Anda di halaman 1dari 21

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN

BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA

OLEH

Nama : I GUSTI NYOMAN ANTON SURYA DIPUTRA

NIM : 1915051027

Absen : 11

Rombel :2

Prodi : PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA


SINGARAJA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

Pancasila merupakan ideologi dasar negara Indonesia yang fundamental


yang mana mangakomodir suatu perbedaan dari Sabang sampai Merauke dan
memiliki nilai-nilai yang sangat penting di dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari penghargaan dan pengabdian warga negara terhadap nilai-nilai
Pancasila, baik itu dari segi pengkajian serta dari segi pengamalan Pancasila itu
sendiri yang telah berjalan saat ini.

Peran penting masyarakat dalam mengamalkan Pancasila menjadi


gambaran bahwa telah disepakatinya posisi Pancasila menjadi titik acuan dan juga
kerangka berfikir secara bersama untuk mencapai tujuan cita-cita bangsa Indonesia
dimulai dari penyerapan nilai-nilai luhur Pancasila di dalam kehidupan sehari-hari
sampai dengan masyarakat sendiri sadar untuk mewujudukan masyarakat
Pancasila.

Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar negara Indonesia hingga saat


ini telah mengalami perjalanan waktu yang tidak sebentar. Dalam interval waktu
tersebut banyak hal atau peristiwa yang terjadi seiring perjalanan Pancasila,
sehingga berdirilah Pancasila seperti sekarang. Mulai dari peristiwa pertama saat
Pancasila dicetuskan yang sudah memuai banyak konflik di kalangan para
pencetusnya hingga sekarang di era reformasi dan globalisasi pun Pancasila masih
terus menjadi polemik saat ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu paradigma?
2. Bagaimana keterkaitan Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan seperti
pada Pembangunan Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Hankam, dan
Hukum?
3. Apa saja isu kontroversial dari permasalahan yang terkait dengan paradigma
Pancasila?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari paradigma.
2. Untuk mengetahui keterkaitan Pancasila sebagai paradigma dalam
pembangunan sepeti pada pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya,
hankam, dan hukum.
3. Untuk mengetahui isu kontroversial dan masalah yang berhubungan dengan
ideologi Pancasila.

1.4 Manfaat
1. Pembaca dapat memahami pengertian dari paradigma.

2. Pembaca dapat memahami keterkaitan paradigma pembangunan Pancasila


di berbagai bidang seperti pada bidang politik, ekonomi, sosial budaya,
hankam, dan pada bidang hukum.

3. Pembaca dapat mengaitkan masalah-masalah atau isu yang berkembang


terhadap paradigma Pancasila.

1.5 Metode Penulisan


1. Metode Pustaka: yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan
mengumpulkan data-data dari kajian pustaka yang berhubungan dengan
Paradigma Pancasila.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Paradigma


Istilah “Paradigma” pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan
terutama dalam kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan. Mengacu pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia pengertian dari paradigma sendiri yaitu (1) daftar dari
semua pembentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi
kata tersebut, (2) model dalam teori ilmu pengetahuan, (3) kerangka berfikir. Secara
terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut adalah Thomas S. Khun
dalam bukunya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolution” (1970:49).
Inti sari pengertian dari paradigma adalah asumsi-asumsi teoritis yang umum
sehingga merupakan suatu sumber hukum yang dapat menentukan sifat, ciri, serta
karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.

Bila diartikan lebih dalam, paradigma sendiri ialah sumber acuan yang
menjadi bahan pertimbangan bagi proses berpikir dan bertindak. Dengan demikian,
ketika sebuah nilai ditempatkan sebagai suatu paradigma, maka nilai tersebut akan
mewadahi dalam cara berpikir dan cara bertindak seseorang. Agus Salim (2006:96)
mengatakan bahwa “paradigma adalah hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”

Dengan demikian, paradigma sesungguhnya merupakan keutuhan


konseptual yang sarat dengan muatan ajaran teori yang berbasiskan ilmu
pengetahuan dalam segala hal berkaitan dengan kehidupan manusia misalnya pada
politik, hukum, ekonomi, budaya, serta bidang lainnya. Istilah ini kemudian
berkembang menjadi terminologi dimana pengertian paradigma ialah sumber nilai,
pola pikir, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu
perkembangan, perubahan serta proses pembangunan.

2.2 Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan


Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan
bernegara, bangsa Indonesia sedang gencar-gencarnya melaksanakan
3
pembangunan nasional. Hal ini sebagai perwujudan praksis dalam meningkatkan
harkat dan martabat bangsa. Tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD
1945 yang terinci adalah sebagai berikut: “melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia”, selanjutnya adapun rumusan yang terkait dengan hal
tersebut yaitu, “menajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa”, hal ini dalam pengertian keseluruhannya sebagai manifestasi tujuan secara
nasional dimana dalam kaitannya tersebut, kedudukan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan nasional didasarkan pada hakikat nilai-nilai Pancasila dalam
penerapan langsung di segala aspek pembangunan nasional bangsa Indonesia. Oleh
karena itu hakikat nilai tiap butir yang terkandung secara mendasar pada ontologis
manusia sebagai pendukung pokok negara.

Pancasila harus dipahami sebagai kesatuan organis yang mana masing-


masing silanya menjiwai atau mendasari sila-sila yang lainnya. Manusia adalah
subyek pendukung pokok sila-sila pada Pancasila dan pendukung negara dimana
warga negaranya dapat mengamalkan Pancasila sebagai cita-cita luhur pergerakan
kemajuan bangsa Indonesia. Di dalam konteks ini Pancasila sebagai konteks
pembangunan mengandung konsekuensi bahwa dalam segala tiap pembanguann
nasional harus berdasarkan pada hakikat nilai-nilai Pancasila dan hakikat tersebut
harus berdasarkan hakikat manusia. Maka, segala aspek pembangunan untuk
hakikat kodrat manusia itu meliputi aspek pribadi dan aspek kehidupan. Kedudukan
Pancasila sebagai paradigma pembangunan harus memperhatikan konsep seperti
berikut ini:

• Pancasila harus menjadi kerangka kognitif dalam indetifikasi diri bangsa.


Maskudnya yaitu Pancasila diletakkan sebagai kerangka berfikir yang
objektif dan rasional dalam membangun kepribadian bangsa. Oleh karena
itu perlu dikembangkannya budaya ilmu pengetahuan (pedagogik) dalam
memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

• Pancasila sebagai landasan di dalam pembangunan nasional.

Setiap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat merupakan akibat dari


setiap pembangunan yang terjadi sehingga agar tetap berjalan dengan baik,

4
maka menempatkan nilai-nilai Pancasila yang dapat dirasakan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegera secara langsung.

• Pancasila sebagai arah pembangunan nasional.


Dalam proses pembanguanan nasional sebaiknya tidak terlepas dari nilai-
nilai luhur Pancasila yang dimana sebagai arah pandangan dan tujuan
bangsa Indonesia sehingga setiap tahap pembangunan merupakan proses
pengamanan dan penegakan Pancasila sebagai dasar negara.

• Pancasila merupakan sebagai etos pembangunan nasional


Untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia ke depannya, maka dapat
diwujudkan dengan pengamalan Pancasila secara konsisten di dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

• Pancasila sebagai moral pembangunan bangsa.


Nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila menjadi tolak ukur dalam
melaksanakan pembangunan nasional baik di dalam perencanaan
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, maupun evaluasinya.

Di dalam melaksanakan pembangunan tentu terdapat beberapa karakteristik


masyarakat dalam menyikapi pembangunan tersebut (S. Budisantoso. 1998:42-43).
Pertama, kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman budaya yang ada. Kedua,
dinamika masyarakat dan keterbukaan budaya terhadap pembaharuan yang terjadi
pada setiap pembangunan. Masyarakat majemuk Indonesia yang manjemuk dan
sedang mengalami fase pembangunan baik itu pembangunan nasional serta
pembangunan pada bidang teknologi akibat adanya globalisasi memerlukan sebuah
pedoman bersama (common frame of reference) dalam menanggapi tantangan yang
dihadapi demi keutuhan bangsa.

2.3 Keterkaitan Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik


Pancasila sebagai paradigma pembangunan politik diartikan dengan
meletakkan nilai-nilai yang terkadung di dalam Pancasila sebagai sumber nilai yang
termuat pada pembangunan politik di Indonesia. Setiap nilai yang terkadung di
dalam Pancasila menjadi kaidah penuntun dalam mewujudkan tata terbit dan

5
pembangunan politik secara ideal yang mana hal ini sejalan dengan pendapat
Budiardjo (1998:32) sebagai berikut:

“Ideologi politik adalah himpunan, nilai-nilai, ide, norma-norma, kepercayaan


dan keyakinan, suatu Weltanschauung, yang dimiliki seseorang atau sekelompok
orang atas dasar mana dia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problema
politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politiknya”
Dari kajian tersebut didapat bahwa nilai-nilai ideal yang menjadi kaidah
penuntun atau pedoman dalam mengkaji konsep-konsep pembangunan politik yaitu
negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making),
kebijakan (policy), dan pembagian (distribution) sumber daya negara baik di pusat
maupun di daerah. Dalam usaha membangun kehidupan politik, maka beberapa
unsur yang perlu dikembangkan dan ditingkatkan seperti:

1. Sistem politik nasional yang berkedaulatan rakyat, demokratis, dan


terbuka.
2. Kemandirian partai politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.
3. Pendidikan politik kepada masyarakat untuk mengembangkan budaya
politik yang demokratis.
4. Pemilihan umum yang berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-
luasnya.

Pengembangan sistem politik negara juga harus berdasarkan pada


kekuasaan yang bersumber pada hakikat manusia sebagai individu sosial yang
berkumpul menjadi sebuah rakyat dimana kekuasaan negara haruslah berdasarkan
kekuasaan rakyat, bukannya kekuasaan perseorangan atau kelompok. Seperti yang
diungkap oleh para pendiri bangsa, Muh. Hatta, beliau mengharuskan dasar moral
untuk negeri, bukan berdasar kekuasaan, maka dalal sistem politik negara termasuk
para elit politik, para penyelenggara negara harus tetap memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur dan
memegang budi pekerti kemanusiaannya sesuai dengan nilai yang terkandung di
dalam Pancasila.

6
2.4 Keterkaitan Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Pancasila sebagai paradigma pembangunan ekonomi lebih mengacu pada
sistem pembanguann ekonomi Indonesia yang mana dapat dikatakan sebagai
ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi di dalam pembangunan bangsa dan
negara Indonesia.

Di dalam paradigma pembangunan ekonomi ini, segala bentuk kebijakan


ekonomi, semua harus untuk demi kesejahteraan rakyat yang mana mampu
mewujudkan perekonomian nasional yang berkeadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia (tidak seperti pada zaman Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi
besar/konglomerat). Pembangunan ekonomi ini lebih mengarah pada memberikan
kesempatan pada masyarakat kecil sesuai dengan nilai pada Pancasila dengan sila
ke-5 yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dengan memberikan
kesempatan pada masyarakat melalui pengembangan usaha kecil, usaha menengah,
dan koperasi sebagai pilar utama pembangunan nasional.

Seperti di dalam UUD 1945 pasal 33 yang menyebutkan bahwa sistem


persaingan bebas dan monopoli dilarang dalam perekonomian. Selain itu, produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-
anggota masyarakat. Oleh sebab itu, segala sistem pembangunan perekonomian
negara harus mengutamakan kesejahteraan rakyat. Masyarakat pun harus ikut andil
dalam kegiatan pembangunan ekonomi dan sedangkan pemerintah berkewajiban
memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi yang sehat
bagi dunia usaha.

Dengan adanya ekonomi kerakyatan ini akan mampu mengembangkan


program-program konkrit pemerintah daerah sehingga dapat mampu mewujudkan
keadilan dan pemerataan dan pembangunan daerah dan selain itu untuk
membangun ekonomi negara yang demokratis, pemerintah pusat berperan
memaksanakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga
atau meningkatkan kepastian hukum.

7
2.5 Keterkaitan Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Keterkaitan Pancasila sebagai paradigma pembangunan sosial budaya
terletak pada hubungan nilai harmonis Pancasila dengan budaya-budaya yang ada
di Indonesia. Pancasila mendasari pembangunan sosial budaya berdasarkan
kesepatakan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Pada hakikatnya, Pancasila
sebagai sumber normatif yang bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia.
Apalagi memasuki era globalisasi ini yang mengikis perlahan kebudayaan asli
Indonesia dengan masuknya budaya-budaya barat. Generasi milenial yang
hidupnya sudah dipenuhi oleh budaya asing akan lebih memilih untuk mengikuti
budaya-budaya tersebut, dan nyaris, semua penduduk Indonesia sangat cepat
terpengaruh dengan budaya asing baik itu sifatnya positif maupun negatif seperti
contohnya lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan dengan kebersamaan,
mementingkan penampilan yang highstyle, sikap yang hedonisme.

Selain dari hal yang disebutkan diatas, budaya yang ada di Indonesia
sangatlah beragam. Semakin hari sangatlah mudah untuk diadu domba melalui
ujaran kebencian baik itu pada media sosial ataupun media lainnya yang merupakan
dampak dari era globalisasi saat ini. Untuk mewujudkan rasa penyeragaman yang
membuat mereka hidup di NKRI sehingga dapat menerapkan toleransi, tidak
menyebabkan kecumburuan, diskriminasi antar suku, dan ketidakadilan sosial yaitu
hanya Pancasila.

Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan


sosial berbagai kelompok bangsa di Indonesia sehingga mereka merasa dihargai
dan diterima sebagai warga negara. Paradigma terhadap pembangunan sosial
budaya ini haruslah berupa pembangunan yang berkelanjutan yang dalam
perencanaan dan pelaksanaanya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak
budaya komunitas-komunitas yang terlibat, disamping hak negara untuk mengatur
kehidupa nberbagnsa dan hak asasi individu secara berimbang (sila kedua).

Hak budaya komunitas dapat sebagai perantara atau penghubung antara hak
negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan
yang sentralistik jika dilihat pada satu sisi dimana mengabaikan kemajemukan
masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era

8
otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan
memadukan pembangunan lokal daerah dengan pembangunan regional dan
pembangunan nasional (sila keempat), sehingga akan menjamin keseimbangan dan
kemerataan (sila kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa
yang dapat menegakkan kedaultan wilayah NKRI (sila ketiga).

Dalam paradigma Pancasila sebagai pembangunan sosial dan budaya,


secara garis besar menjadi landasan untuk merangkul masyarakat yang
multikultural agar menjadi satu dibawah naungan NKRI sesuai dengan cita-cita
para pendahulu bangsa. Tentu hal ini menjadi tugas kita bersama untuk
mengingatkan kembali usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dan orang tua kita
untuk tetap mengamalkan dan melaksankaan apa yang menjadi tujuan hidup bangsa
agar kita tetap menerapkan aspek budaya yang berdasarkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.

2.6 Keterkaitan Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hankam


Bila kita memperhatikan lebih dalam lagi terkait dengan isi pada
Pembukaan UUD 1945 terdapat kalimat “untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dari kalimat tersebut diketahui
bahwa pemerintah berkewajiban untuk membangun sistem pertahanan dan
keamanan bagi bangsa Indonesia walaupun bukan pekerjaan yang ringan. Oleh
karena itu, hal ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja namun juga
menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia.

Untuk mewujudkan hal tersebut maka telah diterapkannya sistem


“pertahanan dan keamanan rakyat semesta” (hamkamrata) yang pada dasarnya
sistem ini sesuai dengan nilai Pancasila, dimana pemerintah dan rakyat (baik
perseorang maupun kelompok) memiliki hak dan kewajiban yang sama di dalam
usaha bela negara. Seperti yang tercantum pada Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan
kemanan negara”, keamanan negara bukan hanya tugas pemerintah saja namun
juga masyarakat yang memiliki tanggung jawab agar terwujudnya sistem keamanan
bangsa yang seimbang.

9
Pancasila juga mengatur agar masyarakat Indonesia agar hidup
berdampingan secara damai, saling membantu satu dengan yang lainnya, menjaga
perasaan orang atau kelompok lain, mengembangkan sikap saling menghargai dan
menghormati, toleransi agar terbentuknya kebersamaan dalam kesatuan dan
persatuan.

Sistem hamkamrata yang kita anut saat ini hakikatnya adalah perlawanan
rakyat semesta yang dalam artian segala bentuk ancaman ataupun serangan
sepenuhnya disandarkan kepada partisipasi, semangat, dan tekad rakyat dan
diwujudkan melalui kemampuan bela negara. Berdasarkan Pasal 27 ayat (3) yang
berbunyi “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara”, pada hal ini dapat kita kaitkan pada sishamkamrata yang mana bentuk
dalam pembelaan negara bukan hanya berperang mengangkat senjata, namun
diaplikasikan di dalam bela negara dalam keadaan damai banyak bentuknya seperti
aplikasi jiwa pengabdian sesuai profesi pun sebenarnya sudah termasuk bela
negara. Semua profesi yang ada merupakan medan juang bagi warga negara dalam
bela negara sepanjang dijiwai oleh semangat pengabdian dengan dasar kecintaan
kepada tanah air dan bangsa ini. Hal ini berarti pahlawan tidak hanya dapat lahir
melalui perjuangan fisik dalam peperangan membela kehormatan bangsa dan
negara, tetapi juga pahlawan dapat lahir dari segala kegiatan professional warga
negara, misalnya dalam bidang pendidikan dapat lahir pahlawan pendidikan, dalam
bidang olahraga dikenal dengan istilah pahlawan olahraga, dibidang teknologi,
ekonomi, kedokteran, pertanian dan juga yang lainnya dapat lahir menjadi
pahlawan-pahlawan nasional.

2.7 Keterkaitan Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum


Di dalam Pancasila sebagai paradigma sebagai pembangunan hukum,
sangat erat kaitannya dengan UUD 1945. Dengan ditetapkannya 1945, bangsa
Indonesia telah memiliki konstitusi yang didalamnya mengatur tentang tiga
kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu (1) adanya perlindungan terhadap HAM,
(2) adanya susunan ketatanegaraan, (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-
tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.

10
Sesuai dengan UUD 1945 yang mana didalamnya terdapat rumusan
Pancasila, dimana mengandung segi hukum positif dan negatif. Segi positifnya,
Pancasila dapat dipaksakan berlakunya oleh negara, dan segi negatifnya, isi
undang-undang dapat diubah oleh MPR sesuai dengan ketentuan pada Pasal 37
UUD 1945.

Dalam kaitannya dengan Pancasila, subtansi hukum yang dikembangkan


harus merupakan perwujudan atau penjabaran dari sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila, artinya subtansi produk hukum yang dibuat merupakan karakter
responsif yang ditujukan untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujudan
aspirasi rakyat berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Fungsi hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat berarti hukum


digunakan untuk mengarahkan masyarakat pada pola-pola tertentu sesuai dengan
yang dikehendaki. Hal ini berarti pula dapat mengubah atau bahkan menghapus
kekuasaan lama yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Di dalam
pembangunan ini terdapat hal-hal yang harus dipelihara dan dilindungi demi
menciptakan pembangunan hukum yang tertib dan teratur. Dengan demikian, hal
ini harus merupakan hasil konsensus bersama dari masyarakat yang mana menjadi
sumber dan motivasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu,
Pancasila sebagai suatu national guidelines, national standard, norm and principles
yang sekaligus memuat human right dan human responsibility juga harus dilihat
sebagai margin of appreciation sebagai garis tepi penghargaan terhadap hukum
yang hidup di dalam masyarakat yang pluralistic.

Seperti yang diungkapkan oleh Muladi dalam Endang Sutrisno, pelaksanaan


pembangunan hukum harus mempu mendayagunakan Pancasila sebagai paradigma
yang menekankan bahwa pembangunan itu harus bertumpu pada etika universal
yang terkandung di dalam Pancasila seperti:

• Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha


Esa yang menghormati ketertiban hidup beragama, rasa keagamaan dan
agama sebagai kepentingan yang besar.

11
• Menghormati nilai-nilai Hak Asasi Manusia baik hak sipil dan politik
maupun hak ekonomi, sosial dan budaya dalam kerangka hubungan antar
bangsa juga harus menghormati “the right to development”

• Harus mendasarkan persatuan nasional pada penghargaan terhadap konsep


“civic nationalism” yang mengapresiasi pluralisme.

• Harus menghormati indeks atau “core values of democracy” sebagai alat


“audit democracy”

• Harus menempatkan “legal justice” dalam kerangka “social justice” dan


dalam hubungan antar bangsa berupa prinsip-prinsip “global justice”.

Sebagai suatu paradigma dalam pembangunan hukum, Pancasila


menghendaki bahwa perkembangan dalam masyarakat memang harus menjadi titik
tolak dari keberadaan suatu peraturan. Oleh karena itu, produk hukum diarahkan
untuk menjawab kebutuhan masyarat yang berubah dan hasilnya berisikan
kemajuan dan pembaharuan serta peningkatan hukum terhadap masalah yang diatur
kedepannya.

2.8 Isu Kontroversial Berkatian dengan Paradigma Pancasila


Sebagai dasar negara, banyak hal yang memang menghambat Pancasila di
dalam bangsa yang majemuk ini, baik itu di dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi
masyarkat Indonesia untuk kembali merefleksikan diri terhadap nilai yang
terkandung di dalam Pancasila. Adapun masalah-masalah tersebut yaitu:

• Bidang Politik

Kasus E-KTP: Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara, denda, dan


pencabutan hak politik lima tahun.

Jaksa menuntut hukuman penjara 16 tahun bagi Setya Novanto, pencabutan


hak politik selama lima tahun, dan denda Rp1 miliar dan pengembalian uang
US$7,3 juta.

12
Jaksa juga menolak permintaan Setya Novanto untuk diperlakukan sebagai
'justice collaborator'.

Tuntutan itu merupakan puncak dari berkas setebal 2.415 halaman yang
disiapkan tim jaksa untuk terdakwa bekas Ketua DPR dan bekas Ketua
Golkar Setya Novanto dalam kasus korupsi KTP Elektronik, lapor
wartawan BBC Ayomi Amindoni dari persidangan.

Sidang berlangsung dari pukul 11 hingga pukul 16, dengan agenda tunggal
pembacaan tuntutan.

Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi


(Tipikor) Jakarta pada Kamis (29/03), jaksa menilai Setya Novanto
memiliki peran penting dalam skandal korupsi yang merugikan negara
sebesar Rp 2,3 triliun itu. Dia dituding melakukan korupsi bersama
sembilan orang lainnya.

Maka dari itu, jaksa menuntut majelis hakim untuk menyatakan Setya
Novanto bersalah dalam perkara korupsi KTP elektronik itu, dan
"menjatuhkan hukuman kurungan selama 16 tahun dan denda sebesar Rp
1miliar, yang apabila tidak dibayar diganti kurungan selama 6 bulan," ujar
jaksa Abdul Basir.

Jaksa menuntut pula hukuman tambahan berupa uang pengganti US$7,3


juta yang dikurangi oleh uang yang sudah dikembalikan terdakwa sebesar
Rp 5 miliar rupiah. Selain itu, jaksa pula menuntut Setya Novanto untuk
dicabut hak politiknya selama 5 tahun.

Jaksa menilai, faktor yang memberatkan Novanto antara lain tidak


kooperatif selama pemeriksaan.

Jaksa Wawan Yunarwanto menjelaskan bahwa Setya Novanto menerima


komisi sebesar US$ 7,3 juta untuk memuluskan pembahasan anggaran e-
KTP di DPR.

13
"Berdasarkan fakta hukum, maka dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah
menerima pemberian fee seluruhnya berjumlah US$7,3 juta," ujar jaksa
Wawan.

Pembahasan Kasus:

Di dalam kasus tersebut dapat kita lihat bahwa penyalahgunaan


kekuasaan politik untuk memperkaya diri sendiri. Tentu sangat merugikan
bangsa negara dan mengecewakan masyarakat. Hal ini tentu tidak sejalan
dengan apa yang dirumuskan di dalam Pancasila mengenai sila-sila yang
ada. Melakukan tindak pidana korupsi dengan menggelapkan uang dalam
pembuatan KTP elektronik yang pada akhirnya menghambat semua hak-
hak yang dimiliki oleh masyarakat. Selain menggunakan jabatannya secara
sewenang-wenang, tentu hal ini mengakibatkan dampak di berbagai bidang
seperti pada bidang demokrasi yang waktu itu dekat-dekat dalam pemilihan
daerah maupun pemilihan gubernur, hal ini dapat mencerai demokrasi
Indonesia. Dikarenakan absennya e-KTP akan membuat warga negara
kesulitan untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Selainitu, tanpa
e-KTP warga akan sulit dalam mendapat pelayanan kesehatan terutama
yang baru beranjak 17 atau 18 tahun. Dalam hal ini, data peserta BPJS harus
sesuai dengan e-KTP, data BPJS kesehatan juga harus mengacu pada sidik
jari dan iris mata sebagaimana yang telah terekam di e-KTP.

Perilaku seperti ini merupakan contoh buruk dari pejabat bangsa ini
yang tidak mematuhi etika sebagai pejabat yang berlaku di Indonesia. Dapat
disimpulan bahwa ia masih memiliki keraguan dan ketidak percayaan
terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa ini. Bahkan jika dipandang dari
sudut pandang sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” ia
sangat tidak mencerminkan hal tersebut.

14
(Sumber : http://theconversation.com/cebong-versus-kampret-polarisasi-
politik-pascapilpres-2019-semakin-tajam-115477)

Contoh kontroversial pada bidang politik lainnya yaitu menjelang


adanya Pilpres 2019, banyak masyarakat yang terpecah belah akibat adanya
2 kubu sehingga menimbulkan polarisasi politik yaitu dengan sebutan
“cebong” vs “kampret”. Selain itu munculnya sebuah paradigma sebuah
tagar #GantiPresiden2019 telah menyalahi etika politik yang mana
kampanye pada Pilpres 2019 ini justru lebih mengarah pada tudingan makar
karena terlihat sangat berlebihan dan juga akan memicu judgement publik
karena seolah-olah gerakan tersebut ingin menjatuhkan presiden yang masih
mengemban tugasnya saat itu. Hal ini tentu merupakan persaingan politik
yang tidak sehat yang amna dapat memcah belah masyarakat Indonesia
melalui pilihannya masing-masing. Agar propaganda pergerakan massa
untuk memilih calon presiden ini tidak diulang kembali, sebaiknya kedepan
generasi muda bisa lebih mengamalkan Pancasila dalam konteks
berdemokrasi.

15
• Pertahanan dan Keamanan

Organisasi Papua Merdeka (OPM)


Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan nasionalis
yang didirikan tahun 1965 yang bertujuan untuk mewujudkan
kemerdekaan Papua bagian barat dari pemerintahan Indonesia. Sebelum
era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat
ini dipanggil dengan nama Irian Jaya.
OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah
dengan bagian Indonesia yang lain maupun negara-negara Asia lainnya.
Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah
perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda
menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas
jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM
dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
Gerakan Aceh Merdeka
GAM pertama kali di deklarasi pada 4 Desember 1976. Gerakan ini
mengusung nasionalisme Aceh secara jelas. Nasionalisme yang dibangun
sebagai pembeda dengan nasionalisme Indonesia yang sebelumnya telah
ada.
Lepasnya Timor Timur dari NKRI
Republik Demokratik Timor Leste (juga disebut Timor Lorosa'e),
yang sebelum merdeka bernama Timor Timur, adalah sebuah negara
kecil di sebelah utara Australia dan bagian timur pulau Timor. Selain itu
wilayah negara ini juga meliputi pulau Kambing atau Atauro, Jaco, dan
enklave Oecussi-Ambeno di Timor Barat. Sebagai sebuah negara
sempalan Indonesia, Timor Leste secara resmi merdeka pada tanggal 20
Mei 2002. Sebelumnya bernama Provinsi Timor Timur, ketika menjadi
anggota PBB, mereka memutuskan untuk memakai nama Portugis
"Timor Leste" sebagai nama resmi negara mereka.

16
• Ekonomi

(Sumber : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20191105154437-532-
445788/angka-pengangguran-naik-jadi-705-juta-orang-per-agustus-2019)

Masalah yang sering kita hadapi sekarang di era revolusi 4.0 ini
adalah masalah pengangguran. Jika tingkat pengangguran di Indonesia
semakin tinggi itu artinya sama dengan meningkatnya tingkat kemiskinan.
Pengangguran ini menjadi salah satu tantangan bagi bangsa Indonesia di
bidang ekonomi karena dampak yang dihadapinya pun sangat besar. Seperti
yang dilansir CNN Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatan bahwa
jumlah pengangguran naik menjadi 50 ribu orang per Agustus 2019. Dengan
kenaikan tersebut jumlah pengangguran meningkat dari 7 orang menjadi
7.05 juta orang. Sementara sektor lapangan pekerjaan sejauh ini masih
didominasi oleh sektor pertanian sebesar 27,33 persen, perdagangan sebesar
18,81 persen, dan industri pengolahan sebesar 14, 96 persen.
17
Dari berita diatas kita ketahui bahwa bangsa kita sedang mengalami
sebuah tantangan yang besar di dalam ekonomi. Ekonomi Indonesia di
dalam (internal) yang tidak stabil diakibatkan kurangnya sumber daya
manusia dan lapangan pekerjaan yang tersedia. Pemerintah sudah berjuang
agar Indonesia dapat bersaing pada kancah internasional untuk melunasi
hutang-hutang negara. Dengan cara ini, diharapkan masyarakat Indonesia
yang freshgraduate maupun yang sudah bekerja harus siap-siap mengasah
keterampilannya dengan baik untuk menghadapi persaingan ekonomi dan
perdagangan bebas saat ini.

• Hukum

Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan


kurungan adalah salah satu contoh ketidakadilan hukum di Indonesia. Kasus
ini berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah. Memang
menucri merupakan sebuah kesalahan. Namun demikian, jangan lupa
hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Masyarakat kecil seperti itu
seharusnya dapat dipertimbangkan dan juga ia begitu buta huruf dihukum
hanya karena ketidaktahuan dan keawaman Nenek Minah tentang hukum.

Sangat mudah menjerat hukum terhadap Nenek Minah, gampang


sekali menghukum seorang yang hanya mencuri satu buah semangka, begitu
mudahnya menjebloskan ke penjara suami-istri yang kedapatan mencuri
pisang karena keadaan kemiskinan. Namun demikian sangat sulit dan sangat
berbelit-belit begitu akan menjerat para koruptor dan pejabat yang
tersandung masalah hukum di negeri ini. Ini sangat diskriminatif dan
memalukan sistem hukum dan keadilan.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pancasila merupakan ideologi dasar negara Indonesia yang fundamental
yang mana mangakomodir suatu perbedaan dari Sabang sampai Merauke dan
memiliki nilai-nilai yang sangat penting di dalam kehidupan bermasyarakat. Istilah
“Paradigma” pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan terutama
dalam kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan. Bila diartikan lebih dalam lagi,
paradigma sendiri ialah sumber acuan yang menjadi bahan pertimbangan bagi
proses berpikir dan bertindak. Dalam konteks ini Pancasila sebagai paradigma
pembangunan bangsa yaitu untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan oleh bangsa.
Pembangunan negara tidak hanya melalui sebuah rancangan saja, namun melalui
sebuah pemikiran yang serius untuk tercapainya negara sesuai dengan dasar negara
yang kita jalani.

Asumsi dasar yang teoritis ini tentu menjadi sebuah metode dalam
penerapan ilmu yang menentukan sifat, ciri, dan karakter ilmu pengetahuan itu
sendiri. Selain itu, menjadi aspek sebuah landasan, acuan, metode dalam setiap
program pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dalam bidang
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan di bidang hukum.
Tentu dalam pembangunan nasional ini, paradigma-paradigma yang berkembang
harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan sesuai dengan aspirasi rakyat.

3.2 Saran
Sebagai masyarakat yang sadar akan pembangunan tentunya harus
mendukung program-program yang direncakan oleh pemerintah di berbagai bidang
yang mana pembangunan tersebut sesuai dengan landasan yang terkandung di
dalam nilai-nilai Pancasila dan memahami betul bagaimana kita ikut berpartisipasi
menyukseskan pembangunan tersebut melalui usaha yang dilakukan sesuai dengan
profesi kita.

19
Daftar Pustaka

Aw, S. &. (2013). Penguatan Pancasila sebagai Fondasi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Jurnal Dialog Kebijakan Publik, 19-20.

Bismark Fernando Pasaribu, R. (2013). Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan.


Pendidikan Pancasila, 126-130.

Calam, A., & Sobirin. (2008). Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jurnal Saintikom, 147-152.

Erika. (2014). Politik Hukum Pancasila dalam Paradigma Nilai-Nilai Sosial


Kultural Masyarakat Indonesia. Pandecta, 33.

Nurwardani, P., & Saksama, H. Y. (2016). Pendidikan Pancasila untuk Perguruan


Tinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.

Pratiwi, Y. (2019). Pendidikan Pancasila (Membangung Karakter Bangsa).


Yogyakarta: Deepublish.

Yassa, S. (2018). Pendidikan Pancasila Ditinjau dari Perspektif Filsafat (Aksiologi).


Journal Citizenship, 4-5.

20

Anda mungkin juga menyukai