Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

COLITIS, CHRONIC LIVER DISEASE - HEPATITIS B,


CHOLECYSTITIS

Pembimbing:
dr. Hanny Dewajanti
DPJP
dr. Titos Ahimsa, SpPd

Disusun Oleh:
dr. Kartika Rahmawati
LEMBAR PENGESAHAN
PORTOFOLIO
COLITIS, CHRONIC LIVER DISEASE - HEPATITIS B,
CHOLECYSTITIS

Pembimbing:
dr. Hanny Dewajanti
DPJP
dr. Titos Ahimsa, SpPd

Disusun Oleh:
dr. Kartika Rahmawati
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Tanggal Lahir : 19 Maret 1955
Jenis Kelamin : Laki laki
Usia : 55 tahun
No RM : 32-84-49
Tanggal MRS : 17-03-2020

II. Primary Survey


A: Paten, tidak ditemukan snoring maupun gargling
B: Simetris dengan nafas spontan, RR 20x per menit on air dengan saturasi kapiler
98%
C: Akral hangat, Nadi 86kali per menit regular, tidak didapatkan tanda syok pada
assessment awal, tekanan darah 148/78 mmHg via monitor. Dilakukan
pemasangan IV line
D: GCS 456 dengan pupil ukuran 3 / 3 mm. Tidak ditemukan adanya lateralisasi
E: Tidak ditemukan jejas pada seluruh badan

III. Secondary Survey


AMPLE History
A: Tidak ada riwayat alergi
M: Pasien meminum obat rutin yaitu sistenol, ricovir
P : Pasien sudah memiliki riwayat keluhan serupa sebelumnya. Pasien post rawat
inap 1 minggu smrs dengan keluhan serupa. Riwayat hipertensi dan DM disangkal
L : Pasien sempat diberi bubur dalam porsi sedikit
E : Pasien merasakan nyeri perut sejak 2 minggu

Anamnesis:
Keluhan utama: Nyeri perut sejak 2 minggu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merasakan nyeri perut sejak 2 minggu smrs. Nyeri perut dirasakan pada bagian
ulu hati kemudian menjalar ke pinggang kanan. Nyeri dirasakan terus menerus
sehingga mengganggu aktifitas pasien. Mual dan muntah juga dirasakan pasien.
Muntah 4-5 kali dalam 1 hari. Nafsu makan pasien menurun. Pasien mengeluhkan
perut terasa kembung. Kuning juga dikatakan muncul di seluruh tubuh. Demam
dirasakan hilang timbul berserta mengiggil. BAB dirasakan sulit. BAK tidak lampias,
namun keluhan nyeri berkemih, BAK merah disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien sempat dirawat dengan keluhan serupa 1 minggu smrs. Riwayat HT, DM,
Penyakit jantung disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan: Pasien meminum obat rutin sistenol dan ricovir.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Serupa (-), HT(-), DM(-)
Riwayat pribadi: Pasien memiliki kebiasaan meminum alcohol saat masi muda,
merokok satu bungkus per hari, makan makanan yang berlemak. Pasien memakai
tattoo sejak tahun sejak tahun 1985, pasien bekerja sebagai nelayan. Riwayat transfusi
darah disangkal oleh pasien
Riwayat Alergi: -
Pemeriksaan Fisik

 Kepala : mesosefal, deformitas (-), sklera ikterik (+/+), konjungtiva


anemis (-/-), pupil bulat isokor 3 mm / 3 mm, reflex cahaya
(+/+), THT dbn
 Leher : trakea ditengah, perbesaran tiroid (-), perbesaran KGB (-)
 Paru : Inspeksi : gerak simetris, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan kiri sama kuat
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), ronki (-/-),
wheezing (-/-)
 Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di sela iga 5
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, reguler,
murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Inspeksi : tampak distensi, tampak kuning
Auskultasi : bisung usus (+) normal
Palpasi :nyeri tekan epigastrium, hepatomegali (-),
splenomegali (-) , murphy sign (+)
Perkusi : pekak di ke-4 kuadran abdomen
 Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik
 Kulit : tampak kuning pada seluruh badan, tampak tattoo pada lengan
kiri.
 Punggung : dalam batas normal

IV. Pemeriksaan Tambahan


a. Laboratorium (17-03-2020)

Hasil Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 13,2 13,2-17,3 g/dL

Leukosit 12500 3800-10600

Hematokrit 40 40-52

Trombosit 355000 150000-440000


Glukosa 138 <110 mg/dL

Faal Ginjal

Ureum 26 17-43

Kreatinin 0,7 0,6-1,1

eGFR 125,1 > = 90 : Normal


60-89 : Kidney Damage, mild
impaired GFR
30-59 : Moderately impaired
GFR
15-29 : Severely impaired GFR
<15 : Established renal failure

SGOT 167 0-50

SGPT 123 0-50

Elektrolit

Natrium 129 136-146

Kalium 3,6 3,5-5,0

Klorida 103 98-106

b. Rontgen Thorax (17-03-2020)

Kesimpulan : Dilatasi Arkus Aorta


c. CT Scan Abdomen + Pelvis (14-03-2020)

Kesimpulan: Cholecystitis, Colitis (ROI Sigmoid)

d. USG Abdomen (19-03-2020)

Kesimpulan: Cholecytitis Kronik dengan Kolestasis intrahepatik

e. Laboratorium (11/07/2016)

Hasil Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

IgM anti HAV Negative Positif

HBsAg Reaktif Non Reaktif

Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif

V. Assesment
Colitis, Chronic Liver Disease - Hepatitis B, Cholecytitis.
VI. Management
- Operatif :-
- Farmakologi :
Obat injeksi
Aminofusin Hepar : D5% 1:1 / 24 jam
Omeprazole 2x1 amp
Ondansentron 3x1 amp
Cefoperazone 3x1 gram
Obat oral
Sistenol 3x1
Ricovir 1-0-0
- Non Farmakologi : Diet Hati II
- Montoring : Observasi Vital Sign, GCS

Follow up: (Ruangan Apel)

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning

17/03/2 Nyeri ulu hati, KU:TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning, mual, TD: 148/28 Chronic Liver Cefoperazone 3x1g
muntah 4-5x. Nadi: 88 Disease, Hep B Omeprazole 3x40mg
Suhu: 36,5 Hiponatremi Ondansentrone 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)

18/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning, BAB TD: 125/70 Chronic Liver Cefoperazone 3x1g
Susah Nadi:78 Disease, Hep B Omeprazole 3x40mg
Suhu: 36,3 Ondansentrone 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)

19/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning, TD:130/63 Chronic Liver Cefoperazone 2x1g
Nadi: 77 Disease, Hep B Omeprazole 3x40mg
Suhu: 36,6 Cholcystitis Ondansentrone 3x1 amp
PF: SI +/+ , Meropenem 3x1 amp
Distensi Sistenol 3x1 PO
abdomen , NT Ricovir 1.0.0 PO
epigastrium
(+)

20/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning TD: 130/68 Chronic Liver Cefoperazone 2x1g
Nadi: 80 Disease, Hep B Omeprazole 3x40mg
Suhu: 36,8 Cholcystitis Ondansentrone 3x1 amp
PF: SI +/+ , Meropenem 3x1 amp
Distensi Sistenol 3x1 PO
abdomen , NT Ricovir 1.0.0 PO
epigastrium
(+)

21/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning TD: 132/80 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 82 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36,7 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)

22/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning TD: 92/53 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 90 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36,7 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)

23/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning TD: 100/36 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 88 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36,3 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)

24/03/2 Nyeri ulu hati, KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 kuning TD:120/61 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 80 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)

25/03/2 Keluhan nyeri ulu KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 hati berkurang TD: 120/70 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 78 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36,3 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen

26/03/2 Keluhan nyeri ulu KU: TSS Colitis Infus AmHep : D5% 1:1
0 hati berkurang TD: 120/78 Chronic Liver Omeprazole 3x40mg
Nadi: 36,5 Disease, Hep B Ondansentrone 3x1 amp
Suhu: 36,5 Cholcystitis Meropenem 3x1 amp
PF: SI +/+ , Sistenol 3x1 PO
Distensi Ricovir 1.0.0 PO
abdomen , NT
epigastrium
(+)

27/03/2 Pasien pulang Colitis Obat pulang :


0 Chronic Liver Cefixime 2x100mg
Disease, Hep B Curcuma 3x2mg
Cholcystitis

PEMBAHASAN

COLITIS
1.1 ANATOMI
Intestinum crassum atau yang disebut dengan usus besar terdiri atas caecum,
appendiks, colon, rectum,dan analis canalis. Usus besar memiliki Panjang 1,5 m
dengan diameter 6,5 cm pada manusia hidup dan cadaver.
Intestinum crissum dapat dibedakan dari intestinum tenue dikarenakan adanya
pita otot yang menebal (taenia coli), sakulasi dinding intestinum crassum antara
taenia coli (haustra), dan kantong omentum kecil berisi lemak (appendices
epiploicae).
Caecum merupakan bagian pertama dari intestinum crissum dan nantinya
berlanjut menjadi colon ascenden. Caecum ini merupakan organ yang berbentuk
seperti kantong yang menghubungkan ileum pada bagian medial caecum yang
disebut sebagai ileocaecal junction dan colon ascenden di superior dari caecum
ini. Selain itu terdapat pula organ yang berhubungan dengan caecum di bagian
posteromedial yaitu appendiks vermiformis.
Colon terbagi menjadi 4 bagian yaitu colon ascenden, colon transversum,
colon descenden, dan colon sigmoid.
Rectum memiliki panjang 15 cm dan terletak di anterior sacrum dan
coccygeus. Sekitar 2-3 cm dari ujung usus besar disebut dengan analis canalis.
Bagian yang terbuka dari analis canalis ini disebut dengan anus. Pada anus ini
terdapat dua sphincter yaitu sphincter analis internus (involunter) dan sphincter
analis externus (volunter).

1.2 DEFINISI DAN ETIOLOGI


Colitis adalah suatu peradangan akut atau kronik yang terjadi pada colon.
Peradangan pada colon disebabkan oleh infeksi, hipersensitivitas terhadap
berbagai allergen, iskemia, vasculitis, ataupun akibat konsumsi obat tertentu.
Penyebab Colitis pada Inflammatory Bowel Disease (IBD) tidak diketahui,
namun berdasarkan bukti yang ada menunjukan adanya respon imun yang
abnormal yang mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan. Selain itu genetik
juga dapat memungkinkan terjadinya IBD.

1.3 KLASIFIKASI COLITIS


Colitis diklasifikasikan menjadii infeksi dan non infeksi
1) Colitis Infeksi
a. Colitis Amebik ( Amebiasis Colon)
b. Disentri Basiler ( Shigellosis )
c. Escherichia Coli ( Patogen )
d. Colitis Tuberkulosa
e. Colitis Pseudomembran
Colitis pseudomembran adalah peradangan colon akibat toksin yang
ditandai dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang
melekat di permukaaan mukosa colon. Colitis pseudomembran sering
dihubungkan dengan penggunaan antibiotika yang mengakibatkan
perubahan keseimbangan flora normal usus dan memungkinkan
pertumbuhan beberapa organisme, termasuk C.
2) Colitis Non-Infeksi
a. Colitis Ulserativa
Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan
respon sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga
berperan dalam terjadinya Colitis ulserativa.
b. Colitis Iskemik
Colitis iskemik adalah gangguan yang berkembang ketika aliran darah
ke suatu bagian dari usus besar (colon) berkurang. Hal ini dapat
menyebabkan peradangan pada daerah usus besar dan, dalam beberapa
kasus, dapat menyebabkan kerusakan usus permanen.
c. Colitis Gangrenosa
Merupakan komplikasi dari colitis iskemik yang tidak diobati yang
mengakibatkan kematian jaringan (gangren) di colon. Gangren dapat
berkembang setelah penurunan awal aliran darah ke colon dan dapat
mengakibatkan kematian jika tidak menerima pengobatan tepat waktu.

1.4 DIAGNOSIS
2.4.1 ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Gejala yang umumnya dikeluhkan pada pasien dengan colitis adalah diare yang
disertai darah dan lendir, nyeri perut, tenesmus, demam dan terkadang disertai
penurunan berat badan. Gejala klinis yang dapat dibedakan pada colitis adalah
sebagai berikut:

PENYAKIT KARAKTERISTIK KLINIS


Colitis Ulcerative Diare berdarah, nyeri perut Gejala timbul timbul
pada kuadran kiri bawah bertahap dan progresif.
Crohn’s Disease Lesi perianal, perdarahan Terdapat keluhan
merah terang frekuensi lebih ekstraintestinal seperti
sedikit dari colitis terdapat ruam dan lesi pada
ulcerative, nyeri perut kulit (erythema nodosum
dengan lokasi tidak menentu dan pyoderma
bergantung bagian intestinal gangrenosum), nyeri pada
yang terkena sendi perifer ataupun axial
(arthritis), keluhan pada
mata berupa uveitis maupun
gejala pada sclerosis
Colitis Iskemik Pada kelompok usia tua, cholangitis, hipertensi
terdapat gangguan vascular,
serangan mendadak,
umumnya nyeri

Colitis tuberkulosis Terdapat riwayat kontak


dengan pasien TB atau
terdapat riwayat TB
sebelumnya, keringat
malam, dan konstipasi
Colitis Pseudomembranous Riwayat konsumsi Tampak membrane saat
antibiotik. dilakukan sigmoidoscopy,
toksin C. difficile ditemukan
pada feses.

Colitis Amebik Riwayat berpergian ke di dapatkan amoeba pada


tempat endemis, gejala feses
dapat timbul setelah 1 – 2
minggu mengonsumsi
makanan yg mengandung
amoeba. (onset lambat)
Shigellosis Gejala timbul 1 – 2 hari
setelah mengkonsumsi
makanan yang mengandung
Shigella (onset cepat)

Pada pemeriksaan fisik secara umum didapatkan demam tinggi 38℃, nyeri
tekan saat dilakukan palpasi abdomen, bising usus dapat normal atau meningkat, dan
dapat disertai tanda-tanda dehidrasi. Yang membedakan umumnya letak nyeri tekan
pada abdomen.
Pada colitis amebik dapat ditemukan distensi abdomen. Pada colitis amebik,
Shigellosis, colitis tuberkulosa, colitis pseudomembranous nyeri tekan pada perut
terutama pada perut kanan bawah, sedangkan pada colitis ulcerative nyeri tekan di
kuadran kiri bawah, dan pada crohn’s disease nyeri tekan berdasarkan lokasi
terjadinya inflamasi. Pada colitis tuberculosis pada pemeriksaan fisik dapat teraba
massa, tersering di kuadran kanan bawah, dan didapatkan asites.
Gejala colitis ischemic bermanifestasi dalam hitungan jam dan akan terus
memburuk disertai dengan ketidakstabilan sistemik. Colitis ischemic dapat
menyebabkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) terkait dengan
takikardi, hipotensi, takipnea, dan terjadi peningkatan suhu.
Untuk membedakan crohn’s disease dan colitis ulcerative, pada crohn’s disease dapat
ditemukan fistula perianal. Untuk membedakan penyebab pasti dari colitis yaitu
dengan dilakukan pemeriksaan penunjang lanjutan.

2.4.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaaan penunjang dilakukan dengan pemeriksaan radiologi. Berbagai
bentuk perubahan pada colon dari ringan-berat dapat disebutkan sebagai berikut:
 Perubahan mukosa berupa hilangnya struktur linea innominata,
granuler, atau timbulnya ulsera (halo sign, bulls-eye, target lesion)
 Perubahan dinding berupa hilang/berkurangnya haustrae, kekakuan
dan kerancuan dinding, lumen menyempit dan pemendekan colon.

Pemeriksaan radiologi untuk mendiagnosis colitis diantaranya dapat dilakukan


foto polos abdomen, barium enema, USG, CT Scan, MRI dan Colon in loop. Foto
polos abdomen merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan pemeriksaan
barium enema. Pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi
maka pemeriksaan barium enema merupakan kontra indikasi.

Foto polos abdomen menunjukkan distensi colon transversum yang berhubungan dengan edema
mukosa.
Gambaran dengan barium enema pada colitis ulseratif stadium berat dimana haustra
tidak terlihat hampir menyeluruh di semua colon.

CT standar dapat dilakukan dengan atau tanpa kontras intravena,


tergantung pada pengaturan klinis. Sementara Magnetic resonance imaging
(MRI) adalah pilihan pencitraan non-invasif lain untuk pasien UC.  Penyakit
kolon aktif ringan dapat menunjukkan penebalan halus dinding kolon dan
mengurangi distensibility. Penyakit sedang hingga berat dapat menunjukkan
penebalan dinding usus, edema mural, ulserasi, kehilangan haustra,
hiperpensifikasi mural, membesar vasa recta (tanda sisir) dan kelenjar getah
bening perikolonik membesar.

a: Penebalan dinding colon (panah putih) dan hyperenhancement dari colon kanan. b: Pembengkakan
vasa recta pericolonic (panah putih) dengan penebalan dinding colon dan hyperenhancement di colon
sigmoid.
1.5 TATALAKSANA
Penatalaksanaan yang diberikan pada penderita colitis bervariasi dari
etiologi penyebabnya, adapun penatalaksaan yang diberikan sebagai berikut ;
a) Colitis Amebik ( Amebiasis Colon )

1. Karier asimtomatik. Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal


agents) antara lain: Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali
per hari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg 3 kali sehari
selama 10 hari.
2. Colitis ameba akut diberi Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama
5 – 10 hari, ditambah dengan obat luminal tersebut di atas.
3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya : abses hati ameba). Metronidazol
750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat
luminal.
b) Disentri Basiler ( Shigellosis )

1. Sebagian besar pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada
pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah
berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan
rehidrasi intravena.
2. Penggunaan antibiotik berdasarkan beratnya penyakit yaitu pasien dengan
gejala disentri sedang sampai berat, diare persisten serta perlu diperhatikan
pola sensitivitas kuman di daerah tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang
dianjurkan adalah:
 Ampisilin 4 kali 500 mg per hari
 Kotrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari
 Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari

c) Escherichia Coli ( Patogen )

Pengobatan infeksi E.Coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan


suportif dan simtomatik.

d) Colitis Tuberkulosa
Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti
pada pengobatan tuberculosis paru, demikian pula lama pengobatan dan
dosis obatnya. Beberapa obat anti tuberculosis yang sering dipakai adalah :

 INH 5 – 10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari


 Etambutol 15 – 25 mg/kgBB atau 900 – 1200 mg sekali sehari
 Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400 – 600 mg sekali sehari
 Pirazinamid 25 -3 mg/kgBB atau 1,5 – 2 g sekali sehari

d) Colitis Pseudomembran
Terapi awal yang penting adalah menghentikan penggunaan antibiotika
yang diduga menyebabkan colitis pseudomembran atau minimal mengganti
dengan antibiotika yang kecil kemungkinan untuk pertumbuhan C. difficile,
menghindari penggunaan obat yang mengganggu peristaltik (seperti narkotik
dan antidiare), mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.

e) Colitis Ulserativa

Pengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi


gejala dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Penderita sebaiknya
menghindari buah dan sayuran mentah. Diet bebas susu bisa mengurangi
gejala. Penambahan zat besi bisa menyembuhkan anemia yang disebabkan
oleh hilangnya darah dalam tinja. Obat-obatan antikolinergik atau dosis kecil
loperamide atau difenoksilat, diberikan pada diare yang relatif ringan. Pada
kasus-kasus yang berat, pemberian obat-obat anti-diare ini harus diawasi
secara ketat, untuk menghindari terjadinya megacolon toksik.

Sulfasalazine, olsalazine atau mesalamine sering digunakan untuk


mengurangi peradangan pada colitis ulserativa dan untuk mencegah
timbulnya gejala.. Prednisone dosis tinggi sering memicu proses
penyembuhan. Secara bertahap dosis prednisone diturunkan dan akhirnya
dihentikan.

Penderita dengan perdarahan rektum yang berat mungkin memerlukan


transfusi darah dan cairan intravena. Untuk mempertahankan fase
penyembuhan, diberikan azathioprine dan merkaptopurin. Siklosporin
diberikan kepada penderita yang mendapat serangan berat dan tidak
memberikan respon terhadap kortikosteroid.

f) Colitis Iskemik

Bila colitis iskemik ringan, dapat diberikan obat untuk menjaga tekanan
darah pada tingkat normal, yang akan membantu memperlancar aliran darah
ke usus. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi. Dengan langkah-
langkah konservatif tersebut, gejala sering berkurang dalam 24 hingga 48
jam dalam kasus-kasus ringan.
Namun, jika pasien mengalami dehidrasi, perlu diberikan cairan dan
nutrisi melalui pembuluh darah, mungkin juga perlu pembatasan asupan
makanan selama beberapa hari untuk mengistirahatkan usus.
Jika colitis iskemik berkembang sebelum usia 50 atau pada pasien yang
memiliki riwayat hiperkoagulable atau gangguan yang meningkatkan
kecenderungan darah untuk membeku (faktor V Leiden) dapat diberi
warfarin (Coumadin), yang dapat membantu mencegah episode colitis
iskemik.

g) Colitis Gangrenosa

Gangren memerlukan evaluasi darurat dan perawatan. Secara umum,


jaringan yang mati harus dibuang untuk memungkinkan penyembuhan
jaringan hidup di sekitarnya dan mencegah infeksi lebih lanjut. Pengobatan
dapat mencakup:
 Mengamputasi bagian tubuh yang telah gangrene
 Suatu operasi darurat untuk menemukan dan membuang jaringan mati
 Sebuah operasi untuk meningkatkan suplai darah ke daerah tersebut
 Antibiotik
 Operasi berulang untuk membuang jaringan mati (debridement)
 Pengobatan di unit perawatan intensif (bagi pasien sakit parah)
KOLESISTITIS

.1 ANATOMI

Kandung empedu (vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi fundus,
corpus, dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah
pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus merupakan bagian terbesar
dari kandung empedu. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan
arahnya ke atas, belakang, dan kiri. Collum adalah bagian yang sempit dari kandung
empedu. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum
minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk
duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna
menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah A. cystica, cabang A. hepatica


kanan. V. cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah arteri
yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak


dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi
lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan A. hepatica menuju ke nodi lymphatici
coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung empedu berasal dari plexus coeliacus.
.2 DEFINISI

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri
perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat
dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung
empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.

Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan


kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada
kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung
empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan
demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada kandung empedu
yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan
gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.

3.3 PATOGENESIS

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis


cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus
sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus
kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut
disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu yang menyebabkan
distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun dan
menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang
berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan
prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh
reaksi inflamasi dan supurasi.
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan
empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu
yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis
empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan
pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme
sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama
pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih
lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu
daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.
. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena
meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak
adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama sehingga menghasilkan
penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung
empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari
tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan
puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan stimulus
dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu,
sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu
yang terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal
jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.
Penelitian yang dilakukan oleh Cullen et al memperlihatkan kemampuan
endotoksin dalam menyebabkan nekrosis, perdarahan, penimbunan fibrin yang luas,
dan hilangnya mukosa secara ekstensif, sesuai dengan iskemia akut yang menyertai.
Endotoksin juga menghilangkan respons kontraktilitas terhadap kolesistokinin (CCK)
sehingga menyebabkan stasis kandung empedu.

3.4 DIAGNOSIS

Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen bagian atas
yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka mencari pertolongan ke
unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien kolesistitis akut juga sering merasa
mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam. Tanda-tanda iritasi
peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien menjalar hingga ke bahu
kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari regio epigastrium dan
kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal
dideskripsikan sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua
kasus kolesistitis.

Algoritma diagnosis kolesistitis

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas
abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas
saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang
menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy
positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan
leukositosis dan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Pada 15% pasien,
ditemukan peningkatan ringan dari kadar aspartate aminotransferase (AST), alanine
aminotransferase (ALT), alkali fosfatase (AP) dan bilirubin jika batu tidak berada di
duktus biliaris.
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi
(USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu.
Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu,
adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak antara probe
USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan ketepatan USG
mencapai 90-95%.

Gambar 2.2 Pemeriksaan USG pada kolesistitis9

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu


memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak
terlihat dengan pemeriksaan USG.

Berdasarkan Tokyo Guidelines (2007), kriteria diagnosis untuk kolesistitis


adalah:
 Gejala dan tanda lokal
o Tanda Murphy
o Nyeri atau nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen
o Massa di kuadran kanan atas abdomen
 Gejala dan tanda sistemik
o Demam
o Leukositosis
o Peningkatan kadar CRP
 Pemeriksaan pencitraan
o Temuan yang sesuai pada pemeriksaan USG atau skintigrafi

Diagnosis kolesistitis jika 1 tanda lokal, disertai 1 tanda sistemik dan hasil USG atau
skintigrafi yang mendukung.

3.5 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:
 Aneurisma aorta abdominal
 Iskemia messenterium akut
 Apendisitis
 Kolik bilier
 Kolangiokarsinoma
 Kolangitis
 Koledokolitiasis
 Kolelitiasis
 Mukokel kandung empedu
 Ulkus gaster
 Gastritis akut
 Pielonefritis akut

3.6 KOMPLIKASI
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang
tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan
ditandai dengan lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema
kadang harus mengubah metode pembedahan dari secara laparoskopik
menjadi kolesistektomi terbuka.
 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu
berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum
terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan
adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil
gas seperti Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp.
Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih sering
pada laki-laki, dan pada kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya
insidensi terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan kolesitektomi
darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.

3.7 TATALAKSANA

Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan ada


tidaknya komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat
jalan, sedangkan pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana
pembedahan. Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk
kolesistitis akut, terapi awal yang diberikan meliputi mengistirahatkan usus, diet
rendah lemak, pemberian hidrasi secara intravena, koreksi abnormalitas elektrolit,
pemberian analgesik, dan antibiotik intravena. Untuk kolesistitis akut yang ringan,
cukup diberikan terapi antibiotik tunggal spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat
diberikan:
 Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada
kasus berat yang mengancam nyawa direkomendasikan imipenem/cilastatin.
 Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan
metronidazol.
 Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
 Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin
intravena.

Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat jalan
dengan syarat:
1. Tidak demam dan tanda vital stabil
2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.

Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut

Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:


 Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.
 Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk
mengkontrol mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
 Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.

Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi.


Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis.
Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu
perawatan di rumah sakit semakin berkurang.

Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:


 Resiko tinggi untuk anestesi umum
 Obesitas
 Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses,
peritonitis, atau fistula
 Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
 Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati
yang berat.

Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase


perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi transhepatik
dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke kandung empedu
melalui selang tersebut dapat menjadi suatu terapi yang definitif.

Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode
endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic
retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung
empedu secara jelas dan sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus
biliaris. Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy adalah metode
yang aman dan cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang memiliki resiko
tinggi pembedahan.

3.8 PROGNOSIS

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung


empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak
jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang
menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau
peritonitis umum secara cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik
yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75
tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul
komplikasi pasca bedah.
HEPATITIS B KRONIK

4.1 DEFINISI DAN ETIOLOGI

Hepatitis B adalah penyakit infeksi disebabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel –sel hati. Penyebab hepatitis B
adalah  virus DNA yang tergolong dalam kelas hepaDNA dan mempunyai masa
inkubasi 1-6 bulan. Komponen lapisan luar pada hepatitis B disebut hepatitis B
surface antigen (HbsAg) dalam inti terdapat genome dari HVB yaitu sebagian dari
molekul tunggal dari DNA spesifik yang sirkuler dimana mengandung enzim yaitu
DNA polymerase. Disamping itu juga ditemukan hepatitis Be Antigen (HBeAg).
Antigen ini hanya ditemukan pada penderita dengan HBsAg positif. HBeAg positif
pada penderita merupakan pertanda serologis yang sensitif dan artinya derajat
infektivitasnya tinggi, maka bila  ditemukan HBsAg positif penting diperiksa HBeAg
untuk menentukan prognosis penderita.

Cara utama penularan virus hepatitis B adalah melalui parenteral dan menembus
membrane mukosa terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata
sekitar 60-90 hari. HbsAg telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang
yang terinfeksi yaitu darah, semen, saliva, air mata, asites, air susu ibu, urin, dan
bahkan feses. Setidaknya sebagian cairan tuibuh ini(terutama darah, semen, dan
saliva) telah terbukti bersifat infeksius.

4.2 DIAGNOSIS

Manifestasi klinik  hepatitis B kronik secara garis besar dibagi 2

1. Hepatitis B kronik yang masih aktif :

–          HbsAg (+) , DNA VHB lebih lebih dari 105 kopi / ml . didapatkan kenaikan
ALT yang menetap atau intermitten.
–          Tanda – tanda peradangan penyakit hati kronik

–          Histopatologi hati terjadi peradangan yang aktif.

1. Carrier VHB inaktif

–          HbsAg (+), titer DNA VHB kurang dari 105kopi / ml . konsentrasi ALT
normal

–          Keluhan tidak ada

–          Kelainan kerusakan jaringan hati minimal.

Tabel 1. Definisi dan kriteria diagnostik pasien dengan infeksi hepatitis B kronik

Definisi Kriteria Diagnosis


Hepatitis B Proses nekro-inflamasi kronis hati 1. HBsAg + > 6 bulan
disebabkan oleh infeksi persisten
kronis virus hepatitis B. 2. HBV DNA serum > 105copies/ml

  Dapat dibagi menjadi hepatitis B 3. Peningkatan kadar ALT/AST secara


kronis dengan HBeAg + dan berkala/persisten
HBeAg –
4. Biopsi hati menunjukkan hepatitis
  kronis (skor nekroinflamasi > 4)

 
Carrier Infeksi virus hepatitis B persisten 1. HBsAg + > 6 bulan
tanpa disertai proses nekro-inflamasi
HBsAg 2. HBeAg – , anti HBe +
yang signifikan
inaktif 3. HBV DNA serum <105copies/ml
 
  4.Kadar ALT/AST normal

5. Biopsi hati menunjukkan tidak


adanya hepatitis yang signifikan (skor
nekroinflamasi < 4

Diagnostik pasti didapatkan dengan Biopsi hati, dengan klasifikasi Histologycal


Activity Index (HAI), system ini digunakan selain untuk diagnosis pasti juga
digunakan untuk menilai progresifitas penyakit, prognosis, dan tatalaksana yang
sesuai.

4.3 TATALAKSANA
Terapi spesifik hingga sekarang masih dalam tahap eksperimental dan pola
pemberian bermacam-macam.

Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk mencegah atau menghentikan


progesi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau
menghilangkan infeksi dalam pengobatan hepatitis B kronik, tujuan akhir yang sering
dipakai adalah hilangnya petanda replikasi virus yang aktif secara menetap ( HBeAg
dan DNA VHB ) atau dengan kata lain mengontrol “viral load” serendah mungkin
menjadi anti-HBe disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum dan meredanya
penyakit hati.

Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, sero konvensi HBeAg tidak
dapat dipakai sebagai titik akhir pengobatan dan respons pengobatan hanya dapat
dinilai dengan pemeriksaan DNA VHB.

Terdapat dua golongan pengbatan untuk hepatitis kronik yaitu :

1. Golongan imunomodulasi

¨      Interferon (IFN)

Interferon adalah kelompok protein intreseluler yang normal ada dalam tubuh,
diproduksi oleh sel limfosit dan monosit. Produksinya dirangsang oleh berbagai
macam stimulasi terutama infeksi virus.

IFN berkhasiat sebagai antivirus, imuno modulator, anti prolifrative dan antipribotif.
Efek anti virus terjadi dimana IFN berinteraksi dengan reseptornya yang terdaftar
pada membrane sitoplasma sel hati yang diikuuti dengan diproduksinya protein
efektor sebagai antivirus. Pada hepatitis B kronik sering didapatkan penurunan IFN.
Akibatnya,terjadi penampilan molekul HLA kelas 1 pada membrane hepatosit yang
sangat diperlukan agar sel T sitotoksit dapat mengenali sel – sel hepatosit yang
terkena virus VHB. Sel – sel terseut menampilkan antigen sasaran  (target antigen)
VHB pada membrane hepatosit.
IFN adalah salah satu obat pilihan  untuk  pengobatan pasien hepatitis B kronik
dnegan HbeAg positif, dengan aktifitis penyakit ringan – sedang, yang belum
mengalami sirosis. IFN telah dilaporkan dapat mengurangi replikasi virus.

Beberapa faktor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN :

–          Konsentrasi ALT yang tinggi

–          Konsentrasi DNA VHB yang rendah

–          Timbulnya flare up selama terapi

–          IgM anti HBc yang positif

Efek samping IFN

1. Gejala seperti flu


2. Tanda – tanda supresi sutul
3. Flare up
4. Depresi
5. Rambut rontok
6. Berat badan turun
7. Gangguan fungsi tiroid.

Dosis IFN yang dianjurkan untuk HBeAg (+) adalah 5 – 10 MU 3x seminggu selama
16 – 24 minggu. Untuk HBe Ag (-) sebaiknya sekurang – kurangnya diberikan selama
12 bulan.

 Timosin alfa

Timosin alfa merangsang fungsi sel limfosit. Pada hepatitis virus B, timosin alfa
berfungsi menurunkan replikasi VHB dan menurunkan konsentrasi atau
menghilangkan DNA VHB. Keunggulan obat ini adalah tidak efek samping seperti
IFN, dengan kombinasi dengan IFN obat ini dapat meningkatkan efektifitas IFN.

2. Golongan antiviral
¨      Lamivudin

Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dari 3’ tiasitidin yang merupakan suatu analog
nukleosid, berfungsi sebagai bahan pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid
bersaing dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse
transcriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang
terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan
mencegah infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi tetapi tidak mempengaruhi sel
– sel yang telah terinfeksi, karena itu apabila obat dihentikan konsentrasi DNA akan
naik kembali akibat diproduksinya virus – virus baru oleh sel – sel yang telah
terinfeksi. Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV
DNA, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan mengurangi progresi fibrosis
secara bermakna dibandingkan placebo. Namun lamivudin memicu resistensi. Risiko
resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan makin lamanya pemberian.

¨      Adefovir Dipivoksil

Prinsip kerjanya hamper sama dengan lamivudin, yaitu sebagai analog nukleosid yang
menghambat enzim reverse transcriptase. Umumnya digunakan pada kasus – kasus
yang kebal terhadap lamivudin, dosisnya 10 – 30 mg tiap hari selama 48 minggu.

Kemudian, penderita dan keluarga diberi penjelasan atau penyuluhan tentang


cara penularan, infeksiositas penderita sebagai pengidap HBsAg, apalagi jika HBeAG
positif, keluarga serumah dan yang menjalin hubungan intim/seksual perlu divaksinasi
terhadap hepatitis B (perlu uji saring pra-vaksinasi atas HBsAg dan anti-HBs)

Diet khusus tidak diperlukan, namun harus pertahankan gizi baik dan tidur
yang cukup. Protein 1-1,5 gr/kg/hari. Di RSU DR Sutomosejak tahun 2003 tersedia
diet hati pra/ensefalopati yang terdiiri dari:

 Diet Hati I (DH I) : protein 1-1,2 gr/kgBB/hari, kalori 40 kal/kgBB/hari


 Diet Hati II (DH II) : protein 1,2-1,5 gr/kgBB/hari, kalori 40 kal/kgBB/hari

4.4 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Hepatitis B kronik dapat berlanjut menjadi sirosis hepatis yang merupakan
komplikasi paling banyak, dan merupakan perjalanan klinis akhir akibat nekrotik sel –
sel hepatosit. Prognosis hepatitis B kronik dipengaruhi oleh berbagai factor, yang
paling utama adalah gambaran histology hati, respon imun tubuh penderita, dan
lamanya terinfeksi hepatitis B, serta respon tubuh terhadap pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC, 2014 :
666-8
2. Oesman N. Colitis Infeksi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing, 2014 :
1827
3. Singh V. Small and Large Intestine dalam Textbook of Anatomy Abdomen and
Lower Limb. Volume II. 2nd Ed. India: Elsevier, 2014 : 148-62
4. Tortora GJ, Derrickson B. The Digestive System dalam Principles of Anatomy &
Physiology. 14th Ed. Danvers: Wiley, 2014 : 924-6
5. Moore KL, Agur AM. Abdomen dalam Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates,
2002 : 109-13
6. Green, Bryan T., and David A. Tendler. "Ischemic Colitis: a clinical
review." Southern medical journal 98.2 (2005): 217-222.
7. Fleming R, Cooper CJ, Ramirez-Vegal R. Huerta-Alardin A, Boman D, Zuckerman
MJ. Clinical manifestations and endoscopic findings of amebic Colitis in a United
States-Mexico border city: a case series. BMC Res Notes 2015 8;781:1-9
8. Dhawan VK. Amebiasis Clinical Presentation. Available at
https://emedicine.medscape.com/article/212029-clinical#b1
9. World Health Organization. Guidelines for the control of shigellosis, including
epidemics due to Shigella dysenteriae type 1. Available at
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/43252/9241592330.pdf;jsessionid=D
C7909DA330BEDD56549A3B527D68AF4?sequence=1
10. Kroser JA. Shigellosis Clinical Presentation. Available at
https://emedicine.medscape.com/article/182767-clinical
11. Oto BT, Fauzi A, Syam AF, Simadibrata M, Abdullah M, Makmun D, et al. Colitis
Tuberculosis. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and
Digestive Endoscopy 2010;11(3):143-9
12. Trotter JM, Hunt L. Peter MB. Ischaemic Colitis J M Trotter specialist registrar in
general surgery. BMJ 2016;355:1-8
13. Deepak P, Bruining DH. Radiographical evaluation of ulcerative colitis.
Gastroenterology Report. 2014 Aug; 2(3): 169-177.
14. Aali J Sheen, Varia H, Nicholson DA. Ulcearive colitis imaging. Medscape; 2015
Nov 22.
15. Fekety, Robert, and Akshay B. Shah. "Diagnosis and treatment of Clostridium
difficile Colitis." Jama 269.1 (1993): 71-75.
16. Richard S. Snell. 2002. Anatomi klinik. Edisi Ketiga. Jakarta : EGC.
17. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
Hal 477-478.
18. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in
Emergency Medicine. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1950020-
overview.
19. Bloom AA, Amin Z, Anand BS. Cholecystitis. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview.
20. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol 1.
Edisi keempat. Jakarta: EGC, 1994.
21. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis.
http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.
22. Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Yoshida M, Mayumi T, Sekimoto M et al.
Background: Tokyo guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 1-10.
23. Vogt DP. Gallbladder disease:An update on diagnosis and treatment. Cleveland
Clinic Journal of Medicine vol. 69 (12); 2002.
24. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al. Flowchart for
the diagnosis and treatment of acute cholangitis and cholecystitis: Tokyo Guidelinex.
J Hepatobiliary Pancreat Surgery 14; 2007. p. 27-34.
25. Strasberg SM. Acute Calculous Cholecystitis. N Engl J Med 358 (26); 2008.

26. Cahyono SB. Hepatitis B. Yogyakarta : Kanisius, 2010; 20-33


27. Soemoharjo S. Hepatitis Virus B. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2008 ; 20-23
28. Hadi S. Gastroenterologi.  Bandung : Alumni, 2002 ; 487-571
29. Lindseth, Glenda N. Gangguan Hati, Kandung Empedu dan Pankreas. Dalam : Sylvia
A. Price dan Lorraine M. Wilson, editor. Patofisiologi. Volume I. Jakarta : EGC,
2006 ; 472-515
30. Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B Kronik. Dalam : Aru W.Sudoyo dkk, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta : Internal Publishing, 2009 ; 653 –
661
31. Nusi IA dkk. Hepatitis Kronis. Dalam : Askandar Tjokroprawiro dkk, editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Surabaya: Airlangga  University, 2007 ; 125-8
32. Suharjo, JB, dkk. Diagnosis dan Manajemen Hepatitis B Kronik. Dalam jurnal :
Cermin Dunia Kedokteran, No. 150.  2006

Anda mungkin juga menyukai