Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

RONDE KEPERAWATAN DAN MANAJEMEN KONFLIK

DOSEN PENGAMPU

Ns. Achmad Syaifudin,M.kep

DISUSUN OLEH :

1. Ismi Husnussaniyah 1901013


2. Karina Dwi Hapsari 1901014
3. Malik Umar Said 1901015

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

STIKES KARYA HUSADA

SEMARANG

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Ronde keperawatan dan Manajemen keperawatan”
. Kami meyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan
makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kurang dan lebihnya kami mohon maaf. Atas
perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Semarang, 30 september 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program propesi (pengalaman belajar klinik/lapangan) merupakan proses transformasi


peserta didik dari mahasiswa menjadi seorang perawat professional. Program ini dilakukan di
tempat peraktik yaitusuatu institusi di masyarakat dimana peserta didik  berpraktik di situasi
nyata melalui penumbuhan dan pembinaan keterampilan intelektual, tehnikal, dan
interpersonal. Terdapat beberapa metode yang bisa dipilih oleh pendidik untuk mendidik
peserta didik sesuai dengan tujuan dan karakteristik individual, salahsatunya yaitu ronde
keperawatan.

Ronde keperawatan yaitu suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah
keperawatan klien yang dilaksanakan oleh perawat, disamping pasien dilibatkan untuk
membahas dan melaksanakan asuhan keperawatan.

Organisasi terdiri dari berbagai macam komponen yang berbeda dan saling memiliki
ketergantungan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Perbedaan yang
terdapat dalam organisasi seringkali menyebabkan terjadinya ketidakcocokan yang akhirnya
menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya ketika terjadi suatu
organisasi, maka sesungguhnya terdapat banyak kemungkinan timbulnya konflik.     

Konflik dalam suatu organisasi atau dalam hubungan antar kelompok adalah sesuatu
yang tidak dapat kita hindarkan. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap
organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut, jika
konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk
mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi

B. Rumusan Masalah
1. Definisi ronde keperawatan?
2. Tujuan ronde keperawatan
3. Peran dalam ronde keperawatan?
4. Langkah-langkah ronde keperawatan?
5. Kelemahan ronde keperawatan?
6. Apakah definisi konflik?
7. Bagaimana pandangan mengenai konflik?
8. Apa sajakah faktor penyebab timbulnya konflik?
9. Apa sajakah jenis-jenis konflik?
10. Bagaimana strategi yang digunakan dalam manajemen konflik?
11. Bagaimana penerapan manajemen konflik dalam organisasi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Manajemen Keperawatan
2. Untuk menambah wawasan bagi para pembaca khususnya mahasiswa
3. Untuk mengetahui dan memahami ronde keperawatan dan manajemen konflik
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Ronde Keperawatan

Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang
dilaksanakan oleh perawat, disamping pasien dilibatkan untuk membahas dan melaksanakan
asuhan keperawatan akan tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh perawat primer atau
konselor, kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga melibatkan seluruh anggota tim.

Ronde keperawatan merupakan suatu metode pembelajaran klinik yang memungkinkan


peserta didik mentransfer dan mengaplikasikan pengetahuan teoritis ke dalam peraktik
keperawatan secara langsung.

Karakteristik ronde keperawatan adalah sebagai berikut:

1. Klien dilibatkan secara langsung Klien merupakan fokus kegiatan


2. Perawat aosiaet, perawat primer dan konsuler melakukan diskusi bersama
3. Kosuler memfasilitasi kreatifitas
4. Konsuler membantu mengembangkan kemampuan perawat asosiet, perawat
5. Primer untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi masalah.

B. Tujuan Ronde Keperawatan

1. Adapun tujuan ronde keperawatan adalah sebagai berikut:

a. Menumbuhkan cara berpikir secara kritis.

b. Menumbuhkan pemikiran tentang tindakan keperawatan yang berasal dari


masalah klien.

c. Meningkatkan validitas data klien.

d. Menilai kemampuan justifikasi.

e. Meningkatkan kemampuan dalam menilai hasil kerja.

f. Meningkatkan kemampuan untuk memodifikasi rencana perawatan.

2. Peran Ketua Tim Lain dan/Konselor

 Perawat primer (ketua tim) dan perawat asosiet (anggota tim)Dalam


menjalankan pekerjaannya perlu adanya sebuah peranan yang bisa untuk
memaksimalkan keberhasilan yang bisa disebutkan antara lain :

a. Menjelaskan keadaan dan adta demografi klien

b. Menjelaskan masalah keperawatan utama

c. Menjelaskan intervensi yang belum dan yang akan dilakukan

d. Menjelaskan tindakan selanjtunya


e. Menjelaskan alasan ilmiah tindakan yang akan diambil

 Peran perawat primer (ketua tim) lain dan atau konsuler

a. Memberikan justifikasi

b. Memberikan reinforcement

c. Menilai kebenaran dari suatu masalah, intervensi keperawatan serta


tindakan yang rasional

d. Mengarahkan dan koreksi

e. Mengintegrasikan teori dan konsep yang telah dipelajari

C. Langkah-langkah Ronde Keperawatan


1. Persiapan
a. Penetapan kasus minimal 1 hari sebelum waktu pelaksanaan ronde.

b. Pemberian inform consent kepada klien/ keluarga.

2. Pelaksanaan

a. Penjelasan tentang klien o/ perawat primer dlm hal ini penjelasan difokuskan pd mslh
keperawatan& rencana tindakan yg akan/telah dilaksanakan& memilih prioritas yg
perlu didiskusikan.

b. Diskusikan antar anggota tim tentang kasus tersebut.

c. Pemberian justifikasi oleh perawat primer/ perawat konselor/ kepala ruangan tentang
masalah klien serta tindakan yg akan dilakukan.

d. Tindakan keperawatan pada masalah prioritas yang telah dan yang akan ditetapkan.

3. Pasca Ronde

Mendiskusikan hasil temuan dan tindakan pada klien tersebut serta menetapkan tindakan yang
perlu dilakukan.

D. Kelemahan Ronde Keperawatan


Kelemahan metode ini adalah klien dan keluarga merasa kurang nyaman serta
privasinya terganggu.
Masalah yang biasanya terdapat dalam metode ini adalah sebagai berikut:
1. Berorientasi pada prosedur keperawatan
2. Persiapan sebelum praktek kuarang memadai
3. Belum ada keseragaman tentang laporan hasil ronde keperawatan
4. Belum ada kesempatan tentang model ronde keperawatan
E. Definisi Konflik
Konflik dalam pengertian yang sangat luas dapat dikatakan sebagai segala macam bentuk
antar hubungan antar manusia yang bersifat berlawanan (antagonistik). Ia dapat terlihat secara
jelas dan dapat pula tersembunyi.
kamus besar bahasa Indonesia, konflik adalah percekcokan, perselisihan atau
pertentangan baik dari segi pemikiran atau kebijakan.

Menurut sosiologis, konflik merupakan proses antara dua orang atau lebih yang
berusaha menyingkirkan dengan cara menghancurkan atau membuat tidak berdaya.

Menurut Soerjono Soekanto, konflik adalah proses memenuhi tujuan dengan cara
menentang pihak lawan disertai ancaman atau kekerasan.

Menurut Lewis A.Coser, konflik adalah perjuangan nilai kekuasaan dan sumber daya
yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.

Menurut Gillin dan Gillin, konflik merupakan proses interaksi yang berlawanan .

Konflik adalah proses yang dimulai ketika satu pihak menganggap pihak lain secara
negatif mempengaruhi, atau akan secara negatif mempengaruhi, sesuatu yang menjadi
kepedulian pihak pertama.

F. Pandangan Mengenai Konflik

Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam kelompok atau organisasi. Ada
yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka
akan merugikan organisasi. Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika
konflik dikelola sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi
kelompok dan organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik
organisasional (organizational conflict).

Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut sebagai the Conflict Paradox,
yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok,
namun di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisir
konflik.

Dalam uraian di bawah ini disajikan beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Robbins (1996:429) :

1. Pandangan Tradisional (The Traditional View)

Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai
sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi
negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.
Pandangan ini konsisten dengan sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku
kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil
disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan
di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan
aspirasi karyawan.

2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relations View)

Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi
dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari, karena itu keberadaan konflik harus diterima  dan dirasionalisasikan
sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Pandangan
ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-
an.

3. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View)

Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi
bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis,
apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini,
konflik perlu dipertahankan pada tingkat  minimun secara berkelanjutan, sehingga
kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif. Stoner dan
Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang konflik menjadi dua bagian, yaitu
pandangan tradisional (old view) dan pandangan modern (current view).

G. Faktor Penyebab Timbulnya Konflik

Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar -belakanginya
(antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya
konflik, terdiri dari tiga kategori, yaitu :

Komunikasi

Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman antara
pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam
saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi
anteseden untuk terciptanya konflik.

b.      Struktur

Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi
(wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya
kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian
menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang
mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya,
maka semakin besar pula kemungkinan  terjadinya konflik.

c.       Variabel Pribadi

Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang
dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki
keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan
bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan
menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari
kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut,
maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut
dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat
secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap
bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict).
Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk
perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-
hara, pemogokan, dan sebagainya.

Berbeda dengan Robbins yang hanya menyebut tiga factor dalam antecedent conditions,
Schermerhorn merinci antecedent conditions menjadi lima faktor, yaitu :

1.      Ketidakjelasan peranan atau peranan yang mendua (role ambiguities)

2.       Persaingan untuk mendapatkan sumberdaya yang terbatas

3.      Rintangan-rintangan dalam komunikasi (communication barriers)

4.       Konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan

5.      Perbedaan-perbedaan individual, yang mencakup: perbedaan kebutuhan, nilai-nilai, dan


perbedaan tujuan.

Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent conditions itu


menjadi 12 faktor sebagai berikut :

1.      Ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai.

2.       Batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih.

3.      Persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas.

4.       Pertukaran informasi atau komunikasi yang tidak cukup (inadequate (communication).

5.      Kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan


pekerjaannya tanpa bantuan orang lain).

6.      Kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin


meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan).

7.      Peraturan-peratuan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal.

8.      Batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi
(unreasonable deadlines).

9.       Pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam
proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik).

10.  Pengambilan keputusan melalui konsensus.

11.  Harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak
realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik).

12.   Tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik.


Menurut Kreitner dan Kinicki (1995), manajer atau pimpinan organisasi harus proaktif untuk
mengidentifikasikan keberadaan kondisi - kondisi tersebut dalam organisasinya, dan jika salah
satu atau lebih dari kondisi itu muncul, maka ia harus segera mengambil tindakan, sebelum
kondisi itu menjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict). Dengan cara
seperti ini, diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh organisasi dan akhirnya mempengaruhi
kinerja karyawan. Untuk itulah maka manajer harus memiliki kemampuan untuk mengelola
konflik, sehingga konflik tidak menjadi faktor yang mengancam keberlangsungan hidup
organisasi, tetapi menjadi faktor yang fungsional untuk meningkatkan kinerja organisasi.

H. Jenis Konflik

Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk
membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya, ada yang membagi konflik dilihat dari fungsi dan ada juga yang membagi konflik
dilihat dari posisi seseorang dalam suatu organisasi.

a)      Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi


Jenis konflik ini disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi seseorang dalam
struktur organisasi, Winardi membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis konflik
tersebut adalah sebagai berikut :

·         Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan
yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.

·          Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi antara mereka yang memiliki kedudukan
yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar
departemen yang setingkat.

·         Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya
memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat
dalam organisasi.

·         Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari
satu peran yang saling bertentangan.

b)      Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya


Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi konflik menjadi
lima macam , yaitu:

·         Konflik dalam diri individu (conflict within the individual) yaitu konflik ini terjadi jika
seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang
melebihi batas kemampuannya. Termasuk dalam konflik individual ini, menurut Altman,
adalah frustasi, konflik tujuan dan konflik peranan .

·         Konflik antar-individu (conflict between individuals) yaitu terjadi karena perbedaan


kepribadian antara individu yang satu dengan individu yang lain.

·         Konflik antara individu dan kelompok (conflict between individuals and groups) yaitu
terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tempat ia
bekerja.
·         Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the
same organization) yaitu konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan
yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya. Masalah ini terjadi karena
pada saat kelompok-kelompok makin terikat dengan tujuan atau norma mereka sendiri,
mereka makin kompetitif satu sama lain dan berusaha mengacau aktivitas pesaing mereka,
dan karenanya hal ini mempengaruhi organisasi secara keseluruhan .

·         Konflik antar organisasi (conflict among organizations) yaitu konflik ini terjadi jika
tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi
lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.

c)      Konflik Dilihat dari Fungsi

Dilihat dari fungsi, Robbins membagi konflik menjadi dua macam, yaitu:

·         Konflik fungsional (Functional Conflict)

Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan
memperbaiki kinerja kelompok.

·         konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict)

Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.

Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional
sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi
tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu
tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu
konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja
kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja
kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan
fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi
menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.

I. Strategi dalam Manajemen Konflik

a.       Menghindar

Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang memicu konflik tidak terlalu
penting atau jika potensi konfrontasinya tidak seimbang dengan akibat yang akan
ditimbulkannya. Penghindaran merupakan strategi yang memungkinkan pihak-pihak yang
berkonfrontasi untuk menenangkan diri. Manajer perawat yang terlibat didalam konflik dapat
menepiskan isu dengan mengatakan “Biarlah kedua pihak mengambil waktu untuk
memikirkan hal ini dan menentukan tanggal untuk melakukan diskusi”

b.      Mengakomodasi

Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah,
khususnya  apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya
kerjasama dengan memberi kesempatan  pada mereka untuk  membuat keputusan. Perawat
yang menjadi bagian dalam konflik dapat mengakomodasikan pihak lain dengan
menempatkan kebutuhan pihak lain di tempat yang pertama.

c.       Kompetisi

Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak informasi dan
keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak ingin mengkompromikan
nilai-nilai anda. Metode ini mungkin bisa memicu konflik tetapi bisa jadi merupakan metode
yang penting untuk alasan-alasan keamanan.

d.      Kompromi atau Negosiasi

Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling
memberi dan menerima, serta meminimalkan  kekurangan semua pihak yang dapat
menguntungkan semua pihak.

e.       Memecahkan Masalah atau Kolaborasi  

·         Pemecahan sama-sama menang  dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja
yang sama.

·         Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung
dan  saling memperhatikan satu sama lainnya.

f.       Pemecahan persoalan

Dalam strategi pemecahan persoalan, diambil asumsi dasar semua pihak mempunyai
keinginan menangualngi konflik yang terjadi dan karenanya oerlu dicarikan ukuran-ukuran
yang dapat memuaskan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Atas dasar asumsi tersebut
maka dalam strategi pemecahan persoalan harus selalu dilalui dua tahap penting, yaitu proses
penemuan gagasan dan proses pematangannya. Hasil penelitian yang pernah dilakukan
Amerika membuktikan bahwa usaha pemecahan persoalan menjadi lebih produktif bila semua
gagasan dikumpulkan terlebih dahulu sebelum dibahas.

Penelitian yang sama juga membuktikan bahwa mutu cara pemecahan akan lebih baik bila
pimpinan terlebih dahulu membahas persoalannya sebelum membicarakan cara
pemecahannya. Karena maksud pemecahan persoalan ialah untuk membahas berbagai macam
kemungkinan, maka justru menciptakan kemungkinan berbeda pendapat, bukan
menghilangkannya.

g.      Musyawarah

Dalam strategi ini terlebih dahulu harus ditentukan secara jelas apa sebenarnya yang menjadi
persoalan. Berdasarkan jelasnya persoalan itulah kemudian kedua belah pihak yang sedang
dalam pertikaian mengadakan pembahasan untuk mendapatkan titik pertemuan.

Pada waktu perundingan atau musyawarah tersebut dilakukan dapat pula dikembangkan suatu
konsensus  bahwa setelah terjadi kesepakatan, masing-masing pihak harus berusaha mencegah
timbulnya konflik lagi.

h.      Persuasi
Dalam strategi ini usaha penanggulangan konflik dilakukan dengan menemukan kepentingan
dan tujuan yang lebih tinggi dari tujuan pihak-pihak yang sedang bertikai.

i.        Mencari lawan yang sama

Strategi ini pada prinsipnya hampir sama dengan strategi ketiga.  Perbedaannya adalah bahwa
pada strategi ini semua diajak untuk lebih bersatu kaena harus menghadapi pihak ketiga
sebagai pihak yang dianggap merupakan lawan dari kedua belah pihak yang bertikai.

j.        Meminta bantuan pihak ketiga

Hal yang penting adalah mengetahui dibidang apa pertikaian , dalam arti apakah terjadinya
berkaitan dengan konflik politik, konflik wewenang, konflik hukum, konflik teknis pekerjaan,
dan lainnya. Hal ini penting guna dapat  memilih pihak ketiga yang kiranya dapat untuk
menanggulangi akibat yang lebih negatif dari suatu konflik.

k.      Peningkatan interaksi dan komunikasi

Alasan penggunaan strategi ini adalah bahwa bila pihak-pihak yang berkonflik dapat
meningkatkan interaksi dan komunikasi mereka, pada suatu saat mereka akan dapat lebih
mengerti dan menghargai dasar pemikiran dan prilaku pihak lain.  Pengertian dan
penghargaan ini penting, karena dapat mengurangi pandangan buruk terhadap kelompok lain.

l.        Latihan kepekaan

Strategi ini bisa disebut “encounter session” strategi ini umumnya digunakan untuk
menghadapi konflik yang terjadi  dalam suatu kelompok ataupun antar kelompok. Pihak-
pihak yang berkonflik diajak masuk dalam satu kelompok. Dalam kelompok ini masing-
masing pihak diberi kesempatan menyatakan pendapatnya termasuk pendapatnya yang
negatif, mengenai pihak yang  lain. Sementara itu, pihak yang dikritik diharapkan
mendengarkannya lebih dahulu kemudian dapat pula mengemukakan pendapatnya. Dengan
telah dikeluarkan, segala perasaan atau “ganjalan” yang dikandung, diharapkan masing-
masing pihak akan lega.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang dilaksanakan oleh
perawat, disamping pasien dilibatkan untuk membahas dan melaksanakan asuhan keperawatan akan
tetapi pada kasus tertentu harus dilakukan oleh perawat primer atau konselor, kepala ruangan, perawat
associate yang perlu juga melibatkan seluruh anggota tim.

Ronde keperawatan merupakan suatu metode pembelajaran klinik yang memungkinkan peserta didik
mentransfer dan mengaplikasikan pengetahuan teoritis ke dalam peraktik keperawatan secara
langsung.

Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau pimpinan dalam organisasi
harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi
dapat tercapai tanpa hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik.
Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau pimpinan harus mampu
mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga
diperoleh solusi tepat atas konflik tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akn
diperoleh pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus terjadi dalam
organisasi.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

http://ardhyashshiddieqi.blogspot.com/2013/05/ronde-keperawatan.html

Garry Dessler. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jilid 2. Jakarta : PT. Prehelinso. 1989.Hani
Handoko. Manajemen Personalia dan Sumber Daya manusia. Yogyakarta : BPFE.
2001.Wahyudi. Manajemen Konflik Dalam Organisasi, Edisi Kedua. Bandung : Alfabeta. 2006.

Robbins S. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. Jakarta : PT Prenhalinddo.1996.

Indrawijaya, Adam I. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru Algesindo.2009.

Anda mungkin juga menyukai