Anda di halaman 1dari 4

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL

Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M.Sc.Ed.


Penerbit  : Rineka Cipta, Jakarta, 2004, 240 pp.

Eureka Pendidikan. H.A.R Tilaar memang bukan tokoh baru dalam dunia
pendidikan. Beliau telah menulis sejumlah buku yang berkaitan dengan kritik
maupun ide-ide terkait reformasi pendidikan nasional. Seperti halnya buku ini,
penulis berupaya memberikan informasi kepada pembaca mengenai paradigma
lama pendidikan pada masa pra- orde baru dan orde baru yang telah
mencederai esensi pendidikan. Di sisi lain, topik utama yang ditawarkan oleh
penulis dalam buku ini adalah cakrawala baru yang akan membuka pemahaman
pembaca mengenai pendidikan nasional.

Pada bagian awal, penulis mencoba memberikan pengetahuan dasar terkait


krisis kehidupan yang menimpa bangsa Indonesia pada masa pra-orde baru dan
orde baru, termasuk di dalamnya krisis pendidikan nasional. Pendidikan telah
terlempar dari kebudayaan dan telah menjadi semata-mata alat dari suatu orde
ekonomi atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang
tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat (p.6). Bercermin dari kenyataan
tersebut, maka dalam memasuki era reformasi diperlukanlah penyusunan
paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada terwujudnya masyarakat
madani Indonesia (pp.27-31). Masyarakat madani yang menghargai nilai-nilai
dan seluruh hak asasi manusianya ini, dapat diwujudkan melalui paradigma baru
pendidikan nasional, yang diawali dengan proses reposisi dan reaktualisasi
pendidikan (pp.52-61). 

Jika pada bagian awal, penulis meninjau permasalahan yang terjadi pada era
pra-orde baru dan orde baru secara umum. Maka, pada bagian kedua penulis
memberikan rincian evaluasi pelaksanaan pendidikan pada era lalu sekaligus
juga memberikan gambaran baru pendidikan nasional. Bentuk konkret dari
paradigma baru pendidikan nasional, digambarkan dalam  reformasi total
pendidikan nasional yang melibatkan masyarakat lokal, universitas di daerah,
lembaga pemerintah daerah dan lembaga pendidikan (pp.103-108). Hal tersebut
didasarkan pada pemahaman bahwa pendidikan adalah proses kebudayaan dan
pembudayaan, maka masyarakat perlu diberikan peran besar dalam
menyelenggarakan dan bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan yang
diintegrasikan dengan kebutuhan dan potensi daerah. 

Pada bagian tiga, penulis menyajikan tema, reposisi pendidikan tinggi. Hal ini
terkait dengan pengembangan pendidikan berbasis masyarakat yang telah
menempatkan universitas di daerah sebagai pusat yang mempunyai
kemampuan dan kedudukan yang otonom di daerah, sehingga dapat dijadikan
pusat jaringan kerja sama untuk masing-masing provinsi dan juga dapat
dijadikan mitra penarik dari gerbong reformasi pendidikan di daerah (p.108).
Dengan demikian, penulis menekankan pengembangan perguruan tinggi
berdasarkan dimensi lokal dan dimensi global (pp.110-114). Hal ini dapat
dilakukan dengan menelaah kembali kurikulum perguruan tinggi, agar dapat
mencetak profesional-profesional yang tidak hanya bertahta di atas menara
gading, namun kualitas manusia Indonesia yang lulus dari perguruan tinggi
adalah manusia yang mampu menjalin kerjasama dan juga bersaing dengan
bangsa-bangsa lain, di samping itu tentunya dapat memberikan jawaban
terhadap peningkatan kualitas manusia Indonesia sebagai suatu bangsa yang
sedang berupaya mengatasi berbagai krisis kehidupan (pp.134-145). 

Kemudian pada bagian empat, penulis menyajikan hal menarik terkait partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Pada bagian ini, dikemukakan
peran pendidikan islam dan pendidikan kristen yang telah lebih awal
menerapkan pendidikan yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan
masyarakat (pp.146-186). Pada (pp.146-163), penulis menjabarkan potensi
pendidikan islam, dalam hal ini pesantren dan madrasah yang dapat
mewujudkan manusia Indonesia yang shaleh dan produktif. Hal tersebut turut
juga diamini oleh pendidikan kristen yang juga memiliki potensi untuk
membangun kekuatan moral bangsa Indonesia untuk menghargai keberagaman
bangsa (pp.180-181). Dengan potensi-potensi yang ada, penulis juga mencoba
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pendidikan islam dan kristen, yang
kemudian  dijadikan acuan bagi pengkualitasan-pengkualitasan yang perlu
dilakukan untuk dapat berperan aktif pada era reformasi yang sarat dengan
tantangan global (pp.152-163, 172-179, 182-186).
Pada bagian lima berisi ulasan seluruh tema, yang pada intinya menjelaskan
paradigma baru pendidikan nasional yang berupaya dibangun adalah pendidikan
berbasis masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat ini kental sekali
hubungannya dengan kebudayaan. Maka, penulis menegaskan kembali
hubungan yang erat antara pendidikan nasional dan kebudayaan. Untuk
memperkuat pemahaman tersebut, penulis mengutip teori Antropolog, Ralph
Linton dan Geertz yang mengupas mengenai peran kebudayaan dalam
membentuk kepribadian dan kedewasaan seseorang serta hasil dari pendidikan
yang berupa kebudayaan (pp.190-191). Dalam bagian ini, penulis juga
menjabarkan hal-hal yang bersifat praktik untuk mengintegrasikan pendidikan
dan kebudayaan, dengan melibatkan lembaga-lembaga pendidikan serta hal-hal
apa yang perlu dilakukan agar pendidikan nasional bersinergi kembali dengan
kebudayaan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia baru, masyarakat madani
(pp.210-226). 
Akhir buku ini ditutup dengan epilog yang menyimpulkan mengenai reformasi
pendidikan, yang pada kenyataannya memerlukan suatu mobilisasi para pemikir
dalam berbagai bidang, para pemerhati, pemimpin-pemimpin masyarakat pada
tingkat lokal bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk merumuskan
kebijakan-kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan juga
peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara untuk menyusun dan
memiliki undang-undang pendidikan yang baru, yang secara umum akan
merumuskan falsafah pendidikan nasional yang baru atau dalam kata lain
menerapkan desentralisasi pendidikan (p.228). 

Isi dari buku ini sebagian besar memang  berupa gagasan-gagasan penulis
terkait reformasi pendidikan. Pada bagian awal buku ini, H.A.R Tilaar telah
mengemukakan bahwa gagasan yang ada pada buku ini belum tentu dapat
diterima dan dilaksanakan dengan segera. Namun, melalui buku ini penulis
mengajak pembaca untuk merenungi arah dari pendidikan nasional pada era
baru. Pembaca akan dibawa oleh penulis untuk memahami kondisi pendidikan
nasional. Selain itu, pembaca juga diajak untuk berpikir dan menelaah arah
pendidikan nasional yang sesuai dengan hakikat pendidikan itu sendiri dan juga
tantangan zaman yang akan dihadapi. Berbeda dengan karya H.A.R Tilaar
sebelumnya, buku ini menyajikan hal menarik terkait teori dan langkah-langkah
operasional dalam merumuskan reformasi pendidikan nasional. 

Namun, pada buku ini hal yang disayangkan adalah Tilaar terlalu terjebak dalam
kondisi yang normatif, tanpa melakukan analisis kritis secara mendalam
mengenai masalah esensi dari pendidikan nasional. Tilaar berpandangan
desentralisasi pendidikan atau menyerahkan pendidikan untuk dikelola
masyarakat daerah merupakan hal tepat untuk diterapkan dalam membangun
pendidikan nasional, namun Tilaar belum mampu menjabarkan secara objektif
berbagai kondisi daerah yang ada di Indonesia secara lebih spesifik. Karena
pada dasarnya desentralisasi pendidikan atau upaya mengembalikan pendidikan
agar dikelola dan dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan daerahnya
memerlukan analisis kritis terhadap potensi daerah dan juga sumber daya
manusianya sebagai perumus dan pelaksana sebuah program. Hal ini bukan
bermaksud memandang rendah potensi masyarakat daerah dalam menyusun
dan melaksanakan sistem pendidikan, namun menjadi terlalu sederhana apabila
semangat desentralisasi pendidikan dikemukakan, namun hanya berlandaskan
potensi daerah tanpa mengidentifikasi faktor-faktor lain yang sebenarnya
memiliki pengaruh langsung terhadap berlakunya sebuah kebijakan. 

Secara mendasar desentralisasi pendidikan dipahami sebagai  pemberian


kewenangan kepada daerah untuk mengelola pendidikan sesuai potensi dan
kebutuhan daerah. Desentralisasi juga telah dilakukan di beberapa Negara,
namun yang perlu diperlu diperhatikan secara mendalam oleh Tilaar,
desentralisasi pendidikan yang dilaksanakan oleh beberapa Negara bukan
semata-mata berangkat dari kritik atau ketimpangan terhadap sentralisasi
pendidikan. Sentralisasi pendidikan sebagaimana yang diuraikan memang telah
menimbulkan gejolak seperti mematikan potensi masyarakat daerah untuk
berkembang karena kurang efektif dan efisien, adanya kepentingan lain yang
menyusup dalam sistem pendidikan nasional sehingga menghambat
perkembangan daerah. Namun, ternyata beberapa Negara melaksanakan
desentralisasi pendidikan karena didasarkan pada kondisi sosial-politik yang
terjadi di Negara tersebut. Sehingga melalui desentralisasilah dianggap kondisi
tersebut dapat menjadi stabil kembali.

Anda mungkin juga menyukai