Anda di halaman 1dari 2

Kitab Shalat Tarawih

 
 
Bab 1: Keutamaan Orang yang Mendirikan Shalat Sunnah pada Bulan Ramadhan
 
985. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari
Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau."

Ibnu Syihab berkata, "Kemudian Rasulullah wafat sedangkan hal itu (shalat tarawih itu) tetap seperti itu. Selanjutnya, hal itu pun tetap begitu pada masa pemerintahan
Abu Bakar dan pada masa permulaan pemerintahan Umar."[1]

986. Abdurrahman bin Abd al-Qariy[2] berkata, "Saya keluar bersama Umar ibnul Khaththab pada suatu malam dalam bulan Ramadhan sampai tiba di masjid. Tiba-tiba
orang-orang berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Setiap orang shalat untuk dirinya sendiri. Ada orang yang mengerjakan shalat, kemudian diikuti oleh sekelompok
orang. Maka, Umar berkata, 'Sesungguhnya aku mempunyai ide. Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan menjadi satu dan mengikuti seorang imam yang pandai
membaca Al-Qur'an, tentu lebih utama.' Setelah Umar mempunyai azam (tekad) demikian, lalu dia mengumpulkan orang menjadi satu untuk berimam kepada Ubay bin
Ka'ab.[3] Kemudian pada malam yang lain aku keluar bersama Umar, dan orang-orang melakukan shalat dengan imam yang ahli membaca Al-Qur'an. Umar berkata, 'Ini
adalah sebagus-bagus bid'ah (barang baru). Orang yang tidur dulu dan meninggalkan shalat pada permulaan malam (untuk melakukannya pada akhir malam) adalah
lebih utama daripada orang yang mendirikannya (pada awal malam).' Yang dimaksudkan olehnya ialah pada akhir malam. Adapun orang-orang itu mendirikannya pada
permulaan malam

Sanad dan Matan


 
 Sanad atau isnad secara bahasa artinya sandaran, maksudnya adalah jalan
yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan
PEMBAGIAN AS-SUNNAH MENURUT SAMPAINYA KEPADA KITA
hadits dan menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum
pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Shallallahu
As-Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
‘alaihi wa sallam yakni Sahabat. Misalnya al-Bukhari meriwayatkan satu
kita dilihat dari segi sampainya dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad.
hadits, maka al-Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang
Hadits mutawatir ialah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum al-
yang disampaikan secara bersamaan oleh orang-orang kepercayaan dengan
Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan Shahabat yang meriwayatkan hadits
cara yang mustahil mereka bisa bersepakat untuk berdusta.
itu dikatakan akhir sanad.
Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:
Matan secara bahasa artinya kuat, kokoh, keras, maksudnya adalah isi, ucapan
atau lafazh-lafazh hadits yang terletak sesudah rawi dari sanad yang akhir.
[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan
(menyampaikannya) dengan kalimat pasti.
Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang datang kepada mereka
[2]. Sandaran penyampaian kepada sesuatu yang konkret, seperti penyaksian
melainkan jika mempunyai sanad, mereka melakukan demikian sejak
atau mendengar langsung, seperti:
tersebarnya dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
dipelopori oleh orang-orang Syi’ah.
"sami'tu" = aku mendengar
"sami'na" = kami mendengar
Seorang Tabi’in yang bernama Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H)
"roaitu" = aku melihat
rahimahullah berkata, “Mereka (yakni para ulama hadits) tadinya tidak
"roainaa" = kami melihat
menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata,
‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang
[3]. Bilangan (jumlah) mereka banyak, mustahil menurut adat mereka
menyampaikannya Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima, tetapi bila yang
berdusta.
menyampaikannya ahlul bid’ah, maka haditsnya ditolak.’”[1]
[4]. Bilangan yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad,
pertengahan sampai akhir sanad, rawi yang meriwayatkannya minimal 10
Kemudian, semenjak itu para ulama meneliti setiap sanad yang sampai kepada
orang.[3]
mereka dan bila syarat-syarat hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka
menerima hadits tersebut sebagai hujjah, dan bila syarat-syarat tersebut tidak
Hadits ahad ialah hadits yang derajatnya tidak sampai ke derajat mutawatir.
terpenuhi, maka mereka menolaknya.
Hadits-hadits ahad terbagi menjadi tiga macam.
Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu
[a]. Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 3 sanad.
termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan
[b]. Hadits ‘aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 2 sanad.
berkata sekehendaknya apa yang ia inginkan"[2]
[c]. Hadits gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 1 sanad.[4]
 
Para ulama hadits telah menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab I : As-
pembahasan bagi tiap-tiap sanad dan matan, apakah hadits tersebut dapat
Sunnah Dan Definisinya, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka
diterima atau tidak. Ilmu yang membahas tentang masalah ini ialah ilmu
At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua
Mushthalah Hadits.
Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005

Anda mungkin juga menyukai