohidrat, protein dan lemak

7
6. Alergi : makanan, susu sapi.
7. Imunodefisiensi : AIDS
8. Efek samping obat
(Sari dkk., 2017).
b. Konstipasi
Adapun etiologi dari konstipasi sebagai berikut :
1. Pola hidup ; diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan buang air besar yang tidak teratur, kurang
olahraga.
a. Diet rendah serat
Makanan lunak dan rendah serat yang berkurang pada feses sehingga menghasilkan produk sisa
yang tidak cukup untuk merangsang refleks pada proses defekasi. Makan rendah serat seperti ; beras,
telur dan daging segar bergerak lambat di saluran cerna. Meningkatnya asupan cairan dengan makanan
seperti itu meningkatkan pergerakan makanan tersebut.
Diet rendah serat : Dietary Reference Intake (DRI) serat berdasarkan National Academy of Sciences
:
1. Anak-anak
a) 1 – 3 tahun : 19 gram/hari
b) 4 – 8 tahun : 25 gram/hari
2. Pria
a) 9 – 13 tahun : 31 gram/hari
b) 14 – 18 tahun : 38 gram/hari
c) 19 – 30 tahun : 38 gram/hari
d) 30 – 50 tahun : 38 gram/hari
e) >50 tahun : 30 gram/hari
3. Wanita
a) 9 – 13 tahun : 26 gram/hari
b) 14 – 18 tahun : 26 gram/hari
c) 19 – 30 tahun : 25 gram/hari
d) 30 – 50 tahun : 25 gram/hari
e) >50 tahun : 21 gram/hari
b. Kurang cairan/minum
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang adekuat
ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan
8
untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang kolon. Dampaknya chyme menjadi
lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan
cairan memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningktakan reabsorbsi dari
chyme (Siregar, 2004).
c. Kebiasaan buang air besar (BAB) yang tidak teratur
Salah satu penyebab yang paling sering menyebabkan konstipasi adalah kebiasaan BAB yang tidak
teratur. Refleks defekasi yang normal dihambat atau diabaikan, refleks-refleks ini terkondisi untuk
menjadi semakin melemah. Ketika kebiasaan diabaikan, keinginan untuk defekasi habis.
Anak pada masa bermain bisa mengabaikan refleks-refleks ini; orang dewasa mengabaikannya
karena tekanan waktu dan pekerjaan.
Klien yang dirawat inap bisa menekan keinginan buar air besar karena malu menggunakan bedpan
atau karena proses defekasi yang tidak nyaman. Perubahan rutinitas dan diet juga dapat berperan dalam
konstipasi. Jalan terbaik untuk menghindari konstipasi adalah membiasakan BAB teratur dalam
kehidupan (Siregar, 2004).
2. Obat – obatan
banyak obat yang menyebabkan efek samping konstipasi. Beberapa di antaranya seperti ; morfin,
codein sama halnya dengan obat-obatan adrenergik dan antikolinergik, melambatkan pergerakan dari
kolon melalui kerja mereka pada sistem syaraf pusat. Kemudian, menyebabkan konstipasi yang lainnya
seperti: zat besi, mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus
untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan
diare pada sebagian orang (Siregar, 2004).

2.4 Gejala dan Tanda


a. Diare
Beberapa gejala dan tanda diare antara lain:
1. Gejala umum
a. Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare
b. Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut
c. Demam
d. Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis bahkan gelisah.
e. Menurut Kemkes RI 2011, derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi:
a) Diare tanpa dehidrasi

9
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih :
a. Keadaan Umum : baik
b. Mata : Normal
c. Rasa haus : Normal, minum biasa
d. Turgor kulit : Kembali cepat
b) Diare dehidrasi ringan/sedang
Diare dengan dehidrasi ringan/sedang, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih :
a. Keadaan Umum : Gelisah, rewel
b. Mata : Cekung
c. Rasa haus : Haus, ingin minum banya
d. Turgor kulit : Kembali cepat
c) Diare dehidrasi berat
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih :
a. Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar
b. Mata : Cekung
c. Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
d. Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)

2. Gejala spesifik
a. Vibro cholera : diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis
b. Disenteriform : tinja berlendir dan berdarah.
(Sari dkk., 2017).
Menurut Wells dkk. 2015, tanda dan gejala diare, antara lain :
a. Timbulnya mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, demam, kedinginan, dan malaise.
b. Pergerakan usus sering dan tidak pernah berdarah, dan diare berlangsung 12 hingga 60 jam.
c. Nyeri periumbilikalis intermiten atau kuadran kanan bawah dengan kram dan bising usus
merupakan ciri khas penyakit usus kecil.
d. Ketika rasa sakit muncul pada diare usus besar, itu adalah sensasi yang mencekam, sakit dengan
tenesmus (mengejan, tidak efektif, dan buang air besar yang menyakitkan). Nyeri melokalisasi
ke daerah hipogastrik, kuadran kanan atau kiri bawah, atau daerah sakral.
e. Pada diare kronis, riwayat serangan sebelumnya, penurunan berat badan, anoreksia, dan
kelemahan kronis
(Wells dkk., 2015).
10
b. Konstipasi
Ada beberapa tanda dan gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau terkadang
beberapa penderita sembelit sebagai berikut:
a) Perut terasa begah, penuh dan kaku
b) Tubuh tidak fit, terasa tidak nyaman, lesu, cepat lelah sehingga malas mengerjakan sesuatu bahkan
terkadang sering mengantuk
c) Sering berdebar-debar sehingga memicu untuk cepat emosi, mengakibatkan stress, rentan sakit kepala
bahkan demam
d) Aktivitas sehari-hari terganggu karena menjadi kurang percaya diri, tidak bersemangat, tubuh terasa
terbebani, memicu penurunan kualitas, dan produktivitas kerja
e) Feses lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, dan lebih sedikit daripada biasanya
f) Feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, pada saat bersamaan tubuh berkeringat dingin,
dan terkadang harus mengejan atupun menekannekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan
dan membuang feses ( bahkan sampai mengalami ambeien/wasir )
g) Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai terganjal sesuatu disertai rasa sakit akibat
bergesekan dengan feses yang kering dan keras atau karena mengalami wasir sehingga pada saat duduk
tersa tidak nyaman
h) Lebih sering bung angin yang berbau lebih busuk daripada biasanya
i) Usus kurang elastis ( biasanya karena mengalami kehamilan atau usia lanjut), ada bunyi saat air diserap
usus, terasa seperti ada yang mengganjal, dan gerakannya lebih lambat daripada biasanya
j) Terjadi penurunan frekuensi buang air besar
Adapun untuk sembelit kronis ( obstipasi ), gejalanya tidak terlalu berbeda hanya sedikit lebih
parah, diantaranya :
a. Perut terlihat seperti sedang hamil dan terasa sangat mulas;
b. Feses sangat keras dan berbentuk bulat-bulat kecil;
c. Frekuensi buang air besar dapat mencapai berminggu-minggu;
d. Tubuh sering terasa panas, lemas, dan berat;
e. Sering kurang percaya diri dan terkadang ingin menyendiri
(Budianto dan Novendy, 2018).

2.5 Epidemiologi
a. Diare

11
Penyakit diare masih menjadi masalah global dengan derajat kesakitan dan kematian yang tinggi di
berbagai negara terutama di negara berkembang, dan juga sebagai salah satu penyebab utama tingginya
angka kesakitan dan kematian anak di dunia. Secara umum, diperkirakan lebih dari 10 juta anak berusia
kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahunnya di dunia dimana sekitar 20% meninggal karena infeksi
diare. Kejadian Diare dapat terjadi di seluruh dunia dan menyebabkan 4% dari semua kematian dan 5% dari
kehilangan kesehatan menyebabkan kecacatan. Diare tetap menjadi penyebab utama kematian pada anak-
anak di bawah usia 5 tahun di negara-negara Sub-Sahara di Afrika (Hartati dan Nurazila, 2018).
Menurut data (World Health Organization, 2013), diare merupakan penyakit yang berbasis
lingkungan dan terjadi hampir di seluruh daerah geografis di dunia. Setiap tahunnya ada sekitar 1,7 miliar
kasus diare dengan angka kematian 760.000 anak di bawah 5 tahun. Pada negara berkembang, anak-anak
usia di bawah 3 tahun rata-rata mengalami 3 episode diare pertahun. Setiap episodenya, diare akan
menyebabkan kehilangan nutrisi yang dibutuhkan anak untuk tumbuh, sehingga diare merupakan penyebab
utama malnutrisi pada anak dan menjadi pada tahun 2010 dilaporkan 2,5 juta kasus diare pada anak
diseluruh dunia. Kasus diare terbanyak di Asia dan Afrika kurang memadainya status gizi pada anak dan
kurangnya sanitasi air bersih (Riskesdas, 2013) Berdasarkan data United Nation Children’s Fund
(UNICEF) dan World Health Organization (WHO) (World Health Organization, 2013), secara global
terdapat dua juta anak meninggal dunia setiap tahunnya karena diare (Hartati dan Nurazila, 2018).

b. Konstipasi
Prevalensi konstipasi di Eropa sebesar 17%, dan di Oseania sebesar 15,3%. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Chiarelli, dkk. didapat prevalensi konstipasi pada usia 18-23 tahun sebesar 14,1%, pada usia
45-50 tahun ada 26,6% dan pada usia 70- 75 tahun sebesar 27,7%.2 Menurut population estimates and
international data base, United States Census Bureau pada tahun 2004 di Amerika Serikat, ratarata
prevalensi konstipasi sebesar 4,4 juta jiwa (1.62%).3 Laporan dari uji coba secara acak di usia 18-70 tahun
orang di Beijing menunjukkan sekitar 6,07% mengalami kejadian konstipasi dimana perbedaan lakilaki
banding perempuan ada 1:4 (Budianto dan Novendy, 2018).
Pada penelitian di negara berkembang didapatkan tingkat prevalensi konstipasi di Hongkong sebesar
14,3%, di Korea 16,5%, di Taiwan sebesar 24,5 % pada perempuan, di Jepang 26% pada perempuan dan di
Asia 11,6% pada usia lanjut.5-9 Dalam survey global yang terkait, prevalensi kejadian konstipasi di Asia
yang di wakili oleh Korea Selatan, Cina dan Indonesia diperkirakan 15-23 % pada perempuan dan sekitar
11 % di laki-laki (Budianto dan Novendy, 2018).

12
2.6 Patofisiologi
a. Diare
Virus atau bakteri dapat masuk ke dalam tubuh bersama makanan dan minuman. Virus atau bakteri
tersebut akan sampai ke sel–sel epitel usus halus dan akan menyebabkan infeksi, sehingga dapat merusak
sel-sel epitel tersebut. Sel–sel epitel yang rusak akan digantikan oleh sel-sel epitel yang belum matang
sehingga fungsi sel–sel ini masih belum optimal. Selanjutnya,vili–vili usus halus mengalami atrofi yang
mengakibatkan tidak terserapnya cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan yang tidak terserap
akan terkumpul di usus halus dan tekanan osmotik usus akan meningkat. Hal ini menyebabkan banyak
cairan ditarik ke dalam lumen usus. Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan terdorong keluar
melalui anus dan terjadilah diare (Utami dan Nabila, 2016).
Empat mekanisme patofisiologis umum yang mengganggu keseimbangan air dan elektrolit,
menyebabkan diare, dan merupakan dasar diagnosis dan terapi. Mekanisme tersebut yakni (a) perubahan
transpor ion aktif baik dengan penurunan penyerapan natrium atau peningkatan sekresi klorida; (b)
perubahan motilitas usus; (c) peningkatan osmolaritas luminal; dan (d) peningkatan tekanan hidrostatik
jaringan. Mekanisme ini telah dikaitkan dengan empat kelompok diare klinis yang luas: sekretori, osmotik,
eksudatif, dan perubahan transit usus (Diriro dkk., 2011).

b. Konstipasi
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantar feses ke rektum untuk dikeluarkan.
Feses masuk dan merenggangkan ampula dari rekum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk
menghindari pengeluaran feses secara spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan
kontraksi otot dasar pelvis yang dipersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsangan keinginan untuk
buang air besar dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya
dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi
sfingter dan otot-otot levator ani.
Ketika serat yang dikonsumsi sedikit, kotoran akan menjadi kecil dan keras. Konstipasi akan timbul,
dimana dalam proses defekasi terjadi tekanan yang berlebihan dalam usus besar (kolon) keluar dari otot,
membentuk kantong kecil yang disebut divertikula. Hemoroid juga bisa sebagai akibat dari tekanan yang
berlebihan saat defekasi. Hampir 50% dari pasien dengan penyakit divertikular atau anorektal, ketika ditanya,
menyangkal mengalami konstipasi/sembelit. Namun, hampir semua pasien ini memiliki gejala ketegangan atau
jarang defekasi.
(Pranaka, 2009).

13
2.7 Diagnosa
a) Diare
Pada penyakit diare, untuk menegakkan diagnosis penyakit diare dengan cara:
a. Pemeriksaan tinja: makroskopis dan mikrokopis, pH dan kadar gula jika diduga ada intoleransi gula
(sugar intolerance), biakan kuman untuk mencari kuman penyebab dan uji resistensi terhadap
berbagai antibiotik (pada diare persisten)
b. Pemeriksaan darah:darah perifer lengkap, analisis gas darah dan elektrolit (terutama Na, K, Ca, dan
P serum pada diare yang disertai dengan kejang)
c. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah untuk mengetahui faal ginjal. Duodenol icubation,
untuk mengetahui kuman penyebab penyakit diare (Budianto dan Novendy, 2018).

b) Konstipasi
1. Anamnesis Anamnesis terperinci merupakanhal terpenting untuk mengungkapkan adakah konstipasi
dan faktor penyebab.
Kriteria Rome-III untuk diagnosis konstipasi fungsiona
1) Harus mencakup dua atau lebih hal berikut :
a. Mengedan 25% dari buang air besar.
b. Tinja lunak atau keras 25% dari buang air besar.
c. Rasa tidak lampias 25% dari buang air besar.
d. Rasa tersumbat 25% dari buang air besar.
e. Menggunakan bantuan manual 25% dari buang air besar (misalnya mengeluarkan tinja
dengan jari atau dengan menopang dasar panggul).
f. Buang air besar kurang dari tiga kali per minggu.
2) Mencret jarang terjadi tanpa menggunakan obat pencahar.
3) Kriteria cukup untuk sindrom iritasi usus besar (Rome-III).

2.8 Pemeriksaan
a. Diare
1. Pemeriksaan Fisik
Biasanya menunjukkan hiperperistalsis dengan borborygmi dan nyeri menyeluruh atau lokal.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Studi analisis feses meliputi pemeriksaan mikroorganisme, darah, konsentrasi lendir, lemak,
osmolalitas, pH, elektrolit dan mineral.

14
b. Alat tes feses berguna untuk mendeteksi virus gastrointestinal, khususnya rotavirus.\
c. Tes serologis antibodi menunjukkan peningkatan titer selama periode 3 hingga 6 hari, tetapi
tes ini tidak praktis dan tidak spesifik.
d. Kadang-kadang, total volume tinja harian juga ditentukan.
e. Visualisasi endoskopi langsung dan biopsi usus besar dapat dilakukan untuk menilai adanya
kondisi seperti kolitis atau kanker.
f. Studi radiografi membantu dalam kondisi neoplastik dan inflamasi.
(Dipiro dkk., 2011).
b. Konstipasi
2. Pemeriksaan fisik meliputi :
a. Inspeksi perineal mencari lesi yang nyeri dan lain-lain.
b. Pemeriksaan rektal perhatikan tonus anus, tekanan menjepit dan apakah rektum kosong atau
terisi dan penuh dengan feses.
c. Pemeriksaan abdomen untuk melihat ada massa atau jaringan parut. d
d. Pemeriksaan neurologik.
e. Pemeriksaan vagina untuk mengobservasi adanya rektokel.
3. Sigmoidoskopi untuk mencari lesi lokal
4. Pemeriksaan darah lengkap, LED
5. Urea, elektrolit, kalsium darah, tes fungsi tiroid.
6. Radiologi
a. Foto otot polos penting pada kecurigaan adanya obstruksi.
b. Barium enema merupakan indikasi pada semua kasus (Cooper).
1) Diagnosis banding konstipasi :
a. Idiopatik/diet.
b. Neoplasma kolorektal.
c. Depresi.
d. Hipotiroidisme.
e. Hiperkalsemia.
f. . Megakolon.
g. Penyakit Hirscsprung (Davey, 1998).

15
2.9 Tatalaksana
a. Diare
1. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis akut adalah self-limiting, pengobatan khusus tidak
diperlukan. Dari beberapa studi didapatkan bahwa hanya 10% kasus membutuhkan terapi antibiotik.
Tujuan utamanya adalah rehidrasi yang cukup dan suplemen elektrolit. Hal ini dapat dicapai dengan
pemberian cairan rehidrasi oral (oralit) atau larutan intravena (misalnya, larutan natrium klorida
isotonik, larutan Ringer Laktat). Rehidrasi oral dicapai dengan pemberian cairan yang mengandung
natrium dan glukosa. Obat absorben (misalnya, kaopectate, aluminium hidroksida) membantu
memadatkan feses diberikan bila diare tidak segera berhenti. Diphenoxylate dengan atropin (Lomotil)
tersedia dalam tablet (2,5 mg diphenoxylate) dan cair (2,5 mg diphenoxylate / 5 mL). Dosis awal untuk
orang dewasa adalah 2 tablet 4 kali sehari (20 mg / d), digunakan hanya bila diare masif.
2. Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari, etiologi spesifik harus ditentukan dengan melakukan kultur
tinja. Untuk itu harus segera dirujuk.
3. Modifikasi gaya hidup dan edukasi untuk menjaga kebersihan diri. Konseling dan Edukasi Edukasi
kepada keluarga untuk turut menjaga higiene keluarga dan pasien.(Panduan praktis Klinik, 2014).

Gambar 1. Rekomendasi untuk mengobati diare akut.


(Sumber: Dipiro dkk., 2011).

16
Gambar 2. Rekomendari untuk mengabati diare kronik.
(Sumber: Dipiro dkk., 2011).
b. Konstipasi
Sebagian tergantung pada pandangan pasien mengenai masalahnya
1. Diet dan Hidrasi Pada pasien dengan gejala yang menggangu, langkah pertama adalah mengoptimalkan
asupan serat dan cairan.
2. Obat-obat pencahar, ada 4 tipe golongan obat pencahar
a. Memperbesar dan melunakkan masa feses, antara lain : Cereal, Methyl Selulose, Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan
feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contoh Minyak Kasto, Golongan docusate.
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman digunakan, misalnya pada
penderita gagal ginjal, antara lain : Sorbitol, Lactulose, Glycerin.
d. Merangsang peristaltik sehingga meningkatkan motilitas usus besar (Pranaka, 2009).

3.0 Pengobatan
a. Diare
Dasar pengobatan diare adala

17
1. Cairan per oral. Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan diberikan per oral berupa
cairan yang berisikan NaCL dan NaHCO3, KCL dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak
di atas umur 6 bulan kadar natrium 90 mEq/L.Formula lengkap sering disebut oralit.Cairan sederhana
yang dapat dibuat sendiri (formula tidak lengkap) hanya mengandung garam dan gula (NaCL dan
sukrosa), atau air tajin yang diberi garam dan gula untuk pengobatan sementara di rumah sebelum
dibawa berobat ke rumah sakit/pelayanan kesehatan untuk mencegah dehidrasi lebih jauh.
2. Cairan parental. Sebenarnya ada beberapa jenis cairan yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan
pasien misalnya untuk bayi atau pasien yang MEP. Tetapi kesemuanya itu bergantung tersedianya
cairan setempat. Pada umumnya cairan ringer laktat (RL) selalu tersedia di fasilitas kesehatan dimana
saja. Mengenai pemberian cairan seberapa banyak yang diberikan bergantung dari berat /ringanya
dehidrasi, yang diperhitungkan dengan kehilangan cairan sesuai dengan umur dan berat badanya
3. Pemberian cairan pasien malnutrisi energi protein (MEP) tipe marasmik.
Kwashiorkor dengan diare dehidrasi berat, misalnya dengan berat badan 3-10 kg, umur 1bln-2 tahun,
jumlah cairan 200 ml/kg/24jam. Kecepatan tetesan 4 jam pertama idem pada pasien MEP.Jenis cairan
DG aa. 20 jam berikutnya: 150 ml/kg BB/20 jam atau 7 ml/kg BB/jam atau 1 ¾ tetes/kg/BB/menit ( 1
ml= 15 menit) atau 2 ½ tetes /kg BB/menit (1 ml=20 tetes). Selain pemberian cairan pada pasien-
pasien yang telah disebutkan masih ada ketentuan pemberian cairan pada pasien lainya misalnya
pasien bronkopneumonia dengan diare atau pasien dengan kelainan jantung bawaan, yang
memerlukan caiaran yang berlebihan pula. Bila kebetulan menjumpai pasien-pasien tersebut sebelum
memasang infuse hendaknya menanyakan dahulu pada dokter.

b. Dietetik (cara pemberian makanan).


Untuk anak di bawah 1 tahun dan anak di atas 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg jenis
makanan :
1. Susu (ASI dan atau susu formula yang mengandug laktosa rendah dan asam lemak tidak jenuh,
misalnya LLM, almiron atau sejenis lainya)
2. Makanan setengah padat (bubur) atau makanan padat (nasi tim), bila anak tidak mau minum susu
karena di rumah tidak biasa.
3. Susu kusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan missalnya susu yang tidsk
mengandung laktosa atau asam lemak yang berantai sedang atau tidak jenuh.
4. Obat-obatan. Prinsip pengobatan diare ialah menggantikan cairan yang hilang melalui tinja dengan
atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atu karbohidrat lain
(gula,air tajin, tepung beras dan sebagainya).
18
3. Terapi farmakologi
Pengobatan yang tepat terhadap penyebab diare diberikan setelah diketahui penyebab diare dengan
memperhatikan umur penderita, perjalanan penyakit, sifat tinja. Pada penderita diare, antibiotic boleh
diberikan bila :
a. Ditemukan bakteri patogen pada pemeriksaan mikroskopik dan atau biakan.
b. Pada pemeriksaan mikroskopis dan atau mikroskopis ditemukan darah pada tinja
c. Secara kinis terdapat tanda-tanda yang menyokong adanya infeksi maternal.
d. Di daerah endemic kolera.
e. Neonatus yang diduga infeksi nosokomial
4. Obat antipiretik
obat antipiretik seperti preparat salisilat (asetosol, aspirin) dalam dosis rendah (25 mg/ tahun/ kali)
selain berguna untuk menurunkan panas akibat dehidrai atau panas karena infeksi, juga mengurangi
sekresi cairan yang keluar bersama tinja.
5. Pemberian Zinc
Pemberianzinc selama diare terbuki mampu mengurangi lama dan tingkat keparah diare,
mengurangi frekuensi buang air besar (BAB), mengurangi volume tinja, serta menurunkan
kekambuhan diare pada tiga bulan berikutnya.
(Utami dan Nabila, 2016).
c. Konstipasi
Pengobatan konstipasi pada ibu hamil dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu terapi non obat dan
terapi obat.
a. Terapi non abat
Pada umumnya, konstipasi pada masa kehamilan dapat diatasi dengan melakukan penyesuaian pola
makan dan perubahan gaya hidup. Makanan kaya serat (30-35%), misalnya gandum, buah-buahanan dan
sayuran dapat meringankan konstipasi.
Namun , mengkomsumsi makanan kaya serat dalam jumlah besar secara tiba-tiba dapat
menyebabkan perut terasa tidak enak dan kembung. Ibu hamil sebaiknya mengkonsumsi makanan secara
teratur dan minum air dalam jumlah cukup (6-8 gelas/hari). Perubahan gaya hidup, misalnya: olahraga
teratur dapat memperbaiki saluran cerna.
b. Terapi obat
Obat pencahar digunakan apabila konstipasi tidak dapat diatasi dengan penyesuaian jenis makanan
dan perubahan gaya hidup saja. Kriteria obat pencahar yang boleh diberikan kepada ibu hamil adalah:
1) Efektif,
19
2) Tidak diserap oleh saluran cerna,
3) Tidak teratogenik ( tidak menyebabkan cacat pada janin ),
4) Dapat ditoleransi dengan baik ( tidak menimbulkan efek samping pada ibu dan janin ).
Terdapat beberapa golongan obat pencahar, antara lain: obat pencahar osmotik, pembentuk massa,
dan stimulan. Obat pencahar pilihan untuk ibu hamil adalah hanya digunakan secara terbatas hanya jika
konstipasi tidak dapat diatasi dengan obat pencahar osmotik.

3.1. KIE dan MONITORING


a. KIE
Merupakan suatu proses yang sistematis untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah pasien
yang berkaitan dengan penggunaan obat.
1. Tujuan Konseling
a. Memantapkan hubungan terapetik antara Apoteker dengan Pasien dan mengembangkan perasaan
“TRUST".
b. Menunjukan perhatian dan asuhan Apoteker kepada Pasie
c. Membantu pasien me-manage dan beradaptasi dg obat yang digunakannya
d. Membantu pasien me-manage dan beradaptasi dg penyakit yang dideritanya
e. Mencegah atau meminimalisasi PROBLEM PASIEN yang berkaitan dg: cara menggunakan obat,
efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat, dan lain-lain;
f. Menjamin kepatuhan pasien dalam menggunakan obat sehingga tujuan/sasaran pengobatan yang
optimal dapat tercapai dengan risiko yang paling minimal
2. Manfaat Konseling untuk Pasien
a. Mengurangi kesalahan dalam menggunakan obat
b. Mengurangi ketidakpatuhan
c. Mengurangi Reaksi Obat yang Merugikan (ADE)
d. Memastikan bahwa obat digunakan dengan aman dan efektif
e. Bimbingan merawat diri sendiri
f. Bimbingan dalam peningkatan kualitas hidup
g. Mengurangi biaya kesehatan pribadi, pemerintah atau masyarakat
3. Kriteria Pasien yang dapat Prioritas untuk diberi Pelayanan Konseling Farmasi
a. Pasien yg membutuhkan SWA-MEDIKASI
b. Pasien yg dirujuk dokter kepada Apoteker

20
c. Pasien yg menggunakan obat tsb pertama kali
d. Pasien dengan penyakit kronis;
e. Pasien yg mendapat obat dg indeks terapi sempit;
f. Pasien dalam populasi khusus, misalnya: pasien pediatrik, geriatrik, pasien dengan penurunan fungsi
hepar dan ginjal;
g. Pasien yang mendapatkan resep polifarmasi;
b. Monitoring
Hal - hal yang harus dimonitoring adalah
a. Kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat
b. Perubahan data lab pasien
c. Perkembangan pengobatan pada pasien
d. Kemungkinan efek samping yang muncul.
Monitoring dapat dibantu oleh pihak keluarga dari pasien tersebut.
(Stockley, 2008)

2.12 Contoh Kasus


a. Diare
Seorang anak umur 3 tahun oleh ibunya dititpkan ditempat penitipan anak 4 hari setiap minggu mengeluh
sakit perut dan tidak mau makan apapun. Kata ibunya setiap BAB bentuknya cair dan kondisi tubuhnya panas
sedang. Hari berikutnya ada darah di tinja dan sedikit nanah.
Pertanyaan :
1. Apa penyebab diare pada anak tersebut? Bagaimana cara menentukan jenis terapinya/diagnosanya?
2. Bagaimana tata laksana terapinya?

Penyelesaian Kasus:

1. Identitas pasien
Nama :-
Umur : 3 tahun
Jenis kelamin : -

2. Riwayat pasien

21
Riwayat sosial :-
Riwayat keluarga :-
Riwayat kesehatan :-
Riwayat terapi :-
3. Permasalahan pasien
Mengeluh sakit perut dan tidak mau makan apapun. Setiap BAB bentuknya cair dan kondisi
tubuhnya panas sedang. Hari berikutnya ada darah di tinja dan sedikit nanah

4. Faktor penyebab Diare


Faktor–faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada anak ada salah satunya adalah faktor
lingkungan. Ruang lingkup kebersihan lingkungan diantaranya adalah perumahan, pembuangan kotoran
manusia, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, dan pembuangan air kotor (limbah) dimana pada
pasien yang berada di penitipan anak tidak diketahui bagaimana kebersihan lingkungannya.

5. Diagnosa Pasien
a. Tanda dan Gejala
i. Hasil BAB pasien bertekstur cair
ii. Pasien mangalami demam
iii. Ada darah pada tinja pasien dan sedikit nanah
b. Klasifikasi Diare Pasien
Berdasarkan gejala yang dimiliki pasien, pasien diklasifikasikan menjadi diare akut. Psien juga
mengalami darah pada tinja sehinggai digolongkan menjadi diare disentri.

6. Tatalaksana terapi
a. Tujuan terapi
Tujuan pengobatan diare adalah meredakan gejala, menjaga hidrasi, mengobati penyebab yang
mendasarinya, dan mempertahankan nutrisi. Perawatan utama diare akut yaitu penggantian cairan dan
elektrolit, modifikasi diet, dan terapi obat.
b. Strategi terapi
Pada prinsipnya ada lima pilar tata laksana diare menurut WHO yaitu I) Rehidrasi; 2) Dukungan
nutrisi, 3) Pemberian antibiotik sesuai indikasi, 4) Pemberian zink, dan 5) Edukasi pada orang tua
(WHO).
c. Terapi
22
i. Farmakologi
1. Rehidrasi
Pemberian oralit sampai diare berhenti. Bila muntah, tunggu 10 menit dan dilanjutkan
sedikit demi sedikit - Umur > 1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali BAB.
2. Pemberian antibiotik
Pilihan pertama pada terapi disentris adalah kotrimoksazol (trimetoprin +
sulfametoksazol) dengan dosis 40 mg trimetoprim + 200 mg sulfametoksazol dengan
pemberian sirup/per 5mL. Digunakan sediaan sirup karna pasien masih berumur 3 tahun
(Hidayat, 2008).
3. Pemberian zink
Pemberian tablet zink selama 10-14 hari 1 tablet (20 mg)/ hari untuk anak usia >6
bulan. Zink bermanfaat untuk menurunkan frekuensi BAB dan memperbaiki volume tinja,
mengurangi lama diare, serta menurunkan kejadian diare pada bulan-bulan berikutnya.

ii. Non Farmakologi


1. Dukungan Nutrisi
Beri makan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat, Tambahkan
1-2 sendok teh minyak sayur setiap porsi makan, beri makanan kaya Kalium seperti buah
segar, pisang, air kelapa hijau, Beri makan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil
(setiap 3-4 jam), Setelah diare berhenti, beri makanan yang sama dan makanan tambahan
selama 2 minggu (KEMENKES RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan, 2011).
2. Edukasi Kepada Orang Tua

7. KIE
a. Memberi tahu kepada ibu dari pasien untuk minum sedikit demi sedikit dengan menggunakan cangkir.
Jika anak muntah, tunggu 10 menit dan berikan kembali dengan lebih lambat. Ibu harus terus memberi
cairan tambahan sampai diare anak berhenti.
b. Memberi tahu kepada ibu dari pasien bahwa tablet zink dapat digunakan dengan dikunyah atau dilarutkan
c. Memberikan tablet zinc kepada anak selama 10 hari penuh.
d. Cara memberikan oralit pada anak yaitu dengan mencuci tangan terlebih dahulu, sediakan satu gelas air
minum, masukkan satu bungkus oralit kedalam air, dan aduk cairan oralit sampai larut
8. Monitoring
23
a. Melihat perkembangan konsistensi tinja setelah pemberian terapi farmakologi
b. Monitoring pemberian gizi pada pasien
c. Dilihat efek samping obat yang terjadi apabila terdapat gejala seperti mual, muntah, nefrotoksisitas,
gangguan gastrointestinal, peril dilambung maka segera hubungi dokter.

b. Konstipasi
Seorang laki-laki umur 45 tahun ke apotek ingin membeli obat untuk konstipasinya. Saat ini dia telah
menggunakan obat hidrokodon/asetaminophen (vicodin) 10 mg/325 gm tiap 4-6 jam jika nyeri. Klonidin 0,2 mg
3x/hari, HCT 25 mg/hari untuk hipertensi, simvastatin 20 mg tiap pagi, omeprazole 20 mg 2x/hari untuk GERD,
bupropion-SR 150 mg 2x/hari untuk terapi berhenti merokoknya.
Pertanyaan:
1. Apa yang menjadi faktor penyebab pada konstipasi pasien?
2. Apa terapi farmakologi dan non farmakologi pasien?

Penyelesaian Kasus :
1. Identitas pasien
Nama :-
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
2. Riwayat pasien
Riwayat sosial : perokok
Riwayat keluarga :-
Riwayat kesehatan : Hipertensi, Asam urat, GERD, konstipasi
Riwayat terapi : Hidrokodon/asetaminophen (vicodin) 10 mg/325 gm tiap 4-6 jam, Klonidin 0,2 mg
3x/hari, HCT 25 mg/hari, simvastatin 20 mg tiap pagi, omeprazole 20 mg 2x/hari dan bupropion-SR 150
mg 2x/hari .
3. Permasalahan pasien
Pasien datang ke apotek membeli obat untuk mengobati konstipasinya

4. Faktor penyebab konstipasi


Berdasarkan Dipiro konstipasi dapat disebabkan oleh penggunaaan obat-obatan. obat penyebab
terjadinya konstipasi dari pasien yaitu efek samping dari penggunaan obat vicoden yang mengandung
24
hidrokodon/asetaminophen yang merupakan obat analgesik, klonidin, HCT (gologan diuretic), Simvastatin,
omeraprazole dan Bupropion . Obat-obat itulah yang merupakan factor penyebab konstipasi tersebut.
Selain itu, disebabkan oleh penyaki GERDnya.

5. Klasifikasi Penyakit
Berdasarkan faktornya penyebab pasien digolongkan menjadi “Secondary Causes”

6. Tatalaksana terapi
a. Tujuan terapi
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasari, meredakan gejala, dan
mengembalikan fungsi usus yang normal serta memperbaiki kulaitas hidup dengan meminimalkan efek
samping terapi obat.

b. Strategi terapi
Berdasarkan penyebab konstipasi pasien strategi yang dipilih untuk terapi konstipasi tersebut dan
dilihat dari pemerikaan laboratorium belum ada, maka strategi terapi yang dipilih adalah terapi
farmakologi dengan penggunaan obat docusat dimana minyak kastor ini bekerja dengan menyebabkan
air terserap pada feses sehingga feses menjadi lunak dan mudah dikeluarkan dengan durasi pendek
yaitu 1- 3 hari (Pusmarani, 2019), terapi non farmakologi dan penurunan setengah dari dosis
penggunaan hidrokodon/asetaminophen yang merupakan obat analgesik, klonidin, HCT (gologan
diuretic), Simvastatin, omeraprazole dan Bupropion.

c. Terapi
1) Farmakologi
Adapun terapi farmakologi berupa penggunaan obat docusat
2) Non Farmakologi
Adapun terapi non farmakologi yang dipih yaitu :
a. Hindari makan makanan pedas dan mengandung banyak lemak
b. Intervensi diet (banyak minum, konsumsi karbohidrat dan serat)
c. Modifikasi perilaku dan toilet training, serta aktivitas fisis teratur
d. Modifikasi diet tinggi serat paling minimal sekali sebulan
7. KIE
25
a. Menjelaskan kepada pasien bahwa pengobatan konstipasi tidak mebutuhkan waktu yang cepat
b. Menjelaskan kepada pasien penggunaan obat docusat 2-3 kali sehari.
c. Menjelaskan kepada pasien untuk menurunkan setengah dari dosis penggunaan obat
hidrokodon/asetaminophen yang merupakan obat analgesik, klonidin, HCT (gologan diuretic),
Simvastatin, omeraprazole dan Bupropion.
d. Menjelaskan kepada pasien bahwa efek samping dari obat dokusat dapat berupa mual, muntah dan diare
e. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyebab konstipasinya dikarenakan efek samping dari penggunaan
obat yang dipakainya
f. Menjelaskan kepada pasien bahwa untuk rajin memakan makanan berserat seperti sayuran dan buah-
buahan\
g.
8. Monitoring
a. Memonitoring efek samping dari penggunaan obat-obatan ynag dipakai pasien setelah dituunkan
dosisnya apakah ada penurunan terjadi konstipasi
b. Memonitoring apakah setelah mengonsumsi agen pembentuk masal dapat menurunkan kosntipasi
c. Memonitoring pola hidup pasien seperti diet dan makan makanan berserat
d. Memonitoring perubahan konstipasi akibat penggunaan minyak kastor
e. Memonitoring efek samping docusat seperti mual, mutah dan diare

26
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pokok bahasan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa:
1. Diare adalah frekuensi pengeluaran dan kekentalan feses yang tidak normal. Konstipasi adalah suatu
keadaan yang ditandai oleh perubahan konsistensi feses menjadi keras, ukuran besar, penurunan
frekuensi atau kesulitan defekasi.
2. Berdasarkan lama waktu diare (durasi), dibagi menjadi 2, yaitu diare akut dan diare kronik.
berdasarkan mekanisme patofisiologik diare sekresi (secretory diarrhea dan diare osmotic (osmotic
diarrhea). adapun klasifikasi konstipasi berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan
konstipasi akibat kelainan struktural, konstipasi fungsional, konstipasi fungsional primer, dan
konstipasi fungsional sekunder. Berdasarkan durasinya, konstipasi dapat diklasifikasikan: konstipasi
akut dan konstipasi kronis.
3. Penyebab diare dapat dikelompokkan menjadi : virus, bakteri, parasit, keracunan makanan,
malabsorbsi, alergi, imunodefisiensi, efek samping obat. Adapun etiologi dari konstipasi sebagai
berikut : pola hidup, diet rendah serat, kurang cairan/minum, kebiasaan buang air besar yang tidak
teratur, dan obat – obatan.
4. Beberapa gejala dan tanda diare antara lain: Gejala umum (berak cair atau lembek, muntah, demam,
gejala dehidrasi) dan gejala spesifik (Vibro cholera dan Disenteriform). Adapun beberapa tanda dan
gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau terkadang beberapa penderita sembelit
27
sebagai berikut: feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, bagian anus atau dubur terasa
penuh, tidak plong, dan bagai terganjal sesuatu disertai rasa sakit, lebih sering buang angin yang
berbau lebih busuk daripada biasanya, usus kurang elastic, terjadi penurunan frekuensi buang air
besar.
5. Penyakit diare masih menjadi masalah global dengan derajat kesakitan dan kematian yang tinggi di
berbagai negara terutama di negara berkembang, dan juga sebagai salah satu penyebab utama
tingginya angka kesakitan dan kematian anak di dunia. Secara umum, diperkirakan lebih dari 10 juta
anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahunnya di dunia dimana sekitar 20% meninggal
karena infeksi diare. Adapun prevalensi konstipasi di Eropa sebesar 17%, dan di Oseania sebesar
15,3%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Chiarelli, dkk. didapat prevalensi konstipasi pada usia 18-
23 tahun sebesar 14,1%, pada usia 45-50 tahun ada 26,6% dan pada usia 70- 75 tahun sebesar
27,7%.2 Menurut population estimates and international data base, United States Census Bureau pada
tahun 2004 di Amerika Serikat, ratarata prevalensi konstipasi sebesar 4,4 juta jiwa (1.62%).
6. Empat mekanisme patofisiologis umum yang mengganggu keseimbangan air dan elektrolit,
menyebabkan diare, dan merupakan dasar diagnosis dan terapi. Mekanisme tersebut yakni (a)
perubahan transpor ion aktif baik dengan penurunan penyerapan natrium atau peningkatan sekresi
klorida; (b) perubahan motilitas usus; (c) peningkatan osmolaritas luminal; dan (d) peningkatan
tekanan hidrostatik jaringan. Mekanisme ini telah dikaitkan dengan empat kelompok diare klinis yang
luas: sekretori, osmotik, eksudatif, dan perubahan transit usus. Adapun patofisiologi konstipasi yaitu
defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantar feses ke rektum untuk
dikeluarkan. Feses masuk dan merenggangkan ampula dari rekum diikuti relaksasi dari sfingter anus
interna. Untuk menghindari pengeluaran feses secara spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter
anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dipersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima
rangsangan keinginan untuk buang air besar dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi,
sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan
menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot-otot levator ani.
7. Diagnosa pada penyakit diare, untuk menegakkan diagnosis penyakit diare dengan cara: Pemeriksaan
tinja, Pemeriksaan darah, Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah. Pada penyakit konstipasi
untuk menegakkan diagnosis penyakit yaitu: Anamnesis.
8. Pemeriksaan konstipasi yaitu Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Laboratorium. Adapun Konstipasi
yaitu Pemeriksaan fisik, Pemeriksaan neurologic, dan Pemeriksaan vagina untuk mengobservasi
adanya rektokel.

28
9. Tatalaksana Diare yaitu Jika gejalanya menetap setelah 3-4 hari, etiologi spesifik harus ditentukan
dengan melakukan kultur tinja. Untuk itu harus segera dirujuk. Modifikasi gaya hidup dan edukasi
untuk menjaga kebersihan diri. Konseling dan Edukasi kepada keluarga untuk turut menjaga higiene
keluarga dan pasien. Adapun untuk konstipasi yaitu diet dan hidrasi pada pasien dengan gejala yang
menggangu, obat-obat pencahar, merangsang peristaltic.
10. Dasar pengobatan diare adala Cairan per oral, Cairan parental, Pemberian cairan pasien malnutrisi
energi protein (MEP) Dietetik (cara pemberian makanan), Terapi farmakologi Obat antipiretik,
Pemberian Zinc. Adapun Pengobatan konstipasi pada ibu hamil dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu
terapi non obat dan terapi obat. Terapi non obat dan terapi obat.

29
DAFTAR PUSTAKA

Arsurya, Y., Eka A. R., dan Abdiana, 2017, Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Penanganan Diare dengan
Kejadian Diare pada Balita di Kelurahan Korong Gadang Kecamatan Kuranji Kota Padang, Jurnal
Kesehatan Andalas, Vol. 6(2).

Budianto dan Novendy, 2018, Hubungan konsumsi serat dengan kejadian konstipasi pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanagara periode 1-13 Maret 2015, Tarumanagara Medical Journal, Vol.
1(1).

Davey, K.J, 1998 Pembiayaan Pemerintah Daerah–Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya bagi Dunia
Ketiga, Penerjemah Amanulah dkk, UI Press, Jakarta.

Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R, M., Barbara G. W., dan L. Micahel P., 2011, Pharmacotherapy 8th
Edition, The McGraw-Hill Companies: USE.

Endyarni, B., dan Badriul H. S., 2004, Konstipasi Fungsional, Sari Pediatri, Vol. 6(2).

Hartati, S., dan Nurazila, 2018, Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Rejosari Pekanbaru, Jurnal Endurance, Vol. 3(2).

Hidayat, A.A. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Salemba : Jakarta.

Jannah, I. N., Arifa M., dan Edith F. P., 2017, Reduction of Constipating Scoring System Among Women Aged
18–25 Years Old as a Result of Decocted Trengguli (Cassia fistula L.), Journal of Vocational Health
Studies, Vol. 1(2).

Kementerian Kesehatan RI, 2011, Pengendalian Diare di Indonesia, Buletin Jendela Data & Informasi Kesehatan,
Vol. 2.

Panduan Praktis Klinik Bagi Dokter Di Fasilitas pelayanan Kesehatan Primer : Jakarta.

30
Pranarka, K. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing

Sari, N. K., Alamsyah L., dan Aspri A., 2017, Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Diare dengan Kejadian Diare
pada Anak1-4 tahun di Wilayah Puskesmas Pekan Bahorok, Ibnu Sina, Vol. 25(4).

Siregar,C.J.P., 2004, Farmasi Rumah Sakit, Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta.

Stockley, I.H., 2008, Stockley’s drug interaction eight edition, Pharmaceutical press, London.

Tanto, C., 2014, Kapita Selekta Kedokteran: Edisi 4 Jilid 1, Media Aesculapius : Jakarta.

Utami, N., dan Nabila L., 2016, Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare pada Anak, Majority, Vol. 5(4).

Wells, B. G., Joseph T. D., Terry L. S., dan Cecily V. D., 2015, Pharmacotherapy Hanbook 9th Edition, The
McGraw-Hill Companies: USE.

Wichayanti, N., Mohammad N., dan Dwi U. W., 2017, Penyebab Konstipasi pada Klien Stroke di Ruamh Sakit
Islam Jemusari Surabaya, Jurnal Keperawatan, Vol. 10(3).

31

Anda mungkin juga menyukai