Pembimbing:
dr. Hanny Dewajanti
DPJP
dr. Titos Ahimsa, SpPd
Disusun Oleh:
dr. Kartika Rahmawati
LEMBAR PENGESAHAN
PORTOFOLIO
COLITIS, CHRONIC LIVER DISEASE - HEPATITIS B,
CHOLECYSTITIS
Pembimbing:
dr. Hanny Dewajanti
DPJP
dr. Titos Ahimsa, SpPd
Disusun Oleh:
dr. Kartika Rahmawati
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Tanggal Lahir : 19 Maret 1955
Jenis Kelamin : Laki laki
Usia : 55 tahun
No RM : 32-84-49
Tanggal MRS : 17-03-2020
Anamnesis:
Keluhan utama: Nyeri perut sejak 2 minggu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merasakan nyeri perut sejak 2 minggu smrs. Nyeri perut dirasakan pada bagian
ulu hati kemudian menjalar ke pinggang kanan. Nyeri dirasakan terus menerus
sehingga mengganggu aktifitas pasien. Mual dan muntah juga dirasakan pasien.
Muntah 4-5 kali dalam 1 hari. Nafsu makan pasien menurun. Pasien mengeluhkan
perut terasa kembung. Kuning juga dikatakan muncul di seluruh tubuh. Demam
dirasakan hilang timbul berserta mengiggil. BAB dirasakan sulit. BAK tidak lampias,
namun keluhan nyeri berkemih, BAK merah disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien sempat dirawat dengan keluhan serupa 1 minggu smrs. Riwayat HT, DM,
Penyakit jantung disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan: Pasien meminum obat rutin sistenol dan ricovir.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Serupa (-), HT(-), DM(-)
Riwayat pribadi: Pasien memiliki kebiasaan meminum alcohol saat masi muda,
merokok satu bungkus per hari, makan makanan yang berlemak. Pasien memakai
tattoo sejak tahun sejak tahun 1985, pasien bekerja sebagai nelayan. Riwayat transfusi
darah disangkal oleh pasien
Riwayat Alergi: -
Pemeriksaan Fisik
Hematokrit 40 40-52
Faal Ginjal
Ureum 26 17-43
Elektrolit
e. Laboratorium (11/07/2016)
V. Assesment
Colitis, Chronic Liver Disease - Hepatitis B, Cholecytitis.
VI. Management
- Operatif :-
- Farmakologi :
Obat injeksi
Aminofusin Hepar : D5% 1:1 / 24 jam
Omeprazole 2x1 amp
Ondansentron 3x1 amp
Cefoperazone 3x1 gram
Obat oral
Sistenol 3x1
Ricovir 1-0-0
- Non Farmakologi : Diet Hati II
- Montoring : Observasi Vital Sign, GCS
17/03/2 Nyeri ulu hati, KU:TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning, mual, TD: 148/28 Chronic Liver Cefoperazone 3x1g
muntah 4-5x. Nadi: 88 Disease, Hep B Omeprazole 3x40mg
Suhu: 36,5 Hiponatremi Ondansentrone 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)
18/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning, BAB TD: 125/70 Chronic Liver Cefoperazone 3x1g
Susah Nadi:78 Disease, Hep B Omeprazole 3x40mg
Suhu: 36,3 Ondansentrone 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)
19/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning, TD:130/63 Chronic Liver Cefoperazone 2x1g
Nadi: 77 Disease, Hep B Omeprazole 3x40mg
Suhu: 36,6 Cholcystitis Ondansentrone 3x1 amp
PF: SI +/+ , Meropenem 3x1 amp
Distensi Sistenol 3x1 PO
abdomen , NT Ricovir 1.0.0 PO
epigastrium
(+)
20/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning TD: 130/68 Chronic Liver Cefoperazone 2x1g
Nadi: 80 Disease, Hep B Omeprazole 3x40mg
Suhu: 36,8 Cholcystitis Ondansentrone 3x1 amp
PF: SI +/+ , Meropenem 3x1 amp
Distensi Sistenol 3x1 PO
abdomen , NT Ricovir 1.0.0 PO
epigastrium
(+)
21/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning TD: 132/80 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 82 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36,7 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)
22/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning TD: 92/53 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 90 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36,7 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)
23/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning TD: 100/36 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 88 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36,3 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)
24/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning TD:120/61 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 80 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)
25/03/2 Keluhan nyeri ulu KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 hati berkurang TD: 120/70 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 78 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36,3 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen
26/03/2 Keluhan nyeri ulu KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 hati berkurang TD: 120/78 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 36,5 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36,5 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)
PEMBAHASAN
COLITIS
1.1 ANATOMI
Intestinum crassum atau yang disebut dengan usus besar terdiri atas caecum,
appendiks, colon, rectum,dan analis canalis. Usus besar memiliki Panjang 1,5 m
dengan diameter 6,5 cm pada manusia hidup dan cadaver.
Intestinum crissum dapat dibedakan dari intestinum tenue dikarenakan adanya
pita otot yang menebal (taenia coli), sakulasi dinding intestinum crassum antara
taenia coli (haustra), dan kantong omentum kecil berisi lemak (appendices
epiploicae).
Caecum merupakan bagian pertama dari intestinum crissum dan nantinya
berlanjut menjadi colon ascenden. Caecum ini merupakan organ yang berbentuk
seperti kantong yang menghubungkan ileum pada bagian medial caecum yang
disebut sebagai ileocaecal junction dan colon ascenden di superior dari caecum
ini. Selain itu terdapat pula organ yang berhubungan dengan caecum di bagian
posteromedial yaitu appendiks vermiformis.
Colon terbagi menjadi 4 bagian yaitu colon ascenden, colon transversum,
colon descenden, dan colon sigmoid.
Rectum memiliki panjang 15 cm dan terletak di anterior sacrum dan
coccygeus. Sekitar 2-3 cm dari ujung usus besar disebut dengan analis canalis.
Bagian yang terbuka dari analis canalis ini disebut dengan anus. Pada anus ini
terdapat dua sphincter yaitu sphincter analis internus (involunter) dan sphincter
analis externus (volunter).
1.4 DIAGNOSIS
2.4.1 ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Gejala yang umumnya dikeluhkan pada pasien dengan colitis adalah diare yang
disertai darah dan lendir, nyeri perut, tenesmus, demam dan terkadang disertai
penurunan berat badan. Gejala klinis yang dapat dibedakan pada colitis adalah
sebagai berikut:
Pada pemeriksaan fisik secara umum didapatkan demam tinggi 38℃, nyeri
tekan saat dilakukan palpasi abdomen, bising usus dapat normal atau meningkat, dan
dapat disertai tanda-tanda dehidrasi. Yang membedakan umumnya letak nyeri tekan
pada abdomen.
Pada colitis amebik dapat ditemukan distensi abdomen. Pada colitis amebik,
Shigellosis, colitis tuberkulosa, colitis pseudomembranous nyeri tekan pada perut
terutama pada perut kanan bawah, sedangkan pada colitis ulcerative nyeri tekan di
kuadran kiri bawah, dan pada crohn’s disease nyeri tekan berdasarkan lokasi
terjadinya inflamasi. Pada colitis tuberculosis pada pemeriksaan fisik dapat teraba
massa, tersering di kuadran kanan bawah, dan didapatkan asites.
Gejala colitis ischemic bermanifestasi dalam hitungan jam dan akan terus
memburuk disertai dengan ketidakstabilan sistemik. Colitis ischemic dapat
menyebabkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) terkait dengan
takikardi, hipotensi, takipnea, dan terjadi peningkatan suhu.
Untuk membedakan crohn’s disease dan colitis ulcerative, pada crohn’s disease dapat
ditemukan fistula perianal. Untuk membedakan penyebab pasti dari colitis yaitu
dengan dilakukan pemeriksaan penunjang lanjutan.
Foto polos abdomen menunjukkan distensi colon transversum yang berhubungan dengan edema
mukosa.
Gambaran dengan barium enema pada colitis ulseratif stadium berat dimana haustra
tidak terlihat hampir menyeluruh di semua colon.
a: Penebalan dinding colon (panah putih) dan hyperenhancement dari colon kanan. b: Pembengkakan
vasa recta pericolonic (panah putih) dengan penebalan dinding colon dan hyperenhancement di colon
sigmoid.
1.5 TATALAKSANA
Penatalaksanaan yang diberikan pada penderita colitis bervariasi dari
etiologi penyebabnya, adapun penatalaksaan yang diberikan sebagai berikut ;
a) Colitis Amebik ( Amebiasis Colon )
1. Sebagian besar pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada
pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah
berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan
rehidrasi intravena.
2. Penggunaan antibiotik berdasarkan beratnya penyakit yaitu pasien dengan
gejala disentri sedang sampai berat, diare persisten serta perlu diperhatikan
pola sensitivitas kuman di daerah tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang
dianjurkan adalah:
Ampisilin 4 kali 500 mg per hari
Kotrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari
Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari
d) Colitis Tuberkulosa
Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti
pada pengobatan tuberculosis paru, demikian pula lama pengobatan dan
dosis obatnya. Beberapa obat anti tuberculosis yang sering dipakai adalah :
d) Colitis Pseudomembran
Terapi awal yang penting adalah menghentikan penggunaan antibiotika
yang diduga menyebabkan colitis pseudomembran atau minimal mengganti
dengan antibiotika yang kecil kemungkinan untuk pertumbuhan C. difficile,
menghindari penggunaan obat yang mengganggu peristaltik (seperti narkotik
dan antidiare), mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
e) Colitis Ulserativa
f) Colitis Iskemik
Bila colitis iskemik ringan, dapat diberikan obat untuk menjaga tekanan
darah pada tingkat normal, yang akan membantu memperlancar aliran darah
ke usus. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi. Dengan langkah-
langkah konservatif tersebut, gejala sering berkurang dalam 24 hingga 48
jam dalam kasus-kasus ringan.
Namun, jika pasien mengalami dehidrasi, perlu diberikan cairan dan
nutrisi melalui pembuluh darah, mungkin juga perlu pembatasan asupan
makanan selama beberapa hari untuk mengistirahatkan usus.
Jika colitis iskemik berkembang sebelum usia 50 atau pada pasien yang
memiliki riwayat hiperkoagulable atau gangguan yang meningkatkan
kecenderungan darah untuk membeku (faktor V Leiden) dapat diberi
warfarin (Coumadin), yang dapat membantu mencegah episode colitis
iskemik.
g) Colitis Gangrenosa
.1 ANATOMI
Kandung empedu (vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi fundus,
corpus, dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah
pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus merupakan bagian terbesar
dari kandung empedu. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan
arahnya ke atas, belakang, dan kiri. Collum adalah bagian yang sempit dari kandung
empedu. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum
minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk
duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna
menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri
perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat
dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung
empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.
3.3 PATOGENESIS
3.4 DIAGNOSIS
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian atas
yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke
unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa
mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi
peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien menjalar hingga ke bahu
kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari regio epigastrium dan
kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal
dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua
kasus kolesistitis.
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas
abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas
saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang
menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy
positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan
leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien,
ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine
aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di
duktus biliaris.
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi
(USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu.
Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu,
adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak antara probe
USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan ketepatan USG
mencapai 90-95%.
Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG atau
skintigrafi yang mendukung.
3.6 KOMPLIKASI
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang
tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan
ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema
kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara laparoskopik
menjadi kolesistektomi terbuka.
Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu
berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum
terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan
adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil
gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp.
Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih sering
pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya
insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan kolesitektomi
darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.
3.7 TATALAKSANA
Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat jalan
dengan syarat:
1. Tidak demam dan tanda vital stabil
2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.
Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode
endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic
retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung
empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus
biliaris. Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy adalah metode
yang aman dan cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang memiliki resiko
tinggi pembedahan.
3.8 PROGNOSIS
Hepatitis B adalah penyakit infeksi disebabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel –sel hati. Penyebab hepatitis B
adalah virus DNA yang tergolong dalam kelas hepaDNA dan mempunyai masa
inkubasi 1-6 bulan. Komponen lapisan luar pada hepatitis B disebut hepatitis B
surface antigen (HbsAg) dalam inti terdapat genome dari HVB yaitu sebagian dari
molekul tunggal dari DNA spesifik yang sirkuler dimana mengandung enzim yaitu
DNA polymerase. Disamping itu juga ditemukan hepatitis Be Antigen (HBeAg).
Antigen ini hanya ditemukan pada penderita dengan HBsAg positif. HBeAg positif
pada penderita merupakan pertanda serologis yang sensitif dan artinya derajat
infektivitasnya tinggi, maka bila ditemukan HBsAg positif penting diperiksa HBeAg
untuk menentukan prognosis penderita.
Cara utama penularan virus hepatitis B adalah melalui parenteral dan menembus
membrane mukosa terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata
sekitar 60-90 hari. HbsAg telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang
yang terinfeksi yaitu darah, semen, saliva, air mata, asites, air susu ibu, urin, dan
bahkan feses. Setidaknya sebagian cairan tuibuh ini(terutama darah, semen, dan
saliva) telah terbukti bersifat infeksius.
4.2 DIAGNOSIS
– HbsAg (+) , DNA VHB lebih lebih dari 105 kopi / ml . didapatkan kenaikan
ALT yang menetap atau intermitten.
– Tanda – tanda peradangan penyakit hati kronik
– HbsAg (+), titer DNA VHB kurang dari 105kopi / ml . konsentrasi ALT
normal
Tabel 1. Definisi dan kriteria diagnostik pasien dengan infeksi hepatitis B kronik
Carrier Infeksi virus hepatitis B persisten 1. HBsAg + > 6 bulan
tanpa disertai proses nekro-inflamasi
HBsAg 2. HBeAg – , anti HBe +
yang signifikan
inaktif 3. HBV DNA serum <105copies/ml
4.Kadar ALT/AST normal
4.3 TATALAKSANA
Terapi spesifik hingga sekarang masih dalam tahap eksperimental dan pola
pemberian bermacam-macam.
Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, sero konvensi HBeAg tidak
dapat dipakai sebagai titik akhir pengobatan dan respons pengobatan hanya dapat
dinilai dengan pemeriksaan DNA VHB.
1. Golongan imunomodulasi
Interferon adalah kelompok protein intreseluler yang normal ada dalam tubuh,
diproduksi oleh sel limfosit dan monosit. Produksinya dirangsang oleh berbagai
macam stimulasi terutama infeksi virus.
IFN berkhasiat sebagai antivirus, imuno modulator, anti prolifrative dan antipribotif.
Efek anti virus terjadi dimana IFN berinteraksi dengan reseptornya yang terdaftar
pada membrane sitoplasma sel hati yang diikuuti dengan diproduksinya protein
efektor sebagai antivirus. Pada hepatitis B kronik sering didapatkan penurunan IFN.
Akibatnya,terjadi penampilan molekul HLA kelas 1 pada membrane hepatosit yang
sangat diperlukan agar sel T sitotoksit dapat mengenali sel – sel hepatosit yang
terkena virus VHB. Sel – sel terseut menampilkan antigen sasaran (target antigen)
VHB pada membrane hepatosit.
IFN adalah salah satu obat pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B kronik
dnegan HbeAg positif, dengan aktifitis penyakit ringan – sedang, yang belum
mengalami sirosis. IFN telah dilaporkan dapat mengurangi replikasi virus.
Dosis IFN yang dianjurkan untuk HBeAg (+) adalah 5 – 10 MU 3x seminggu selama
16 – 24 minggu. Untuk HBe Ag (-) sebaiknya sekurang – kurangnya diberikan selama
12 bulan.
Timosin alfa
Timosin alfa merangsang fungsi sel limfosit. Pada hepatitis virus B, timosin alfa
berfungsi menurunkan replikasi VHB dan menurunkan konsentrasi atau
menghilangkan DNA VHB. Keunggulan obat ini adalah tidak efek samping seperti
IFN, dengan kombinasi dengan IFN obat ini dapat meningkatkan efektifitas IFN.
2. Golongan antiviral
¨ Lamivudin
Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dari 3’ tiasitidin yang merupakan suatu analog
nukleosid, berfungsi sebagai bahan pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid
bersaing dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse
transcriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang
terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan
mencegah infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi tetapi tidak mempengaruhi sel
– sel yang telah terinfeksi, karena itu apabila obat dihentikan konsentrasi DNA akan
naik kembali akibat diproduksinya virus – virus baru oleh sel – sel yang telah
terinfeksi. Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV
DNA, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan mengurangi progresi fibrosis
secara bermakna dibandingkan placebo. Namun lamivudin memicu resistensi. Risiko
resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan makin lamanya pemberian.
Prinsip kerjanya hamper sama dengan lamivudin, yaitu sebagai analog nukleosid yang
menghambat enzim reverse transcriptase. Umumnya digunakan pada kasus – kasus
yang kebal terhadap lamivudin, dosisnya 10 – 30 mg tiap hari selama 48 minggu.
Diet khusus tidak diperlukan, namun harus pertahankan gizi baik dan tidur
yang cukup. Protein 1-1,5 gr/kg/hari. Di RSU DR Sutomosejak tahun 2003 tersedia
diet hati pra/ensefalopati yang terdiiri dari:
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC, 2014 :
666-8
2. Oesman N. Colitis Infeksi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing, 2014 :
1827
3. Singh V. Small and Large Intestine dalam Textbook of Anatomy Abdomen and
Lower Limb. Volume II. 2nd Ed. India: Elsevier, 2014 : 148-62
4. Tortora GJ, Derrickson B. The Digestive System dalam Principles of Anatomy &
Physiology. 14th Ed. Danvers: Wiley, 2014 : 924-6
5. Moore KL, Agur AM. Abdomen dalam Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates,
2002 : 109-13
6. Green, Bryan T., and David A. Tendler. "Ischemic Colitis: a clinical
review." Southern medical journal 98.2 (2005): 217-222.
7. Fleming R, Cooper CJ, Ramirez-Vegal R. Huerta-Alardin A, Boman D, Zuckerman
MJ. Clinical manifestations and endoscopic findings of amebic Colitis in a United
States-Mexico border city: a case series. BMC Res Notes 2015 8;781:1-9
8. Dhawan VK. Amebiasis Clinical Presentation. Available at
https://emedicine.medscape.com/article/212029-clinical#b1
9. World Health Organization. Guidelines for the control of shigellosis, including
epidemics due to Shigella dysenteriae type 1. Available at
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/43252/9241592330.pdf;jsessionid=D
C7909DA330BEDD56549A3B527D68AF4?sequence=1
10. Kroser JA. Shigellosis Clinical Presentation. Available at
https://emedicine.medscape.com/article/182767-clinical
11. Oto BT, Fauzi A, Syam AF, Simadibrata M, Abdullah M, Makmun D, et al. Colitis
Tuberculosis. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and
Digestive Endoscopy 2010;11(3):143-9
12. Trotter JM, Hunt L. Peter MB. Ischaemic Colitis J M Trotter specialist registrar in
general surgery. BMJ 2016;355:1-8
13. Deepak P, Bruining DH. Radiographical evaluation of ulcerative colitis.
Gastroenterology Report. 2014 Aug; 2(3): 169-177.
14. Aali J Sheen, Varia H, Nicholson DA. Ulcearive colitis imaging. Medscape; 2015
Nov 22.
15. Fekety, Robert, and Akshay B. Shah. "Diagnosis and treatment of Clostridium
difficile Colitis." Jama 269.1 (1993): 71-75.
16. Richard S. Snell. 2002. Anatomi klinik. Edisi Ketiga. Jakarta : EGC.
17. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
Hal 477-478.
18. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in
Emergency Medicine. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1950020-
overview.
19. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.
20. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1.
Edisi keempat. Jakarta: EGC, 1994.
21. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis.
http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.
22. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al.
Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.
23. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment. Cleveland
Clinic Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.
24. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al. Flowchart for
the diagnosis and treatment of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelinex.
J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 27-34.
25. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26); 2008.